Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Rencana
Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan. Serta teman-teman yang telah bekerja sama dalam
pembuatan tugas ini sehingga dapat terselesaikan dengan waktu yang telah di tetapkan.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Analisis Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah mengenai Analisis Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Demikian kami sampaikan, terimakasih.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang. .........................................................................…………….…….1

1.2 Rumusan Masalah………… ...................................................................................2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................................................2

BAB II ANALISIS SITUASI

2.2 Masalah dan Isu Faktual .........................................................................................3

2.3 Alasan diangkat sebagai isu kebijakan ...................................................................6

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta ....................................8

3.2 Pusat Pemerintahan dipisahkan dari Ibukota Negara.............................................9

3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru diluar jakarta………9

3.4 Skenario Terpilih…………………………………………………………………12

3.5 Steategi Implementasi…………………………………………………………….12

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan…..........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ii


Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1964, ditetapkannyalah Jakarta
sebagai ibukota negara yang di sahkan tanggal 31 Agustus 1964 oleh presiden Soekarno pada saat itu.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga
kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah pun mulai melaksanakan
program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan
pusat-pusat bisnis kota.

Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat
kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Sebagaimana umumnya kota megapolitan, Jakarta memiliki masalah stress, kriminalitas dan kemiskinan.
Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi udara dan banjir sulit dikendalikan.
Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air (Perda Nomor
1 Tahun 2012), namun ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta
pusat bisnis baru. Beberapa wilayah yang diperuntukkan untuk pemukiman, banyak yang beralih fungsi
menjadi tempat komersial.

Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km, dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010)
merupakan metropolitan terbesar di asia tenggara atau terbesar kedua di dunia. Dilihat dari luas wilayah
dan banyaknya penduduk yang bermukim di Jakarta membuat ruang gerak menjadi sempit. Melihat hal
ini seharusnya pemerintah bergerak cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi di Jakarta sebagai ibu
kota negara. Pembangunan yang terus terjadi di Jakarta membuat seolah daerah lain seperti di anak
tirikan. Hal tersebut membuktikan bahwa masih adanya pembangunan yang tidak merata disegala bidang.
Misalnya daerah timur di indonesia, seperti Papua masih terbilang sangat jauh tertinggal meskipun
otonomi daerah sudah diberlakukan sejak tahun 2008 (Perpu No.1 Tahun 2008 mengenai otonomi
khusus). Jakarta sejak jaman penjajahan hingga kemerdekaan terus melakukan pembangunan, akibatnya
penyempitan lahan hijau semakin luas dikarenakan penggunaan lahan yang terus menerus tanpa melihat
peruntukan lahan tersebut. dikarenakan permasalahan tersebut diatas, yang tidak segara dicari
pemecahannya.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang pernah melontarkan ide memindahkan
ibukota negara ke Kalimantan Tengah. Persisnya ke kota Palangkaraya, yang dibelah oleh sungai
Kahayan. Mimpi Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota negara itu dilontarkan pada tahun 1950-
an. Saat itu, putra sang fajar tersebut sudah meramalkan bahwa Jakarta akan tumbuh tak terkendali.

Ada beberapa pertimbangan Soekarno memilih Palangkaraya sebagai ibukota negara. Pertama,
Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia.
Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga, pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep
peninggalan Belanda, dan Soekarno ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan
peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.

1
Kini Jakarta makin semrawut, sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Hampir
tak ada tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota RI yang megah. Hanya sebuah monumen berdiri
menjadi pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.

Pada pemerintahan Presiden RI sekarang, Opsi pemindahan ibukota dari Jakarta sudah dikaji
pemerintah sejak 3 Maret 2010, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi
Daerah, Velix Wanggai, telah menyelenggarakan sebuah Strategic Policy Discussion bertajuk “Mengkaji
Wacana Pemindahan Ibukota Negara: Strategi Membangun Berkeadilan”.

Menurut Velix, Presiden selaku kepala negara melihat perlunya mengkaji wacana pemindahan
Ibukota. Kondisi Jakarta sebagai sebuah ibu kota negara dirasakan semakin tidak nyaman. Beban fungsi
pelayanan dan kelayakan Jakarta dirasakan semakin tidak optimal terutama akibat penyimpangan
penataan ruang dan mempertimbangkan kemacetan lalu lintas, bencana banjir, dan kerawanan gempa.
"Sehingga wacana kebijakan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta relevan dikemukakan.
(VIVAnews,Selasa 3 Agustus 2010).

Agar dapat berlangsung optimal, pemindahan ibukota negara harus merupakan konsensus nasional.
"Political will Presiden ini perlu didukung konsensus nasional yang dikukuhkan melalui keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat, Wacana pemindahan Ibu kota juga dapat dilihat sebagai suatu upaya
mendorong keseimbangan pembangunan wilayah dengan meredistribusi kegiatan pemerintahan, bisnis,
seni, budaya dan industri keluar wilayah Jakarta dan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Ruang lingkup penulisan makalah ini adalah membahas segala kebijakan yang berkaitan dengan wacana
pemindahan ibukota negara/ pusat pemerintahan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui masih layakkah Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan.

2. Mengetahui permasalahan yang muncul berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota negara/pusat
pemerintahan.

3. Mengetahui skenario-skenario apa saja yang muncul berkaitan dengan wacana pemindahan ibukota
negara/pusat pemerintahan serta apa yang harus dilakukan sebagai tindak lanjutnya. .

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

1. Diharapkan hasil dari penulisan ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, khususnya seluruh
pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota
Negara/Pusat Pemerintahan.

2
BAB II

ANALISIS SITUASI

2.1 Masalah dan Isu Faktual

Siapa yang sesungguhnya berada dalam struktur pemerintahan? Isu seperti wacana pemindahan Ibukota
ini seharusnya direspon oleh lembaga perencana, dalam level ini adalah Bappenas (Badan Perencana
Pembangunan Nasional). Bappenas seharusnya merupakan lembaga yang mampu merespon isu-isu
pembangunan yang muncul pada level nasional, termasuk tentang isu pemindahan ibukota. Institusi
Bappenas saat ini tengah mengalami degradasi perannya, terutama setelah kekuatan “main budgeting”nya
diambil alih oleh Menteri Keuangan. Jika pada masa sebelumnya para “local government” memastikan
anggaran yang diterima daerahnya ke Bappenas, sekarang mereka memastikannya di DPR dan
Kementrian Keuangan.

Fungsi budgeting Bappenas ini telah dikurangi. Tidak masalah jika Bappenas tidak punya kekuatan dalam
penentuan alokasi anggaran, akan tetapi tetap peran strategis Bappenas sebagai institusi perencana
pembangunan harus tetap berjalan sebagaimana fungsi lembaga tersebut.

Kementrian Pekerjaan Umum sebenarnya merupakan sekedar lembaga public executing saja, lembaga
yang mengeksekusi terhadap perencanaan kebijakan yang telah dirumuskan. Sementara perencanaannya
seharusnya berada di tangan Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) yang juga
berkewajiban menyiapkan RPJP dan RPJM. Sehingga perencanaan tersebut dapat terintegrasi. Hal
tersebut juga tentunya akan menentukan apakah persoalan pemindahan Ibukota ini akan tertuang dalam
RPJP dan RPJM.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapakah lembaga “strategic national think thank” di
Indonesia yang bertanggungjawab untuk merespon wacana seperti ini. Isu-isu yang meletup dan telah
berjalan dalam kurun waktu yang panjang, namun tidak disikapi secara serius ataupun segera diputuskan
oleh para pengambil kebijakan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat “fragmentasi” dalam perencanaan pembangunan Indonesia,
termasuk diantaranya mandulnya institusi perencana yang tidak pernah menyuarakan ide-idenya,
termasuk dalam isu pemindahan Ibukota. Padahal jika berbicara kewenangan, di Bappenas terdapat
Deputi Regional yang salah satu kewenangannya dalam menangani isu tersebut.

Kedua, isu tersebut dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu dari aspek teknis physical dan dari
aspek non teknis (aspek social, ekonomi dan budaya). Analisis pertama wacana pemindahan Ibukota
dapat dilihat dari aspek tekhnis. Dari aspek tekhnis wacana pemindahan Ibu kota memiliki logika sebagai
berikut :

Dalam mengembangkan atau menata kota, secara teknis dapat menggunakan sebuah konsep dalam studi
lingkungan yang disebut dengan carrying capacity (daya dukung atau daya tampung). Ilustrasinya adalah
sebagai berikut. Suatu area atau wilayah pasti memiliki daya tampung atau daya dukung yang mampu
menampung beban tertentu. Beban yang dimaksudkan disini adalah jumlah manusia beserta segala
aktivitasnya. Oleh karenanya terdapat konsep carrying capacity.

3
Secara garis besar konsep carrying capacity ingin mengatakan bahwa jika kita akan menata kota atau
mengembangkan kota, beban yang kita berikan tidak boleh melebihi daya dukung atau daya tampung.
Kalau kita memberikan beban berlebih, maka kota itu akan mengalami degradasi dan diikuti dengan
berbagai eksesnya, seperti misalnya ekses pencemaran. Hal tersebut dilihat dari aspek capacity. Menata
kota atau mengembangkan kota itu, seperti memastikan antara kapasitas (daya tampung dan daya dukung)
dengan beban kota tersebut.

Jika satu lahan kota dengan kapasitas daya dukungnya besar, akan tetapi hanya diisi dengan beban yang
kecil, maka penggunaannya akan mubadzir dan tidak efisien. Termasuk dalam konteks Pulau Jawa yang
memiliki lahan terbatas, namun bebannya sangat besar.

Jikalau ada lahan besar, namun tidak dimanfaatkan, akan sia-sia dan kemanfaatannya kecil. Akan tetapi
jika pemanfaatannya terlalu besar, maka akan terjadi degradasi lingkungan dengan segala eksesnya. Jadi
menata kota, merencanakan ruang untuk menata kota itu adalah tentang bagaimana menyeimbangkan
antara beban dan daya dukung kota.

Persoalannya adalah daya dukung itu relatif kecil. Daya dukung juga akan tergantung pada kecanggihan
teknologi. Dalam skala kecil ilustrasi daya dukung manusia ini adalah sebagai berikut : Dalam kondisi
tanah yang alami (tanpa rekayasa teknologi) jika struktur tanah, struktur soil dan airnya bagus, maka kita
dapat membangun gedung pencakar langit karena struktur tanah dan daya dukungnya bagus. Akan tetapi
jika kita berada di lahan gambut, maka kita tidak mampu membangun bangunan pencakar langit, karena
struktur tanahnya labil dan sebagainya. Akan tetapi karena manusia memiliki ilmu dan teknologi, maka ia
bisa merekayasa dan memberikan input teknologi supaya lahan alami yang “misalnya gambut” ,
kemudian direkayasa supaya bisa tetap dibangun pencakar langit.

Jadi masalah yang dihadapi ketika kita menghitung daya dukung itu adalah sangat tergantung seberapa
jauh kita bisa memasukkan teknologi. Dan fungsi teknologi ini juga bergantung pada financial. Semakin
canggih teknologinya, semakin mahal biayanya.

Perbincangan tentang kedua aspek ini akan berpengaruh pada isu apakah Jakarta perlu dipindah atau
tidak. Apabila ada orang yang mengatakan “Pindah Jakarta”, yang salah satu alasannya karena banjir,
maka hal tersebut sesungguhnya adalah salah satu contoh atau ilustrasi bahwa beban kota melebihi
kapasitasnya.

Beban disini bisa jadi jumlah penduduknya yang terlalu banyak dan jumlah bangunannya terlalu banyak
pula. Fakta bahwa kemudian Jakarta ini menjadi tidak layak, sebenarnya adalah hal yang wajar. Di masa
lalu, sebagian besar wilayah Jakarta adalah rawa-rawa yang sebenarnya tidak tepat untuk dijadikan
pemukiman. Seperi Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan
bahwa beberapa wilayah Jakarta sebenarnya secara alami tidak tepat dijadikan wilayah pemukiman atau
pusat kota.

Beruntung bahwa dahulu yang pertama kali membangun Batavia adalah orang Belanda yang juga
merupakan ahli di bidang hidrologi. Maka sejak awal arsitek Belanda tersebut dalam membangun Batavia
mengacu pula pada negeri Belanda yang juga tiga perempat lahannya sebelumnya berada di bawah
permukaan air laut.
Pengetahuan dan teknologi tersebut membuat mereka mampu merekayasa Batavia yang awalnya rawa-
rawa itu menjadi satu kota yang besar. Ini adalah salah satu contoh bahwa kapasitas teknologi dapat
diintervensikan pada situasi alam yang sebenarnya, pada awalnya, tidak pas untuk dijadikan wilayah
pemukiman. Hal ini beimplikasi pada tata ruang yang dibangun kemudian. Jika orang-orang mengatakan
bahwa Jakarta itu telah melebihi beban, contohnya saat ini adalah banjir, maksudnya adalah kapasitas
drainase yang ada tidak mampu menampung jumlah air/beban air dengan segala limbah kegiatan manusia 4
yang ada.

Ketika Jakarta macet dan kemudian diproyeksikan bahwa “beberapa tahun lagi, jika semua mobil yang
ada di Jakarta dikeluarkan dari garasinya, mereka sudah tidak bisa bergerak karena tatanan mobil tersebut
telah memenuhi jalan” juga merupakan sebuah contoh bahwa daya tampung jalan raya itu sudah tidak
mampu menampung ataupun menggerakkan jumlah mobil. Karena jika dihitung secara kasar, luas jalan
hampir sama dengan luas mobil jika dijajarkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa beban yang ada telah jauh melebihi daya tampung. Jika situasinya
adalah beban nya melebihi daya tampungnya, ada dua kemungkinan. Jika daya dukungnya tidak dapat
diperbaiki dengan teknologi, maka beban tersebut yang harus dipindah.

Itulah yang menjadi basis argument ide pemindahan Ibukota Jakarta. Asumsinya adalah intervensi
teknologi untuk meningkatkan kapasitas Jakarta dianggap sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga
Ibukotanya harus dipindah sebagai upaya mengurangi beban.

Analoginya adalah pada saat lebaran, Jakarta nyaman karena sepi, dikarenakan sebagian warganya mudik.
Analogi tersebut sama dengan hitungan berapa jumlah orang yang tinggal di Jakarta karena berkaitan
dengan pemerintahan pusat? Apakah jumlahnya signifikan jika jumlah orang yang berkaitan dengan
urusan pemerintah pusat ini dipindah? Ini merupakan salah satu contoh dan ilustrasi bahwa memang bisa,
beban Ibukota dalam bentuk orang ataupun kegiatan ini dipindahkan.

Dan ini merupakan basis argument dari ide dibalik wacana pemindahan Ibukota. Namun ada pula yang
mengatakan, pemindahan Ibukota itu juga mahal. Apakah Jakarta tidak bisa ditingkatkan daya dukungnya
supaya beban yang besar itu tidak perlu dipindah. Toh peristiwa seperti banjir itu pernah terjadi
sebelumnya. Jika alasannya sekedar banjir saja, kanal banjir timur difungsikan, dibuat sudetan, dibuat
terowongan dengan intervensi teknologi, maka banjir dapat diatasi dan ibukota tak perlu dipindahkan.

Tentang sebenarnya persoalan kemacetan dan daya tampung jalan misalnya, jika jumlah kendaraan yang
ada sangat besar dibandingkan luas jalan, maka bisa direkayasa kegiatannya seperti pembatasan
kepemilikan kendaraan atau system pembatasan operasi berbasiskan pada plat kendaraan (ganjil genap).
Apalagi jika kualitas dan kuantitas jalannya ditingkatkan dan revitalisasi penggunaan moda transportasi
public. Pandangan yang menolak “Pemindahan Jakarta” ini berasumsi bahwa intervensi teknologi disertai
dengan pembiayaan ini masih bisa dilakukan untuk meningkatkan daya dukung. Namun sampai sekarang
tidak ada yang menghitung jika opsi pertama adalah “memindahkan Ibukota” dan opsi kedua adalah
“memperbaiki Jakarta” dari kedua opsi tersebut baik yang mana dan berapa masing-masing biaya nya.
Dan argument apakah perlu dipindah atau tidak ini juga akan tergantung dari pendapat dari para ahli yang
mana. Jika kita bertanya pada engineer dari Belanda, tentu jawabannya adalah terdapat banyak teknologi
yang dapat diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta. Jika diberikan kekuasaan dan uang, para teknisi ini
mampu mengatasi persoalan teknis seperti banjir di Jakarta. Dari pandangan tersebut maka Ibukota tak

5
perlu dipindah. Polemik dari sisi fisik terkait dengan pemindahan Ibukota adalah seperti itu. Kedua, dari
sisi geopolitik.

Kajian dari sisi geopolitik ini nampaknya menjadi jauh lebih penting dan krusial dibanding dari sisi
teknik. Selama ini Jakarta merupakan symbol dari pemusatan kekuasaan yang luar biasa. Terkait dengan
otonomi pun sering dikatakan bahwa kepalanya sudah dilepas, tapi ekornya masih dipegang. Berapa
jumlah perputaran uang yang ada di Jakarta pasca otonomi daerah perlu ditelusur lagi. Karena kita tahu
bahwa kegiatan ekonomi ini pun merupakan kolaborasi antara penguasa dan pemodal. Penyimpangan ini
sangat dimungkinkan karena Jakarta menjadi titik berkumpulnya kekuatan politik dan capital. Semua
usaha besar kantor pusatnya di Jakarta, dan pengambilan kebijakan pusat juga berpusat di Jakarta.
Penyimpangan antara penguasa dan pengusaha ini difasilitasi di Ibukota Negara Jakarta. Maka kemudian
terlihat jelas bahwa persoalan pemindahan Ibukota Jakarta bukan sekedar masalah teknis, bahkan lebih
dominan masalah geopolitik. Mungkin wacana pemindahan Ibukota ini baik untuk memecah atau
mendobrak penyimpangan dan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha yang sekarang difasilitasi
dalam kamar yang disebut “Ibukota Jakarta”. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu caranya adalah
dengan memisahkan Ibukota yang murni menjadi pusat pemerintahan dan pengambilan keputusan,
dengan Jakarta yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan usaha. Secara teknis tidak penting, dan kedua
duanya mungkin terjadi. Justru yang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah selama
ini Jakarta menjadi kamar perselingkuhan yang begitu nyaman antara penguasa dan pengusaha. Jika benar
dugaan bahwa Jakarta ini menjadi kamar perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan pengusaha,
apakah benar jika memindahkan Ibukota adalah upaya menceraikan perselingkuhan antara politisi
(penguasa) dengan pengusaha? Diskusi dari aspek geopolitik ini akan lebih menjadi main issue dibanding
dengan technical issue sebagai basis argument wacana pemindahan Ibukota. Setelah diskusi
argumentative beserta main hitung hitungan biaya dan manfaatnya diketahui, baru dapat kita simpulkan :
Lebih baik benahi Jakarta atau Pindah Ibukota?

2.2 Alasan Diangkat Sebagai Isu Kebijakan

Peran sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan bisnis menjadi beban Jakarta sebagai ibukota
negara. Situasi Jakarta saat ini yang terlalu ramai dan semrawut menyebabkan wacana pemindahan
ibukota negara kembali mencuat ke publik. Wacana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke wilayah
lainnya bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka pada awal tahun 1920-an, Belanda
sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke kota Bandung. Beberapa wilayah yang sejak
dulu dijadikan alternatif sebagai calon ibukota negara, seperti Palangkaraya, Jonggol, Purwokerto,
Lampung, Karawang, dan Palembang. Sejarah mencatat, sejak era Presiden Ir. Soekarno, Indonesia
pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali antara tahun 1945-1950, karena Belanda berhasil
mengambil alih Jakarta. Jatuhnya ibukota membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan
utusannya dan menawarkan kota Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden
Soekarno Tepatnya pada tanggal 4 Januari 1946, ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana
Negara pun pindah ke Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vedeburg. Namun, saat terjadinya
Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga ditangkap.
Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan ibukota kembali
dipindahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Dipilihlah kota Bukittinggi. Pemilihan daerah ini bukan
tanpa alasan atau hanya asal-asalan. Kepindahan ibukota ini karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang
pada masa itu memang disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin tertangkap.

6
Baru pada tanggal 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun
1950 dalam pasal 46.

Sekitar tahun 1957, Presiden Soekarno juga pernah berencana menjadikan Palangkaraya sebagai calon
ibukota masa depan Indonesia dengan memisahkan antara urusan Pengendalian Pemerintahan dan
kenegaraan. Usaha Soekarno saat itu kandas, selain karena faktor pengadaan bahan dan medan yang
sangat sulit, saat itu juga sedang dipersiapkan penyelenggaraan Asian Games dan ajang olahraga
tandingan Olimpiade, Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Demikian pula, era Presiden HM.
Soeharto. Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pernah diwacanakan sebagai lokasi
alternatif ibukota. Ratusan hektar lahan di kawasan ini pernah dibebaskan oleh sejumlah pengembang.
Namun entah kenapa rencana itu terhenti, ribuan hektar tanah yang bakal dibebaskan itu kini menjadi
hutan ilalang. Di era Presiden Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, dan
Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, ide itu sama sekali tidak pernah muncul.

Kemudian pada era Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Sejak 2009 lalu, Presiden SBY terbuka dan
tidak tabu untuk berdiskusi atas wacana perpindahan ibukota negara. Bahkan SBY telah mengajukan tiga
skenario perpindahan ibukota yang perlu didiskusikan oleh publik. Skenario pertama adalah
mempertahankan Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan.
Pilihan atas opsi ini berkonsekuensi pada pembenahan total atas soal macet. Skenario kedua,
membangun ibukota yang benar-benar baru (totally new capital). Dan Skenario ketiga adalah ibukota
tetap di Jakarta, tapi memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Presiden SBY mengajak semua
komponen bangsa untuk membahas secara terbuka, matang, dan komprehensif atas wacana ini. Karena
itu, kebijakan perpindahan ibukota dan pergeseran pusat pemerintahan harus menjangkau strategi jangka
panjang bangsa.

Berdasarkan hal tersebut diatas, tidaklah salah jika perlu dirumuskan secara matang, bukan hanya sekadar
perbincangan musiman ketika Jakarta dilanda banjir, namun harus segera diimplementasikan baik dalam
rancangan undang-undang, sehingga anggaran negara yang sekarang dapat disisihkan sebagian untuk
rencana besar tersebut.
BAB III

PEMBAHASAN

Kemacetan dan banjir yang kian lama kian bertambah parah terjadi di Ibukota Jakarta menjadikan wacana 7
pemindahan ibukota ke kota lain menghangat kembali. Meskipun demikian, tak sedikit pula warga yang
berpendapat sebaliknya. Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan yang ada di Jakarta membuat
pro dan kontra pemindahan ibukota menjadi topik menarik untuk ditelisik. Ada tiga skenario yang bisa
dipilih. Pertama, ibukota tetap di Jakarta tetapi dibenahi secara total. Kedua, ibukota tetap di Jakarta tetapi
pusat pemerintahan pindah ke lokasi lain. Ketiga, dibangunnya ibukota yang sama sekali baru.

3.1 Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Tetap di Jakarta

Skenario pertama ini merupakan skenario yang paling realistis, dimana ibukota negara dan pusat
pemerintahan tetap di Jakarta, namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan
memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Kebijakan ini juga harus diikuti dengan
desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.

Menurut Marco Kusumawijaya, salah seorang pakar yang sering dimintai komentar soal tata kota ini
berpendapat bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta tidak perlu. Masalah-masalah Jakarta dapat
diperbaiki dengan biaya lebih kecil daripada ongkos memindahkan ibukota jika tujuannya adalah untuk
membuat pemerintahan nasional berfungsi lebih baik. Fungsi yang dimaksud Marco adalah fungsi
mengelola kepadatan Jakarta. Jakarta tidak lebih padat dari Tokyo, namun terbukti ibukota Jepang ini
berhasil mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta. Marco juga menyebut, Jepang yang
merupakan salah satu negara terpadat di dunia itu justru juga merupakan negara dengan tutupan hutan
paling besar persentasenya.

Pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan perlu kajian yang matang dan mendalam karena
menyangkut berbagai aspek, bukan sekedar membangun gedung-gedung semata. Biayanya sangat mahal
dan implikasinya luas. Ibukota yang baru harus memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban
sebagai ibukota, bukan hanya daya dukung terhadap roda pemerintahan, namun juga terhadap
perekonomian, sosial, serta budaya. Selain itu, jangan dilupakan pula potensi konflik antara warga asli
yang akan menjadi minoritas dengan warga pendatang.

Sebagai contoh, pemindahan ibu kota baru Myanmar, Nay Pyi Taw, yang artinya Kota Raja, yang
dilaksanakan pada tahun 2005, menurut sumber dari media luar negeri, terkesan tergesa-gesa karena
infrastruktur seperti listrik, jalan, dan air bersih di ibukota yang baru belum rampung. Keadaan
sebenarnya kini tidak bisa dipastikan karena kontrol media yang ketat dari pemerintahnya. Contoh
lainnya adalah Brasilia, ibukota negara Brasil. Tahun 1960, Presiden Juscelino Kubitschek, memindahkan
ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Dari masa awal saja, pemerintah sudah susah payah untuk
memindahkan fungsi-fungsi pemerintahan. Bahkan, hingga 20 tahun sesudah perpindahan itu, pemerintah
masih harus memberi insentif agar orang-orang mau pindah ke ibukota baru.
Susahnya memindahkan ibukota juga bisa dilihat di Korea Selatan pertengahan tahun 2010 lalu, dimana
timbul kisruh politik akibat penolakan pemindahan ibukota dari Seoul ke Sejong. Alasan pemindahan
ibukota tersebut juga nyaris sama dengan wacana di sini yaitu soal kemacetan di ibukota dan usaha
pengurangan disparitas antarregional di negara itu. Mengingat kesiapan dan kemampuan ekonomi Korea
Selatan yang lebih baik dibandingkan negara kita, kondisi yang terjadi di negara ginseng ini menunjukkan
bahwa pemindahan ibukota bukanlah perkara gampang. Sehingga bisa disimpulkan, skenario
memindahkan ibukota belum tentu merupakan obat mujarab terhadap permasalahan yang dihadapi
8
ibukota saat ini.

3.2 Pusat Pemerintahan Dipisahkan dari Ibukota Negara

Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini ditawarkan agar pusat pemerintahan
dipisahkan dari ibukota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibukota negara karena
faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.

Pemindahan ibukota negara ke luar Jakarta membutuhkan kajian dan butuh proses panjang. Selain cukup
rumit dan sulit, Jakarta sudah terlanjur memiliki berbagai fasilitas infrastruktur yang hampir memadai
untuk pusat kegiatan pemerintahan. Yang paling mungkin dan realistis untuk dilaksanakan adalah dengan
memindahkan sebagian fungsi ibukota, seperti kasus Belanda yang walaupun ibukotanya tetap di
Amsterdam, namun pemerintahan kerajaan dan sebagian fungsi pemerintahannya ada di Den Haag. Kasus
serupa bisa disaksikan pula di negeri jiran Malaysia yang pusat pemerintahannya sebagian besar ada di
Putrajaya.

Dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini.
Faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan
infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya perlu
dipertimbangkan.

Mungkin kota-kota satelit atau di luar sekitarnya (Jabodetabekjur), atau Jonggol, sesuai rencana pada
zaman orde baru, bisa menjadi pilihan alternatif sebagai pusat pemerintahan negara kita yang baru,
sembari membenahi sistem transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT),
seperti monorel, subway, dan busway yang terintegrasi dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang
sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabek Punjur).

Selain membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi, dari dan ke kota satelit perlu dibangun
juga infrastruktur jalan penghubung yang memadai seperti sistem jalan lingkar dan radial. Jaringan
penghubung (lingkar, radial) saat ini sudah disiapkan pemerintah, sehingga akan memudahkan
pemindahan pusat pemerintahan. Adanya jalan penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang
mampu mengurangi beban ibukota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan demikian
diharapkan kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang menjadi kawasan hunian yang aman, nyaman
dan produktif. Pada akhirnya tekanan kepada Jakarta sebagai Ibukota Negara akan jauh berkurang.

3.3 Membangun Ibukota Negara dan Pusat Pemerintahan Baru di Luar Jakarta

Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Sebagai pusat pemerintahan, perdagangan,
perindustrian, dan pariwisata, mengakibatkan tata ruangnya menjadi semrawut serta banyak terjadi

9
pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas.
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sedemikian bagus disusun Bang Ali, (1966-1977), dengan
mudahnya dapat berubah sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak situ-situ yang
berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program proyek kali bersih (prokasih)
macet total. Tiga belas kali/sungai yang membelah kota ini tetap menjadi kubangan sampah. Kemacetan
lalu lintas setiap saat, dan banjir yang setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tata ruang kurang
memperhatikan karakteristik lahan serta kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat.

Secara ekologis, sebagian besar wilayah Jakarta telah mengalami degradasi kualitas lingkungan, dengan
indikatornya berupa banjir, pencemaran udara, pencemaran air, pembuangan limbah cair/padat serta
pencemaran sosial. Banjir yang menggenangi 70% wilayah Jakarta pada tahun 2007 dan merupakan
banjir terbesar yang terjadi di Jakarta memberikan kerugian yang sangat besar. Hasil pembangunan yang
memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama menjadi rusak, bahkan hilang dalam waktu singkat.
Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir, sehingga banyak penyakit yang mewabah; ledakan
demam berdarah di Jakarta merupakan bukti bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai. Momentum
banjir besar yang melanda Jakarta tahun 2007 tersebut menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk
memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan dari Jakarta. Jakarta dianggap tidak mampu
mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota
negara.

Secara kewilayahan Jakarta sudah amat padat penduduk dan sarat dengan fasilitas, sedang di luar Jakarta,
baik di Jawa maupun luar Jawa masih tersedia wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan.
Skenario ketiga ini merupakan skenario ideal yang bersifat radikal. Dalam skenario ini, negara
membangun ibukota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta,
sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi
perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru. Guna memutuskan
pilihan yang ideal, perlu keterlibatan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia
usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi
penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah.

Ada tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu: pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi
dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan
ibukota. Pertimbangan ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional, membangun simbol
kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa. Pertimbangan sosio-
ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam memindahkan ibukota, khususnya untuk mengurangi
ketimpangan wilayah dalam suatu negara. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat
mengembangkan kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama.

Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan ibukota. Ibukota lama
dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang memadai serta memiliki
harga lahan yang tinggi.

Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak beberapa tahun lalu.
Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007 mulai banyak dibahas
wacana pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari

10
2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang
akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara.

Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, ada tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :
(1) tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua
permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru; (3) memindahkan
ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.

Tulisan ini mencoba untuk menetapkan skenario terpilih dengan menggunakan model penilaian yang
dituangkan dalam tabel penilaian alternatif kebijakan. Dalam model ini, ada empat kriteria penilaian
kebijakan, yaitu:

 Technical feasibility: Efektivitas; pencapaian tujuan; apakah skenario tersebut mencapai hasil
(akibat) yang diharapkan; atau mencapai tujuan dari diadakan tindakan.

 Economic and financial feability : Efisiensi (biaya dan hasil); berkenaan jumlah usaha yang
diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu yang umumnya diukur dengan biaya.

 Political viability: Apakah alternatif kebijakan diterima oleh aktor kebijakan dan kelompok
sasaran; apakah kebijakan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat; apakah kebijakan akan
memenuhi kebutuhan masyarakat; apakah kebijakan didukung oleh perangkat hukum yang
memadai; apakah efek dan dampak kebijakan sama dan seimbang antar kelompok masyarakat.

 Administrative operability: Dapat diimplementasikan pada konteks sosial, politik, dan


administrasi yang berlaku; apakah tersedia staf yang cukup; apakah instansi terkait akan
mendukung implementasi kebijakan program; apakah tersedia sarana untuk melaksanakan
kebijakan program; dan apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu.

Penjabaran penilaian kebijakan untuk masing-masing skenario sebagai berikut:

1. Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara.

 Technical feasibility : Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota
negara dapat tercapai setelah dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti
kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang
wilayah.

 Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang lebih kecil karena tidak
memindahkan ibukota. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki
berbagai persoalan Jakarta.

 Political viability: Berbagai permasalahan maupun segala kelebihan yang ada di Jakarta membuat
pro dan kontra pemindahan ibukota.

 Administrative operability: Jakarta sudah memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan, dan
juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya.

2. Memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru.


 Technical feasibility : Tujuan membuat Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan ibukota
negara dapat tercapai jika sistem transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid
Transportation (MRT), seperti monorel, subway, dan busway yang terintegrasi sudah memadai
dan jaringan penghubung (lingkar, radial) sudah disiapkan pemerintah.

 Economic and financial feability: Membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membangun pusat
pemerintahan baru, seperti kantor presiden, departemen, dan infrastuktur penunjang yang lainnya. 11
Selain itu juga harus dibangun pemukiman masyarakat.

 Political viability: Tetap ada kelompok yang pro dan kontra, terutama pada opsi penentuan calon
lokasi pusat pemerintahan.

 Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

3. Memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Jakarta.

 Technical feasibility: Tujuan mendapatkan ibukota negara yang layak dapat tercapai jika ibukota
yang baru memiliki daya dukung yang mampu menyangga beban sebagai ibukota, selain itu juga
harus mempunyai daya dukung terhadap roda pemerintahan, perekonomian, sosial, serta budaya.

 Economic and financial feability: Biayanya sangat mahal untuk membuat ibukota negara yang
baru dan juga untuk membangun infrastruktur perkantoran milik pemerintah dan BUMN.

 Political viability: Ada kemungkinan terjadi potensi konflik antara warga asli yang akan menjadi
minoritas dengan warga pendatang.

Administrative operability: Belum diketahui karena memulai sesuatu yang baru.

3.4 Skenario Terpilih

Berdasarkan model penilaian diatas, Penulis memutuskan untuk

memilih skenario yang pertama, yaitu: “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat
pemerintahan”. Hal ini didukung dari poin yang diperoleh pada kriteria technical feasibility, economic
and financial feability,serta administrative operability. Artinya, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota
yang layak untuk dijadikan ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan
pembenahan terhadap semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan,
kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata,
membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula
ekonomi baru” di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang. Sementara
pada konteks administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung terhadap roda
pemerintahan, namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi
kemungkinannya sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi etnis.

3.5 Strategi Implementasi


 Harus didukung dengan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai
persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban,
banjir, maupun tata ruang wilayah.

 Melakukan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan
antar daerah.

 Menyiapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yaitu 30 % dari luas lahan yang dimiliki.
12
 Melestarikan cagar budaya seperti: Monas, Gelora Senayan, dan Musium yang tidak dapat
dipisahkan dari Jakarta sebagai ibukota negara.
BAB VI

PENUTUP

4.1 Kesimpulan 13
Keputusan untuk memindahkan ibukota adalah suatu keputusan besar dan memakan biaya yang sangat
mahal. Pengalaman dari beberapa negara misalnya Brasil, menunjukkan bahwa pemindahan ibukota
memakan proses yang sangat panjang.

Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses penting sebelum
menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta
sebagai ibukota negara.

Pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu
padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-
ekonomi juga menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara.

Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana pemindahan ibukota negara ini. Studi yang
mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah diperlukan untuk menentukan
pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan, akan
diperlukan pula suatu perencanaan yang komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan
sebaik-baiknya. Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik terbesar dan
terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Skenario yang dipilih Penulis adalah “Tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat
pemerintahan”. Dengan alasan, tujuan menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk dijadikan
ibukota negara dan pusat pemerintahan tetap dapat tercapai asalkan dilakukan pembenahan terhadap
semua permasalahan, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir,
maupun tata ruang wilayah. Biaya hanya dibutuhkan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki
berbagai persoalan Jakarta, dan mungkin untuk membangun “gula-gula ekonomi baru”

di luar Jakarta sehingga tekanan terhadap ibukota negara menjadi berkurang. Sementara pada konteks
administrasi yang berlaku, Jakarta bukan hanya memiliki daya dukung terhadap roda pemerintahan,
namun juga terhadap perekonomian, sosial, serta budaya. Potensi konflik yang terjadi kemungkinannya
sangat kecil karena warga Jakarta adalah warga yang multi etnis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta : Balai Pustaka
2. Slamet Muljana. 2005. Menuju puncak14 Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
3. Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
4. Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta.
Baiquni, M 2004. Membangun pusat-pusat di pinggiran. Ideas. Yogyakarta.
Jayadinata,Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan dan Perkantoran &
wilayah. Penerbit ITB. Bandung.
5. Anonim,2007. Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibukota?. Jawa Pos,6 Februari 2007-04-06 Anonim,
2002. Benang Kusut Ibu Kota Jakarta. Sinar Harapan 6 juni2002.
6. Villinds Olivia. 2013. Analisis Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara/Pusat Pemerintahan.
7. Anonim, 2002. Banjir Jakarta Sulit Diatasi. Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2002.
Baiquni,M.; Susilowardani. 2002. Pembangunan yang Tidak Bekelanjutan.
Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai