Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN ANTARA OTONOMI

DAERAH DENGAN LAYANAN PUBLIK SERTA DEMOKRASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam suku,
agama, dan ras dari Sabang sampai ke Merauke. Disamping itu, secara geografis
Indonesia yang terletak diantara 6˚LU - 11˚LS dan 95˚BT - 141˚BT memiliki sumber
daya alam (SDA) yang beraneka ragam dan sumber daya manusia (SDM) yang
berbeda-beda pula dimasing-masing daerah. Perbedaan tersebut menjadi salah satu
dasar terbentuknya kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri yang sesuai dengan karakter
SDA dan SDM di daerah masing-masing.
Otonomi daerah merupakan proses pengejewantahan penerapan sistem
desentralisasi. Dimana sistem desentralisasi diterapkan sebagai tindak lanjut
demokratisasi di Indonesia. Negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi
secara faktanya tidak lepas dari permasalahan baik yang bersifat lokal maupun non
lokal. Justru fakta menunjukkan bahwa negara demokrasi mengalami permasalahan
yang sangat kompleks dibandingkan dengan negara non demokrasi. Masalah yang
sering terjadi berkaitan dengan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh rakyat.

B. Permasalahan
1. Bagaimana hakikat otonomi daerah?
2. Bagaimana sejarah otonomi daerah di Indonesia?
3. Bagaimana hubungan otonomi daerah dengan pembangunan daerah?
4. Bagaimana peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah
daerah?
5. Bagaimana paradigma pelayanan publik pemerintah daerah?
6. Bagaimana Demokrasi di Indonesia terkait dengan otonomi daerah?

C. Tujuan
1. Mengetahui hakikat otonomi daerah
2. Mengetahu sejarah otonomi daerah di Indonesia
3. Mengetahui hubungan otonomi daerah dengan pembangunan daerah
4. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi
pemerintah
5. Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik pemerintah daerah
6. Mengetahui demokrasi di Indonesia terkait dengan otonomi daerah

D. Manfaat
1. Agar menambah pengetahuan dan pemahaman tentang otonomi daerah
2. Agar pemerintahan pusat dan daerah dapat sejalan dan selalu berkoordinasi.
3. Kesejahteraan masyarakat didaerah semakin meningkat karena pembangunan
didaerah disesuaikan dengan kebutuhan didaerah
4. Daya kreasi dan inovasi masyarakat didaerah semakin meningkat karena setiap
daerah semakin meningkat karena setiap daerah berusaha untuk menampilkan
keunggulan daerah masing-masing
5. Meningkatkan pemberdayaan lembaga kemasyarakatan didaerah dalam rangka
partisipasi otonomi daerah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Otonomi Daerah


Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan
menghormati peraturan perundangan yang berlaku.
Desentralisasi yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kemudian popular dengan sebutan Otonomi Daerah
tentu bertujuan mulia. Intinya, undang-undang itu berkehendak menjadikan daerah
mandiri, kreatif, dan ujung-ujungnya masyarakat di daerah sejahtera. Desentralisasi
bukan berarti bahwa pemerintah pusat melahirkan ‘negara-negara’ merdeka di daerah.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 seharusnya diikuti dengan pengawasan yang
bertanggung jawab.
B. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Sebelum tahun 1945
Undang undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah jawa dan madura saja.
Sebelum tahun 1903, seluruh wilayah indonesia dipemerintah secara sentral dibawah
gubernur jenderal sebagai wakil raja belanda ditanah jajahan.kemudian raja raja
tersebut diberi kewenangan untuk diberi kewenangan untuk memerintah wilayahnya
berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani oleh pemerintah belanda dan raja
diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas pusat atas nama pemerintah
kolonial. Beberapa antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli Dan
Bone.
Setelah tahun 1945
Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini:
1. Undang undang No 1 tahun 1945
Pada dasarnya pengaturan pengaturan yang dimuat dalam undang undang 1/1945
tersebut, meneruskan sitem yang diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda. Sistem
ini mencerminkan kehendak pemerintah untuk menerapkan prisip desentralisasi dan
dekonsentrasisasi dalam sitem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan
kepada prinsip dekonstrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan
kepada figur kepala daerah.
2. Undang undang no 22 tahun 1948
Undang undang no 22/1948 hanya mengatur daerah tif. Uu tersebut hanya mengakui 3
tingkatan daerah otonomi yaitu : provinsi, kabupaten atau kotamadya dan terakhir desa
atau kota kecil.
3. Undang undang no 1 tahun 1957
Uu 1/1957 adalah produk dari sistem parlemen liberal hasil Pemilihan umum
pertamatahun 1955.
4. Penetapan presiden (penpers) nomor 6 tahun 1959
Pemerintah mengeluarkan penpers 1959 6/1959 untuk mengaturpemerintahan daerah
agar sejalan dengan Uud 1945. Dalam penpers tersebut diatur bahwa pemerintah
daerah terdiri dari kepala daerah dan dprd. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu
sebagai eksekutif daerah dan wakil pusat di daerah.
5. Undang undang no 18 tahun 1965
Berdasarkan UU 18/1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai
pimpinan daerah dan wakil pusat didaerah.
6. Undang undang no 5 tahun 1974
Adapun pokok pokok pikiran yang tertuang dalam UU 5/1974 adalah sebagai berikut:
a. Otonomi daerah hendaknya memperkuat persatuan bangsa dan mendukung
pencapaian kesejahteraan rakyat
b. Otonomi yang diberikan bersifak riil, dinamis dan bertanggung jawab.
c. Desentaralisasi dan dekosentrasasi diterapkan secara bersamaan dan tugas
perbuatan dapat dilaksanakan apabila diperlukan
d. Pemberian otonomi adalah untuk tujuan yang bersifat administratif maupun
demokratis
e. Pemberian otonomi ditujukan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas
pemerintah
f. Titik berat ekonomi diletakkan pada daerah tingkat II yiatu di kabupaten maupun
kotamadya Dati II.

C. Otonomi Derah dan Pembangunan Derah


Melalui UU No. 22 Tahun 1999, pembangunan daerah dilaksanakan melalui
penguatan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya yang mengarah pada
terwujudnya tata kepemerintahan yang baik atau good governance. Otonomi daerah
memberi hak serta wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundangundangan. Terdapat konsep desentralisasi dalam kebijakan
otonomi daerah yang merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannya.
Tuntutan reformasi akan keadilan dalam bidang ekonomi bagi masyarakat daerah
diwujudkan dalam kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan
penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumbersumber
keuangan daerahnya melalui prinsip money follos functions (Bahl, 2000:19). Kebijakan
ini diperkuat oleh UU No. 25 Tahun 1999 yang mengalami perubahan menjadi UU No.
33 Tahun 2004. Kebijakan desentralisasi fiskal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah
mampu menjalankan fungsinya dengan baik serta dapat mendukung dan meningkatkan
keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi (Saragih, 2003).
Pelimpahan wewenang dalam pengelolaan keuangan menuntut pemerintah daerah agar
dapat mandiri yang berarti bahwa dapat menggali potensi daerah sebagai sumber
penerimaan daerah serta dapat mengelola keuangan untuk melaksanakan
pemerintahannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada bulan Januari tahun 2000 sedangkan
untuk kebijakan desentralisasi fiskal sendiri baru dimulai pada tanggal 1 Januari tahun
2001. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki
wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri
dalam menetapkan prioritas pembangunan. Sehingga dengan adanya otonomi dan
desentralisasi fiskal diharapkan dapat lebih memeratakan pembangunan berdasarkan
potensi masingmasing daerah. Menurut Halim dalam Erlangga A. Landiyanto (2005), ciri
utama suatu daerah mampu melaksanakan suatu otonomi adalah
(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan
dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangannya sendiri untuk mengelolah pemerintahan;
(2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin.

D. Kebijakan Pelayanan Publik dalam Desentralisasi Pemerintah


Pelayanan publik merupakan aspek yang sangat penting dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
menjelaskan definisi pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang
undangan. Adapun implementasi pelayanan publik mendasarkan asas-asas berikut ini:
1. Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
yang yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Kondisional, yaitu sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan publik
harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Pelayanan masyarakat adalah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
sebagai tugas dan kewajiban pemerintah daerah dengan penuh tanggung jawab
berdasarkan peraturan yang berlaku. Menurut Fernandez , layanan publik adalah benda
dan jasa yang diserahkan selalu bersifat milik umum (common goods) yang biaya
produksinya sering kali tidak efisien secara finansial, bahkan benda dan jasa yang
diteransaksikan sukar diukur (intangible).
Pelayanan publik yang bermutu sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat tercapai dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak merugikan rakyat. Untuk itu pemerintah daerah harus
menegakkan prinsip keadilan porposional dalam memberikan pelayanan. Ini berarti
bahwa disatu sisi sumber daya yang menjadi esensi atau substansi pelayanan
masyarakat itu sejauh mungkin dapat di distribusikan berdasarkan atas tingkat
kemampuan dan kebutuhan publik yang dilayani, bukan lagi sekedar kebutuhan
birokrasi yang memberikan pelayanan.
E. Demokrasi dan Otonomi Daerah
Proses demokrasi dalam terbentuknya otonomi daerah ini di mulai pada tahun 1999
dengan ditetapkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam
beberapa pasal membenarkan bahwa otonomi daerah merupakan suatu wilayah
otonom dengan kewenangan mengatur, mengurus kepentingan masyaraktnya, oleh
karena itu otonomi daerah sebagai suatu sistem demokrasi dalam mewujudkan
kepentingan pemerintah pusat dalam menangulangi perbaikan sistem perekonomian
nasional yang hampir bangkrut dikarenakan beban utang luar negeri yang melambung
tinggi.
Buku ketiga Plato yang berjudul (Nomoi) Plato lebih menekankan konsepnya pada
para penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenanganya dengan
hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya. Beranjak dari pendapat Plato dan
Aristoteles maka salah satu ciri pemerintahan yang baik (good governance) adalah
masyarakat sejahtra, aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Untuk mencapai tujuan, yakni kesejahtraan umum tentunya pemerintah
(pemerintah pusat) tidak bisa bekerja sendiri tanpa campur tangan masyarakat, juga
pemerintahan di daerah.
Pemerintah perlu membagi-bagi tugas sehingga tujuan negara itu dapat dicapai
secara optimal dengan cara yang efisien dan efektif. Keikutsertaan masyarakat sangat
minim dalam proses pengambilan keputusan yang ada. Hal ini disebabkan karena
tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang hak-hak warga sangat sedikit, juga sering
muncul keenganan dari pihak pemerintah karena biasanya proses pengambilan
keputusan akan berjalan alot jika melibatkan banyak pihak. Maka secara struktural
pendapat masyarakat akan sulit diterima. Sementara disisi lain masyarakat hanya
dijadikan sebagai komoditas politik sesaat untuk mencapai tujuan politik semata. Oleh
karena itu masyarakat harus diberikan pendidikan mengenai keterlibatan mereka
sebagai warga negara dalam proses partisipasi, karena masyarakat adalah merupakan
salah satu unsur yang mengontrol penyelenggaraan pemerintah daerah, baik dalam
pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan. Monitoring dan evaluasi.
Keikutsertaan masyarakat dalam mengendalikan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat merupakan saran kontrol yang sangat baik karena
menumbuhkan “sense of belonging” terhadap daerah dengan semua problem yang
dimilikinya jika masyarakat semakin berdaya, maka kemungkinan penyimpangan dan
penyelewengan semakin kecil. Selain itu juga mekanisme partisipasi dan pengawasan
sosial terbangun, akan memperkecil cara-cara penyampaian aspirasi yang bersifat
kekerasan dan pemaksaan. Oleh karena itu, perlu di bangun ruang untuk mendorong
partisipasi masyarakat antara lain ; a. melaksanakan forum-forum dialog dan konsultasi
lintas pelaku pembangunan di daerah; b. pembangunan mekanisme penanganan
pengeluhan masyarakat dan mengembangkan mekanisme pengawasan dan
pengendalian pembangunan, jika hal itu terwujud maka harapan atas tumbuhnya
partisipasi dan pelaksanaan pemerintahan daerah akan berjalan dengan baik.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengembangan Ekowisata di Daerah memberikan pengertian ekowisata ialah kegiatan
wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur
pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya
alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Perkembangan ekowisata
Indonesia saat ini tidak sebanding dengan potensi wisata sumber daya alam yang
besar, mengingat keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya. Upaya
memaksimalkan pengembangan taman nasional, taman suaka alam, taman buru dan
suaka margasatwa sebagai kesatuan ekowisata, terkendala fasilitas perhubungan. Hal
tersebut terjadi akibat belum adanya pemahaman akan fungsi dan potensi sumber daya
alam yang dapat dikembangkan sebagai sumber pemasukan negara dari sektor
ekowisata, mengingat ekowisata memang bukan wisata massal, melainkan wisata
eksklusif. Dalam peningkatan pelayanan publik maka sangat diharapkan partisipasi
masyarakat hal ini sangat berguna dalam nilai kuantitas, kualitas, efesiensi pelayanan,
memotivasi dan memonitor birokrat pelaksana, demi mendorong pemerintah agar lebih
memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani, dan menuntun perbaikan dalam
pelayanan publik di daerah tersebut. Dalam menilai kinerja pemerintah dalam pelayanan
publik banyak indikator yang bisa dipergunakan antara lain : akuntabilitas, responsivitas,
orientasi tahap pelayanan, dan efisiensi.
BAB III
ANALISIS KASUS

Secara umum ada tiga tujuan yang harus dicapai dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk menciptakan pemberdayaan daerah dan masyarakatnya.
Pertama, menciptakan kondisi yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat tersebut. Kedua, mengembangkan perangkat pemerintahanan yang
menunjang tingkat peran serta masyarakat hingga unit pelayanan yang terkecil.
Kemudian tujuan yang ketiga yaitu mengembangkan sistem dalam pemenuhan di
tingkat lokal. Pembangunan daerah sangat mempengaruhi tingkat pemberdayaan
masyarakat lokal, karena pembangunan daerah sangat erat kaitannya dengan proses
penyelenggaraan otonomi daerah.

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Otonomi daerah dengan layanan publik serta demokrasi memiliki hubungan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan. Tercapainya layanan publik
yang memuasakan tidak terlepas dari pelaksaan otonomi daerah yang benar dan
proses demokrasi.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Kristiono, Natal. 2015. Buku Ajar Otonomi Daerah. Semarang: UNNES
Nurana, Anggun., dan Lutfi Mut’ali. 2010. Analisis Dampak Kebijakan Otonomi Daerah
Terhadap Ketimpangan Perkembangan Wilayah Di Kawasan Ciayumajakuning
Rumokoy, Nike K. 2013. OTONOMI DAERAH DAN PROSES DEMOKRASI DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH. Jakarta: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Vol. XXI,No. 4:13-20.
Sandi, I Made. 1985. Republik Indonesia, Geografi Regional. Jakarta : Jurusan Geografi-
FMIPA Universitas Indonesia.
www.surabaya.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/12/otonomi-daerah.pdf diakses pada
tanggal: 11 Oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai