Anda di halaman 1dari 55

HUKUM OTONOMI

DAERAH
Otonomi Daerah dalam Rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
Hakikat Otonomi Daerah
1 (REVISI KE 3)
 
2
 otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan
Istilah
pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara.

 Otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.

 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada


daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Urusan-urusan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi menjadi
wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa
sepenuhnya dilimpahkan kepada daerah, baik menyangkut penentuan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, maupun aspek-aspek yang menyangkut
pembiayaannya.
3
Beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi :
 Pertama , kehidupan berbangsa dan bernegara waktu itu sangat terpusat di
Jakarta. Sementara itu,  pembangunan belum optimal merata di wilayah lain.
 Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-
daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, ternyata tidak menerima
perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat.
 Ketiga, kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat
mencolok
4
Pemerintah memiliki fungsi :
 distributif yaitu mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang
sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi
sosial, pertahanan, dan keamanan dalam negeri.
 regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa ataupun
yang  berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan
tersebut.
 ekstraktif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka
membiayai aktivitas penyelenggaraan negara. Selain memberikan
pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, menjaga keutuhan
negara-bangsa, dan mempertahankan diri dari kemungkinan serangan
dari negara lain, merupakan tugas  pemerintahan yang bersifat universal.
5

Pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat. Di


antara argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi daerah yaitu:
1. Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Sebagai sarana pendidikan politik, Pemerintah daerah merupakan kancah
pelatihan dan  pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.

 Menurut John Stuart Mill, pemerintah daerah akan menyediakan


kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam
rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.
6
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan,
terutama karier di  bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional.
Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan
legislatif lokal), merupakan wahana yang tepat bagi penggodokan calon-
calon pemimpin nasional, setelah mereka melalui karier politik di
daerahnya. Melalui mekanisme penggodokan di daerah diharapkan
 budaya politik paternalistis yang sarat dengan budaya feudal bisa
dikurangi.
7
4. Stabilitas politik. Menurut Sharpe, stabilits politik nasional mestinya
berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks Indonesia,
terjadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun
1957-1958, karena daerah melihat kekuasaan Pemerintah Jakarta yang
sangat dominan.

5. Kesetaraan politik. Melalui desentralisasi, pemerintahan akan tercipta


kesetaraan  politik antara daerah dan pusat. Kesetaraan politik akibat
kebijakan desentralisasi otonomi daerah yang baik akan menarik minat
banyak orang di daerah untuk  berpartisipasi secara politik.
8

6. Akuntabilitas publik. Desentralisasi otonomi daerah pada dasarnya adalah


transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan maupun
budaya politik.

7. Melalui prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan


lebih akuntabel dan profesional karena dapat melibatkan peran serta
masyarakat luas, baik dalam hal penentuan pemimpin daerah (Pilkada) maupun
pelaksanaan program di daerah.
 
9

Visi Otonomi Daerah 


Penyelenggaraan pemerinthan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga
ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya:  politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Mengingat otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi,
karenanya
 visi otonomi daerah di bidang politik harus dipahami sebagai sebuah proses
untuk membuka ruang bagi
 lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
 memungkinkan  berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif
terhadap kepentingan masyarakat luas, dan
pengambilan keputusan yang taat pada asas
 memelihara suatu mekanisme
 pertanggungjawaban publik.
10

 Visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi


daerah di satu pihak harus
1. menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di
daerah, di pihak lain
2. mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
di daerahnya.
3. Otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah
daerah untuk
 menawarkan fasilitasi investasi,
 memudahkan proses perizinan usaha, dan
 membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerah.
11
 Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian
bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan
dan pemeliharaan integrasi harmoni sosial.

 Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya adalah memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya
sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk
merespons positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
 Aspek sosial-budaya harus diletakkan secara tepat dan terarah agar
kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis dan
keberlanjutan.
 
12

Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia


 
 Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1
Tahun 1945. Ini merupakan hasil dari  berbagai pertimbangan tentang
sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa
 pemerintahan kolonial.
 Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui
pengaturan pembentukan BPRD. Di dalam undang-undang ini ditetapkan
tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode
berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu
tiga tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai
penyerahan urusan kepada daerah. Undang-undang ini kemudian diganti
dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.
13

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang


susunan  pemerintahan daerah yang demokratis.
Di dalam undang-undang ini ditetapkan :
 dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom
istimewa, serta
 tiga tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan
desa/kota kecil.
 Mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian
urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah.
Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang
tentang Pembentukan Daerah.
14
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya
suatu  produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya.
Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan
daerah di Indonesia dari masa ke masa. Di sisi lain, hal ini bisa pula dipahami
sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya.
Periode otonomi daerah Indonesia pasca-Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 diisi
dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu :
 UU  Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai peraturan tunggal pertama yang berlaku
seragam untuk seluruh Indonesia),
 UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-
luasnya), dan
 UU No. 5 Tahun 1974.
15

Undang-undang yang disebut mengatur pokok-pokok


terakhir
penyelenggaraan  pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di
daerah.
Prinsip yang dipakai dalam  pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi
“otonomi yang riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab”.
Pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI
dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sesuai dengan prinsip- prinsip yang digariskan dalam GBHN yang
berorientasi pada pembangunan dalam arti luas.
Undung-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru
diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
16
Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari
perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim Orde Baru
dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sidang istimewa MPR Tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan,
pembagian, dan  pemanfataan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Momentum
otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI
melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang
secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip
otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
17
Tiga tahun setelah implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999,
dilakukan  peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada
lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah.
Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 Tahun
2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya  pengaturan tentang
pemilihan kepala daerah yang bobotnya hamper 25% dari keseluruhan isi UU
tersebut.
18

Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi


Daerah
 
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
 penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut :
 Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
 Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi lus, nyata, dan bertanggung
jawab.
 Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi
yang terbatas.
 Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
19
 Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah
administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan,
kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan  baru, kawasan
pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
 Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas  penyelenggaraan pemerintahan daerah.
 Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gurbenur sebagai wakil
pemerintah.
 Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan  pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
20

Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah


  Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan
prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme.
Jenis kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangani
oleh pemerintah di negara-negara federal, yaitu :
 hubungan luar negeri,  pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama,
serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh
pemerintah pusat, seperti kebijakan makroekonomi, standardisasi nasional,
administrasi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
pengembangan sumber daya manusia.
21

Otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan


bertanggung jawab. Disebut
 luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah
pusat; disebut
 nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut
yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan  berkembang di daerah;
disebut
 bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus
diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah dan antardaerah. Di samping itu,
22

 otonomi luas juga mencakup kewenangan yang utuh dan  bulat dalam
penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah
otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
23
Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif,
maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubenur akan mencakup kewenangan
dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi.
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka
otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
 Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam
bidang  pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.  
 Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian
pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya
manusia potensial,  penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan
pelabuhan regional,  pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan
budaya/pariwisata, penanganan  penyakit menular, dan perencanaan tata ruang
provinsi.
24
 Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata
ruang, penegakkan hukum, dan bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan
negara.
 Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah
kota diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten
atau kota tersebut.
25

Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki


kewenangan  pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan
yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi
dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya,
sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang
dimaksud ialah pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural,
yaitu
 bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat
sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif
 perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (perda)
memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.
26

Pemilihan, Penetapan, dan Kewenangan Kepala Daerah


Menurut UU No. 22 Tahun 1999, bupati dan wali kota sepenuhnya menjadi kepala
daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat
diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun
pemberhentian kepala daerah secara administratif (pembuat surat keputusan)
masih diberikan kepada presiden. Dalam
 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui
Pilkada langsung. Gubernur  pada saat yang sama masih merangkap sebagai
wakil pusat dan kepala daerah otonom.
 Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini
dilakukan  berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap peraturan daerah
(perda) yang dibuat oleh DPRD dan kepala daerah langsung dapat berlaku tanpa
memerlukan persetujuan pemerintah pusat.
 Pemerintah pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila perda itu
dinilai  bertentangan dengan konstitusi, UU, dan kepentingan umum. Bila daerah
otonom (DPRD dan kepala daerah) menilai pemerintah pusat menunda atau
membatalkan perda yang bertentangan dengan konstitusi, UU, atau
kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan
27
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan
pemerintah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada
daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:
1. Pertanahan
2. Pertanian
3. Pendidikan dan kebudayaan
4. Tenaga kerja 
5. Kesehatan
6. Lingkungan hidup
7. Pekerja umum
8. Perhubungan
9. Perdagangan dan industry
10. Penanaman modal
11. Koperasi
28

Kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan
kelautan seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Penjabaran
kesebelas kewenangan itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan
yang akan diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan kota, masih harus
menunggu penyesuaian sejumlah UU yang sejalan dengan  paradigma dan jiwa
UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004.
29
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom
kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai
berikut :
 Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga
masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas, dan
terjangkau. Hal ini disebabkan karena DPRD dan pemda sebagai produsen dan
distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih
mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala
daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang
berlingkup lokal daripada provinsi dan pusat.
30
 Kedua, penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten
dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor
politik lokal dan  bersumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk
mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan melakukan inovasi karena kewenangan
merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis
kewenangan. Hal ini berarti unsur-unsur budaya lokal  berupa pengetahuan lokal
(local knowledge), keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom), akan
dapat didayagunakan secara maksimal.
31
 Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata,
dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan
11 jenis kewenangan ini  juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia
yang berkualitas di kota-kota besar untuk  berkiprah di daerah-daerah otonom,
yang kabupaten dan kota.

 Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional


yang tidak saja hanya ditanggung kepada pemerintah pusat semata. Akan
tetapi, dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, diharapkan terjadi
diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisasi atau bahkan
menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal
dari otonomi daerah.
 
32

Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah


 
Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam
rangka memelihara keutuhan negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam
rangka memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan di
antara segenap warga bangsa. Kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22
Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang sangat luas
kepada daerah , khususnya kabupaten dan kota. Dalam  praktiknya kebijakan
Otda telah banyak menimbulkan kesalahpahaman.
33
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat
terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut :
 Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama
berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi
daerah, yaitu untuk  berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala
kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul karena ada
ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi
identik dengan outomoney”. Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”.
 Kedua, daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan ini merupakan
 pandangan yang keliru. Karena sebelum otonomi daerah yang berdasarkan UU No.
22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada
pemerintah daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari
uang dan subsidi dari pemerintah pusat.
34
 Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya
untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar.
Bersamaan dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus
bertanggung jawab untuk memberi dukungan dan bantuan kepada personel yang
ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan.
 UU No. 32 Tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di
berbagai negara yaitu “No mandate without funding” (tak ada mandat tanpa
dukungan dana). Artinya, setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat
kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakah itu berbentuk
Dana Alokasi Umum (DAU), ataupun Dana Alokasi Khusus (DAK), serta bantuan
keuangan yang lainnya.
35
 Keempat, dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat
otonomi memberikan kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan
inovatif dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma
kepatutan dan kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat
menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara nasional.
 Kelima, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan
memindahkan korupsi ke daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau
para penyelenggara pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah
menempatkan diri dalam kerangka sistem yang sarat korupsi, kolusi, nepotisme,
dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang lainnya. Untuk menghindari
praktik kekuasaan tersebut, pilar-pilar penegakkan demokrasi dan Masyarakat
Madani seperti partai politik, media massa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Ombdusman, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan LSM yang mengawasi
praktik korupsi, lembaga legislatif, dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai
 pengawas jalannya pemerintahan daerah secara optimal.
36

Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan


langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan
pembangunan daerah, di samping menciptakan keseimbagan pembanguan
antardaerah di Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang sentralistis pada masa lalu dampaknya sudah
diketahui, yaitu adanya ketimpangan antar daerah. Pembangunan daerah tidak
akan terjadi dengan begitu saja. Tanpa proses-proses pelaksanaan  pemerintahan
yang akuntabel yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah,
yaitu pihak legislatif, dan eksekutif di daerah. Kebijakan otonomi daerah
memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah,
terutama 11 kewenangan wajib sebagaimana ditegaskan dalam perundang-
undangan. Kesebelas kewenangan wajib tersebut merupakan modal dasar yang
sangat penting untuk pembangunan daerah.
37

Terdapat faktor-faktor prakondisi yang diharapkan dari pemerintah daerah, antara


lain :
 Fasilitas. Fungsi pemerintah daerah yang sangat esensial adalah
 memfasilitasi segala  bentuk kegiatan di daerah, terutama dalam bidang perekonomian.
 Segala bentuk  perizinan hendaklah dipermudah dan fasilitas perpajakan yang
merangsang penanaman modal. Hal itu merupakan langkah tepat bagaimana
menciptakan lapangan kerja secara maksimal bagi warga masyarakat, sehingga
pengangguran juga dapat dikurangi. Pembangunan di daerah akan berjalan
berkesinambungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
38
 Pemerintah daerah harus kreatif. Pembangunan daerah berkaitan pula dengan
inisiatif lokal dan kreativitas dari para penyelenggara pemerintahan di daerah.
 Kreativitas tersebut menyangkut bagaimana mencari sumber dana atau dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan mengalokasikannya secara tepat, adil, dan proposional.
 Kreativitas juga menyangkut kapasitas untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi
daerahnya, sehingga kalangan  pemilik modal akan tertarik menanamkan modal di
daerah tersebut.
 Kreativitas juga menyangkut kemampuan untuk menarik DAK dari pemerintah pusat
melalui penyiapan  program-program sosial, budaya, dan ekonomi yang berorientsi
kesejahteraan masyarakat daerah.
39

 Politik lokal yang stabil. Masyarakat dan pemerintah di daerah harus menciptakan
suasana politik lokal yang kondusif melalui transparansi dalam pembuatan
kebijakan  publik dan akuntabel dalam pelaksanaannya.
 Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha. Ada kecenderungan
yang mengkhawatirkan berbagai pihak bahwa pemerintah daerah sering kali
merusak tatanan yang sudah ada. Apa yang sudah disepakati sebelumnya, baik
melalui kontrak dalam negeri atau dengan pihak asing, sering kali “diancam” untuk
ditinjau kembali, bahkan hendak dimatikan oleh pemerintah daerah dengan alasan
otonomi daerah yang dipahami kebebasan pemerintah daerah bertindak. Kalangan
pengusaha asing dan domestik sering kali merasa terganggu dengan sikap kalangan
politisi dan birokasi daerah yang mencoba mengubah apa yang sudah disepakati
sebelumnya. Hal ini berdampak dunia usaha merasa tidak terlindungi dalam
kesinambungan usahanya.
40

Pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/NgO, terutama dalam


bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
 Pemerintah daerah dituntut untuk memahami semua aspirasi yang berkembang di
kalangan perburuhan, baik yang menyangkut upah minimum dan jaminan lainnya,
hak-hak buruh pada umumnya, perlindungan buruh wanita, ataupun menyangkut
keselamatan kerja dan kesehatan kerja.
 Pemerintah daerah hendaknya menjadi jembatan antara kepentingan dunia usaha
dengan aspirasi kalangan  pekerja/buruh.
 Pemerintah daerah juga harus lebih sensitif dengan masalah atau isu-isu lingkungan
hidup seperti penggundulan hutan, pencemaran air dan udara, kepunahan habitat
hewan dan tumbuhan tertentu, dan pemanasan global. Hal lain yang tidak kalah
 penting adalah keharusan pemerintah daerah untuk menjaga empat konsensus
kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
41

Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung


Dengan Pilkada langsung tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan
kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia,
dan otonom, sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden dan
anggota DPD, DPR, DPRD.
Pilkada langsung merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk
mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala
daerah.
 Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang
berdimensi hukum, moral, sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang memiliki
legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan  prosedur dan tata cara yang
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses kampanye dan
pemilihan yang demokratis dan sesuai dengan norma-norma sosial dan etika  politik
dan didukung oleh suara terbanyak.
42

 Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak ntuk memberikan suaranya


secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
 Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang  berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
 Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan
tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya,
setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
43

 Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak


akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih
memberikan suaranya  pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang
lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
 Jujur. Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggara Pilkada, aparat
pemerintah, calon/peserta Pilkada, pengawas Pilkada, pemantau Pilkada,
pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
44

 Adil. Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta


Pilkada mendapat  perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
mana pun.
 Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hubungan antara prakondisi
demokrasi dan efektivitas pemilihan langsung yang terbentuk tidak bersifat
linear melainkan hubungan timbal  balik. Artinya, jika prakondisi
demokrasinya buruk, maka pemilihan langsung kepala daerah akan kurang
efektif dalam peningkatan demokrasi. Jika prakondisi demokrasinya baik,
maka semakin signifikan Pilkada langsung bagi peningkatan demokrasi.  
45
Namun demikian, Pilkada langsung tidak lepas dari sejumlah kelemahan :
 Dana yang dibutuhkan.
 Membuka kemungkinan konflik elite dan massa.
 Aktivitas rakyat terganggu.  

Namun demikian, Pilakda langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya :


 Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat.
 Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau fraksi-
fraksi  politik yangtelah mencalonkannya.
 Sistem Pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik.
46

 Checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang.
 Criteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan
memberikan suaranya.
 Pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat.
 Kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi.
 Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
 Membangun stabilitas politik dan mencegah separatism.
 Kesetaraan politik.
 Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat
 
 
47

PEMEKARAN DAERAH ?
48
 Pemekaran daerah adalah
 suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah
otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah
otonom baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
49
 Adapun alasan dilakukannya pemekaran
daerah adalah:
 (i) timpangnya pemerataan dan keadilan;
 (ii) kondisi geografis yang luas dan pelayanan masyarakat
yang tidak efektif dan efisien;
 (iii) perbedaan civil society yang berkembang di masyarakat;
 (iv) iming – iming insentif fiskal; dan
 (v) status kekuasaan.
50
 Pemekaran wilayah yang terjadi adalah
 pemecahan atau pembagian sebuah wilayah menjadi
beberapa bagian lagi. Akibatnya, bagian-bagian di dalam
wilayah itu bertambah banyak. Misalnya adalah Provinsi
Lampung yang sebelumnya memiliki tujuh kabupaten/kota
kemudian dipecah lagi menjadi empat belas kabupaten/kota.
22 Des 2010

  
 Pemekaran Daerah Belum Menjadi Solusi
51
 Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan
pembentukan daerah otonom tertinggi di dunia. Sementara itu,
otonomi atau pemekaran daerah yang memiliki cita-cita luhur
mendekatkan pelayanan negara kepada masyarakat nyatanya
berbanding terbalik. Ada daerah otonom baru gagal dan sebagian
besar kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Djohermansyah Djohan mengatakan pertumbuhan daerah
otonom di Indonesia sudah tidak sehat karena pemekaran lebih
didorong faktor politis ketimbang objektif dan teknis
kepemerintahan.
 "Banyak daerah pemekaran tidak maju dan tidak bisa mandiri,"
ungkap Djohermansyah di Jakarta, kemarin.
 Menurutnya, Kemendagri setiap tahun mengevaluasi seluruh
daerah pemekaran dengan memberikan penguatan kapasitas
dalam hal menjalankan roda pemerintahan di daerah.
52
 Meski demikian, ia memastikan tidak ada moratorium pemekaran
daerah. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah disahkan pemerintah bersama DPR, pemekaran
daerah akan dilakukan sangat ketat oleh pemerintah melalui
kewenangan Kemendagri.

Persyaratan pembentukan diperketat melalui peraturan pemerintah,
antara lain syarat penduduk, luas wilayah, kemampuan mengelola keuangan,
dan terpenting potensi ekonomi. "Yang penting pemekaran melalui
mekanisme daerah persiapan. Kalau tiga tahun tidak berhasil, kita turunkan
kembali statusnya. Kalau tidak bisa, ya, tidak lolos," jelasnya.
 Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan pemerintah harus
mengevaluasi seluruh daerah otonom karena belum bisa memberikan ke-
sejahteraan bagi rakyat dan meningkatkan daya saing serta
pemerintahan yang baik.
 "Sejauh ini belum terbukti, pemekaran belum menjadi alternatif
53 layanan publik," kata Robert.
 Selain itu, dia menyarankan pemekaran perlu diatur lebih baik,
terutama membentuk desain besar penataan daerah tidak
sebatas angka statistik belaka.
 "Bukan dengan rencana 2025 ada 45 provinsi saja, tapi lebih ke
arah kualitatif, yakni memprioritaskan pemekaran daerah yang
berbatasan dengan negara lain, kepulauan, dan pedalaman."
 Berdasarkan data Kemendagri, sebelum 1999 jumlah daerah
otonom sebanyak 319. Periode 1999-2014 bertambah 223 daerah
otonom baru sehingga jumlah daerah otonom saat ini
membengkak menjadi 542.
  
 --- (Sumber Media Indonesia - Kamis, 3 Desember 2014 - dan,
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/6556/Pemekaran-
Daerah-belum-Menjadi-Solusi) ---
  
 DAFTAR PUSTAKA :
54  1.         Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Pusat Studi Hukum
FH. UII,     Yogyakarta, 2002
 2.        HRE Kosasih Taruna Sepandi, Manajemen Pemerintahan Daerah Era
Reformasi Menuju pembangunan Otonomi Daerah, Universal, bandung, 2000.
 3.         Hari Sabarno, “Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa”,
Sinar Grafika, Jakarta,  2007
 4.         Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi”, Bhuana Ilmu Populer (Kel Gramedia), 2007
 5.         M. Arif Nasution, dkk, “Demokratisasi & Problema Otonomi Daerah”,
Mandar Maju, Bandung, 2000
 6.         Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Daerah”, Nusa Media, Bandung, 2009
 7.         Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006
 8.        Soewoto Mulyosudarmo, “Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi”, Asosiasi pengajat HTN dan HAN Jawa Timur dan inTrans, malang,
2004,
  
 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
 1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
 2.      UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berikut UU
Perubahannya.
 3.      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 
  
55

 TERIMAKASIH
 SUNARNO DANUSASTRO

Anda mungkin juga menyukai