Anda di halaman 1dari 11

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM TATA NEGARA

INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Unsur lain dari demokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan dan kewenangan

pemerintahan. Tuntutan akan pengelolaan pemerintahan daerah yang mandiri dengan semangat

otonomi daerah ( OTDA ) semakin marak. Namun demikian, kebijakan otda banyak disalah

artikan oleh jajaran pengelola pemerintah didaerah. Otda dipahami sebagai kebebasan mengelola

sumbe daya daerah yang cenderung melahirkan pemerintahan yang tidak professional dan tidak

terkontrol. Hal yang sangat mengkhawatirkasn, sering dengan pelaksanaan otda adalah lahirnya

perundang-undangan daerah ( perda ) yang cenderung bertolak belakang dengan semangat

konstitusi Negara dan dasar Negara yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia ( NKRI ). Disini kami akan mencoba menjelaskan tentang otonomi daerah khususnya

kepada orang yang awam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah otonomi daerah ?

2. Apa nilai-nilai otonomi daerah ?

3. Bagaimana cara menjadikan otonomi daerah agar Indonesia menjadi Madani ?

4. Bagaimana mengatasi kendala dalam melaksanakan otonomi daerah ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk menjelaskan sejarah otonomi daerah

2. Untuk menyebutkankan dan menjelaskan niai-nilai otonomi daerah

3. Untuk menjelaskan cara menjadikan otonomi daerah agar Indonesia menjadi Madani
4. Untuk memaparkan kendala dalam mengatasi otonomi daerah

D. Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis ialah metode literatur (mengkaji

beberapa buku yang berkaitan dengan judul makalah) dan dengan cara menggali informasi dari

beberapa situs internet.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah otonomi derah

Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan

derah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-

undang ini merupakaan hasil dari berbagai pertimbangan pemerintahan kolonial. Undang-undang

ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan

Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam undang-undang ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu

keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas.

Sehingga dalam kurun waktu 3 tahun beliu ada peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai

penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan

undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan

pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 jenis daerah

otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 tingkatan daerah

otonom , yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dna desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan

undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada

daerah telah mendapat perhatian dari pemerintah. Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan

undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui
peraturan pemarintahan tentang penyarahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada

daerah. Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu

produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada

satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa.

Akan tetapi. Di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari eksperimentasi politik

penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU No.

22 tahun 1948 diisi denagn munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No.

1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, dan UU No. 5 Tahun 1974. UU yang disebut terakhir

mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di

daerah bukan lagi otonomi yang riil dan seluas-luasnya dapat menimbulkan kecebdrungan

pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Republik Indonesia dan tidak serasi

dengan maksud dan tujuan otonomi kepada daerah sesuai denagn prinsip-prinsip yang digariskan

dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur

paling panjang, yaitu 254 tahun, dan baru diganti denagn undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 setekah tuntutan reformasi berakhir.

Kehadiran undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi

yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter orde baru dan munculnya kehendak

masyarakat untuk melakukan reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan

ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan,

pemanfaatan, dan pembagiaan. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan

tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan
kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsipo

otonomi daerah dan desentralisasi politik.

B. Nilai-nilai Otonomi Daerah.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan

pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan

yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara

kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan

2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945

beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan

untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di

Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan

sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur

dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat

pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) ]dengan beberapa dasar

pertimbangan:

1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko

gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;

2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif

dapat lebih efektif;


3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih

tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;

2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar

pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan

3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

C. Menjadikan Otonomi Daerah Agar Indonesia Menjadi Madani

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak lepas dari

prinsip otonomi daerah, sebagai implementasi dari UU No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan prinsip

otonomi daerah tersebut, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab

menyelenggarakan pemerintahan. Wewenang daerah dilaksanakan dalam rangka mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat di daerah sesuai aspirasi masyarakat. Adapun hal yang sangat

fundamental yang tersirat di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut adalah upaya pemberdayaan

masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif serta peningkatan peran dan fungsi

DPRD pada setiap tingkatan. Di dalam otonomi, pemerintah daerah berkewajiban membangun

interaksi atau kompabilitas di antara komponen-komponen publik, private dan community

daripada hanya menfokuskan kepada otoritas. Kendatipun demikian, banyak orang beranggapan

bahwa perspektif tersebut masih jauh dalam realitasnya, otonomi daerah masih lebih dirasakan

sebagai harapan ketimbang kenyataan yang telah terjadi. Anggapan ini cukup beralasan

mengingat, sudah tiga tahun otonomi daerah diimplementasikan, namun dalam pelaksanaannya,

penuh disesaki dengan tuduhan-tuduhan pemerintah pusat terhadap daerah. Daerah dituduh tidak

"becus" menjalankan otonomi daerah sehingga otonomi menjadi kebablasan, atau otonomi
daerah memunculkan "raja-raja kecil". Nayaris seluruh energi pemerintah daerah tertuju pada

melawan tuduhan pemerintah pusat yang juga tidak kalah sengitnya. Melihat kenyataan seperti

ini, maka tidak heran jika ada orang yang mengatakan bahwa otonomi daerah sebenarnya

belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang

mejemuk yang terdiri dari tidak kurang 300 kelompok etnis suku dengan berbagai identitas

kulturalnya yang tersebar luas di berbagai pelosok daerah. Sementara itu, kesenjangan antara

daerah juga mewarnai kehidupan bangsa ini. Dari daerah yang kaya raya, yang memiliki sumber

daya melimpah, sampai daerah yang miskin yang sama sekali tidak memiliki sumber daya alam.

Sedangkan kompenen masyarakat yang hidup di dalamnya juga memiliki keanekaragaman.

Fenomena tersebut merupakan gambaran dari pluralistiknya bangsa Indonesia, Oleh karenanya

adalah suatu anugerah yang tiada terkira jikalau kemajemukan yang begitu kompleks dapat ditata

dalam sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran,

dalam sebuah tatanan masyarakat yang bernama "masyarakat madani." Dalam sebuah tatanan

masyarakat madani, rakyat memiliki kedudukan yang emansipatoris terhadap negara

(pemerintah). Kedudukan yang emansipatoris ini memberikan peluang bagi rakyat untuk

memberikan peran yang sama sebagaimana peran yang dilakukan oleh negara. Di lain pihak,

kedudukan yang emansipatoris ini, rakyat juga memiliki peluang untuk berbeda pendapat

terhadap pemerintah. Dalam perspektif masyarakat madani, demokrasi mengandaikan adanya

civil yang berkembang sedemikian rupa sehingga punya otonomi dan independensi terhadap

negara. Dalam perspektif masyarakat madani, peran civil yang pada masa orde baru sebagian

besar dikuasai oleh negara, harus kembali diposisikan segingga memiliki peran menjadi

sederajat. Kondisi masyarakat seperti inilah yang diinginkan dan diperjuangkan oleh para

pejuang reformasi. Dalam perkembangannya , perspektif masyarakat madani menginginkan


adanya kesamaan dalam hal derajat, hak dan kewajiban, adanya kebebasan dalam masyarakat

yang pluralis baik ras, suku dan agama, adanya sikap dan moral yang menjunjung tinggi

martabat manusia (human dignity), adanya kedaulatan rakyat (populer sovereignity), dan adanya

hukum yang dijunjung tinggi (rule of law). Untuk mencapai kemandirian masyarakat dan

kemandirian daerah dibutuhkan dasar yang kuat di antaranya; kesadaran yang tinggi bahwa

Indonesia adalah masyarakat majemuk yang harus diakomodir kemajemukannya, kesadaran dari

pemerintah pusat bahwa formulasi dan implementasi demokrasi juga harus ditempatkan dalam

kerangka demokrasi di tingkat lokal, kesadaran dari pemerintah pusat dan daerah bawah

pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai melalui suatu tahapan. Dengan demikian

pengimplementasian otonomi daerah merupakan tuntutan dari masyarakat yang memiliki

diversity (keragaman) untuk mewujudkan civi society dan democratization. Otonomi tidak hanya

sekedar penyerahan pelaksanaan urusan tetapi lebih mendekati makna yang sesungguhnya ialah

kewenangan pemerintah untuk menerapkan lokal democrasy. Artinya, dengan melaksanakan

otonomi daerah maka pemerintah akan menjadi lebih demokratis. Pelaksanaan otonomi daerah

akan membawa efektifitas dalam pemerintahan, sebab wilayah negara Indonesia terdiri dari

berbagai satuan daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang

disebabkan oleh faktor-faktor geografi, adat istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat

pendidikan dan sebagainya. Suatu harapan kita semua, bahwa otonomi daerah segera terwujud

dan berjalan baik. Otonomi daerah merupakan suatu tantangan dan kesempatan yang baik bagi

penyelenggara pemerintahan daerah dalam menampilkan kinerja pelayanan masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah diharapkan lebih adil, demokratis,

memberdayakan masyarakat di segala aspek dan tingkatan.


D. Mengatasi Kendala dalam melaksanakan otonomi daerah

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.Dimana untuk

mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan

sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan

memecahkannya,kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan

oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.

1. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pemberian otonomi daerah :

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,

keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah

kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah

g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai

daerah administrasi

h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan

sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada

yang menugaskan

2. Kendala/ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan otonomi

daerah :
a. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah

dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”

b. High Cost Economic dalam bentuk KKN

c. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan

d. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada

dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui

kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD

e. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian

berkelanjutan

f. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya

g. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan

h. Bangkitnya egosentrisme

i. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah

daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.

j. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.

3. Upaya pejabat daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi

a. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat

terdistribusi ke daerah

b. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan

politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.

c. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur

d. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat


e. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi

daerah.

4. Analisis langkah-langkah yang harus diambil pemerintah dalam mengontrol otonomi daerah :

a. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan

sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.Untuk itu perlu dipersiapkan revisi UU

No.22 dan No.25 ,termasuk usaha sosialisasi besar-besaran pada masyarakat dan parlemen di

tingkat pusat maupun daerah.

b. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor

yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan

perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.

c. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan segera

langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan

Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.

d. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri

negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari

seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang

diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan

pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan

daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ubaedillah dan Abdul Rozaq, 2010. Pendidikan kewarganegaraan, cetakan ke-5, Jakarta:ICCE UIN
Jakarta.
http://www.kewarganegaraan.com/order2.php
Kusumah, mulya W. Perspektif, teori dan kebijaksanaan hukum. Jakarta: Rajawalu pers, 1986
http://khazanna032.wordpress.com/2009/07/16/kendalaotonomidaerah/

Anda mungkin juga menyukai