Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH ANGKATAN 41 KELOMPOK XII:

ANALISIS KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA


NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Kebijakan Publik


Dosen: Dr. Ir. A. H. Rahadian, M.Si

Disusun Oleh:
No. Nam
1. Ika Luswa
2. Olivia Apri

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MANDALA INDONESIA (STIAMI)


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota
Negara/Pusat Pemerintahan. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dr.
Ir. A. H. Rahadian, M.Si selaku Dosen mata kuliah Kebijakan Publik yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Analisis Kebijakan
Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah mengenai Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota
Negara/Pusat Pemerintahan ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Demikian kami sampaikan,
terimakasih.

Jakarta, Juli 2013

Penulis

i
Daftar Isi
Hal
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang. ......................................................................... 1
1.2 Ruang Lingkup Penulisan.......................................................... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................. 6
Bab II Analisis Situasi
2.1 Masalah/Isu Politik.................................................................... 7
2.2 Masalah dan Isu Faktual ......................................................... 10
2.3 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan .................................... 14
Bab III Alternatif Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat
Pemerintahan
3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta ......17
3.2 Pusat Pemerintahan dipisahkan dari Ibukota Negara...............19
3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru
diluar jakarta ............................................................................20
Bab IV Skenario Terpilih dan Strategi Implementasi
4.1 Skenario Terpilih.......................................................................26
4.2 Strategi Implementasi ...............................................................26
Bab V Penutup

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik,


dimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat. Indonesia disebut
juga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487
pulau, oleh karena itu disebut sebagai Nusantara. Dengan populasi
sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010. Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara islam.
Di indonesia terdapat lima pulau yaitu pulau Sumatera, Jawa, kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Serta mempunyai masyarakat plural terbesar terdiri
dari bermacam-macam suku bangsa, budaya dan agama. Indonesia terdiri
dari 33 provinsi yang terbentang luas di khatulistiwa, dipisahkan oleh
lautan luas dan kaya akan hasil alam.

Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun


1964, ditetapkannyalah Jakarta sebagai ibukota negara yang di sahkan
tanggal 31 Agustus 1964 oleh presiden Soekarno pada saat itu. Semenjak
dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat
akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua
terpusat di Jakarta. Pemerintah pun mulai melaksanakan program
pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat,
dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota.

Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-


masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir,
kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Sebagaimana umumnya kota megapolitan, Jakarta memiliki masalah
stress, kriminalitas dan kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan dan
privatisasi lahan telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga
menambah tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas,

Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan 1


menurunnya interaksi sosial karena gaya hidup yang individualistik juga
menjadi penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak
humanis menyisakan ruang-ruang sisa yang mengundang tindak laku
kriminalitas. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan usaha
informal oleh pemerintah adalah penyebab aktif kemiskinan di Jakarta.

Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi


udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah
menetapkan wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air (Perda
Nomor 1 Tahun 2012), namun ketentuan tersebut sering dilanggar dengan
terus dibangunnya perumahan serta pusat bisnis baru. Beberapa wilayah
yang diperuntukkan untuk pemukiman, banyak yang beralih fungsi
menjadi tempat komersial.
2
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km , dengan penduduk
berjumlah 9.607.787 jiwa (2010) merupakan metropolitan terbesar di asia
tenggara atau terbesar kedua di dunia. Dilihat dari luas wilayah dan
banyaknya penduduk yang bermukim di Jakarta membuat ruang gerak
menjadi sempit. Melihat hal ini seharusnya pemerintah bergerak cepat
untuk mengatasi masalah yang terjadi di Jakarta sebagai ibu kota negara.

Pembangunan yang terus terjadi di Jakarta membuat seolah


daerah lain seperti di anak tirikan. Hal tersebut membuktikan bahwa masih
adanya pembangunan yang tidak merata disegala bidang. Misalnya
daerah timur di indonesia, seperti Papua masih terbilang sangat jauh
tertinggal meskipun otonomi daerah sudah diberlakukan sejak tahun 2008
(Perpu No.1 Tahun 2008 mengenai otonomi khusus).

Jakarta sejak jaman penjajahan hingga kemerdekaan terus


melakukan pembangunan, akibatnya penyempitan lahan hijau semakin
luas dikarenakan penggunaan lahan yang terus menerus tanpa melihat
peruntukan lahan tersebut. Penumpukan masyarakat, baik dari kalangan
elit hingga yang kecil membuat permasalahan semakin kompleks. Bahkan
pemberitaan nasional pun terkonsentrasi hanya pada Jakarta,
dikarenakan permasalahan tersebut diatas, yang tidak segara dicari
pemecahannya.
Adalah presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang
pernah melontarkan ide memindahkan ibukota negara ke Kalimantan
Tengah. Persisnya ke kota Palangkaraya, yang dibelah oleh sungai
Kahayan. Mimpi Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota negara
itu dilontarkan pada tahun 1950-an. Saat itu, putra sang fajar tersebut
sudah meramalkan bahwa Jakarta akan tumbuh tak terkendali.

Ada beberapa pertimbangan Soekarno memilih Palangkaraya


sebagai ibukota negara. Pertama, Kalimantan adalah pulau terbesar di
Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua,
menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di Jakarta dan
Jawa adalah konsep peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin
membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan
peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.

Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya


juga punya sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep
transportasi sungai dan jalan raya, seperti di negara-negara lain. Ia juga
ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat
bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.

"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar


Soekarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini
pada 17 Juli 1957. "Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi
Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman,
sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat
orang melewati sungai tersebut," tambahnya.

Untuk mewujudkan ide tersebut, Soekarno bekerjasama dengan


Uni Soviet. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun
jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Tapi
seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an,
pembangunan Palangkaraya terhambat. Puncaknya pasca 1965,
Soekarno dilengserkan.

Kini Jakarta makin semrawut, sementara pembangunan di


Palangkaraya berjalan lambat. Hampir tak ada tanda kota ini pernah akan
menjadi ibukota RI yang megah. Hanya sebuah monumen berdiri menjadi
pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke
Palangkaraya. Sementara Jakarta sebagai ibukota negara, terlihat
semakin tidak layak. Kota ini menyimpan segudang masalah. Mulai dari
kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana
hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Pada pemerintahan Presiden RI sekarang, Opsi pemindahan


ibukota dari Jakarta sudah dikaji pemerintah sejak 3 Maret 2010, Staf
Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah,
Velix Wanggai, telah menyelenggarakan sebuah Strategic Policy
Discussion bertajuk “Mengkaji Wacana Pemindahan Ibukota Negara:
Strategi Membangun Berkeadilan”.

Menurut Velix, Presiden selaku kepala negara melihat perlunya


mengkaji wacana pemindahan Ibukota. Kondisi Jakarta sebagai sebuah
ibu kota negara dirasakan semakin tidak nyaman. Beban fungsi pelayanan
dan kelayakan Jakarta dirasakan semakin tidak optimal terutama akibat
penyimpangan penataan ruang dan mempertimbangkan kemacetan lalu
lintas, bencana banjir, dan kerawanan gempa. "Sehingga wacana
kebijakan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta relevan
dikemukakan. (VIVAnews, Selasa 3 Agustus 2010).

Velix Wanggai yang dilahirkan di Jayapura, Papua, ini


menyampaikan bahwa pemindahan Ibukota negara memerlukan
komitmen politik yang kuat. Ia menegaskan bahwa pada beberapa kali
kesempatan Presiden telah menyampaikan pandangan untuk mengkaji
wacana pemindahan ibu kota Negara. Agar dapat berlangsung optimal,
pemindahan ibukota negara harus merupakan konsensus nasional.
"Political will Presiden ini perlu didukung konsensus nasional yang
dikukuhkan melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat,

Wacana pemindahan Ibu kota juga dapat dilihat sebagai suatu


upaya mendorong keseimbangan pembangunan wilayah dengan
meredistribusi kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya dan industri
keluar wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Perpindahan ibukota bisa saja terjadi karena berbagai hal termasuk
diantaranya karena bencana dan kekalahan perang, yang mana pada
jaman dahulu pernah terjadi di Indonesia akibat kondisi darurat politik
(perpindahan ibukota sementara ke Jogja). Setiap terjadi bencana di
Jakarta atau tanah Jawa maka selalu muncul usulan atau wacana
pemindahan ibukota negara dari Jakarta. Tentunya usulan ini sering
bersifat sepekulatif dan musiman sekedar wacana untuk obrolan.

Rekomendasi pemindahan Ibu Kota keluar Jawa justru berangkat


dari keprihatinan akan daya dukung ekosistem dan bencana sosial di
kota-kota besar di Jawa (seperti 1997-1998). Cadangan air bersih di Jawa
saat ini hanya 20% dari kebutuhan. Tanah pertanian di Jawa tingkat
kesuburannya lebih dari 3 kali lipat kesuburan lahan di luar Jawa.
Perlahan tapi pasti, lahan pertanian itu terus diciutkan utk dikonversi
menjadi kawasan industri, kota baru, proyek-proyek properti. Dengan
model perkembangan seperti ini, kaum miskin desa sebagian besar hanya
berpindah status menjadi kaum miskin kota.

Kalangan menengah bawah, yang satu atau dua level di atas kaum
miskin kota, hidup dalam ketegangan dan stress yang semakin tinggi di
luar ruang di kota-kota besar (Jakarta, Bandung dan sekitarnya). Hutan di
Jawa pun makin menipis, sehingga menimbulkan ancaman banjir yang
akan semakin mempersulit kehidupan para petani. Sebaliknya, di luar
Jawa cadangan air bersih melimpah, sumber energi berlimpah. Mengapa
kita tidak pindahkan sebagian kawasan industri ke luar Jawa, selain
memindahkan juga ibu kota pemerintahan. Itulah alasan-alasan
merekomendasikan pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

1.2 Ruang Lingkup Penulisan

Ruang lingkup penulisan makalah ini adalah membahas segala


kebijakan yang berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara/
pusat pemerintahan.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Mengetahui masih layakkah Jakarta sebagai ibukota negara
dan pusat pemerintahan.
2. Mengetahui permasalahan yang muncul berkaitan dengan
wacana pemindahan ibukota negara/pusat pemerintahan.
3. Mengetahui skenario-skenario apa saja yang muncul
berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara/pusat
pemerintahan serta apa yang harus dilakukan sebagai tindak
lanjutnya.
4. Mencoba memberikan skenario terpilih dengan
menggunakan model penilaian terhadap empat kriteria
penilaian kebijakan serta memberikan strategi implikasinya.

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:


1. Diharapkan hasil dari penulisan ini dapat memberi manfaat
kepada semua pihak, khususnya seluruh pembaca untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Analisis
Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan.
2. Dapat dijadikan acuan dalam menganalisis kebijakan
pemerintah yang merumuskan masalah pemindahan
ibukota/pusat pemerintahan.
BAB II ANALISIS
SITUASI

2.1 Masalah/Isu (Teoritik)

Seperti yang dikemukakan dilatar belakang, perpindahan ibukota


bisa saja terjadi karena berbagai hal termasuk diantaranya karena
bencana dan kekalahan perang, yang mana pada jaman dahulu pernah
terjadi di Indonesia akibat kondisi darurat politik (perpindahan ibukota
sementara ke Jogja). Setiap terjadi bencana di Jakarta atau tanah Jawa
maka selalu muncul usulan atau wacana pemindahan ibukota negara dari
Jakarta. Tentunya usulan ini sering bersifat spekulatif dan musiman
sekedar wacana untuk obrolan.

