A. Latar Belakang
Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Tidak sedikit pandangan yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut
bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal
18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara
mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity
in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.2 Hal tersebut dianggap
bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.3
Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status
keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model
bentuk susunan negara federal.4 Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan
argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam
undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah
Penulis adalah dosen tetap Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya
2
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan
Universitas Pancasila Press, 2009), hlm.238
3
Huda, Nimatul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 95
4
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan...,Loc.Cit
di kedua daerah otonomi khusus tersebut.5 Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat
Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli
papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya.
Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat
dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau
istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan
negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh
kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri,
pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.6 Hal ini
menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan
barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar.7 Termasuk
bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau
membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan
di daerah merupakan suatu otonom.8
B. Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian di atas, maka paper ini akan membahas mengenai:
1.
Apa kewenangan daerah otonomi khusus dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia ?
2.
Apakah pemberian status daerah otonomi khusus tidak bertentangan dengan sistem
negara kesatuan Republik Indonesia ?
5
Undang-undang tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
6
Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut
terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3)
sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9)
standarisasi nasional.
7
Pantja Astawa, I Gde, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: Alumni,
2009), hlm. 55
8
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10. ( Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2008), hlm. 112
C. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah
Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara modern saat
ini dapat ditijau dari segi susunannya. Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau
bentuk negara, maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soehino berikut ini:9
a.
b.
oleh
pemerintah
pusat).
Dalam
perkembangannya
yang
dikarenakan
perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah,
urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin banyak dan
heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka
penyelenggaraan pemeintahan di daerah.11
Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan
azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk
menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang
Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224
Ibid, hlm.224
11
Ibid, hlm.224-225
10
Dalam
negara
kesatuan,
tanggungawab
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun hubungan
antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh
Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian
disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:
Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein
adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu
kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi
adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang
berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing
memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua
pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian:
pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah
otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,
desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;
12
13
Ibid, hlm.225-226
Huda, Nimatul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 92
14
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 13
15
16
17
Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya negara
ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan
sendiri.18 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas dan
kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusanurusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.19 Ramlan Surbakti menambahkan
bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak
bertanggungjawab kepada pemerintah federal.20
C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar pembentukan
negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah satu dari kedua
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk negara serikat tidak dapat
terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat menurut C.F.Stronk;21
1) Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yang
membentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum menjadi
federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah
konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama seperti
Amerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada.
2) Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unitunit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity);
karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negara
federal, melainkan negara kesatuan.
Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan memiliki
kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti ekonomi,
politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang efektif.22 Ikatan
kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang kemudian memiliki
Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Gabungan atau
Pemerintah Federasi.23
18
19
20
Ibid.
Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.53
22
Soehino, Loc.Cit.
23
Ibid.
21
Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan sistem
atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara bagian, yaitu:24
a. 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan
Negara-negara Bagian.
b. 2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah
Negara-negara Bagian.
c. 2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara
Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian.
d. Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam
Negara Federasi.
e. 2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokok-pokok
dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negara-bagian.
R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu terletak
pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah
federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada negara kesatuan ataukah
memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah negara bagian. Berikut ini
pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait dengan masalah keberlakuan
hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni:
jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah
federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga
negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang
bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan
atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin
berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturanperaturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga
negaranya.25
Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip partnership yang
dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal diantara
pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang saling
menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan integritas
pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang bersepakat harus
menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru (federal) untuk mengatur
dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg mengatakan bahwa dalam negara
srikat, negara-negara bagian mempunyai kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri
24
D. Pembahasan
1. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus
Salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara
lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18
UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara
struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18
(lama) sama sekali diganti baru.29 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4
prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:30
26
suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara
demokrasi.34 Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi
tidak langsung atau demokrasi perwakilan.35 Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan
(representative government).36
Dalam sistem pemerintahan, demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan rakyat untuk ikut
serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut serta dalam merencanakan,
memutuskan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan melalui
wakilnya yang dipilih secara langsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah merupakan wujud dari pelaksanaan prinsip demokrasi.
1.1.
34
Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7 ( Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm.130
35
Soehino, Ilmu Negara , Edisi 3. Cet. 3 (Yogyakarta, Liberty, 2000), hlm. 240
36
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59
37
Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah
provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.
Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah DPRP untuk menyebut
dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh DPRA.38 Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat
kabupaten/kotanya,
digunakan
istilah
DPRK
atau
Dewan
Perwakilan
Rakyat
38
dan Wakil
1.2.
Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006.
Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004
51
Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006
52
Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006
53
Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006
54
Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006
55
Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006
56
Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006
50
Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah
legislatif dan eksekutif dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Pertama, dilihat dari
makna istilah legislatif atau eksekutif itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau
bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga legislatif adalah
lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan legislatif adalah undangundang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana
undang-undang.57 Pembagian kekuasaan negara kedalam badan eksekutif dan legislatif
tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan Montesquieu.58
C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak
terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undangundang selain badan pembentuk undang-undang pusat.59 Sukardi dengan mengutip
pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama
(supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau delegated
legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan dalam negara.
Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga lain di luar lembaga
pemegang kedaulatan.60 Di Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah produk hukum
dari delegated legislation.61
Dari paparan di atas, yang ingin penulis tekankan adalah penggunaan istilah badan
legislasi dan badan eksekutif, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah badan
legislasi dan badan eksekutif adalah tidak lazim dalam sistem perundang-undangan
nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga memiliki
fungsi legislasi.62 Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.
Berbicara mengenai sistem otonomi daerah maka tidak akan lepas dari bentuk negara kesatuan
Sri Winarsi, Hand Out.,Loc.Cit
Soehino, Ilmu Negara..,Op.Cit. hlm 227
badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi. Dengan tidak digunaknannya
istilah daerah provinsi dalam istilah DPRP maka secara a contrario itu berarti bahwa
DPRP bukanlah DPRD Provinsi sebagaimana DPRD Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan
kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan pada sebuah negara bagian, bukan pada
daerah dalam negara kesatuan.
Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat juga
Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama
Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001.
Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan
Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang
tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua undangundang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan membuat Perdasi
adalah DPRP bersama dengan Gubernur.66
Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi
Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada
tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus
dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan
pelaksananya.
Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada bentuk
negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 disebutkan
bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah
Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu
Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi
hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur. Hal ini juga senada dengan ketentuan
Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapatkan persetujuan bersama DPRD. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang
menyatakan :Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur.
66
ketentuan yang diterapkan pada daerah lainnya, misalnya berdasarkan PP No. 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah badan atau institusi di
daerah. Begitu juga dengan diberikannya kewenangan untuk membentuk Partai Politik
Lokal di Aceh. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan konsep negara kesatuan. Dengan
demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Otonomi Khusus NAD
menyerupai konsep negara federal.
Kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 telah dilaksanakan di Provinsi DIY, bahkan undang-undang pemerintahan
daerah sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Tidak ada protes maupun tindakantindakan yang menolak ketentuan undang-undang tersebut. Pemerintah Provinsi DIY tidak
pernah melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum untuk memprotes kebijakan
pemerintah pusat yang dituangkan dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut,
misalnya dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat bagi
Provinsi DIY. Karena memang dalam sistem negara kesatuan, tindakan tersebut tidak dapat
dilakukan. Bandingkan dengan sistem yang berlaku di Aceh, jika Pemerintah hendak
melakukan suatu kebijakan administratif yang berkaitan dengan Aceh, maka Pemerintah
diharuskan melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur Aceh.
Dalam sistem negara kesatuan, hanya terdapat satu hukum nasional yang berlaku
secara nasional pula. Keberlakuan hukum nasional pada suatu negara kesatuan tidak
memerlukan persetujuan negara bagian terlebih dahulu. Berbeda dengan bentuk susunan
negara serikat, keberlakuan suatu aturan federal harus mendapatkan pengakuan atau
pengesahan dari negara bagian, apakah suatu peraturan hukum dari negara federal atau
negara gabungannya itu berlaku terhadap warga negaranya atau tidak, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Kranenburg berikut ini:
jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah
federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga
negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang
bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan
atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin
berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturanperaturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga
negaranya.69
69
70
bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak
bertanggungjawab kepada pemerintah federal.74
Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah
negara atau pembagian wilayah negara kedalam beberapa daerah baru dilakukan setelah
terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu, barulah
kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses terbentuknya negara
federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri sendiri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk membentuk pemerintah dan/atau negara
gabungan (pemerintah/negara federal).
E. Penutup
1. Kesimpulan
a. Bahwa kewenagan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus tersebut sangatlah luas
dan bahkan bertentangan dengan kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana
yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007
b. Bahwa walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan
kewenangan pemerintah daerah daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32
Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Saran
a. Sebaiknya beberapa kewenangan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus
tersebut seperti kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ditinjau
kembali karena hal itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004.
b. Agar derah otonomi khusus tersebut tetap berada dalam bingkai NKRI, maka Pasal
18B ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dibentuknya daerah
otonomi khusus tersebut disempurnakan.
DAFTAR BACAAN
Undang-Undang Dasar Negara Republi Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
74
Ibid.