Anda di halaman 1dari 13

Sistem Pengawasan Dana Otonomi Khusus Aceh

Di susun oleh :
SITI ARBIANTI
(200802021)

Dosen pengampu : Taufik Abdullah, M.A.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Otonomi Khsusu Aceh ini dengan
sebaik mungkin. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup
para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW, tidak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Taufik Abdullah, M.A selaku dosen pada mata
kuliah Desentralisasi dan Otonomi Khusus Aceh. Dalam penulisan makalah ini, kami
menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan
materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha
maksimal kami selaku para penulis makalah ini. Semoga dengan makalah ini para pembaca
dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari
para pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.
Abstrak

Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) menjadi sumber korupsi terbesar yang mengantarkan
para kepala daerah di Aceh ke dalam penjara. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
sistem pengawasan DOKA dan dampaknya terhadap pemberantasan korupsi. Penelitian ini
tergolong ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Temuan utama
dalam penelitian menunjukkan bahwa DOKA tidak diawasi secara serius. Hal ini dapat
dilihat dengan belum adanya sistem pengawasan khusus dan tidak digunakannya sistem
pengawasan yang berlaku secara umum terhadap DOKA. Selain itu belum ada juga lembaga
khusus yang memantau proses perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan DOKA. Sistem
pengawasan semacam itu tidak berdampak bagi pemberantasan korupsi. Perlu perbaikan
serius dan evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan dan penyaluran DOKA demi
terwujudnya kesejahteraan sosial di Aceh.

Kata Kunci: Sistem Pengawasan Korupsi Aceh


PENDAHULUAN

Penelitian ini berusaha mengurai sistem pengawasan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA)
dan dampaknya terhadap pemberantasan korupsi di provinsi Aceh. Data yang dirilis KPK
menyebutkan bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi terkorup di Indonesia (Rahardjo,
2020). Penelitian KPK meletakkan keterlibatan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi
menjadi salah satu indikatornya. Di samping Aceh, KPK juga menempatkan 5 (lima) provinsi
lainnya sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Kelima provinsi itu adalah Sumatera Utara,
Riau, Banten, Papua dan Papua Barat. Parahnya, KPK memasukkan 3 (tiga) provinsi
penerima Dana Otonomi Khusus sebagai daerah terkorup.
Bagi Aceh, Dana Otonomi Khusus pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan
desentralisasi asimetris yang baru dikenal pasca disahkannya UU 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah Aceh, di tahun yang sama Papua juga mendapat status Otonomi Khusus lewat UU 21
Tahun 2001 (Suharyo, 2018). Penting digarisbawahi bahwa Dana Otonomi Khusus hanya
diberikan kepada beberapa provinsi yang didasarkan pada status kekhususan daerah tersebut.
Pasca tsunami Aceh tahun 2004, penambahan dan perbaikan terhadap keistimewaan dan
kekhususan Aceh diwujudkan melalui pengesahan UU 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh dan upaya pengimplementasiannya. Hanya saja, butir-butir kesepakatan itu terkadang
menjadi nihil pada praktiknya. Dana Otonomi Khusus yang ditujukan untuk mendorong laju
perekonomian demi terwujudnya masyarakat Aceh yang sejahtera, justru dikorupsi oleh elit
politik lokal. Salah satu cara melihat gagal atau berhasilnya realisasi Dana Otonomi Khusus
yang dilekatkan kepada Aceh sejak tahun 2001 adalah dengan kacamata kesejahteraan.
Pemanfaatan DOKA ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, disamping juga ditujukan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan (Kementerian Keuangan,
n.d.). Dalam berbagai kesempatan, praktik korupsi terhadap DOKA ini berkisar pada
pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, berhubung dua bagian
pembiayaan ini memiliki nominal anggaran yang begitu besar. Pengawasan merupakan fungsi
yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan anggaran yang modern, termasuk dalam
pengelolaan DOKA. Fungsi pengawasan diperlukan untuk membantu manajemen bahkan
setiap aktivitas penggunaan anggaran untuk mencapai tujuannya. Berbagai penelitian dalam
pengawasan menunjukkan bahwa prinsipal (pemberi amanah) menghendaki adanya jasa
pengawasan dalam rangka mengurangi perrmasalahan yang sering disebut sebagai konflik
keagenan (Umar, 2012). Berkaitan pengawasan ini, Haryono Umar menyimpulkan bahwa
adanya mekanisme manajemen yang didukung oleh pengendalian intern dan kepastian hukum
akan menciptakan sistem yang mengurangi kesempatan seseorang untuk korupsi (Umar,
2012).