Apakah wacana pindah ibukota ini hanya sekedar wacana yang


setiap banjir akan terulang seperti ini? Kemudian akan muncul
pertanyaan, sesungguhnya apa esensi krusial dari wacana pemindahan
ibu kota? Jika ibu kota akan dipindah, tentu akan ada efek bagi daerah
yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan.Wacana pemindahan ibu
kota ini bukan merupakan isu yang baru muncul.

Namun yang menjadikannya ramai diperbincangkan adalah bahwa


wacana pemindahan Ibukota ini adalah suatu isu yang penting dan besar,
namun pemerintah tidak secara serius menyikapinya. Bahkan sampai saat
ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan punya concern
pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang
dapat menjadi masukan dalam policy making. Dan jika dikaji lagi, siapa
yang bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibukota? Ini adalah
contoh isu “yang dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun
fragmented.

2.2 Masalah dan Isu Faktual

Siapa yang sesungguhnya berada dalam struktur pemerintahan?


Isu seperti wacana pemindahan Ibukota ini seharusnya direspon oleh
lembaga perencana, dalam level ini adalah Bappenas (Badan Perencana
Pembangunan Nasional). Bappenas seharusnya merupakan lembaga
yang mampu merespon isu-isu pembangunan yang muncul pada level
nasional, termasuk tentang isu pemindahan ibukota. Institusi Bappenas
saat ini tengah mengalami degradasi perannya, terutama setelah
kekuatan “main budgeting”nya diambil alih oleh Menteri Keuangan. Jika
pada masa sebelumnya para “local government” memastikan anggaran
yang diterima daerahnya ke Bappenas, sekarang mereka memastikannya
di DPR dan Kementrian Keuangan.

Fungsi budgeting Bappenas ini telah dikurangi. Tidak masalah jika


Bappenas tidak punya kekuatan dalam penentuan alokasi anggaran, akan
tetapi tetap peran strategis Bappenas sebagai institusi perencana
pembangunan harus tetap berjalan sebagaimana fungsi lembaga tersebut.

Sejak muncul wacana pemindahan IbuKota , tidak ada satupun


pemikiran progresif yang dilontarkan oleh Bappenas, ataupun Kementrian
Pekerjaan Umum sebagai respon terhadap wacana yang muncul ini.

Kementrian Pekerjaan Umum sebenarnya merupakan sekedar


lembaga public executing saja, lembaga yang mengeksekusi terhadap
perencanaan kebijakan yang telah dirumuskan. Sementara
perencanaannya seharusnya berada di tangan Bappenas (Badan
Perencana Pembangunan Nasional) yang juga berkewajiban menyiapkan
RPJP dan RPJM. Sehingga perencanaan tersebut dapat terintegrasi. Hal
tersebut juga tentunya akan menentukan apakah persoalan pemindahan
Ibukota ini akan tertuang dalam RPJP dan RPJM.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapakah lembaga


“strategic national think thank” di Indonesia yang bertanggungjawab untuk
merespon wacana seperti ini. Isu-isu yang meletup dan telah berjalan
dalam kurun waktu yang panjang, namun tidak disikapi secara serius
ataupun segera diputuskan oleh para pengambil kebijakan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat “fragmentasi” dalam


perencanaan pembangunan Indonesia, termasuk diantaranya mandulnya
institusi perencana yang tidak pernah menyuarakan ide-idenya, termasuk
dalam isu pemindahan Ibukota. Padahal jika berbicara tentang
kewenangan, di Bappenas terdapat Deputi Regional yang salah satu
kewenangannya dalam menangani isu tersebut.

Kedua, isu tersebut dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu


dari aspek teknis physical dan dari aspek non teknis (aspek social,
ekonomi dan budaya). Analisis pertama wacana pemindahan Ibukota
dapat dilihat dari aspek tekhnis. Dari aspek tekhnis wacana pemindahan
Ibu kota memiliki logika sebagai berikut :

Dalam mengembangkan atau menata kota, secara teknis dapat


menggunakan sebuah konsep dalam studi lingkungan yang disebut
dengan carrying capacity (daya dukung atau daya tampung). Ilustrasinya
adalah sebagai berikut. Suatu area atau wilayah pasti memiliki daya
tampung atau daya dukung yang mampu menampung beban tertentu.
Beban yang dimaksudkan disini adalah jumlah manusia beserta segala
aktivitasnya. Oleh karenanya terdapat konsep carrying capacity.

Secara garis besar konsep carrying capacity ingin mengatakan


bahwa jika kita akan menata kota atau mengembangkan kota, beban
yang kita berikan tidak boleh melebihi daya dukung atau daya tampung.
Kalau kita memberikan beban berlebih, maka kota itu akan mengalami
degradasi dan diikuti dengan berbagai eksesnya, seperti misalnya ekses
pencemaran. Hal tersebut dilihat dari aspek capacity. Menata kota atau
mengembangkan kota itu, seperti memastikan antara kapasitas (daya
tampung dan daya dukung) dengan beban kota tersebut.

Apabila satu lahan kota dengan kapasitas daya dukungnya besar,


akan tetapi hanya diisi dengan beban yang kecil, maka penggunaannya
akan mubadzir dan tidak efisien. Termasuk dalam konteks Pulau Jawa
yang memiliki lahan terbatas, namun bebannya sangat besar.

