Anda di halaman 1dari 15

Nama : Juwelson Kristian

Nomor Daftar Hadir : Absen 33


NPP : 29.1977
Kelas : H-4
Semester/ Program Studi : V(Lima)/ PPTP
Mata Kuliah : PDOD

1. FILOSOFI DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH ADALAH


Filosofi desentralisasi dan otonomi daerah adalah berkaitan dengan ide, konsep dan
kaedah hukum desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka  NKRI. Dapat juga
menyangkut ide, konsep dan hukum oleh para pendiri bangsa dalam konstitusi negara kita.
Ide dan konsep tersebut tidak terlepas dari perumusan dasar-dasar negara Indonesia.
Filosofi desentralisasi dan otonomi daerah pada masa orde reformasi adalah bahwa
sistem sentralistik era orde baru dipuja-puja dan terjadi perubahan arah ke kondisi
kebangkrutan. Akibat dari perubahan kearah kebangkrutan ini rakyat menuntut untik
merformasi sistem politiknya yang dukung mahasiswa, yang pada akhirnya Presiden Suharto
menyerahkan kepemimpinannya kepada Habibie. Melalui penyerahan ini terjadi perubahan
mendasar terhadap ketatanegaraan dibawa pengaruh Habibie, hal ini ditandai dengan lahirnya
UU No. 22 Th. 1999 tentang keanekaragaman dalam kesatuan, yang kontra konsep filosofi
“kesatuan dalam keanekaragaman” yang digunakan UU No. 5 Th. 1974.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan UU yang
disahkan pada masa reformasi , UU yang ll1enggantikan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. TAP MPR RI Nomor XV/MPR/ 1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi salah satu landasan dalam penyusunan pasal-
pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 1999.
Berbeda dengan UU sebelumnya yang memisahkan amara UU Pemerintahan Daerah
dan UU Pemerintahan Desa, dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ini pengaturan tentang
Pemerintahan Desa termasuk di dalamnya. Hal tersebut menyebabkan jumlah pasal dari UU
Nomor 22 Tahun 1999 ini lebih banyak (134 pasal) dibandingkan UU Nomor 5 Tahun 1974
(94 pasal). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara prinsip
yang digunakan dalam UU NomoI' 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 1974. Dalam UU
NomoI' 22 Tahun 1999 prinsip yang digunakan adalah "otonomi dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Prinsip yang dianut pada masa ini adalah sesuai dengan karakter dan kondisi bangsa
dengan sesanti “Bhineka Tunggal Ika”. Bentuk otonomi daerah berbeda untuk setiap
daeranya, dan pola otonomi yang diterapkan berubah dari yang semulanya simetris menjadi
a-simetris. Perubahan pola membuat terbukanya peluang adanya otonomi daerah yang diatur
secara khusus dan istimewa. Pada pola otonomi yang sudah berubah ini muncul pemberian
nama desa dan kecamatan sesuai kenyataan sosial setempat, yang dimana pejabat pusat masih
berorientasi masa lalu & menjadi penghambat perubahan.
UU No. 22 Th. 1999 yang telah dibentuk masih merujuk pada UUD 1945 sebelum
amandemen, dimana terjadi ketidaksesuaian antara UUD dan Undang-Undang, yang pada
akhirnya menyebabkan adanya istilah pelanggaran diametral terhadap isi konstitusi.

2. PARADIGMA DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH ERA REFORMASI:


Paradigma desentralisasi dan otonomi daerah pada masa reformasi dapat dilihat dari
adanya pemberian keleluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Selanjutnya demokrasi, pemberian peran serta masyarakat yang lebih luas, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. dalam menghadapi
ekonomi global ada acara yang dilakukan yaitu dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata, bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional dan Pemisahan pengaturan
tentang desa.
Untuk lebih jelas paradigma desentralisasi dan otonomi daerah pada masa reformasi
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan Otonomi Daerah;
a. Hak untuk memilih pemimpinya sendiri scr bebas:
b. Hak untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri scra bebas;
c. Hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas;
d. Hak untuk memiliki sistem kepegawaiannya sendiri secara bebas.
2. Demokratisasi, pemberian peran serta masyarakat yang lebih luas, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah:
a. Pengaturan tentang DPRD ditempatkan dibagian depan mendahului
pengaturan tentang kepala daerah;
b. DPRD ditetapkan sebagai badan legislatif daerah, sebagai lembaga yang
mandiri terpisah dari pengertian pemerintahan daerah;
c. Kepala daerah dipilih DPRD dan bertangungjawab kepada DPRD,
mekanisme ini menunjukkan DPRD lebih kuat dari kepala daerah.
3. Menghadapi kompetisi global, dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertnggungjawab kepada daerah secara proporsional:
a. Daerah dituntut untuk memiliki keunggulan sendiri, baik keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif;
b. Keunggulan nampak dari kata kunci “Terdepan”, “Termaju”, “Unggul”;
c. Keunggulan harus diwujudkan dengan program dan aktivitas yang jelas,
rinci dan terukur.
4. Pemisahan pengaturan tentang desa:
a. Desa diberikan tugas pembantuan, baik dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah provinsi maupun pemerintah daerah kab/kota;
b. Terjadi perdebatan atas pemberian tugas tersebut, karena desa dianggap
bukan merupakan orang pemerintah sepenuhnya, karena pegawainya
bukan pegawai pemerintah;
c. Sampai perubahan UU No. 22 Th. 1999 pengaturan tentang desa yang
terpisah belum juga terealisasi.

Berdasarkan prinsipnya otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas,


nyata dan bertanggung jawab, pararigma yang dapat dilihat adalah bahwa kewenangan
otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik
luar negeri, perrahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,
keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi.
Otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serra tumbuh, hidup
dan berkembang di daerah, dan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pember ian hak dan wewenang kepada daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan
pember ian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Perumusan asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam kedua UU tersebut juga
berbeda. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, Desentralisasi dirumuskan sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, Desentralisasi dirumuskan sebagai penyerahan urusan
pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah Tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan
rumah tangganya, sedangkan Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah .
atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Yertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di
daerah.
Berdasarkan penggunaan as as tersebut, terdapat pula perbedaan pada
penyelenggaraan dari daerah otonomi tersebut. Perbedaan kedua UU tersebut secara
mendasar adalah sebagai berikut :
1. Pada ·UU Nomor 22 Tahun 1999
Otonomi daerah secara utuh ditempatkan pada Daerah Kabu~aten dan
Daerah Kota (yang dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai
Kabupaten DATI II dan Kotamadya DATI II), di mana kedua daerah tersebut
mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan
kebijakan menurut prakarsa dan asplrasi masyarakat. Sehingga untuk daerah
Kabupaten dan Daerah Kota ini dibentuk berdasarkan asas Desentralisasi dan
tidak terdapat lagi perangkat Dekonsentrasi didalamnya (Kecamatan) bukan lagi
sebagai Wilayah Administrasi, tetapi menjadi bagian Daerah Kabupaten atau
Daerah Kota yang bersangkutan).
Pada UU Nomor 5 Tahun 1974
Asas dekonsentrasi mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dengan
asas desentralisasi 26 Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
disebut Daerah Otonom (DATI 1 dan DATI II), sedang wilayah yang dibentuk
berdasarkan asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif. Daerah otonom
selalu berhimpit dengan Daerah Administrasi yang setara. Bahkan, da lam daerah
otonom dimungkinkan adanya wilayah administratif, yaitu kecamatan, sehingga
dalam lingkungan Daerah Otonom terdapat perangkat dekonsentrasi. Tidak
terdapat otonomi yang luas· dan utuh bagi Daerah Kabupaten atau Kota seperti
dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. UU Nomor 5 Tahun 1974 hanya mengatur
bahwa titik berat otonomi diletakkan pada DATI ll , dengan pertimbangan bahwa
DA TI ll-Iah yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga dapat
lebih mengerti dan memahami aspirasi-aspirasi masyarakar tersebur. "
Pelaksanaan asas desentra lisasi dalam UU ini juga tidak bisa selalu merupakan
hak daerah, karena urusan yang lelah diserahkan pada daerah (sebagai
pelaksanaan asas desentralisasi) dapat dilarik kembali menjadi urusan Pemerintah
bila diperlukan. Bahkan dalam UU ini dimungkinkan adanya penghapusan daerah
Olonom dengan kriteria tertentu.
2. Pada UU Nomor 22 Tahun 1999
Asas desentralisasi yang dianut adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom, kecuali wewenang dalam
bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Bahkan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999, kewenangan agama
telah diberikan pada D.1. Aceh.
Pada UU Nomor 5 Tahun 1974
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang memerinci kewenangan
yang tidak diberikan kepada daerah otonom (selain yang diatur dalam UU
merupakan kewenangan daerah otonom), maka dalam UU Nomor 5 Tahun 1974,
kewenangan daerah tidak diatur terperinci. Hanya diatur bahwa daerah berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan men gurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7) dan apabila
akan diadakan penambahan penyerahan urusan kepada Pemerintah daerah ditetap
dellgan Peramran Pemerintah (Pasal 8 ayat 1). Asas desentralisasi tersebut tidak
selalu mutlak dimiliki daerah sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan bahwa
otonomi daerah adalah kewajiban dan bukan hak; maka Pemerintah Pusat dapat
menarik urusan yang telah diserahkannya tersebut.
3. Pada UU Nomor 22 Tahun 1999
Daerah Provinsi (yang dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan
sebagai Provinsi DATIl) mempunyai kedudukan sebagai Daerah Otonom dan
sekaligus sebagai Wi/ayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan
Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Provinsi bukan
merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Kota, sehingga tidak
mempunyai hubungan hierarki. Sebagai daerah otonom, otollomi bagi Daerah
Provinsi diberikan secara terbatas .

Pada UU Nomor 5 Tahun 1974


Daerah Propinsi dalam UU ini, selain merupakan Daerah Otol1om juga
merupakan Wilayah Administratif, karena dalam UU ini Daerah Otonom dan
Wilayah Administratif berhimpit. Sehingga dalam hal keberadaan Daerah Propinsi
terdapat kesamaan antara UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 22 Tahun
1999, yaitu bahwa keduanya merupakan daerah otonom (terbatas) sekaligus
wilayah administratip. Perbedaannnya adalah bahwa dalam UU Nomor 5 Tahun
1974 terdapat hirarki antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan
Kotamadya, karena Wilayah Administratip dalam UU Nomor 5 Tahun 1974
disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah
yang menyelenggarakan pemerintahan umum di daerah. Sehingga Propinsi
merupakan atasan dari Kabupaten dan Kotamadya.

3.DEMOKRASI DALAM KONTEKS DESENTRALISASI


Demokrasi dalam konteks desentralisasi berkaitan dengan:
a. Peran masyarakat dalam perencanaan pembangunan
1) Dasar hukum, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
2) Regulasi produk hukum ini sekaligus meretas kebuntuan paradigma pembangunan
top-down menjadi pembangunan bottom-up.
3) Pendekatan utama pembangunan model bottom-up ini adalah model partisipatoris,
yaitu model melibatkan masyarakat dalam rangkaian proses perencanaan
pembangunan. 
4) Dalam pandangan beberapa ahli, suatu perencanaan pembangunan dikatakan
partisipatif bila memenuhi ciri-ciri terfokus pada kepentingan masyarakat,
partisipatoris, dinamis, sinergitas dan legalitas.
b. Peran masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan
Dasar Hukum:
1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
2) PP 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memberikan pengertian ketentuan
umum tentang :
4) Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang
selanjutnya disebut Partisipasi Masyarakat adalah peran serta Masyarakat untuk
menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
5) Masyarakat adalah orang perseorangan warga negara Indonesia, kelompok
masyarakat, dan/atau Organisasi Kemasyarakatan.
6) Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Organisasi Kemasyarakatan.
c. Peran Masyarakat dalam pengawasan
Dasar Hukum:
1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, 
2) Dalam UU ini menegaskan, Pemilihan dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (disini fungsi
kontrol masyarakat berperan penting) 
3) Undang –undang nomor 6 tahun 2014 ttg Desa, bagaimana fungsi kontrol
masyarakat dalam penyelenggaraan APDes.
Model peran masyrakat dalam pengawasan adalah:
1) Pilkada yang berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil pada akhirnya akan
melahirkan Pilkada yang bersih, berkualitas, berintegritas, dan bermartabat. 
2) Untuk mewujudkan hal itu, semua pihak harus memiliki komitmen dan tanggung
jawab yang sama. Dari sebuah pemilihan yang bersih dan berintegritas, tentu akan
melahirkan pemimpin yang berintegritas pula.
3) Masyarakat mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan kesuksesan
Pilkada. 
4) Bersama dengan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, masyarakat berada dalam
barisan paling depan dalam mengawal proses pelaksaaan Pilkada.
5)  Asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, harus mendorong semangat
masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan Pilkada.

4.DESENTRALISASI ASIMETRIS
Pengertian/ Konsep Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralisation) adalah pemberlakuan/transfer
kewenangan khusus yang hanya diberikan pada daerah-daerah tertentu dalam suatu negara,
yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam konteks Indonesia dalam rangka menjaga
eksistensi daerah dalam NKRI. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik,
ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah negara,
dengan mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah.
Dasar-dasar Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris Indonesia Kontemporer:
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
(JPP-UGM 2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa desentralisaisi
asimetris harus dilakukan di Indonesia. Kelima hal itu adalah:
1. Alasan konflik dan tuntutan separatisme. Provinsi Papua, Aceh, dan Papua Barat
memiliki otonomi khusus karena adanya konflik perebutan sumber daya alam.
2. Alasan ibukota negara. Perlakuan khusus kepada Provinsi DKI, dikarenakan DKI
memiliki infrasturtur terbaik.
3. Alasan sejarah dan budaya. Perlakuan istimewa kepada DIY karena sejarahnya
pada masa revolusi dan perebutan kemerdekaan.
4. Alasan perbatasan. Perlalukuan khusus terhadap daerah teritorial negara yang
berkatan dengan negara tetangga, contohnya kepada Provinsi Kalimantan Utara.
5. Pusat pengembangan ekonomi. Daerah yang memiliki potensi ekonomis diberi
perhatian khusus, contohnya kepada daerah Batam untuk menyaingi Singapura.
Contoh pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia
1. Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Pemberian status khusus kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI
Jakarta) lebih ditekankan pada aspek historisnya. Tidak dapat dipungkiri Jakarta
merupakan tempat dimana peristiwa-peristiwa penting terjadi. Penetapan ini
berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya oleh Presiden Soekarno, ada beberapa dasar
pemberian: Selain hal-hal tersebut di atas, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekhususan DKI Jakarta
meliputi hal-hal seperti Otonomi tunggal di tingkat Provinsi, pasangan calon
gubernur yang memiliki suara lebih dari 50% akan ditetapkan debagai pasangan
calon terpilih, Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut
kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan lain-lain.
2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 merupakan dasar hukum dari
status keistimewaan Provinsi DIY. Selanjutnya, hal-hal sentral dalam penerapan
desentralisasi asimetris dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY ini berkutat
pada 5 (lima) permasalahan pokok yakni: 1. Tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, 2. Kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, 3. Kebudayaan, 4. Pertanahan, dan 5. Tata ruang.
3. Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat
Kebijakan Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ditetapkan berdasarkan
pengakuan pemerintah terhadap dua hal pentinga yaitu, pemerintah mengaku
terdapat permasalahan di Papua yang belum terselesaikan, dan mengakui  telah
terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan
berbagai persoalan di Papua selama ini. Otsus di Papua dibuat untuk meredam
konflik yang terjadi di sana, hal ini merupakan produk dan kebijakan pemerintah
pusat.
4. Provinsi Aceh
Konsep asimetris tertera dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, pemberlakuan otsus Aceh pada dasarnya bukanlah sekedar
hak, melainkan merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kemaslahatan masyarakat Aceh.

5. KARAKTERISTIK DESAIN PENATAAN DAERAH ITU SESUAI UU 32 TAHUN


2004 DAN UU 23 TAHUN 2014.
Salah satu aspek dalam Penataan Daerah adalah pembentukan Daerah baru.
Pembentukan Daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik
guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana
pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka Pembentukan Daerah harus
mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi Daerah, luas
wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan, serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan Daerah
itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya Daerah.
Pembentukan Daerah didahului dengan masa persiapan selama 3 (tiga) tahun dengan
tujuan untuk penyiapan Daerah tersebut menjadi Daerah. Apabila setelah tiga tahun hasil
evaluasi menunjukkan Daerah Persiapan tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi
Daerah, statusnya dikembalikan ke Daerah induknya. Apabila Daerah Persiapan setelah
melalui masa pembinaan selama tiga tahun memenuhi syarat untuk menjadi Daerah, maka
Daerah Persiapan tersebut dibentuk melalui undang-undang menjadi Daerah.

6. PROSPEK POLITIK DESENTRALISASI DI INDONESIA, DILIHAT DARI


PENGARUH ERA CYBERDEMOCRACY DAN PENGARUH TEKNOLOGI
INFORMASI TERHADAP PERKEMBANGAN DESENTRALISASI.
 Pengaruh era cyberdemocracy terhadap prospek politik desentralisasi Indonesia
dilihat dari perkembangan desentraliasi
Pada era distrupsi (era digital) sekarang ini telah memberikan dampak yang
sangat besar terhadap perkembangan desentralisasi di indonesia. Cara berpikir yang
berbeda atau out of the box, mampu membuat terobosan-terobosan baru atau
penyesuaian pada layanan publik(e-KTP, smart city, dan lain-lain).
a. Pengaruh positif
1) semakin masifnya penggunaan internet mengindikasikan bahwa
kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah
membawa demokrasi mengalami pergeseran dan demokrasi
masyarakat offline ke arah demokrasi online. 
2) Masyarakat sekarang telah bergeser menuju ke arah masyarakat
informasi yang sedikit banyak telah mengubah moda komunikasi
politik.
3) Melalui internet, masyarakat netizen telah ikut terlibat secara aktif
dalam proses-proses pengambilan keputusan strategis dalam bidang
kebijakan publik. 
4) Netizen juga aktif memberikan fungsi kontrol terhadap jalannya
pemerintahan baik pusat maupun daerah. Tidak terkecuali dalam
proses Pilkada, demokrasi digital tampak mulai mengambil peran
strategis dengan tampil di ruang publik secara virtual, melakukan
diskusi kritis di seputar isu Pilkada
b. Pengaruh Negatif
1)
2) Adanya meme, pesan viral, trolling, ataupun cyber-bullying adalah
bentuk nyata yang sekarang terus menjadi masalah dalam
membangun demokrasi digital yang lebih berkualitas. 
3) Karakter anomus sering menjadi faktor potensial yang mengarah
pada munculnya gejala demokrasi nothing, atau demokrasi yang
tidak lebih sekadar keriuhan penuh pergunjingan politik. 
4) Penggunaan internet untuk kampanye dalam Pilkada misalnya
sering kali lebih mengedepankan sisi buruk dari masing-masing
pribadi para calon, ketimbang misalnya adu program. 
5) Internet melalui media sosial dan jurnalisme online misalnya, lebih
banyak digunakan untuk saling menyerang dengan
menghembuskan isu primordial seperti sentimen agama, ras, etnis,
dan privasi. 
6) Oleh karena itu demokrasi digital semakin eksesif yang kurang
produktif untuk membangun demokrasi politik secara lebih
substansial.

 Pengaruh Teknologi informasi terhadap prospek politik desentralisasi Indonesia


dilihat dari perkembangan desentraliasi
Teknologi informasi dan desentralisasi merupakan konsep yang populer
sekaligus kompleks yang diidentifikasikan sebagai faktor yang dapat mensukseskan
maupun menggagalkan tercapainya sistem informasi akuntansi manajemen yang
berkualitas. Fenomena yang terjadi pada organisasi diIndonesia adalah teknologi
informasi belum terintegrasi secara harmonis,sehingga menghasilkan kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen yang belum sempurna. Demikian pula desentralisasi
belum menunjukan kondisi yang ideal. Maksud penelitian ini adalah untuk mencari
kebenaran melalui pengujian(konfirmasi) adanya pengaruh teknologi informasi dan
desentralisasi terhadap kualitas sistem informasi akuntansi manajemen.
Hasil penelitian diharapkan menjadi bukti bahwa model yang ditawarkan
dapat menjadi solusi pemecahan masalah pada kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen.Data yang digunakan diperoleh melalui survei dengan mendistribusikan
kuesioner pada PT Toyota Astra Finance, diolah secara statistik dengan menggunakan
SEM-PLS, Metode penelitian menggunakan metode explanatory research, untuk
mendapatkan jawaban mendasar sebab akibat dengan menganalisa penyebab
terjadinya masalah pada kualitas sistem informasi akuntansi manajemen. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa: teknologi informasi tidak berpengaruh terhadap
kualitas sistem informasi akuntansi manajemen dan desentralisasi berpengaruh
terhadap kualitas sistem informasi akuntansi manajemen.
a. Dampak IT terhadap perkembangan desentralisasi
Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa teknologi informasi
memiliki dampak centralizing dan dampak decentralizing. Dampak yang
timbul tergantung pada bagaimana aplikasi teknologi informasi tersebut.
Beberapa pendapat ahli mengenai dampak IT terhadap desentralisasi
adalah sebagai berikut:
1) Castells (2001) berpendapat bahwa khusus untuk internet, akan
meningkatkan peran kota besar sebagai lokasi industri dan jasa. Ini
merupakan alasan dasar adanya konsentrasi metropolitan adalah kota
besar memiliki potensi melakukan inovasi teknologi yang lebih tinggi.
2) Mitchell (1999), dan Weiner dan Brown (1997) menyatakan bahwa
perbedaan antara kota dan daerah sekitarnya akan menurun karena
pelayanan yang sama akan diperoleh pula oleh daerah perdesaan dan
banyak orang akan pindah ke daerah perdesaan karena menginginkan
lingkungan yang lebih baik dan harga rumah yang lebih murah. Weiner
and Brown menyebutkan daerah ini sebagai “rurbania
b. Pengaruh positif IT terhadap perkembangan desentralisasi
1) Dampak kemajuan teknologi informasi juga menyebabkan terjadinya
konsentrasi industri dan jasa secara global. Perusahaan akan memiliki
fasilitas untuk mencapai lokasi tanpa batas geografis, untuk membuat
produk dan jasa baru, mengirimkan, menerima dan memproses
informasi hanya dari beberapa titik di bumi ini. Berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, kemajuan teknologi informasi saat ini
juga berdampak pada pemerintah daerah dalam usaha untuk
meningkatkan kemakmuran dan mempererat hubungan antara
pemerintah dan masyarakat di daerahnya.
2) Beberapa konsep yang ditawarkan dengan menerapkan teknologi
informasi di daerah, seperti Virtual Enterprise, “Daerah Incorprorated”,
maupun pembentukan ekosistem teknologi informasi, harus benar-
benar dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam penerapannya.
Karena dalam penerapan teknologi informasi pemerintah daerah harus
memperhatikan masalah dana dan kesejahteraan, sumber daya manusia,
dan sosial budaya yang ada di daerahnya.
3) Mudiantoro dalam bukunya menngatakan bahwa dengan IT dalam
upaya meningkatkan investasi didaerah dari sektor swasta, pemerintah
yang mampu memaparkan kondisi daerah yang lengkap dan
komprehensif akan mempunyai potensi lebih besar dibandingkan
dengan daerah yang belum memaparkan kondisi daerah dengan baik.
Banyak berbagai konsep yang ditawarkan untuk menjadikan daerah
lebih berkembang dengan menempatkan teknologi informasi sebagai
yang terdepan seperti menjadikan daerah sebagai sebuah Virtual
Enterprise (Promasanti, 2000), memasarkan daerah melalui mobile
applicationdalam sebuah “Daerah Incorprorated” (Maseleno, 2003),
ataupun menciptakan sebuah ekosistem yang kondusif untuk
menjalankan kegiatan bisnis yang “high-tech” (Rahardjo, 2003) dengan
inisiatif-inisiatif seperti Bandung High Tech Valley (BHTV), Bali
Camp, dan Cybercity.
c. Kendala dari IT terhadap perkembangan desentralisasi
1. Internet yang merupakan platform utama, harus menghadapi beberapa
kendala tidak hanya dari segi teknologi, tetapi juga dari segi dana,
sumber daya manusia serta dari segi sosial budaya. Kemakmuran
daerah dan peningkatan hubungan antara pemerintah dan masyarakat
dapat diperoleh dengan memanfaatkan teknologi informasi yang saat
ini berkembang dengan sangat pesat.Perkembangan dari teknologi
komputer dan telekomunikasi telah menghadirkan beberapa konsep
yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah dalam proses
pembangunan serta menjalin hubungan antara pemerintah daerah dan
masyarakat di daerahnya.
2. Berdasarkan analisis Sumberd Daya Manusia bahwa pada Pemanfaatan
teknologi komputer dan telekomunikasi di suatu daerah, menuntut
daerah untuk memperhatikan aspek sumber daya manusianya.
Masyarakat di daerah yang sangat bervariasi mulai dari masyarakat
agraria, masyarakat industri, sampai masyarakat informasi, merupakan
tantangan yang berat dalam menuju suatu masyarakat yang benar-benar
memahami teknologi informasi serta memiliki keunggulan kompetitif
3. Berdasarkan anaslisis sosial budaya Implikasi sosial dilihat dari
seberapa jauh penerapan teknologi komputer dan telekomunikasi di
suatu daerah dipengaruhi oleh kualitas pendidikan, angka kemiskinan,
kesehatan masyarakat, kriminalitas, dan partisipasi masyarakat dalam
aktivitas sosial.
4. Berkaitan dengan biaya tinggi pada penerapan teknologi informasi
biasanya berhubungan dengan pengadaan infrastruktur telekomunikasi
dan pengadaan perangkat lunak. Infrastruktur informasi di Indonesia,
seperti halnya di negara berkembang lainnya, tergolong lemah dan
masih perlu banyak penyempurnaan, baik dari sudut jangkauan
jaringan(coverage) maupun dari sudut kualitas komunikasi (kecepatan,
bandwith, dsb). Keterbatasan dan mahalnya infrastruktur
telekomunikasi di Indonesia menghambat penetrasi pengembangan
Internet.

Anda mungkin juga menyukai