Anda di halaman 1dari 7

A.

PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1. Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di


kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap
kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks
negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di
mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa
memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati
kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat
beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat
kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam
segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai
persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah
dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas
kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi
masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas
semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah
Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah
pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal,
agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan
nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan
teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu
mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan
otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga
lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam
pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh
Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi
teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian
menimbulkan berbagai interpretasi.           
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi
dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P.
Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang
relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan
identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas
dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk
menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga
tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang
pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron,
sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi
(lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki
dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi
juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power
With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini,
dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi
daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah
mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari
pengaruh lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai
keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri.
Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan
“nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat
diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional
atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita
bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan” namun di
dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul
semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan
pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan
kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila
dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di
daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-
undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun
judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975
tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut
mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik
adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara
negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan
tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam
bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara
terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No.
22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan
otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita
anut. Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola
dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain
perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan
pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai
hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-
komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada
dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini
mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan
dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di
antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU
No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-
masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten
- kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi
tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja
diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden
RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi,
kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen.
Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas,
tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai
manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu
adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi
seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution,
padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan
otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan
Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara
mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1)
“Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah
sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan adalah
pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan
kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele
Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan
penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas
merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan
di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah
Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi
terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara
Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke
dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis
implementasi kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-
undang dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus
dibangun dan memerlukan waktu. Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut
membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut
penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden
B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5
Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda
dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi
UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi
Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya
belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak
hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level
pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari
kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu,
otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep
otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi
organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk
melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi
konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu
kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai
pengambil keputusan atas kebijakan.
 

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya
dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa
pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan
tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan
selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan
betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang
diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan
kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi
birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat
bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang
menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi
masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu
organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan
integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah
merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus
ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua
paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar
otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan
otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan
masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat
juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya
sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar
mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara
kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang
realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan
semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang
ada di daerah masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan
ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan
daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan
nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada
daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk
mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat
melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.
 

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

 
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan
yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya
pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis
dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi
yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk
dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam
bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang
diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih
banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat .
Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan
mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di
instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi
publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan
mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post
Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).
 

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

 
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam
mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif.
Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada
melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh
lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik.
Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah
diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap
birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi
yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi
peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih
kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan
sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru
dipercaya mewakili kepentingannya.
 

D. KESALAHAN STRATEGI

 
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang
sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu
berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah.
Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang
berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan
otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat
lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas
lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada
enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni
persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi,
kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan otonomi
daerah seperti terlihat dalam peta konsep berikut ini.

Gambar 8.2.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah
 
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal
mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan
suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser
paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang
lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem
pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local
Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang
memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat
sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya
sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu
menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara
“otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu
sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta,
bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan
demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya
tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang
dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya
sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat
otonomi menurut Hatta.

Anda mungkin juga menyukai