Jikalau ada lahan besar, namun tidak dimanfaatkan, akan sia-sia


dan kemanfaatannya kecil. Akan tetapi jika pemanfaatannya terlalu besar,
maka akan terjadi degradasi lingkungan dengan segala eksesnya. Jadi
menata kota, merencanakan ruang untuk menata kota itu adalah tentang
bagaimana menyeimbangkan antara beban dan daya dukung kota.
Persoalannya adalah daya dukung itu relatif kecil. Daya dukung
juga akan tergantung pada kecanggihan teknologi. Dalam skala kecil
ilustrasi daya dukung manusia ini adalah sebagai berikut : Dalam kondisi
tanah yang alami (tanpa rekayasa teknologi) jika struktur tanah, struktur
soil dan airnya bagus, maka kita dapat membangun gedung pencakar
langit karena struktur tanah dan daya dukungnya bagus. Akan tetapi jika
kita berada di lahan gambut, maka kita tidak mampu membangun
bangunan pencakar langit, karena struktur tanahnya labil dan sebagainya.
Akan tetapi karena manusia memiliki ilmu dan teknologi, maka ia bisa
merekayasa dan memberikan input teknologi supaya lahan alami yang
“misalnya gambut” , kemudian direkayasa supaya bisa tetap dibangun
pencakar langit.

Jadi masalah yang dihadapi ketika kita menghitung daya dukung itu
adalah sangat tergantung seberapa jauh kita bisa memasukkan teknologi.
Dan fungsi teknologi ini juga bergantung pada financial. Semakin canggih
teknologinya, semakin mahal biayanya.

Perbincangan tentang kedua aspek ini akan berpengaruh pada isu


apakah Jakarta perlu dipindah atau tidak. Apabila ada orang yang
mengatakan “Pindah Jakarta”, yang salah satu alasannya karena banjir,
maka hal tersebut sesungguhnya adalah salah satu contoh atau ilustrasi
bahwa beban kota melebihi kapasitasnya.

Beban disini bisa jadi jumlah penduduknya yang terlalu banyak dan
jumlah bangunannya terlalu banyak pula. Fakta bahwa kemudian Jakarta
ini menjadi tidak layak, sebenarnya adalah hal yang wajar. Di masa lalu,
sebagian besar wilayah Jakarta adalah rawa-rawa yang sebenarnya tidak
tepat untuk dijadikan pemukiman. Seperi Rawa Mangun, Rawa Angke,
Rawa Gede. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa beberapa
wilayah Jakarta sebenarnya secara alami tidak tepat dijadikan wilayah
pemukiman atau pusat kota.

Beruntung bahwa dahulu yang pertama kali membangun Batavia


adalah orang Belanda yang juga merupakan ahli di bidang hidrologi. Maka
sejak awal arsitek Belanda tersebut dalam membangun Batavia mengacu
pula pada negeri Belanda yang juga tiga perempat lahannya sebelumnya
berada di bawah permukaan air laut.

Pengetahuan dan teknologi tersebut membuat mereka mampu


merekayasa Batavia yang awalnya rawa-rawa itu menjadi satu kota yang
besar. Ini adalah salah satu contoh bahwa kapasitas teknologi dapat
diintervensikan pada situasi alam yang sebenarnya, pada awalnya, tidak
pas untuk dijadikan wilayah pemukiman. Hal ini beimplikasi pada tata
ruang yang dibangun kemudian. Jika orang-orang mengatakan bahwa
Jakarta itu telah melebihi beban, contohnya saat ini adalah banjir,
maksudnya adalah kapasitas drainase yang ada tidak mampu
menampung jumlah air/beban air dengan segala limbah kegiatan manusia
yang ada.

Ketika Jakarta macet dan kemudian diproyeksikan bahwa


“beberapa tahun lagi, jika semua mobil yang ada di Jakarta dikeluarkan
dari garasinya, mereka sudah tidak bisa bergerak karena tatanan mobil
tersebut telah memenuhi jalan” juga merupakan sebuah contoh bahwa
daya tampung jalan raya itu sudah tidak mampu menampung ataupun
menggerakkan jumlah mobil. Karena jika dihitung secara kasar, luas jalan
hampir sama dengan luas mobil jika dijajarkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa beban yang ada telah jauh


melebihi daya tampung. Jika situasinya adalah beban nya melebihi daya
tampungnya, ada dua kemungkinan. Jika daya dukungnya tidak dapat
diperbaiki dengan teknologi, maka beban tersebut yang harus dipindah.

Itulah yang menjadi basis argument ide pemindahan Ibukota


Jakarta. Asumsinya adalah intervensi teknologi untuk meningkatkan
kapasitas Jakarta dianggapt sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga
Ibukotanya harus dipindah sebagai upaya mengurangi beban.

Analoginya adalah pada saat lebaran, Jakarta nyaman karena sepi,


dikarenakan sebagian warganya mudik. Analogi tersebut sama dengan
hitungan berapa jumlah orang yang tinggal di Jakarta karena berkaitan
dengan pemerintahan pusat? Apakah jumlahnya signifikan jika jumlah
orang yang berkaitan dengan urusan pemerintah pusat ini dipindah? Ini
merupakan salah satu contoh dan ilustrasi bahwa memang bisa, beban
Ibukota dalam bentuk orang ataupun kegiatan ini dipindahkan.

Dan ini merupakan basis argument dari ide dibalik wacana


pemindahan Ibukota. Namun ada pula yang mengatakan, pemindahan
Ibukota itu juga mahal. Apakah Jakarta tidak bisa ditingkatkan daya
dukungnya supaya beban yang besar itu tidak perlu dipindah. Toh
peristiwa seperti banjir itu pernah terjadi sebelumnya. Jika alasannya
sekedar banjir saja, kanal banjir timur difungsikan, dibuat sudetan, dibuat
terowongan dengan intervensi teknologi, maka banjir dapat diatasi dan
ibukota tak perlu dipindahkan.

Tentang persoalan kemacetan dan daya tampung jalan misalnya,


jika jumlah kendaraan yang ada sangat besar dibandingkan luas jalan,
maka bisa direkayasa kegiatannya seperti pembatasan kepemilikan
kendaraan atau system pembatasan operasi berbasiskan pada plat
kendaraan (ganjil genap).

Apalagi jika kualitas dan kuantitas jalannya ditingkatkan dan


revitalisasi penggunaan moda transportasi public. Pandangan yang
menolak “Pemindahan Jakarta” ini berasumsi bahwa intervensi teknologi
disertai dengan pembiayaan ini masih bisa dilakukan untuk meningkatkan
daya dukung. Namun sampai sekarang tidak ada yang menghitung jika
opsi pertama adalah “memindahkan Ibukota” dan opsi kedua adalah
“memperbaiki Jakarta” dari kedua opsi tersebut baik yang mana dan
berapa masing-masing biaya nya.

Dan argument apakah perlu dipindah atau tidak ini juga akan
tergantung dari pendapat dari para ahli yang mana. Jika kita bertanya
pada engineer dari Belanda, tentu jawabannya adalah terdapat banyak
teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta. Jika
diberikan kekuasaan dan uang, para teknisi ini mampu mengatasi
persoalan teknis seperti banjir di Jakarta. Dari pandangan tersebut maka
Ibukota tak perlu dipindah.

Polemik dari sisi fisik terkait dengan pemindahan Ibukota adalah


seperti itu. Kedua, dari sisi geopolitik. Kajian dari sisi geopolitik ini
nampaknya menjadi jauh lebih penting dan krusial dibanding dari sisi
teknik. Selama ini Jakarta merupakan symbol dari pemusatan kekuasaan
yang luar biasa. Terkait dengan otonomi pun sering dikatakan bahwa
kepalanya sudah dilepas, tapi ekornya masih dipegang. Berapa jumlah
perputaran uang yang ada di Jakarta pasca otonomi daerah perlu
ditelusur lagi. Karena kita tahu bahwa kegiatan ekonomi ini pun
merupakan kolaborasi antara penguasa dan pemodal.

Penyimpangan ini sangat dimungkinkan karena Jakarta menjadi


titik berkumpulnya kekuatan politik dan capital. Semua usaha besar kantor
pusatnya di Jakarta, dan pengambilan kebijakan pusat juga berpusat di
Jakarta. Penyimpangan antara penguasa dan pengusaha ini difasilitasi di
Ibukota Negara Jakarta. Maka kemudian terlihat jelas bahwa persoalan
pemindahan Ibukota Jakarta bukan sekedar masalah teknis, bahkan lebih
dominan masalah geopolitik.

Mungkin wacana pemindahan Ibukota ini baik untuk memecah atau


mendobrak penyimpangan dan kolaborasi antara penguasa dan
pengusaha yang sekarang difasilitasi dalam kamar yang disebut “Ibukota
Jakarta”.

Untuk mengatasi hal tersebut salah satu caranya adalah dengan


memisahkan Ibukota yang murni menjadi pusat pemerintahan dan
pengambilan keputusan, dengan Jakarta yang menjadi pusat kegiatan
bisnis dan usaha.

Secara teknis tidak penting, dan kedua duanya mungkin terjadi.


Justru yang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah
selama ini Jakarta menjadi kamar perselingkuhan yang begitu nyaman
antara penguasa dan pengusaha. Jika benar dugaan bahwa Jakarta ini
menjadi kamar perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan
pengusaha, apakah benar jika memindahkan Ibukota adalah upaya
menceraikan perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan
pengusaha? Diskusi dari aspek geopolitik ini akan lebih menjadi main
issue dibanding dengan technical issue sebagai basis argument wacana
pemindahan Ibukota. Setelah diskusi argumentative beserta main hitung
hitungan biaya dan manfaatnya diketahui, baru dapat kita simpulkan :
Lebih baik benahi Jakarta atau Pindah Ibukota?

2.3 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan

Peran sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan bisnis


menjadi beban Jakarta sebagai ibukota negara. Situasi Jakarta saat ini
yang terlalu ramai dan semrawut menyebabkan wacana pemindahan
ibukota negara kembali mencuat ke publik. Wacana pemindahan Ibukota
negara dari Jakarta ke wilayah lainnya bukanlah hal yang baru. Jauh
sebelum Indonesia merdeka pada awal tahun 1920-an, Belanda sudah
merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke kota Bandung.
Beberapa wilayah yang sejak dulu dijadikan alternatif sebagai calon
ibukota negara, seperti Palangkaraya, Jonggol, Purwokerto, Lampung,
Karawang, dan Palembang.

Sejarah mencatat, sejak era Presiden Ir. Soekarno, Indonesia


pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali antara tahun 1945-1950,
karena Belanda berhasil mengambil alih Jakarta. Jatuhnya ibukota
membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusannya dan
menawarkan kota Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui
Presiden Soekarno Tepatnya pada tanggal 4 Januari 1946, ibukota
Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pun pindah ke
Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vedeburg. Namun, saat
terjadinya Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan
para pimpinan Negara juga ditangkap.

Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat


Republik Indonesia dan ibukota kembali dipindahkan untuk
mempertahankan kedaulatan. Dipilihlah kota Bukittinggi. Pemilihan daerah
ini bukan tanpa alasan atau hanya asal-asalan. Kepindahan ibukota ini
karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang pada masa itu memang
disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin
tertangkap. Baru pada tanggal 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke
Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46.
Sekitar tahun 1957, Presiden Soekarno juga pernah berencana
menjadikan Palangkaraya sebagai calon ibukota masa depan Indonesia
dengan memisahkan antara urusan Pengendalian Pemerintahan dan
kenegaraan. Usaha Soekarno saat itu kandas, selain karena faktor
pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu juga sedang
dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games dan ajang olahraga
tandingan Olimpiade, Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Demikian pula, era Presiden HM. Soeharto. Kecamatan Jonggol,


Kabupaten Bogor, Jawa Barat pernah diwacanakan sebagai lokasi
alternatif ibukota. Ratusan hektar lahan di kawasan ini pernah dibebaskan
oleh sejumlah pengembang. Namun entah kenapa rencana itu terhenti,
ribuan hektar tanah yang bakal dibebaskan itu kini menjadi hutan ilalang.
Di era Presiden Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, KH.
Abdurrahman Wahid, dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati
Soekarnoputri, ide itu sama sekali tidak pernah muncul.

Kemudian pada era Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Sejak


2009 lalu, Presiden SBY terbuka dan tidak tabu untuk berdiskusi atas
wacana perpindahan ibukota negara. Bahkan SBY telah mengajukan
tiga skenario perpindahan ibukota yang perlu didiskusikan oleh publik.
Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibukota,
pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Pilihan
atas opsi ini berkonsekuensi pada pembenahan total atas soal macet.
Skenario kedua, membangun ibukota yang benar-benar baru (totally new
capital). Dan skenario ketiga adalah ibukota tetap di Jakarta, tapi
memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Presiden SBY mengajak
semua komponen bangsa untuk membahas secara terbuka, matang, dan
komprehensif atas wacana ini. Karena itu, kebijakan perpindahan ibukota
dan pergeseran pusat pemerintahan harus menjangkau strategi jangka
panjang bangsa.

Berdasarkan hal tersebut diatas, tidaklah salah jika perlu


dirumuskan secara matang, bukan hanya sekadar perbincangan musiman
ketika Jakarta dilanda banjir, namun harus segera diimplementasikan baik
dalam rancangan undang-undang, sehingga anggaran negara yang
sekarang dapat disisihkan sebagian untuk rencana besar tersebut.
BAB III ALTERNATIF
KEBIJAKAN
PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA/PUSAT PEMERINTAHAN

Kemacetan dan banjir yang kian lama kian bertambah parah terjadi di
Ibukota Jakarta menjadikan wacana pemindahan ibukota ke kota lain
menghangat kembali. Meskipun demikian, tak sedikit pula warga yang
berpendapat sebaliknya. Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan
yang ada di Jakarta membuat pro dan kontra pemindahan ibukota menjadi
topik menarik untuk ditelisik. Ada tiga skenario yang bisa dipilih. Pertama,
ibukota tetap di Jakarta tetapi dibenahi secara total. Kedua, ibukota tetap di
Jakarta tetapi pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Ketiga, dibangunnya
ibukota yang sama sekali baru.
3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta
Skenario pertama ini merupakan skenario yang paling realistis, dimana
ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap di Jakarta, namun
dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki
berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi
lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.
Kebijakan ini juga harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan
penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.
Menurut Marco Kusumawijaya, salah seorang pakar yang sering
dimintai komentar soal tata kota ini berpendapat bahwa pemindahan ibukota
dari Jakarta tidak perlu. Masalah-masalah Jakarta dapat diperbaiki dengan
biaya lebih kecil daripada ongkos memindahkan ibukota jika tujuannya
adalah untuk membuat pemerintahan nasional berfungsi lebih baik. Fungsi
yang dimaksud Marco adalah fungsi mengelola kepadatan Jakarta. Jakarta
tidak lebih padat dari Tokyo, namun terbukti ibukota Jepang ini berhasil
mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta. Marco juga
menyebut, Jepang yang merupakan salah satu negara terpadat di dunia
itu

Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan 17


justru juga merupakan negara dengan tutupan hutan paling
besar persentasenya.
Pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan perlu kajian yang
matang dan mendalam karena menyangkut berbagai aspek, bukan sekedar
membangun gedung-gedung semata. Biayanya sangat mahal dan
implikasinya luas. Ibukota yang baru harus memiliki daya dukung yang
mampu menyangga beban sebagai ibukota, bukan hanya daya dukung
terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial,
serta budaya. Selain itu, jangan dilupakan pula potensi konflik antara warga
asli yang akan menjadi minoritas dengan warga pendatang.
Sebagai contoh, pemindahan ibu kota baru Myanmar, Nay Pyi Taw,
yang artinya Kota Raja, yang dilaksanakan pada tahun 2005, menurut
sumber dari media luar negeri, terkesan tergesa-gesa karena infrastruktur
seperti listrik, jalan, dan air bersih di ibukota yang baru belum rampung.
Keadaan sebenarnya kini tidak bisa dipastikan karena kontrol media yang
ketat dari pemerintahnya. Contoh lainnya adalah Brasilia, ibukota negara
Brasil. Tahun 1960, Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan ibukota
dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Dari masa awal saja, pemerintah sudah susah
payah untuk memindahkan fungsi-fungsi pemerintahan. Bahkan, hingga 20
tahun sesudah perpindahan itu, pemerintah masih harus memberi insentif
agar orang-orang mau pindah ke ibukota baru.
Susahnya memindahkan ibukota juga bisa dilihat di Korea
Selatan pertengahan tahun 2010 lalu, dimana timbul kisruh politik akibat
penolakan pemindahan ibukota dari Seoul ke Sejong. Alasan pemindahan
ibukota tersebut juga nyaris sama dengan wacana di sini yaitu soal
kemacetan di ibukota dan usaha pengurangan disparitas antarregional di
negara itu. Mengingat kesiapan dan kemampuan ekonomi Korea Selatan
yang lebih baik dibandingkan negara kita, kondisi yang terjadi di negara
ginseng ini menunjukkan bahwa pemindahan ibukota bukanlah perkara
gampang. Sehingga bisa disimpulkan, skenario memindahkan ibukota
belum tentu
merupakan obat mujarab terhadap permasalahan yang dihadapi ibukota
saat ini.
3.2 Pusat Pemerintahan Dipisahkan dari Ibukota Negara
Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini
ditawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibukota negara. Artinya,
Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibukota negara karena faktor historis,
namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.
Pemindahan ibukota negara ke luar Jakarta membutuhkan kajian dan
butuh proses panjang. Selain cukup rumit dan sulit, Jakarta sudah terlanjur
memiliki berbagai fasilitas infrastruktur yang hampir memadai untuk pusat
kegiatan pemerintahan. Yang paling mungkin dan realistis untuk
dilaksanakan adalah dengan memindahkan sebagian fungsi ibukota, seperti
kasus Belanda yang walaupun ibukotanya tetap di Amsterdam, namun
pemerintahan kerajaan dan sebagian fungsi pemerintahannya ada di Den
Haag. Kasus serupa bisa disaksikan pula di negeri jiran Malaysia yang pusat
pemerintahannya sebagian besar ada di Putrajaya.
Dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari
pusat pemerintahan baru ini. Faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan
pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur
wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung
lainnya perlu dipertimbangkan.
Mungkin kota-kota satelit atau di luar sekitarnya (Jabodetabekjur), atau
Jonggol, sesuai rencana pada zaman orde baru, bisa menjadi pilihan
alternatif sebagai pusat pemerintahan negara kita yang baru, sembari
membenahi sistem transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid
Transportation (MRT), seperti monorel, subway, dan busway yang
terintegrasi dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
(Jabodetabek Punjur).
Selain membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi, dari
dan ke kota satelit perlu dibangun juga infrastruktur jalan penghubung yang
memadai seperti sistem jalan lingkar dan radial. Jaringan penghubung
(lingkar, radial) saat ini sudah disiapkan pemerintah, sehingga akan
memudahkan pemindahan pusat pemerintahan. Adanya jalan
penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang mampu mengurangi
beban ibukota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan
demikian diharapkan kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang
menjadi kawasan hunian yang aman, nyaman dan produktif. Pada akhirnya
tekanan kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara akan jauh berkurang.
3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru di
Luar Jakarta
Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Sebagai
pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan pariwisata,
mengakibatkan tata ruangnya menjadi semrawut serta banyak terjadi
pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif. Pembangunan fisik terus dipacu
tanpa arah yang jelas. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sedemikian
bagus disusun Bang Ali, (1966-1977), dengan mudahnya dapat berubah
sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak situ-situ yang
berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program
proyek kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas kali/sungai yang
membelah kota ini tetap menjadi kubangan sampah. Kemacetan lalu lintas
setiap saat, dan banjir yang setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tata
ruang kurang memperhatikan karakteristik lahan serta kurang
mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
Secara ekologis, sebagian besar wilayah Jakarta telah mengalami
degradasi kualitas lingkungan, dengan indikatornya berupa banjir,
pencemaran udara, pencemaran air, pembuangan limbah cair/padat serta
pencemaran sosial. Banjir yang menggenangi 70% wilayah Jakarta pada
tahun 2007 dan merupakan banjir terbesar yang terjadi di Jakarta
memberikan kerugian yang sangat besar. Hasil pembangunan yang
memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama menjadi rusak, bahkan hilang
dalam waktu singkat. Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir,
sehingga banyak penyakit yang mewabah; ledakan demam berdarah di
Jakarta merupakan bukti bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai.
Momentum banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2007 tersebut
menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan ibukota negara
dan pusat pemerintahan dari Jakarta. Jakarta dianggap tidak mampu
mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu
peran Jakarta sebagai ibukota negara.
Secara kewilayahan Jakarta sudah amat padat penduduk dan sarat
dengan fasilitas, sedang di luar Jakarta, baik di Jawa maupun luar
Jawa masih tersedia wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan.
Skenario ketiga ini merupakan skenario ideal yang bersifat radikal.
Dalam skenario ini, negara membangun ibukota negara yang baru dan
menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan
Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan
strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan
calon ibukota baru. Guna memutuskan pilihan yang ideal, perlu keterlibatan
para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha,
kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan
masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah.
Ada tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu: pertimbangan
politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik. Pertimbangan
politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota.
Pertimbangan ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional,
membangun simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik
keragaman suku bangsa. Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi
pertimbangan penting dalam memindahkan ibukota, khususnya untuk
mengurangi ketimpangan wilayah dalam suatu negara. Diharapkan dengan
pembangunan ibukota baru dapat mengembangkan kawasan baru yang
dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama.
Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan
pemindahan ibukota. Ibukota lama dianggap tidak mampu menyediakan
infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang memadai serta memiliki harga lahan
yang tinggi.
BAB IV
SKENARIO TERPILIH DAN STRATEGI IMPLEMENTASI

Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai


pihak sejak beberapa tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan
gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007 mulai banyak dibahas wacana
pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang melanda Jakarta
pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu
mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu
peran Jakarta sebagai ibukota negara.
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai membicarakan
wacana pemindahan ibukota -negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat
Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di
Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut SBY, beban fungsi
pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.
Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai
aspek dan tidak hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan
pemindahan ibukota negara, tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk
mendistribusikan pembangunan secara merata. (Kompas, 5 Agustus 2010).
Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, ada tiga skenario dalam
pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan Jakarta
sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua
permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi
baru; (3) memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi
baru di luar Jakarta.
Tulisan ini mencoba untuk menetapkan skenario terpilih dengan
menggunakan model penilaian yang dituangkan dalam tabel penilaian
alternatif kebijakan. Dalam model ini, ada empat kriteria penilaian kebijakan,
yaitu:
Technical feasibility: Efektivitas; pencapaian tujuan; apakah skenario
tersebut mencapai hasil (akibat) yang diharapkan; atau mencapai tujuan
dari diadakan tindakan.
Economic and financial feability: Efisiensi (biaya dan hasil); berkenaan
jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas
tertentu yang umumnya diukur dengan biaya.
Political viability: Apakah alternatif kebijakan diterima oleh aktor
kebijakan dan kelompok sasaran; apakah kebijakan sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat; apakah kebijakan akan memenuhi kebutuhan
masyarakat; apakah kebijakan didukung oleh perangkat hukum yang
memadai; apakah efek dan dampak kebijakan sama dan seimbang
antar kelompok masyarakat.
Administrative operability: Dapat diimplementasikan pada konteks
sosial, politik, dan administrasi yang berlaku; apakah tersedia staf yang
cukup; apakah instansi terkait akan mendukung implementasi kebijakan
program; apakah tersedia sarana untuk melaksanakan kebijakan
program; dan apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu.
Penjabaran penilaian kebijakan untuk masing-masing skenario sebagai
berikut:
(1) Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara.
Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang
layak untuk dijadikan ibukota negara dapat tercapai setelah dilakukan
pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan,
urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun
tata ruang wilayah.
Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang lebih kecil
karena tidak memindahkan ibukota. Biaya hanya dibutuhkan untuk
menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta.
Political viability: Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan
yang ada di Jakarta membuat pro dan kontra pemindahan ibukota.
Administrative operability: Jakarta sudah memiliki daya dukung
terhadap roda pemerintahan, dan juga terhadap perekonomian,
sosial, serta budaya.
(2) Memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru.
Technical feasibility: Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang
layak untuk dijadikan ibukota negara dapat tercapai jika sistem
transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid
Transportation (MRT), seperti monorel, subway, dan busway yang
terintegrasi sudah memadai dan jaringan penghubung (lingkar, radial)
sudah disiapkan pemerintah.
Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang cukup
besar untuk membangun pusat pemerintahan baru, seperti kantor
presiden, departemen, dan infrastuktur penunjang yang lainnya.
Selain itu juga harus dibangun pemukiman masyarakat.
Political viability: Tetap ada kelompok yang pro dan kontra, terutama
pada opsi penentuan calon lokasi pusat pemerintahan.
Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu
yang baru.
(3) Memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di
luar Jakarta.
Technical feasibility: Tujuan mendapatkan ibukota negara yang layak
dapat tercapai jika ibukota yang baru memiliki daya dukung yang
mampu menyangga beban sebagai ibukota, selain itu juga harus
mempunyai daya dukung terhadap roda pemerintahan,
perekonomian, sosial, serta budaya.
Economic and financial feability: Biayanya sangat mahal untuk
membuat ibukota negara yang baru dan juga untuk membangun
infrastruktur perkantoran milik pemerintah dan BUMN.
Political viability: Ada kemungkinan terjadi potensi konflik antara
warga asli yang akan menjadi minoritas dengan warga pendatang.
Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu
yang baru.
4.1 Skenario Terpilih
Berdasarkan model penilaian diatas, Penulis memutuskan untuk
memilih skenario yang pertama, yaitu: “Tetap mempertahankan Jakarta
sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan”. Hal ini didukung dari poin
yang diperoleh pada kriteria technical feasibility, economic and financial
feability, serta administrative operability. Artinya, tujuan menjadikan Jakarta
sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara dan pusat
pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan terhadap
semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya
dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan
Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru” di luar
Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang.
Sementara pada konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya
memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap
perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi
kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi
etnis.
4.2 Strategi Implementasi
Harus didukung dengan kebijakan untuk menata, membenahi, dan
memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan,
urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir,
maupun tata ruang wilayah.
Melakukan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah
untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.
Menyiapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yaitu 30 % dari luas
lahan yang dimiliki.
Melestarikan cagar budaya seperti: Monas, Gelora Senayan, dan
Musium yang tidak dapat dipisahkan dari Jakarta sebagai ibukota
negara.
BAB V
PENUTUP

Keputusan untuk memindahkan ibukota adalah suatu keputusan besar


dan memakan biaya yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa negara
misalnya Brasil, menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses
yang sangat panjang.
Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami
sebagai suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk
memindahkan ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta
sebagai ibukota negara.
Pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi
ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur
dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi
faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara.
Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana
pemindahan ibukota negara ini. Studi yang mendalam dan melibatkan
berbagai pihak di pusat maupun di daerah diperlukan untuk menentukan
pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota negara. Setelah
pilihan tersebut ditetapkan, akan diperlukan pula suatu perencanaan yang
komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan sebaik-
baiknya. Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik
terbesar dan terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Skenario yang dipilih Penulis adalah “Tetap mempertahankan Jakarta
sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan”. Dengan alasan, tujuan
menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota negara
dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan
terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi
lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya
hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai
persoalan Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru”
di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang.
Sementara pada konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya
memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap
perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi
kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi
etnis.
Daftar Pustaka

Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional


Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965).
Yogyakarta: LKIS
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara
Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta.
Baiquni, M.2004. Membangun Pusat -pusat di Pinggiran. Ideas. Yogyakarta.
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan
.
Anonim, 2007. Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu Kota?. Jawa Pos, 6 Februari
2007-04-06 Anonim, 2002. Benang Kusut Ibu Kota Jakarta. Sinar Harapan 6
Juni2002.
Anonim, 2002. Banjir Jakarta Sulit Diatasi. Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2002.
Baiquni,M.; Susilowardani. 2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan.
Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global
Wacana. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai