PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi, otonomi daerah dan pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai hal seperti sistem politik, pemerintahan dan sistem perwakilan. Ada
beberapa faktor-faktor strategis turut mempengaruhi otonomi daerah seperti
inovasi, pemilihan kepala daerah, politik transnasional, kepemimpinan, hubungan
intra daerah dan antar daerah dan faktor-faktor tersebut perlu diintegrasikan dalam
konteks nasional dan hubungan pusat daerah. Relasi antar pusat dan daerah
menimbulkan problematika tersendiri dan akhirnya menghasilkan otonomi daerah
ala Indonesia. Ketahanan politik Indonesia pada tahun 2045 sangat dipengaruhi
bangunan sistem politik saat ini.
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara
mandiri mengatur dan mengelola urusan nasional. Dengan kata lain, pemerintah daerah
memiliki hak dan kewajiban untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan
kepentingan lokal. Artinya wewenang dan tanggung jawab ditransfer ke tingkat daerah
yang lebih rendah dari pemerintah pusat.
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 menetapkan otonom daerah
sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengawasi
masyarakatnya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 sebagai kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
3. UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
mendefinisikan otonomi daerah sebagai wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat lokal
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Bayu Suria Ningrat mendefinisikan otonomi daerah sebagai kemampuan untuk mengelola
dan mengawasi rumah tangga daerah, sebagaimana dikutip oleh I Nyoman S.
4
B. Sejarah Otonomi Daerah dan Masalah Demokrasi
Otonomi daerah di Indonesia pertama kali diatur dalam UU No. 1 tahun 1945.
Undang-undang ini mengatur tentang Komite Nasional Daerah yang merujuk
pada Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Daerah diberikan keleluasaan yang
besar untuk mengatur kepentingan daerahnya tersendiri. Akan tetapi, urusan
yang diserahkan kepada daerah tidak diperinci dengan detail. Kemudian,
diterbitkan UU No. 22 tahun 1948 yang mulai menetapkan urusan-urusan yang
diserahkan kepada daerah. Setelah itu, diterbitkan UU No. 1 tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun
1948. Keleluasaan Badan Perwakilan Rakyat Daerah dan kepala daerah dalam
mengatur pemerintahan daerah berakhir sejak diterbitkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6 tahun
1959 dan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960. Penpres tersebut menjadikan
kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Kemudian, diterbitkan UU
No. 18 tahun 1965 yang berprinsip otonomi riil, tetapi implementasinya tidak
efektif karena instabilitas kondisi politik. Setelah itu, diterbitkan UU No. 5
tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi daerah bukan lagi otonomi yang
seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebab,
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini merupakan undang-
undang pertama yang mendasari desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah.
Akan tetapi, wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah menjadi
sedikit. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah pada masa Orde Baru dinilai
masih terlalu timpang kepada pemerintahan pusat. Hal ini ditunjukkan melalui
pasal 15 dan 16 dari Undang-Undang No. 5 tahun 1974 yang menyatakan salah
satu dari kedua kepala daerah yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
akan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri Dengan demikian, kepala daerah
bertanggung jawab terhadap presiden melalui Menteri Dalam Negeri, bukan
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merepresentasikan rakyat
daerah. Otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak kemerdekaan hingga
masa Orde Baru tidak dapat berfokus sepenuhnya terhadap pemenuhan
kebutuhan rakyat sehingga kesejahteraan ekonomi dan perkembangan
5
kebudayaan masyarakat setempat belum terpenuhi dengan baik. Selain itu,
fenomena etnosentrisme bermunculan di wilayah Indonesia sebagai wujud
kekecewaan terhadap pemerintahan pusat. Hal ini ditandai dengan munculnya
banyak tuntutan daerah yang ingin memekarkan dirinya selama era Orde Baru.
