Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Teknik Formulasi Kebijakan Publik berdasarkan Tahapan dan Proses Kebijakan Publik
untuk Menyelesaikan Masalah Rendahnya Kualitas Pembangunan Manusia
di Provinsi DKI Jakarta

untuk memenuhi Tugas UAS Praktik Formulasi Kebijakan Mata Kuliah Kebijakan Publik
Dosen Pengampu: Drs. Florianus Aser, AP ,S.Sos

RIZQY NAUFAL FAUZANDIKA


28.0502
KELAS H

Fakultas Politik Pemerintahan


Institu Pemerintahan Dalam Negeri
Jatinangor, 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT, berkat limpahan rahmat,
kemudahan, dan karunia-Nya, sehingga Makalah Teknik Formulasi Kebijakan Publik
berdasarkan Tahapan dan Proses Kebijakan Publik untuk Menyelesaikan Masalah Rendahnya
Kualitas Pembangunan Manusia di Provinsi DKI Jakarta ini dapat penyusun selesaikan sebagai
bahan untuk sumber belajar di dalam kelas.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata perkuliahan
Kebijakan Publik. Dalam makalah ini berisi tentang formulasi kebijakan, tahap-tahap formulasi
kebijakan, masalah yang dihadapi serta mengenai Indeks Pemabangunan Manusia dan
perbandingan IPM Provinsi DKI Jakarta dengan Provinsi lain.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.
Maka dari itu, penyusun minta kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk ke arah
yang lebih baik lagi ke depannya.
Akhirnya, penyusun menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan makalah ini mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu.

Jatinangor, Juli 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengertian Formulasi Kebijakan ............................................................. 4
2.2 Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan ........................................................................... 4
2.3 Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi Kebijakan ...................................... 8
2.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Indeks (HDI)............... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 15

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan pemerintah kepada masyarakat pada hakekatnya identik dengan berbagai bentuk
kebijakan yang dikeluarkan oleh tiap Departemen atau Dinas di Daerah. Manifestasi dari
berbagai bentuk kebijkan diatas itulah yang selanjutnya akan dirasakan secara langsung
ataupun tidak langsung oleh masyarakat.
Satu kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam kenyataanya tidak
banyak menerima penolakan, dan sebaliknya, manakala formulasi kebijakan yang
dirumuskan tidak merepresentasikan kebutuhan (rakyat banyak) serta kurang merespon
‘pasar', jelas mendapat respon negatif dari rakyat selaku pihak yang harus menerima
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Oleh sebab itulah sebagai perumus kebijakan kelak, kita harus mengetahui tahapan
dalam pembuatan suatu kebijakan atau bisa disebut formulasi kebijakan. Selain itu juga
dalam membuat suatu kebijakan terutama dalam pembuatan keputusan yang berhubungan
dengan pembangunan para pembuat kebijakan harus memperhatikan Indeks
Pembangunan Manusia di daerah agar kebijakan yang dibuat dapat tepat sasaran
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu kebijakan publik?
2. Apa itu formulasi kebijakan publik?
3. Bagaimana tahapan pembuatan kebijakan publik?
4. Apa itu Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
5. Apa permasalahan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi DKI
Jakarta?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mengenai kebijakan publik?
2. Untuk mengetahui mengenai formulasi kebijakan publik?
3. Untuk mengetahui tahapan pembuatan kebijakan publik?
4. Untuk mengetahui mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
5. Untuk mengetahui permasalahan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Provinsi DKI Jakarta?

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Formulasi Kebijakan


Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah “Pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung,
termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor
pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).
Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah karena
merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta
sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik
dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik
adalah pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program
publik (Kencana, 1999:106).
Formulasi kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam proses kebijakan publik
secara keseluruhan.Oleh karenannya apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan
berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat pada masa yang akan datang.
Menurut Anderson (Dalam Winarno, 2007 : 93) formulasi kebijakan menyangkut
upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-
masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap
yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan
apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan
atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada
ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2). Tjokroamidjojo
(Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan
kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan
secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk
pembuatan keputusan.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi
sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap
ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

2.2 Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan


Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat
dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara
umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk
memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan
yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya
diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu
keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk
menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan
dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan

5
kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah,
perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian
kebijakan.
1. Perumusan masalah kebijakan
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat
menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah
publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara
subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang
sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh
karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak hanya
cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu segera
diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk memperjuangkannya
dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat
kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi
problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan
mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus
dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang
akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap
problem tersebut. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas
masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari
masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses
perumusan kebijakan.
2. Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya,
maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang
seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif,
sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih
kongkrit dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,
yakni :
a. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group
equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan
menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi
ketidakseimbangan tersebut.
b. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam
penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong
atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk
memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan
problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
c. Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian
besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk
memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut,
dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.

6
d. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga
menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam
agenda pemerintah.
e. Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul dalam masyarakat,
sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai
sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin
menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para
pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
3. Perumusan Usulan Kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian
tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
a. Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah.
Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai
alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem
yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara
kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga
masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian
identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan
mempermudah proses perumusan alternatif.
b. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing
alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas
pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka
akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan
aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif,
sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan
kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang
dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat
memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk
dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai
alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi
yang relevan.
d. Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang
memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah
dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan
penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih
secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah
diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif.
Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan
subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif
kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan
didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan
memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.
4. Pengesahan Kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses
penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui

7
dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards).
Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial
seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan
persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai
“Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai
kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”.
Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau
lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-
tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat
merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak
terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah
perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya
saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan
dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.

Struktur Kebijakan (Policy Structure)

Pengertian dari masing-masing rantai pencapaian kinerja/indikator kinerja


kebijakan pembangunan adalah sebagai berikut :
1. Dampak/Impact : Pernyataan perubahan pada masyarakat seperti apa yang ingin
dituju sebagai akibat dari hasil pembangunan yang tercapai. Biasanya bersifat
Jangka Menengah/Jangka Panjang.
2. Hasil/Outcome : Pernyataan manfaat yang ingin dicapai, atau hasil tangible
bagi masyarakat/target group. Merupakan cara untuk menentukan dan
mengendalikan tercapainya suskes/tidaknya suatu Fokus Prioritas/Program.
Outcomes dapat juga merupakan perubahan yang terjasi pada target group-yang
merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas (sebagai dampaknya).

8
3. Keluaran/Output: Apa saja yang harus dihasilkan/dilakukan untuk mencapai
Outcome Antara/Outcome Akhir.
4. Masukan/Input : Sumber daya yang diperlukan sehingga kegiatan yang perlu
dilakukan untuk menghasilkan Output bisa berjalan.

2.3 Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi Kebijakan


Menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses formulasi kebijakan adalah :
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan
dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap
proses formulasi kebijakan.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber
dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti,
meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah
sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan
berperan besar sekali.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh,
bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh
pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat
sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung
jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.

2.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Indeks (HDI)


Salah satu tantangan pembangunan nasional yang masih mengemuka adalah masih
tingginya kesenjangan (disparitas) pembangunan, yang antara lain berupa kesenjangan
sosial-ekonomi dan kesenjangan antarwilayah. Berbagai definisi dan pengertian telah
dikemukakan oleh sejumlah lembaga maupun peneliti global. Berdasarkan definisi OECD
(2003), kesenjangan wilayah (regional disparities) menggambarkan perbedaan intensitas
yang dimanifestasikan melalui fenomena ekonomi yang diamati pada sejumlah wilayah

9
dalam satu negara. ILO (2002) menyebutkan bahwa kesenjangan wilayah adalah perbedaan
performa ekonomi dan kesejahteraan antarwilayah. Peneliti lain (Gajdos, 2006)
menyebutkan bahwa kesenjangan wilayah adalah perbedaan atau ketidaksamaan
karakteristik, fenomena atau kondisi lokasi dan terjadi minimal di antara dua entitas dari
struktur wilayah. Ketimpangan harus dinilai dari berbagai aspek seperti sosial, kondisi
lokasi, politik dan administrasi, kelembagaan, lingkungan, infrastruktur umum, dan lain-
lain.
Kesenjangan wilayah di Indonesia dipandang relatif masih cukup tinggi, khususnya
kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Selama 30 tahun (1986-2016) kontribusi Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) KBI sangat dominan dan tidak pernah kurang dari 80 persen terhadap PDB.
Kesenjangan antarwilayah juga dapat dilihat dari masih terdapatnya 122 kabupaten yang
merupakan daerah tertinggal. Di samping itu juga terdapat kesenjangan antara wilayah desa
dan kota. Kesenjangan pembangunan antara desa-kota maupun antara kota-kota perlu
ditangani secara serius untuk mencegah terjadinya urbanisasi, yang pada gilirannya akan
memberikan beban dan masalah sosial di wilayah perkotaan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah
pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup
untuk semua negara di seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah
sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga
untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki tiga dimensi yang digunakan sebagai
dasar perhitungannya:
1. Umur panjang dan hidup sehat yang diukur dengan angka harapan hidup saat
kelahiran
2. Pengetahuan yang dihitung dari angka harapan sekolah dan angka rata-rata lama
sekolah
3. Standar hidup layak yang dihitung dari Produk Domestik Bruto/PDB
(keseimbangan kemampuan berbelanja) per kapita
Menurut Badan Pusat Statisitik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki
beberapa manfaat:
1. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya
membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk)
2. IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara
3. Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja
Pemerintah, IPM juga digunakan sebagai salah satu alokator penentuan Dana
Alokasi Umum (DAU)
IPM merupakan indikator yang mengukur secara relatife sejumlah capaian perbaikan
kualitas hidup seperti akses dan kualitas pendidikan, kesehatan, sanitasi, kecukupan gizi,
dan akses kepada pelayanan publik. Indikator kesejahteraan dan kualitas hidup (well being)
menjadi ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau kawasan. Metode
pengukurannya dapat menggunakan analisa komparasi antar-negara atau juga merupakan
capaian dari suatu standar yang diakui secara universal.
Pada saat yang bersamaan, masyarakat sebagai subyek pembangunan hanya akan
memahami keberhasilan suatu pembangunan ekonomi ketika terjadi perbaikan kualitas
hidup individu, keluarga dan komunitasnya. Oleh karenanya, indikator ekonomi yang

10
bersifat makro-moneter perlu dilengkapi dengan indikator yang berkarakter mikro-humanis.
Hal ini untuk menghindari kesemuan (illusory) capaian pembangunan ekonomi yang hanya
terfokus pada agregat makro dan kurang memperhatikan relevansinya pada perbaikan
kualitas hidup masyarakat.
Indikator kesejahteraan ekonomi lebih mengedepankan kualitas dibandingkan hanya
agregat makro saja. Misalnya saja, target produksi beras perlu dilengkapi dengan target
peningkatan kesejahteraan petani. Begitu juga target produksi dan ekspor CPO perlu
dilengkapi dengan target peningkatan kesejahteraan buruh perkebunan. Target produksi
pangan nasional perlu diimbangi dengan peningkatan gizi nasional.
Target produksi dokter nasional perlu diimbangi dengan pengurangan disparitas jumlah
dokter di pedesaan dan perkotaan. Begitu juga target-target pembangunan ekonomi lainnya
perlu dikaitkan dengan perbaikan kualitas hidup baik secara langsung ataupun tidak
langsung.
Di era desentralisasi, tanggungjawab capaian IPM tidak hanya menjadi tugas bagi
pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah justru memiliki peran strategis karena melihat dan
merasakan tantangan secara langsung. Kualitas hidup akan lebih terangkat apabila para
kepala daerah memiliki visi dan kepemimpinan untuk mengentaskan sejumlah persoalan
seperti kemiskinan, gizi buruk, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, penciptaan
lapangan kerja di daerah dan tingginya angka putus sekolah.
Di sisi lain, pemerintah pusat juga perlu memberikan support memperbesar
pengalokasian dana alokasi khusus (DAK) untuk membantu daerah yang memiliki
keterbatasan pendapatan asli daerah (PAD) untuk program peningkatan kesejahteraan di
masing-masing daerah. Sehingga tercipta sinerji antara pusat-daerah untuk menjadikan
pembangunan ekonomi sebagai upaya memberdayakan masyarakat Indonesia untuk
menciptakan kualitas hidup menjadi lebih baik.
Jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusianya yang masih tertinggal, UNDP
mencatat bahwa IPM Indonesia 2015 sebesar 0,689 dan berada di tingkat 113 dari 188
negara di dunia. IPM ini meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Namun, di
saat yang bersamaan, UNDP melihat ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak
belakang dengan peningkatan IPM tersebut:
1. Tingkat kemiskinan dan kelaparan karena ada sekitar 140 juta orang Indonesia
yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20.000,00 per hari dan 19,4 juta orang
menderita gizi buruk
2. Tingkat kesehatan dan kematian karena sebanyak dua juta anak di bawah usia
satu tahun belum menerima imunisasi lengkap dan angka kematian ibu sebanyak
305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup
3. Akses layanan dasar karena UNDP melihat bahwa hampit lima juta anak tidak
bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang
tinggi
Selain hal-hal di atas, kesenjangan antarkelamin pun masih menjadi salah satu
permasalahan besar. Penasihat Teknis Bidang Demokrasi Pemerintahan dan Satuan
Penanggulangan Kemiskinan UNDP Indonesia, Juliaty Ansye Sopacua mengatakan bahwa
dalam perihal kensejangan kelamin, Indonesia harus belajar dengan Tiongkok dan Filipina.
IPM tahun 2015 untuk laki-laki Indonesia 0,712, sedangkan perempuan 0,660. Dalam hal
ini, di Tiongkok IPM bagi kaum pria 0,753 dan perempuan 0,718. Sementara Filipina,
kelompok laki-laki memiliki IPM 0,681 dan perempuan 0,682.[4] Kesenjangan ini pun

11
diperparah oleh status IPM masing-masing kelamin di mana IPM laki-laki yang lebih dari
sama dengan 0,700 meletakkan pria Indonesia di status IPM tinggi, sedangkan IPM
wanitanya yang besarnya di bawah 0,700 meletakkan IPM wanita Indonesia di status
sedang.
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Jakarta tahun 2010-2015

Data ini dihimpun dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta pada tahun 2017. Diagram
diatas menggambarkan tingkat perkembangan Indeks Pembangunan Manusia antar kota di
Provinsi DKI Jakarta

Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Jakarta dengan pulau


lainnya di Indonesia

12
Skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DKI Jakarta tahun 2018 mencapai 80,47
dan merupakan IPM tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia. Skor IPM DKI Jakarta
tumbuh 0,41 poin atau 0,51 persen dibandingkan dengan IPM tahun 2017. Namun,
persentase pertumbuhan tersebut masih lebih rendah dibandingkan tahun 2017 yang
pertumbuhannya mencapai 0,58%. Lebih lanjut, angka pertumbuhan IPM DKI Jakarta tahun
ini berada di bawah rata-rata pertumbuhan IPM sejak 2010 yang mencapai 0,67% per tahun.
Meski memiliki skor IPM tertinggi, angka pertumbuhan IPM DKI Jakarta tahun ini pun
lebih rendah dengan pertumbuhan IPM Nasional yang mencapai 0,82% dan juga berada di
peringkat terbawah dalam skor pertumbuhan IPM antarprovinsi.
Untuk diketahui, penghitungan IPM dibentuk oleh empat komponen yang terdiri dari
Umur Harapan Hidup (UHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-rata Lama Sekolah
(RLS), dan Pengeluaran per kapita per tahun. UHH adalah rata-rata umur yang dapat dicapai
oleh bayi yang baru lahir, HLS adalah rata-rata lama sekolah formal yang diharapkan akan
dirasakan penduduk sejak umur tertentu, sedangkan RLS adalah rata-rata lama penduduk
usia 25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal.
UHH DKI Jakarta meningkat sebesar 0,17% dari 72,55 tahun pada 2017 menjadi 72,67
tahun. Selanjutnya, angka HLS dan RLS masing-masing juga meningkat dengan persentase
masing-masing sebesar 0,7% dan 0,27%. Angka HLS meningkat dari 12,86 tahun pada 2017
menjadi 12,95 tahun pada 2018, sedangkan angka RLS meningkat dari 11,02 tahun menjadi
11,05 tahun pada 2018. Angka pengeluaran per kapita per tahun pun juga meningkat 2,38%
dari Rp17,71 juta pada 2017 menjadi Rp18,13 juta.
Dari seluruh komponen yang ada, Kepala BPS DKI Jakarta Thoman Pardosi menyoroti
berkurangnya penurunan pertumbuhan HLS dan RLS dibandingkan dengan tahun 2017.
Pertumbuhan HLS dan RLS pada 2017 masing-masing mencapai 1,02% dan 1,29%.
"Meskipun dua komponen lainnya mengalami peningkatan pertumbuhan, namun dengan
formula penghitungan indeks secara geometrik maka hal ini tidak mampu mendongkrak
pertumbuhan IPM secara komposit," ujar Thoman, Senin (6/5/2019).
Merujuk pada data Kemendikbud, penurunan angka putus sekolah di DKI Jakarta juga
masih dibawah penurunan angka putus sekolah nasional dengan angka masing-masing
mencapai 5,94% dan 14,54%. Untuk angka putus sekolah di level SMK, angka putus
sekolah di DKI Jakarta justru meningkat 25,28% dan jauh di atas angka putus sekolah SMK
secara nasional yang juga tumbuh di angka 0,88%.

13
Berikut adalah Indeks Pembangunan Manusia menurut Provinsi dari BPS dari tahun 2014-2018
[Metode Baru] Indeks Pembangunan Manusia menurut Provinsi
2018 2017 2016 2015 2014
ACEH 71.19.00 70.60 70 69.45.00 68.81
SUMATERA UTARA 71.18.00 70.57.00 70 69.51.00 68.87
SUMATERA BARAT 71.73 71.24.00 70.73 69.98 69.36.00
RIAU 72.44.00 71.79 71.20.00 70.84 70.33.00
JAMBI 70.65 69.99 69.62 68.89 68.24.00
SUMATERA SELATAN 69.39.00 68.86 68.24.00 67.46.00 66.75
BENGKULU 70.64 69.95 69.33.00 68.59.00 68.06.00
LAMPUNG 69.02.00 68.25.00 67.65 66.95 66.42.00
KEP. BANGKA BELITUNG 70.67 69.99 69.55.00 69.05.00 68.27.00
KEP. RIAU 74.84 74.45.00 73.99 73.75 73.40.00
DKI JAKARTA 80.47.00 80.06.00 79.60 78.99 78.39.00
JAWA BARAT 71.30.00 70.69 70.05.00 69.50.00 68.80
JAWA TENGAH 71.12.00 70.52.00 69.98 69.49.00 68.78
DI YOGYAKARTA 79.53.00 78.89 78.38.00 77.59.00 76.81
JAWA TIMUR 70.77 70.27.00 69.74 68.95 68.14.00
BANTEN 71.95 71.42.00 70.96 70.27.00 69.89
BALI 74.77 74.30.00 73.65 73.27.00 72.48.00
NUSA TENGGARA
67.30.00 66.58.00 65.81 65.19.00 64.31.00
BARAT
NUSA TENGGARA
64.39.00 63.73 63.13.00 62.67 62.26.00
TIMUR
KALIMANTAN BARAT 66.98 66.26.00 65.88 65.59.00 64.89
KALIMANTAN TENGAH 70.42.00 69.79 69.13.00 68.53.00 67.77
KALIMANTAN SELATAN 70.17.00 69.65 69.05.00 68.38.00 67.63
KALIMANTAN TIMUR 75.83 75.12.00 74.59.00 74.17.00 73.82
KALIMANTAN UTARA 70.56.00 69.84 69.20.00 68.76 68.64
SULAWESI UTARA 72.20.00 71.66 71.05.00 70.39.00 69.96
SULAWESI TENGAH 68.88 68.11.00 67.47.00 66.76 66.43.00
SULAWESI SELATAN 70.90 70.34.00 69.76 69.15.00 68.49.00
SULAWESI TENGGARA 70.61 69.86 69.31.00 68.75 68.07.00
GORONTALO 67.71 67.01.00 66.29.00 65.86 65.17.00
SULAWESI BARAT 65.10.00 64.30.00 63.60 62.96 62.24.00
MALUKU 68.87 68.19.00 67.60 67.05.00 66.74

14
MALUKU UTARA 67.76 67.20.00 66.63 65.91 65.18.00
PAPUA BARAT 63.74 62.99 62.21.00 61.73 61.28.00
PAPUA 60.06.00 59.09.00 58.05.00 57.25.00 56.75
INDONESIA 71.39.00 70.81 70.18.00 69.55.00 68.90

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebijakan Publik (Public Policy) adalah “Pola ketergantungan yang kompleks
dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan
untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.”
Formulasi kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam proses kebijakan
publik secara keseluruhan.Oleh karenannya apa yang terjadi pada fase ini akan
sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat pada masa yang
akan datang.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI)
adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan
standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional, Indeks Pemabangunan
Manusia (IPM) Provinsi DKI Jakarta memiliki nilai yang paling besar akan tetapi
nilai pertumbuhannya hanya sebesar 0,41 poin atau 0,51 persen yang mana berada
dibawah nilai pertumbuhan nasional sebesar 0,82 persen.
Sepanjang 2018 UHH DKI Jakarta meningkat sebesar 0,17% dari 72,55 tahun
pada 2017 menjadi 72,67 tahun. Selanjutnya, angka HLS dan RLS masing-masing
juga meningkat dengan persentase masing-masing sebesar 0,7% dan 0,27%. Angka
HLS meningkat dari 12,86 tahun pada 2017 menjadi 12,95 tahun pada 2018,
sedangkan angka RLS meningkat dari 11,02 tahun menjadi 11,05 tahun pada 2018.
Angka pengeluaran per kapita per tahun pun juga meningkat 2,38% dari Rp17,71
juta pada 2017 menjadi Rp18,13 juta.
Merujuk pada data Kemendikbud, penurunan angka putus sekolah di DKI
Jakarta juga masih dibawah penurunan angka putus sekolah nasional dengan angka
masing-masing mencapai 5,94% dan 14,54%. Untuk angka putus sekolah di level
SMK, angka putus sekolah di DKI Jakarta justru meningkat 25,28% dan jauh di atas
angka putus sekolah SMK secara nasional yang juga tumbuh di angka 0,88%.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adriyanto, Mohamad. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan di Indonesia.Dalam


http://1ptk.blogspot.com/2012/01/kebijakan-publik-bidang pendidikan-di.html).
Amnur, Muhdi Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka
Fahim.
Ariya, Ilham. Karakter Kebijakan Pendidikan Nasional. Dalam
http://ariyailham09.wordpress.com/2010/02/22/karakter-kebijakan-pendidikan-
nasional/
Bakry, Aminuddin. 2010. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik(Dalam Jurnal
MEDTEK, Volume 2, Nomor 1, April 2010).Dalam
http://www.medtek%2FJurnal_Medtek_Vol.2_No.1_April_2010%2FAminuddin%25
20Bakry.pdf
Chan, Sam M dkk.2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.
Faiz, Pan Mohamad. Menanti “Political Will” Pemerintah Di Sektor Pendidikan.Dalam
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/political-will-pendidikan-
indonesia.html
Halim, Abdul Rahman. Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Pada Madrasah
Swasta di Sulawesi Selatan. Dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 11 No. 1 Juni
2008 : 83-100.
Imron, Ali. 2010. Kebijakansanaan Pendidikan di Indonesia, Proses, Produk dan Masa
Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Mahfudz, Asep dkk.Analisis Kebijakan dan Kelayakan Mutu Tenaga Pendidik dalam
Rangka Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di Provinsi Sulawesi
Tengah.Dalam Jurnal Media Litbang Sulteng 2 (2) : 75-85, Desember 2009.
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

16

Anda mungkin juga menyukai