Terdapat beberapa literatur yang bersinggungan dengan topik korupsi DOKA. Perihal
Otonomi Khusus di Aceh dan aspek kesejahteraan masyarakat, sudah pernah ditulis oleh
beberapa peneliti. Diantara beberapa peneliti tersebut, salah satunya adalah Suharyo yang
menulis tentang “Otonomi Khusus di Papua dan Aceh sebagai Perwujudan implementasi
Peranan
Hukum dalam Kesejahteraan Masyarakat” (Suharyo, 2016). Penelitian Suharyo
menyimpulkan bahwa pembentukan daerah otonomi khusus adalah sebuah strategi politik
yang akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan juga dianggap responsif
karena mampu menampung aspirasi masyarakat.
PEMBAHASAN

Dari persepktif kebijakan, DOKA tergolong kedalam kebijakan afirmatif (affirmative action)
yang diambil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pendidikan, pembangunan
infrastruktur, dan beberapa aspek lainnya. Ini juga terlihat dari batasan pemberian dana
otonomi khusus yang hanya berlaku selama 20 tahun. Batas waktu tersebut diperkirakan
cukup untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Kebijakan afirmatif yang dimaksud jelas tertera pada Pasal 183 ayat (1) UUPA, yang
menyatakan bahwa DOKA ini bertujuan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial
dan kesehatan. Sebagai pengontrol bagi DOKA dalam mengawasi mekanisme transfer,
bahkan pada awal pembentukan pernah mengawasi dan mengaudit secara khusus DOKA.
Terlepas dari itu semua, pemberian Dana Otonomi Khusus kepada Aceh tidak dapat
dipisahkan dari landasan sosiohistori yang berkelit kelindan dengan konflik, aspek yang
menyebabkan Aceh mengalami ketertinggalan secara pembangunan. Adapun persoalan
penyaluran dana otonomi khusus juga kerap menjadi sorotan, bahkan oleh Presiden Republik
Indonesia. Jokowi menyebut bahwa dana yang dikucurkan ke Aceh dengan jumlah yang
begitu besar mestinya dikelola dengan baik. Totalnya mencapai 17 T, dengan pembagian
Dana Otonomi Khusus Aceh sebanyak 8 T, dan APBA sebanyak 9 T. Angka sebesar itu harus
dipergunakan sebaik mungkin dan dikelola dengan benar (AJNN, 2020). Apa yang
disampaikan Jokowi sebenarnya merupakan pertanyaan bahkan pernyataan bahwa DOKA
belum tepat sasaran. Fakta bahwa Aceh berada sebagai Provinsi termiskin di Sumatera dan
Indonesia adalah bukti betapa DOKA belum tepat sasaran. Belakangan, dengan merebaknya
wabah COVID-19 di Indonesia, semakin memperparah ketidaktepatan penggunaan dan
penyaluran DOKA.

Peran pengawasan untuk meyakinkan bahwa semuanya akan berjalan sesuai dengan
komitmen yang telah ditetapkan (regulasi). Selain itu, pengawasan juga
memberi umpan balik apakah untuk perencanaan mendatang dapat dilakukan berdasarkan
hasil-hasil pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pada periode sebelumnya (Haryono Umar,
2012). Kaitannya dengan DOKA, pengawasan harusnya dilakukan guna mengukur
kesesuaian komitmen tersebut dan pada gilirannya akan memberikan rekomendasi bagaimana
DOKA itu semestinya diperlakukan pada periode atau tahun anggaran berikutnya.
Sayangnya, DOKA selalu mengabaikan aspek evaluasi dari berbagai stakeholder yang ada.
Penyaluran DOKA sama sekali tidak berdasar pada kinerja periode sebelumnya, melainkan
pada besaran yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini cukup beralasan mengapa
DOKA kerap dikorup; selain jumlahnya yang besar, DOKA juga cenderung stabil untuk
periode 20 tahun mendatang. Tidak ada intervensi yang dapat mengurangi besaran anggaran
ini karena undang-undang telah menetapkan batas minimalnya. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa tidak ada sistem pengawasan khusus yang digunakan untuk mengawasi
penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), selain itu tidak ada juga lembaga khusus
yang memantau proses perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan DOKA. Meskipun
demikian, pembahasan dibawah ini akan mengurai bagaimana dan sejauh mana pengawasan
terhadap DOKA dilakukan. Keterangan utama yang diambil terdiri dari berbagai hasil
wawancara di beberapa institusi negara yang berhubungan dengan persoalan ini, beberapa
institusi tersebut diantanya adalah; Inspektorat Provinsi dan Kabupaten, BPK, BPKP,
Kejaksaan Negeri, serta Bappeda Provinsi Aceh.

Ketiga, pengawasan yang dilakukan hanya bersifat monitoring and evaluation dalam rangka
memberikan bimbingan dan koordinasi teknis saja. Keempat, kewenangan antar lembaga
internal di pemerintahan daerah belum jelas dalam persoalan pengawasan. Kelima, khusus
dalam hal ini lembaga inspektorat sebagai lembaga pengawas internal yang
bertanggungjawab kepada kepala daerah, memiliki potensi untuk tidak independen dalam
tupoksinya sebagai pengawas. Terakhir, kendala lain pada pengawasan DOKA yakni masih
lemahnya sistem kelembagaan daerah baik dari sisi pemerintah Aceh sendiri maupun dari
pihak DPR Aceh, kedua lembaga ini masih kurang efektif dalam menjalankan
tanggungjawabnya sebagai pelaksana dan pengawas sesuai dengan tupoksi yang ada. Dampak
dari pengawasan DOKA sangat dikaitkan dengan akuntabilitas dalam perencanaan dan
penggunaan anggaran yaitu memastikan wajarnya dan tidaknya sebuah perencanaan apakah
sesuai dengan peraturan, tidak adanya penyelewengan dalam eksekusi anggaran dan
konsistensi antara perencanaan dan penggunaan anggaran. Akuntabilitas juga berkaitan
dengan pentingnya review sebelum keputusan untuk pencairan anggaran, terutama dalam hal
ini oleh lembaga inspektorat.
Dampak pengawasan juga berimplikasi pada kehatian-kehatian dalam penggunaan anggaran
yaitu melihat system perencanaan dan pelaksanaan sebagai suatu fungsi yang melekat.
Dibawah ini akan diuraikan juga dampak pengawasan DOKA terhadap pencegahan dan
penindakan korupsi di Aceh serta langkah pencegahan yang harus dilakukan untuk
mencegah korupsi DOKA. Ada anggapan bahwa pengawasan justru tidak berjalan. Potensi
kongkalikong antara Gubernur dan pemerintah Kabupaten/ Kota malah semakin besar
peluangnya. Apa yang terjadi bagi Irwandi dan mantap Bupati Bener Meriah adalah bukti
dari sistem pengawasan semacam itu. Mendagri yang mewakili pemerintah pusat sebenarnya
memiliki peran, namun hanya berkisar 60%, yaitu terhadap DOKA yang dituangkan dalam
program dan kegiatan pemerintah Aceh. Selebihnya, yakni 40% yang dituangkan dalam
APBK diawasi oleh Gubernur.

Pengawas utama yang paling berwenang dan bertanggungjawab atas dana otonomi khusus ini
adalah pemerintah Pusat. Selain memiliki tugas pembinaan, Pemerintah pusat juga memiliki
tugas mengawasi aliran DOKA, yang mana aliran dana tersebut bagian dari terselenggaranya
urusan pemerintah daerah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 7 UndangUndang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa “pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah”.

Dana otsus merupakan konsekuensi dari Perjanjian Damai Pemerintah RI dan Gerakan Aceh
Merdeka di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Berdasarkan UU No. 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh, dana otsus untuk Bumi Serambi Mekah diberikan sebesar 2% dari dana
alokasi umum (DAU) nasional hingga 2022 dan sebesar 1% DAU sepanjang 2023-2027.
Merujuk pada Qanun No. 10/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi
Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus, dana otsus dialokasikan untuk program dan
kegiatan bersama pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Setelah dikurangi untuk program
bersama itu, maksimal 40% sisanya dialokasikan untuk pembangunan kabupaten dan kota
berdasarkan usulan pemerintah kota/kabupaten.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, Aceh mendapatkan kucuran
dana otsus Rp8 triliun. Pemerintah pusat mengucurkan dana itu sebagai penerimaan
Pemerintah Aceh.

Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo menjelaskan dana otsus
dialokasikan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan
ekonomi masyarakat, pengentasan kemiskinan. Selain itu, dana tersebut diperuntukkan buat
program pendidikan, kesehatan, dan sosial.

“Dana otsus berupa program dan anggaran sudah menjadi bagian dari program dan APBD
pemerintah daerah penerima sehingga sudah menjadi satu kesatuan,” tuturnya.

Sebagaimana diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Gubernur Aceh


Irwandi dan Bupati Bener Meriah Ahmadi di lokasi terpisah di Tanah Rencong pada Selasa
(3/7/2018) malam. Kedua kepala daerah itu diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait
dengan alokasi dana otsus 2018.