Bahkan, muncul aksi separatisme seperti di Aceh, Papua, dan Timor-timur, di
mana Timor-timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun 2002. Menurut
Surbakti (2000:9), apresiasi budaya lokal (seperti makanan, pakaian, rumah adat
daerah) pada Orde Baru hanya secara simbolik, sedangkan putra daerah
cenderung kurang dipercayai. Padahal, kewenangan otonomi daerah diberikan
kepada daerah untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal
(Surbakti, 2000:9).Setelah era reformasi, usaha perkembangan ekonomi melalui
otonomi daerah mulai berkembang dengan baik. Hal ini dimulai dengan upaya
desentralisasi fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan perkonomian daerah
dan mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia (Indah,
2011). Pemerintah menerbitkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. UU No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi
daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas
daerah. Hal ini diperkuat oleh UU No. 25 tahun 1999 yang menjamin
ketersediaan sumber-sumber fiskal bagi pemerintah daerah. Kedua undang-
undang tersebut beberapa kali direvisi sehingga menghasilkan UU No. 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya UU
No 32 tahun 2004 mewujudkan sebuah pemerintahan lokal yang lebih
demokratis. Sebab, undang-undang tersebut menyatakan bahwa DPRD dan
kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dengan adanya pemilihan langsung,
pemerintah daerah mewakili masyarakat dalam pemerintahan untuk
mengusahakan yang terbaik bagi daerahnya. Pada era Reformasi, masyarakat
Indonesia mulai mengalami proses transformasi penting menuju era yang lebih
demokratis (Setiawan & Hadi, 2007). Adanya upaya desentralisasi fiskal
memperkuat perekonomian daerah yang secara tidak langsung turut memperkuat
perekonomian nasional. Selain itu, sejak era reformasi, pemerintah daerah lebih
leluasa dalam mengatur keuangannya tersendiri sehingga daerah lebih
6
berpeluang untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi
lokalnya.Perkembangan otonomi daerah yang membaik juga memberikan
peluang kepada masyarakat daerah untuk mengangkat kebudayaan lokal untuk
memperkuat jati diri bangsa. Kemajuan otonomi daerah dalam aspek budaya
dapat terlihat jelas di berbagai wilayah, seperti Jawa dan Bali. Berbagai
pembangunan infrastruktur terkonsentrasi di Jawa dan Bali karena daerah
tersebut memiliki citra daya tarik yang kuat akan alam dan kebudayaan
daerahnya. Meskipun daerah-daerah lain memiliki kebudayaan yang tak kalah
menarik, otonomi daerah belum dapat mewujudkan pemerataan dalam
perkembangan aspek budaya dalam tiap daerah. Hal ini karena pemerintah
daerah belum dapat mengemas daya tarik kebudayaan daerah secara baik,
pelayanan dalam bidang sosial budaya yang rendah, intepretasi budaya atau
alam yang belum memadai, dan lain sebagainya.
7
C. Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dilaksanakan berdasar pada acuan hukum yang berlaku, selain itu
pelaksanaan otonomi daerah juga merupakan implementasi tuntutan globalisasi yang
harus diberdayakan, yaitu dengan memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, nyata
dan bertanggung jawab. Maka, dengang adanya otonomi daerah, suatu daerah memiliki
hak yang lebih besar dalam penyelenggaraan daerahnya sendiri.
Pada pasal 2 ayat 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan, bahwa tujuan otonomi daerah adalah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali untuk urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah.
Umum disini mengacu pada masyarakat yang berada pada suatu daerah tertentu yang
menjalankan otonomi. Dengan adanya otonomi, diharapkan pelayanan untuk
masyarakat umum dapat ditingkatkan, sehingga masyarakat umum dapat terlayani
secara maksimal. Sistem otonomi akan memberikan respon cepat bagi masyarakat
yang memerlukan pelayanan, sehingga manfaat otonomi ini dapat dirasakan secara
langsung oleh masyarakat suatu daerah.
8
3. Meningkatkan daya saing daerah
Daya saing daerah meningkat, bukan untuk saling menjatuhkan daerah lain. Dengan
adanya otonomi, maka kearifan lokal suatu daerah akan muncul dan memberi warna
terhadap keanekaragaman, kekhususan, serta keistimewaan suatu daerah. Keberagaman
ini tetap mengacu pada semboyan berbeda-beda tetapi tetap satu, atau yang dikenal
dengan Bhineka Tunggal Ika. Secara umum, tujuan utama diberlakukannya kebijakan
otonomi daerah, yaitu untuk berbagi tugas dengan pemerintah pusat, agar pemerintah
pusat lebih berkonsentrasi dalam merumuskan kebijakan yang bersifat umum,
menyeluruh dan berskala besar, serta lebih mendasar.Pemerintah daerah memiliki hak
penuh, untuk mengelola rumah tangga daerah. Baik itu terkait penerimaan pajak,
pengelolaan pajak daerah, kebijakan daerah, dan semua hal terkait otonomi daerah, dan
tentunya disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.Untuk ini, pemerintah
pusat berkesempatan untuk mempelajari, merespons, serta memahami berbagai
kecenderungan global dan menyeluruh, serta dapat mengambil manfaat dari
pemberlakukan kebijakan otonomi daerah ini.
9
D. Asas-Asas Otonomi Daerah
Asas otonomi daerah ada 3, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas
pembantuan.
Ketentuan Pasal 1 angka 6 UU 23/2014 jo. UU 1/2022 menerangkan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam otonomi daerah, dikenal adanya istilah ‘asas otonomi’. Diterangkan Pasal 1
Angka 6 UU 23/2014 jo. UU 1/2022 yang dimaksud dengan asas otonomi adalah prinsip
dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah.
Sebagai informasi, asas otonomi daerah ini diatur dalam UU 23/2014, diterangkan bahwa
ada penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan tiga asas. Adapun 3 asas
otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
1. Asas Desentralisasi
Menurut Jazim Hamidi dalam Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, secara garis
besar asas desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari pusat
kepada daerah, di mana kewenangan yang bersifat otonom diberi kewenangan untuk
dapat melaksanakan pemerintahannya sendiri tanpa intervensi dari pusat.
Kemudian, Bagir Manan (dalam Triwulan, 2010: 122) mengemukakan bahwa jika
ditinjau dari penyelenggaraan pemerintah, asas otonomi daerah desentralisasi ini
bertujuan untuk meringankan beban pekerjaan pusat. Dengan adanya desentralisasi,
berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan ke daerah; dan pemerintah pusat dapat
memusatkan perhatian pada hal yang berurusan dengan kepentingan nasional.
10
2. Asas Dekonsentrasi
Titik Triwulan dalam Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia menerangkan
bahwa asas dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang pusat kepada daerah yang
sifatnya menjalankan peraturan dan keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk
peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan, dan/atau membuat
keputusan bentuk lainnya untuk dilaksanakan sendiri.
Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom
untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
provinsi (Pasal 1 angka 11 UU 23/2014 jo. UU 1/2022).
Diterangkan Bagir Manan (dalam Nugroho, 2017: 39), tugas pembantuan adalah bagian
dari desentralisasi dan tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantu.
Baik otonomi maupun tugas pembantuan, sama-sama mengandung kebebasan dan
kemandirian. Adapun yang membedakan keduanya adalah tingkat kebebasan dan
kemandiriannya. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian meliputi asas dan cara
menjalankan suatu pemerintahan, sedangkan tugas pembantu kebebasan dan kemandirian
hanya sebatas bagaimana cara menjalankannya, karena sama-sama mengandung unsur
otonomi maka tidak ada perbedaan yang cukup mendasar.
11
E. Prinsip Otonomi Daerah
Akan tetapi, harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seperti ketika
sebuah hal menjadi kewenangan pemerintah pusat. Maka pemerintah daerah harus
mengikuti aturan dari undang-undang tersebut.
Ketiga hal tersebut secara nyata sudah ada dan memiliki potensi untuk terus bertumbuh.
Selain itu, memiliki potensi untuk terus berkembang. Serta hidup sesuai dengan potensi
dari daerah tertentu.
Tujuan-tujuan yang akan dicapai menurut prinsip otonomi yang bertanggung jawab
adalah mampu dan dapat memberdayakan daerahnya masing-masing. Ini dilakukan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat yang luas.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat diwujudkan dengan ditentukan oleh
kapasitas yang dimiliki oleh manusia pelaksananya. Dan berarti otonomi daerah hanya
dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia pelaksananya baik, dalam arti
mentalitas maupun kapasitasnya. Pentingnya manusia pelaksana karena manusia
merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak atau berfunsi sebagai subyek
penggerak roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualifikasi mentalitas dan kapasitas
manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan implikasi yang kurang
menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam pemerintah daerah
terdapat Pemerintah Daerah yang penyelenggaraann urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kemudian Alat-alat
perlengkapan daerah, yaitu aparatur atau pegawai daerah dan terakhir rakyat daerah, yatu
sebagai komponen yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai
organisasi yang bersistem terbuka. Pelaksanaan kebijakan pemerintah kabupaten
Manokwari dalam pengentasan kemiskinan setelah berlakunya Otonomi Khusus Papua di
fokuskan pada sektor ekonomi dan pajak. Sebab kedu sector tersebut 92 secara tidak
langsung mampu melakukan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Manokwari.
Pengentasan kemiskinan di Kabupaten Manokwari pada awalnya masih sulit dilakukan,
namun semenjak adanya Undangundang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang telah
dicabut dengan UU No. 32 Tahun 2004 pengentasan kemiskinan dapat beranjak
meninggalkan garis ketinggalannya. Hal tersebut terlihat dengan adanya Undang-undang
Otonomi khusus yang berlaku sejak Tahun 2001 yang menitikberatkan pada salah satu
tujuan ekonomi Kabupaten Manokwari yaitu pengentasan kemiskinan.
Saran-saran
1. Sebaiknya para aparatur pemerintah daerah dibekali dengan pendidikan yang cukup
yang dapat dimiliki oleh aparatur daerah dalam menjalankankan tugas dan wewenangnya
masing-masing. Dan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan bijaksana dan
adil.
2. Perlu segera diadakan penelitian, tindakan dan evaluasi, khususnya dalam upaya untuk
menindak lanjuti berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan menyangkut
terlaksananya Otonomi daerah, sehingga pelaksaan Otonomi daerah baik menyangkut
13
kelembagaan, kewenangan dan tanggung jawab aparatur maupun sumber-sumber
pembiayaan dan sarana serta prasarana pendukung lainnya benar-benar dipastikan telah
ideal dan sesuai dengan aspirasi, tuntutan dan kebutuhan Daerah Otonom, 93 sehingga
tidak akan menimbulkan masalah-masalah fundamental di masa yang akan datang serta
masalah kemiskinan dapat diselesaikan secepat mungkin.
3. Agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik sehingga kemiskinan dapat
dikurangi, maka partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan di
daerah ditumbuhkembangkan sehingga masyarakat merasa ikut bertanggung jawab
terhadap keberhasilan pembangunan yang sedang dilaksanakan.
4. Otonomi dan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah
dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Salah satu hal yang harus diantisipasi
adalah kemungkinan terjadinya perpindahan penyelewengan dan KKN dari pemerintah
pusat ke daerah. Kasus di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang terlalu cepat tanpa pengawasan yang cukup
justru meningkatkan korupsi di daerah. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut
adalah dengan mengoptimalisasi fungsi pengawasan oleh DPR.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
Artis. 2014. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. (Pekan Baru: Uin Suska
Riau).
Azra. Azyumardi. 2006. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah).
Mahfud. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. (Jakarta: PT Rineka
Cipta).
Miriam, Budiardjo. 1996. Demokrasi di Indonesia. (Jakarta: Gramedia).
Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga. 2005. Pancasila dan Kewarganegaraan.
(Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga).
16
PETA KONSEP
Demokrasi Indonesia
Pengertian Demokrasi
Sejarah Demokrasi di
Indonesia
Prinsip-Prinsip Demokrasi
Landasan-landasan
Demokrasi Indonesia
Pelaksanaan Demokrasi di
Indonesia
17