Anda di halaman 1dari 10

PEMINDAHAN IBUKOTA DARI ASPEK EKOLOGI GEOGRAFI

Mata Kuliah : Ekologi Geografi


Dosen pengampu : Drs. Buchori Asyik, M.Si.

Disusun Oleh:
Syafri Khumairoh (1713034026)

PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
PEMINDAHAN IBUKOTA DARI ASPEK EKOLOGI GEOGRAFI

Pemindahan ibu kota negara atas dasar pertimbangan masa depan


Indonesia, karena diprediksi pada 2030, Indonesia akan menjadi kekuatan
ekonomi keempat di dunia. Pemindahan ibu kota ini bukan hal baru bagi
Indonesia. Setidaknya, sudah tiga kali ibu kota Indonesia dipindah. Pertama, ibu
kota negara dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 dan
selanjutnya dari Yogyakarta, ibu kota dipindah ke Bukittinggi pada 19 Desember
1948, namun tidak berlangsung lama karena ibu kota kembali dipindahkan ke
Bireun, Aceh, di tahun yang sama. Artinya, pada 1948 Indonesia sempat
mengalami memiliki tiga ibu kota, yaitu Yogyakarta, Bukittinggi di Sumatra
Barat, dan Bireun di Aceh.

Alasan perpindahan ibu kota pada saat itu adalah faktor keamanan, tak
lain karena kondisi Indonesia yang ketika itu berusaha lepas sepenuhnya dari
penjajah.Pada era Presiden Soekarno, Palangkaraya diusulkan sebagai ibu kota
baru pada tahun 1950-an. Kala itu Palangkaraya dianggap cocok dijadikan pusat
pemerintahan karena masih banyak lahan kosong. Bahkan Soekarno sempat
melakukan pemancangan tiang pertama di Palangkaraya pada 17 Juli 1957. Pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, Jonggol di Bogor, Jawa Barat, sempat
diwacanakan menjadi ibu kota menggantikan Jakarta. Lokasinya yang cukup
dekat dengan Jakarta, hanya sekitar 40 kilometer ke arah tenggara, menjadikan
pemindahan pusat pemerintahan dianggap tidak terlalu sulit dan paling realistis.
Bahkan pada tahun 1997, Soeharto sudah mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) untuk membuat wilayah Jonggol menjadi sebuah kota yang mandiri.
Namun sebelum rampung, terjadi perubahan nasional yang memaksa Soeharto
mengundurkan diri.
Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Agustus 2019 mengumumkan
pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai
langkah awal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah
melakukan sejumlah kajian terkait tahapan pemindahan IKN. Bappenas
mempertimbangkan sejumlah faktor antara lain dampak ekonomi, kesiapan
wilayah, dan kemungkinan pengembangan kawasan industri. Pemerintah
mengemukakan alasan utama dari pemindahan IKN keluar Pulau Jawa adalah
pemerataan ekonomi. Aktivitas pemerintahan dan bisnis yang berpusat di Pulau
Jawa khususnya DKI Jakarta, telah menghambat pertumbuhan pusat-pusat
perekonomian baru di luar Pulau Jawa. Kepala Bappenas, Bambang
Brodjonegoro, menambahkan bahwa kesenjangan daerah secara agregat telah
menghambat angka pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dengan rencana
pemindahan IKN, pemerintah berharap dapat mengakselerasi pemerataan
ekonomi sekaligus mengurangi kesenjangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau
Jawa.

Beberapa negara sudah melakukan pemindahan IKN di antaranya Brazil


yang memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia dan Australia yang
memindahkan ibu kotanya dari Sydney ke Canberra (Kompas, 27 Agustus 2019).
Alasan utama dari pemindahan IKN di dua negara tersebut adalah membagi beban
kota sebagai pusat bisnis dan pusat pemerintahan sekaligus mengurangi kepadatan
penduduk (Koran Tempo, 15 Agustus 2019). Contoh kasus pemindahan IKN di
Brazil menunjukkan tidak terdapat kerugian ekonomi yang terjadi di Rio de
Janeiro sekaligus tercapainya peningkatan pertumbuhan ekonomi di Brasilia
(Bappenas, 26 Juni 2019).

Di sisi lain ada beberapa risiko dari pemindahan IKN keluar Pulau Jawa.
Risiko terutama terkait dengan kesiapan daerah tujuan dalam aspek infrastruktur
yang dibutuhkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Dari aspek
pembiayaan, walaupun pemerintah sudah menyatakan hanya 19,2% dari total
kebutuhan anggaran Rp446 triliun ditanggung oleh APBN, namun terdapat risiko
penambahan beban anggaran negara apabila terjadi kegagalan pembangunan yang
dilakukan oleh pihak swasta. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas dampak
ekonomi dan antisipasi risiko dalam proses pemindahan IKN.

Ketimpangan ekonomi merupakan dampak dari tingginya disparitas


pembangunan antarwilayah. Ketimpangan ekonomi dalam suatu negara bila tidak
segera disikapi dengan kebijakan yang tepat akan berdampak kepada
permasalahan multidimensi. Urgensi mengatasi ketimpangan semakin penting bila
dikaitkan dengan kecenderungan bahwa sebuah wilayah yang sudah lebih maju
akan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan wilayah yang
masih tertinggal. Oleh karena itu, pemerintah, baik di negara yang menganut
sistem perekonomian pasar maupun terpusat akan mengarahkan pembangunan
untuk mengurangi disparitas antar wilayah (Nurzaman, 2012). Dengan semakin
kecilnya disparitas antar wilayah, maka potensi percepatan pertumbuhan ekonomi
secara nasional akan semakin tinggi.

Ketimpangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terjadi pada banyak
aspek. Dari aspek populasi, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 56,56%
dari total penduduk Indonesia. Di sisi lain jumlah penduduk yang menempati
wilayah selain Pulau Jawa berada di bawah angka 10% (kecuali penduduk
Sumatera sebesar 21,78%). Besarnya populasi menyebabkan daya dukung Pulau
Jawa semakin menurun, terutama dalam hal penyediaan lahan dan air bersih.
Khusus untuk DKI Jakarta, kemacetan dan kurangnya akses transportasi publik
menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp56 triliun per tahun (Bappenas, 26
Juni 2019). Dari aspek ekonomi, sebesar 58,49% kontribusi Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) nasional disumbang oleh Pulau Jawa, di mana wilayah
DKI Jakarta dan sekitarnya menyumbang sebesar 20,85%. Ironisnya, wilayah lain
hanya mampu berkontribusi kurang dari separuh kontribusi PDRB dari Pulau
Jawa. Kontribusi ini juga berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi di
mana Pulau Jawa mencatat angka 5,61% pada tahun 2017; lebih tinggi
dibandingkan mayoritas wilayah lain di Indonesia (Bappenas, 26 Juni 2019).

Besarnya PDRB di Pulau Jawa tidak terlepas dari keberadaan industri dan
bisnis yang sudah lama terbangun. Menurut data Badan Pusat Statistik pada
triwulan-I 2019 secara nasional Pulau Jawa menyumbang PDRB sebesar 59,03%.
(BPS,2019). Khusus untuk DKI Jakarta, pembangunan infrastruktur transportasi
seperti jalan tol, Mass Rapid Transit, dan Light Rapid Transit berperan besar
dalam mendorong laju pertumbuhan PDRB (Kompas, 5 Mei 2019). Keberadaan
industri dan infrastruktur tersebut akan membawa dampak langsung terhadap
percepatan peningkatan pendapatan masyarakat.

Konsep pertumbuhan menekankan bahwa pusat perekonomian tidak akan


muncul secara alami. Pusat pertumbuhan ekonomi baru tidak akan muncul tanpa
dorongan inovasi dan teknologi oleh perusahaan/industri yang beraglomerasi di
suatu wilayah. Skema hinterland memungkinkan sebuah wilayah yang sudah
stabil dapat memberikan dampak ekonomi kepada wilayah yang berlokasi di
sekitarnya (Fleisher, et. al, 2010). Teori inilah yang menjelaskan perkembangan
ekonomi di wilayah penyangga DKI Jakarta dan Pulau Jawa secara umum
semakin cepat dibandingkan wilayah lain. Dengan demikian pemerintah harus
mengintervensi percepatan pertumbuhan yang terlalu berpusat di DKI Jakarta dan
Pulau Jawa dengan cara pemindahan IKN dan membentuk wilayah pertumbuhan
ekonomi baru

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan keputusan pemerintah untuk


memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur, di daerah yang akan
mencakup sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai
Kartanegara. Setidaknya ada lima alasan mengapa Pemerintah menetapkan Ibu
Kota di Provinsi Kalimatan Timur yaitu :

1. Risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami,


kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor. 

2. Lokasinya yang strategis, berada di tengah-tengah Indonesia. 


3. Berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu
Balikpapan dan Samarinda. 
4. Telah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap.
5. Telah tersedia tanah yang dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare.
Sementara untuk pembiayaan Ibu Kota baru tersebut dibebankan pada 3 sumber
yaitu didanai swasta sebesar 26,2%, didanai atas kerjsama pemerintah dengan
badan usaha sebesar 54,6% dan yang terakhir dibiayai oleh APBN sebesar 19,2%.
Sehingga hal itu dipandang tidak memberatkan APBN. Untuk menyambut Ibu
Kota baru setidaknya ada 3 hal yang akan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN,
yaitu :

1. Mempersiapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Baru. 


2. Melakukan penetapan lokasi tanah-tanah yang akan dilakukan proses
pengadaan tanahnya untuk keperluan konektifitas. 
3. Melakukan proses Land Freezing, sehingga tidak terjadi spekulasi tanah.

Meski konsep yang ditawarkan nampak rapi dari aspek perencanaan,


namun semua tak lepas dari kontroversi terutama persetujuan rakyat negara ini
sendiri sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Beberapa hal yang memicu
perdebatan diantaranya Betapa banyak nanti lahan baru yang akan dibuka untuk
menunjang berdirinya  ibukota. Berapa banyak lahan hutan yang akan
dikorbankan untuk membangun tol, bandara, stasiun, terminal, pusat belanja ,
dsb.  Apa tidak sebaiknya menyebar kantor-kantor strategis disekitar wilayah
jakarta. Bahkan rencana peleburan daerah Bekasi-Jakarta patut dipertimbangkan
sebagai salah satu solusi dalam permasalahan ini. Dan yang terkait dengan
lingkungan adalah ancaman hilangnya ribuan hektare hutan di kalimantan yang
dikenal sebagai paru-paru dunia.

Pemindahan ibukota tentunya akan memancing trend lain yang


mengikutinya yaitu urbanisasi/mobilisasi penduduk. Permasalahannya tak sekedar
menambah pemukiman tapi penghidupan untuk mereka yang salah satu
pilihannya adalah memanfaatkan kekayaan hutan. Pembiayaan yang diserahkan
kepada swasta juga sebuah ancaman dibidang ekonomi, juga ancaman teritorial
karena pastinya pihak swasta/asing memiliki akses ke beberapa tempat yang
seharusnya menjadi rahasia negara.  Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan
Timur jika tanpa menjadikan perlindungan lingkungan sebagai pertimbangan
utama, dikhawatirkan hanya akan menciptakan berbagai masalah-masalah
lingkungan di ibu kota baru nanti, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini. Kita bisa
lihat fakta bahwa polusi udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi,
juga bersumber dari banyaknya PLTU batu bara yang ada di sekeliling Jakarta.
Jika nanti sumber energi ibu kota baru masih mengandalkan batu bara seperti saat
ini di Jakarta, maka jangan harap ibu kota baru akan bebas dari polusi udara.
Apalagi jika pemerintah tetap membangun PLTU-PLTU batu bara mulut
tambang, seperti yang direncanakan saat ini di beberapa lokasi di Kalimantan
Timur.

Rencana pembangunan PLTU-PLTU batu bara mulut tambang ini harus


dihentikan, karena bertentangan dengan konsep smart, green city untuk ibu kota
baru tersebut, di mana sumber energi kota seharusnya dari energi terbarukan.
Keberadaan tambang-tambang batu bara tersebut tidak hanya akan menghasilkan
polusi udara, tapi juga berbagai bencana lingkungan lain seperti banjir dan
kekeringan, seperti yang sudah terjadi di Samarinda, salah satu kota terdekat
dengan wilayah ibukota baru ini.

Ancaman krisis iklim yang berkombinasi dengan salah urus lingkungan


Jakarta, juga jangan hanya menjadi alasan pemindahan ibu kota. Namun harus
menjadi catatan kritis dan pertimbangan utama bagi strategi pembangunan
Indonesia ke depan. Saat ini laju penurunan permukaan tanah di Jakarta antara 1-
15 cm per tahun, yang berkombinasi dengan kenaikan tinggi muka air laut yang
sudah mencapai 8,5 cm, akan menyebabkan sebagian besar Jakarta Utara
tenggelam pada tahun 2050. Pemindahan ibu kota ini hanya akan memindahkan
atau bahkan menciptakan masalah-masalah lingkungan baru, bila tidak
mempertimbangkan krisis iklim yang sudah berlangsung sekarang. Diperlukan
komitmen yang sangat kuat dari pemerintah untuk menjamin tidak ada konversi
lahan berlebihan dan deforestasi tambahan, juga penerapan konsep compact
city yang bertumpu pada transportasi publik massal berbasis listrik, pemanfaatan
energi terbarukan sebagai sumber energi utama, dan pengelolaan sampah
menuju zero waste city. Hanya dengan hal-hal tersebut ibu kota baru ini tidak
memperburuk krisis lingkungan dan krisis iklim yang sudah terjadi sekarang.
Data Greenpeace menunjukkan bahwa lokasi ibu kota baru ini pun tidak
bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun
2015 ada sebanyak 3487 titik api di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun ini
sudah ada 105 titik api, dengan musim kebakaran hutan yang belum menunjukkan
tanda berhenti. Analisis Greenpeace menunjukkan total area ‘burnscar’ yang
terkena dampak kebakaran hutan seluas 35.785 hektar antara 2015-2018.
Pengembangan ibu kota baru harus dipastikan tidak menggunakan kawasan
lindung atau cagar alam, karena pasti akan menyebabkan deforestasi tambahan
dan ancaman terhadap hewan langka Kalimantan seperti Orangutan. Masalah
lingkungan sekali lagi harus digarisbawahi sebagai pertimbangan mendasar dalam
proses relokasi ibu kota. Sangat disayangkan bahwa proses ini dilakukan secara
tergesa-gesa dan tidak melalui proses konsultasi publik yang memadai. Dalam
negara demokrasi, diskusi terbuka untuk mendengarkan aspirasi publik, termasuk
dengan masyarakat adat setempat, harus menjadi bagian integral dalam
pengambilan keputusan publik sepenting ini.

Ancaman aIih fungsi lahan pun tidak dapat dielakkan. Tahura Bukit
Soeharto berdasarkan sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan
SK.577/Menhut-II/2009 memiliki luas 67.766 hektare. Memperhatikan kajian
Bappenas pembangunan ibukota baru memerlukan 3.000-4.000 hektare lahan.
Merujuk data citra satelit, diketahui ada praktik 44 izin tambang yang dilakukan
secara terbuka. Rencana pemindahan ibu kota ke lokasi tersebut tentunya akan
semakin memperparah kondisi Tahura Bukit Soeharto, sehingga pilihan
pemindahan ibu kota ke lokasi tersebut bukan opsi yang tepat. Fungsi konservasi
Tahura yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan
potensi kawasan serta sebagai wilayah koleksi tumbuhan dan satwa untuk
kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi nanti akan berganti menjadi tembok megah. Bisa dibayangkan
seberapa banyak keanekaragaman hayati yang hilang apabila Ibu kota benar
dipindahkan ke lokasi ini. Flora dan fauna akan kehilangan rumahnya, pelaku
bisnis akan akan mengubahnya menjadi perumahan mewah, Mall dan pusat
hiburan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan konservasi.
Selain itu, dengan memperhatikan laju deforestasi di Kalimantan Timur
dan Kabupaten Kutai Kartanegara, alih fungsi Tahura berpotensi meningkatkan
ancaman bencana ekologis bagi lokasi sekitar ibu kota baru nantinya. “Negara
sering merelasikan meningkatnya jumlah bencana ekologis dengan praktik
perusakan hutan, perambahan dan lainnya, alih fungsi tahura untuk pemindahan
Ibukota jangan sampai melahirkan citra yang menyamakan Pemerintah dengan
perambah, perbedaannya hanya satu, negara melakukannya secara legal dengan
perubahan-perubahan kebijakan.

Pemindahan IKN berangkat dari kenyataan bahwa ibu kota saat ini sudah
menanggung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis.
Pemindahan IKN memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional dengan tingkat inflasi yang tetap rendah. Selain itu pertumbuhan wilayah
industri dengan rantai nilai hingga hilir akan meningkatkan pendapatan
masyarakat yang pada gilirannya akan menurunkan ketimpangan ekonomi antara
Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pemindahan IKN juga memiliki risiko terutama
bersumber dari kebutuhan pembiayaan. Skema pembiayaan untuk pembangunan
‘kota baru’ beserta infastrukturnya memiliki risiko jangka panjang apalagi sebagai
pusat pemerintahan. Pemerintah selayaknya memperhatikan aspek perencanaan
dan tata ruang wilayah sehingga penggunaan lahan dapat efektif dan
meminimalisir kemungkinan inflasi dari kenaikan harga lahan yang tidak
terkendali. DPR RI secara berkelanjutan harus memantau perkembangan
pembangunan IKN baru melalui mekanisme pengawasan yang melibatkan Komisi
V (infrastruktur), Komisi XI (keuangan), dan komisi terkait lainnya. Selain itu
pemerintah juga harus memperhatikan aspek lingkungan dalam kaitannya
pemindahan ibukota yang baru. Jangan sampai pemindahan ibukota baru justru
hanya membuat kerusakan lngkungan yang baru. Karena lingkungan merupakan
aspek penting dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

https://dea.uii.ac.id/user/lihat_publikasi/pemindahan-ibukota-dan-ancaman-
kerusakan-ekosistem-kalimantan
http://walhikaltim.or.id/artikel_detail/persoalan-lingkungan-hidup-dibalik-
pemindahan-ibu-kota

Anda mungkin juga menyukai