Buruknya pengawasan dana otonomi khusus Aceh menurut Heru Cahyono diakibatkan
gagalnya parlemen di Aceh melakukan fungsi check & balances. Kondisi itu terjadi seiring
munculnya mantan kombatan GAM dalam politik lokal Aceh sebagai kekuatan oligarki baru
yang tidak hanya menguasai politik, tetapi juga menguasai jaringan ekonomi Aceh. Mereka
yang bertahun-tahun menggalang perang untuk melawan Republik Indonesia, kini mendapat
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan politik penting di pemerintahan. Kendati tanpa
didukung oleh pendidikan yang memadai, para mantan anggota GAM mampu

Rawannya dana Otsus tak hanya terjadi di Aceh. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) terhadap Dana Otsus Papua pada bulan Maret 2018, terdapat masalah pada
tahap regulasi dan pengawasan internal. Temua BPK pun sejalan dengan pernyataan Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa kejadian penangkapan Gubernur Aceh terkait kasus
Dana Otsus disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal dalam perencanaan anggaran di
Pemerintahan Aceh. Menurutnya Kemendagri akan mengevaluasi pengawasan terhadap dana
otsus.

Agar Dana Otsus tidak lagi dikorupsi maka perlu langkah pencegahan dan penindakan yang
serius. Pemerintah perlu fokus untuk memperbaiki pengelolaan Dana
Otsus termasuk memperkuat sistem pengawasan oleh Kemendagri hingga internal pemerintah
daerah penerima dana. Kerja sama dengan KPK menjadi poin penting agar tidak ada lagi
korupsi dalam pengunaan Dana Otsus.

Masyarakat pun harus berperan aktif dalam mengawasi penggunaan dana tersebut. Mengingat
tujuan besar dari adanya Dana Otsus ini untuk mempercepat pembangunan daerah, perbaikan
pendidikan serta kesejahteraan masyarakatnya. Caranya dengan memanfaatkan keterbukaan
informasi publik Pemerintah Aceh agar jika ditemukan penyalahgunaan program bisa
melapor kepada KPK.

Sedangkan sebagai langkah penindakan, KPK harus mengusut kasus korupsi Dana Otsus
Aceh ini secara tuntas, agar semua pelaku yang terlibat mendapatkan hukuman yang pantas
dan bisa memberikan efek jera terhadap para pelakunya.

Pada pemeriksaan terkait dengan pengendalian Dana

Otonomi Khusus Aceh diperoleh temuan sebagai berikut: (1) rapat Koordinasi antara
Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran Dinas Bina Marga Cipta Karya
Kabupaten/Kota se-Aceh Belum berjalan efektif, (2) laporan realisasi fisik dan keuangan
Belum dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan Penilaian atas pencapaian program
dan kegiatan yang dibiayai Oleh dana Otonomi Khusus, (3) Pemerintah Aceh belum memiliki
Mekanisme pencatatan dan serah terima atas kekayaan/aset yang Dibiayai dari dana Otonomi
Khusus porsi kabupaten/kota (60%), Dan (4) belum ada mekanisme tentang kewajiban
pemeliharaan Pascakonstruksi.
KESIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini dapat ditarik dua kesimpulan utama.
Pertama, tidak ada sistem pengawasan khusus (juga tidak ada lembaga khusus) yang
melakukan pengawasan mulai tahap perencanaan, penganggaran, dan tahap
pengimplemantasian DOKA. Namun peneliti menemukan beberapa perbedaan dalam artian
negatif (pengawasan DOKA lebih buruk dari pengawasan sumber anggaran lainnya). Bahkan
pengawasan yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut selama ini masih sangat lemah.
Kedua, dampak dari sistem pengawasan sebagaimana diterangkan pada poin pertama sama
sekali tidak efektif dan dengan sistem yang demikian cenderung membuka peluang
terciptanya praktik korupsi sejak awal perencanaan DOKA.
Daftar Pustaka

Aceh, B. (2019). Profil Kemiskinan dan Ketimpangan Pengeluaran


Penduduk Aceh September 2019 (Issue 04).
Anti-Corruption Clearing House. (2017).
Abdullah Puteh.
https://acch.kpk.go.id/id/jejak-
kasus/115-abdullah-puteh Aspinall, E. (2009). Combatants to
Contractors: The Political Economy of
Peace In Aceh. Indonesia.
Barron Patrick. (n.d.). The Contested
Corners of Asia: Subnational Con!ict
and International Development
Assistance The Case of Aceh,
Indonesia. The Asia Fondation, 82.
Cressey, D. R. (1953). Other people’s
Kemenkeu. (2020). Kajian Efektivitas
Implementasi Dana OtonomiKhusus.
Kementerian Keuangan. (n.d.). Bagaimana
Pemanfaatan Dana Otonomi
Khusus. Kemenkeu.
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?

ufaq=bagaimana-pemanfaatan-
dana-otsus. Masyarakat Transparansi Aceh. (2020).
Daftar Kasus Indikasi Korupsi di Aceh.
MATA.
https://mataaceh.org/daftar-
kasus-indikasi-korupsi-di-aceh/. 8 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai