Anda di halaman 1dari 3

Resa Wira Nata

HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER


“Kasus Hukum Diplomatik di Indonesia”

Melihat kasus hukum diplomatik antara Indonesia dan dua negara yang
menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, yang dimana dalam kasus ini
Negara Australia dan Brasil melakukan reaksi perlindungan diplomatik kepada warga
negaranya terhadap eksekusi hukuman mati yang ingin dilakukan oleh aparat
penegak hukum di Indonesia. namun reaksi keduanya sama-sama "blunder" dan
kontra produktif. Jika Australia menggunakan semua cara untuk melakukan
perlindungan diplomatik terhadap warganya, Brasil justru melanggar hukum
diplomatik itu sendiri.

Demikian seperti sudah ditegaskan oleh Menlu RI Retno Lestari PM bahwa


tindakan Brasil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Ekpresi kekecewaan negara atas kebijakan negara lain sebenarnya soal biasa dalan
hubungan internasional. Semua negara pasti akan mengambil langkah perlindungan
terhadap warganegaranya yang mengalami persoalan hukum di luar negeri. indonesia
sering mengambil langkah ini. Upaya perlindungan ini adalah bentuk "intervensi"
negara terhadap negara lain yang direstui oleh hukum internasional. Australia telah
melakukan ini dan masih dalam koridor perlindungan diplomatik. Bentuknya hanya
tekanan diplomatik tanpa harus melanggarnya. Memang reaksinya keras, namun
sampai saat ini belum ada norma internasional yang dilanggar, dan yang terpenting,
belum ada tindakan yang bisa menghambat Indonesia untuk melaksanakan
kedaulatannya.

Namun reaksi Brasil agak tidak lazim dan dari sisi hukum diplomatik sangat
ironis. Tentu saja Presiden Dilma Rousseff berhak menolak kredensial (surat
kepercayaan) Duta Besar RI, tidak ada yang membantah itu, namun cara menolaknya
sarat dengan "itikad buruk", ini yang sedang dipersoalkan. Duta Besar RI diacarakan
dan diatur oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial dan telah berada di
Istana Presiden bersama para Duta Besar asing lainnya. Sampai pada akhirnya
Presiden Rousseff "tiba-tiba" menolaknya.

Ironisnya, dalam kasus ini perbuatan mempermalukan ini justru dilakukan oleh
negara. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran
terhadap Konvensi Wina, apalagi jika pelakunya justru negara yang bersangkutan.
Menjaga kehormatan korps diplomatik adalah kewajiban negara setempat sesuai
pasal 29 Konvensi dan lingkupnya, termasuk larangan untuk mempermalukan
diplomat (embarrassing or offending; Brownlies Principle of Public International Law).

Banyak negara ini justru ingin memperluas ruang lingkup pasal 29 Konvensi
sehingga mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap
kehormatan. Manakala dunia sedang menjadikan kehormatan Duta Besar sebagai hal
yang "sakral", namun Brasil justru sedang menggerogotinya. Tindakan pelanggaran
Konvensi Wina oleh Brasil sebenarnya bisa dijustifikasi jika tindakan ini dimaksudkan
untuk memberi sanksi terhadap Indonesia atas "pelanggaran" kewajiban
internasionalnya terhadap Brasil. Tapi apakah Indonesia telah melakukan
pelanggaran kewajiban terhadap Brazil? Apakah penerapan hukuman mati terhadap
warga negara Brasil merupakan pelanggaran kewajiban internasional oleh Indonesia
terhadap Brasil? Tentu jawabnya tidak, karena Indonesia membuka ruang seluas-
luasnya untuk berlangsungnya proses hukum terhadap warga Brasil.

Indonesia tidak mengurangi hak-hak hukumnya seperti yang dijamin hukum


internasional khususnya ICCPR. Dia diberi kebebasan untuk membela dirinya baik
sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana di forum peradilan yang independen,
dari proses awal sampai titik akhir yang bersifat final dan mengikat. Akses konsuler
juga dibuka lebar untuk memastikan terpenuhinya hak ini. Artinya, penghukuman
terhadap pelaku sudah memenuhi syarat hukum internasional dan Brasil sendiri tidak
bisa dan tidak pernah menyangkalnya.

Reaksi Indonesia dengan menarik pulang Duta Besar-nya sangat wajar dan
tepat karena hukum internasional memang memberi hak kepada Indonesia untuk
mengambil setiap langkah guna mengurangi dampak yang diakibatkan oleh
pelanggaran Konvensi Wina oleh Brasil. Indonesia memilih langkah bijak, yaitu
memulangkan Duta Besar-nya sambil menunggu perkembangan berikutnya. Ini
cerminan dari negara yang tetap ingin mengedepankan persahabatan namun akan
tegas jika kedaulatan hukumnya digerogoti. Artinya, eksekusi hukuman mati tidak
akan tertunda hanya karena rekayasa diplomatik yang tidak lazim ini, apalagi
Indonesia kini sedang dalam "darurat" narkoba dengan 30-40 korban tewas dalam
setiap harinya.
Jadi, seperti yang kita lihat kasus hukum diplomatik ketiga negara tersebut,
sangatlah dengan mata kuliah hubungan internasional dan hukum internasional yang
berwenang di sini, yang memang di mana setiap negara wajib melakukan
perlindungan diplomatik terhadap warganegaranya, akan tetapi negara indonesia
sudah melakukan kebijakan hukum yg sangat tepat, dimana dalam kasus ini kedua
warga negara asing ini melakukan penjulan obat-obatan terlarang (narkoba) dalam
jumlah yang sangat besar dan dampaknya banyak merugikan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai