Disusun Oleh:
Syafri Khumairoh (1713034026)
PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
PEMINDAHAN IBUKOTA DARI ASPEK EKOLOGI GEOGRAFI
Alasan perpindahan ibu kota pada saat itu adalah faktor keamanan, tak
lain karena kondisi Indonesia yang ketika itu berusaha lepas sepenuhnya dari
penjajah.Pada era Presiden Soekarno, Palangkaraya diusulkan sebagai ibu kota
baru pada tahun 1950-an. Kala itu Palangkaraya dianggap cocok dijadikan pusat
pemerintahan karena masih banyak lahan kosong. Bahkan Soekarno sempat
melakukan pemancangan tiang pertama di Palangkaraya pada 17 Juli 1957. Pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, Jonggol di Bogor, Jawa Barat, sempat
diwacanakan menjadi ibu kota menggantikan Jakarta. Lokasinya yang cukup
dekat dengan Jakarta, hanya sekitar 40 kilometer ke arah tenggara, menjadikan
pemindahan pusat pemerintahan dianggap tidak terlalu sulit dan paling realistis.
Bahkan pada tahun 1997, Soeharto sudah mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) untuk membuat wilayah Jonggol menjadi sebuah kota yang mandiri.
Namun sebelum rampung, terjadi perubahan nasional yang memaksa Soeharto
mengundurkan diri.
Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Agustus 2019 mengumumkan
pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai
langkah awal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah
melakukan sejumlah kajian terkait tahapan pemindahan IKN. Bappenas
mempertimbangkan sejumlah faktor antara lain dampak ekonomi, kesiapan
wilayah, dan kemungkinan pengembangan kawasan industri. Pemerintah
mengemukakan alasan utama dari pemindahan IKN keluar Pulau Jawa adalah
pemerataan ekonomi. Aktivitas pemerintahan dan bisnis yang berpusat di Pulau
Jawa khususnya DKI Jakarta, telah menghambat pertumbuhan pusat-pusat
perekonomian baru di luar Pulau Jawa. Kepala Bappenas, Bambang
Brodjonegoro, menambahkan bahwa kesenjangan daerah secara agregat telah
menghambat angka pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dengan rencana
pemindahan IKN, pemerintah berharap dapat mengakselerasi pemerataan
ekonomi sekaligus mengurangi kesenjangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau
Jawa.
Di sisi lain ada beberapa risiko dari pemindahan IKN keluar Pulau Jawa.
Risiko terutama terkait dengan kesiapan daerah tujuan dalam aspek infrastruktur
yang dibutuhkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Dari aspek
pembiayaan, walaupun pemerintah sudah menyatakan hanya 19,2% dari total
kebutuhan anggaran Rp446 triliun ditanggung oleh APBN, namun terdapat risiko
penambahan beban anggaran negara apabila terjadi kegagalan pembangunan yang
dilakukan oleh pihak swasta. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas dampak
ekonomi dan antisipasi risiko dalam proses pemindahan IKN.
Ketimpangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terjadi pada banyak
aspek. Dari aspek populasi, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 56,56%
dari total penduduk Indonesia. Di sisi lain jumlah penduduk yang menempati
wilayah selain Pulau Jawa berada di bawah angka 10% (kecuali penduduk
Sumatera sebesar 21,78%). Besarnya populasi menyebabkan daya dukung Pulau
Jawa semakin menurun, terutama dalam hal penyediaan lahan dan air bersih.
Khusus untuk DKI Jakarta, kemacetan dan kurangnya akses transportasi publik
menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp56 triliun per tahun (Bappenas, 26
Juni 2019). Dari aspek ekonomi, sebesar 58,49% kontribusi Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) nasional disumbang oleh Pulau Jawa, di mana wilayah
DKI Jakarta dan sekitarnya menyumbang sebesar 20,85%. Ironisnya, wilayah lain
hanya mampu berkontribusi kurang dari separuh kontribusi PDRB dari Pulau
Jawa. Kontribusi ini juga berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi di
mana Pulau Jawa mencatat angka 5,61% pada tahun 2017; lebih tinggi
dibandingkan mayoritas wilayah lain di Indonesia (Bappenas, 26 Juni 2019).
Besarnya PDRB di Pulau Jawa tidak terlepas dari keberadaan industri dan
bisnis yang sudah lama terbangun. Menurut data Badan Pusat Statistik pada
triwulan-I 2019 secara nasional Pulau Jawa menyumbang PDRB sebesar 59,03%.
(BPS,2019). Khusus untuk DKI Jakarta, pembangunan infrastruktur transportasi
seperti jalan tol, Mass Rapid Transit, dan Light Rapid Transit berperan besar
dalam mendorong laju pertumbuhan PDRB (Kompas, 5 Mei 2019). Keberadaan
industri dan infrastruktur tersebut akan membawa dampak langsung terhadap
percepatan peningkatan pendapatan masyarakat.
Ancaman aIih fungsi lahan pun tidak dapat dielakkan. Tahura Bukit
Soeharto berdasarkan sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan
SK.577/Menhut-II/2009 memiliki luas 67.766 hektare. Memperhatikan kajian
Bappenas pembangunan ibukota baru memerlukan 3.000-4.000 hektare lahan.
Merujuk data citra satelit, diketahui ada praktik 44 izin tambang yang dilakukan
secara terbuka. Rencana pemindahan ibu kota ke lokasi tersebut tentunya akan
semakin memperparah kondisi Tahura Bukit Soeharto, sehingga pilihan
pemindahan ibu kota ke lokasi tersebut bukan opsi yang tepat. Fungsi konservasi
Tahura yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan
potensi kawasan serta sebagai wilayah koleksi tumbuhan dan satwa untuk
kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi nanti akan berganti menjadi tembok megah. Bisa dibayangkan
seberapa banyak keanekaragaman hayati yang hilang apabila Ibu kota benar
dipindahkan ke lokasi ini. Flora dan fauna akan kehilangan rumahnya, pelaku
bisnis akan akan mengubahnya menjadi perumahan mewah, Mall dan pusat
hiburan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan konservasi.
Selain itu, dengan memperhatikan laju deforestasi di Kalimantan Timur
dan Kabupaten Kutai Kartanegara, alih fungsi Tahura berpotensi meningkatkan
ancaman bencana ekologis bagi lokasi sekitar ibu kota baru nantinya. “Negara
sering merelasikan meningkatnya jumlah bencana ekologis dengan praktik
perusakan hutan, perambahan dan lainnya, alih fungsi tahura untuk pemindahan
Ibukota jangan sampai melahirkan citra yang menyamakan Pemerintah dengan
perambah, perbedaannya hanya satu, negara melakukannya secara legal dengan
perubahan-perubahan kebijakan.
Pemindahan IKN berangkat dari kenyataan bahwa ibu kota saat ini sudah
menanggung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis.
Pemindahan IKN memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional dengan tingkat inflasi yang tetap rendah. Selain itu pertumbuhan wilayah
industri dengan rantai nilai hingga hilir akan meningkatkan pendapatan
masyarakat yang pada gilirannya akan menurunkan ketimpangan ekonomi antara
Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pemindahan IKN juga memiliki risiko terutama
bersumber dari kebutuhan pembiayaan. Skema pembiayaan untuk pembangunan
‘kota baru’ beserta infastrukturnya memiliki risiko jangka panjang apalagi sebagai
pusat pemerintahan. Pemerintah selayaknya memperhatikan aspek perencanaan
dan tata ruang wilayah sehingga penggunaan lahan dapat efektif dan
meminimalisir kemungkinan inflasi dari kenaikan harga lahan yang tidak
terkendali. DPR RI secara berkelanjutan harus memantau perkembangan
pembangunan IKN baru melalui mekanisme pengawasan yang melibatkan Komisi
V (infrastruktur), Komisi XI (keuangan), dan komisi terkait lainnya. Selain itu
pemerintah juga harus memperhatikan aspek lingkungan dalam kaitannya
pemindahan ibukota yang baru. Jangan sampai pemindahan ibukota baru justru
hanya membuat kerusakan lngkungan yang baru. Karena lingkungan merupakan
aspek penting dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
https://dea.uii.ac.id/user/lihat_publikasi/pemindahan-ibukota-dan-ancaman-
kerusakan-ekosistem-kalimantan
http://walhikaltim.or.id/artikel_detail/persoalan-lingkungan-hidup-dibalik-
pemindahan-ibu-kota