Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH DAERAH YANG TIDAK SIAP DENGAN

OTONOMI DAERAH
WAWASAN KEBANGSAAN

OLEH :
1. Nadya Inestafya Pakpahan 4316100001
2. Adityo Arkananta Panambang 4316100009
3. Cut Putri Andriani 4316100017
4. Lingga Choiruman Fahmi 4316100025
5. Muhamad Rizqy Jafa 4316100033
6. Andini Ari Fitria Wardani 4316100041
7. Rizka Fajri Hamzah 4316100050
8. Shabrian Wiendy Pratama 4316100058
9. Rofianti sulistiohartini 4316100067
10. Nadya Rahmawati Putri 4316100075
11. Novanti Ismi Yusri 4316100083
12. Aulia Ikramulloh 4316100091
13. Rheza Milladunka Sulthon 4316100101
14. Yasser Bramuarzani 4316100120
15. Ida Bagus Pundhara Sakyanary 4316100128

DOSEN : Dra. Dyah Satya Yoga Agustin M.Pd.

DEPARTEMEN TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasa system
penyelenggaraan pemerintahan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Karena
tidak mungkin pembahasan masalah otonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkan
dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah
desentralisasi itu sendiri. Pembahasan mengenai otonomi daerah akan diluaskan dengan
memakai istilah desentralisasi.

Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-


organ penyelenggara negara. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti
pembagian wewenang tersebut.

Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan social, ekonomi,


penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan politik yang edektif. Hak otonomi
memberikan peluang bagi masyarakat uuntuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah telah


berupaya secara terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam
meletakkan bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal jurisdiksi pemerintah
daerah bergeser di antara dua kutub nilai, yaitu nilai pembangunan bangsa (nation
building) dan stabilitas nasional disatu fihak, dan nilai otonomi daerah di lain fihak.
Respon juridis formal pemerintah Indonesia terhadap dilema ini, ternyata bervariasi dari
waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi konstitusional dan konfigurasi politik pada
suatu waktu tertentu.

Secara konseptual rumusan kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia sudah


dilakukan dengan maksimal. Akan tetapi, kenyataannya pada tingkat implementasi
pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah yang dimaksud
belum berjalan sebagaimana diharapkan. Karena itu, dalam makalah ini kami akan
mencoba untuk membahas mengenai bagaimana dengan daerah yang tidak siap dengan
otonomi daerah.

I.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah?
2. Apa tujuan dari otonomi daerah?
3. Apa saja dasar hukum otonomi daerah?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi otonomi daerah?
5. Bagaimana dengan daerah yang tidak siap dengan otonomi daerah?
6. Apa saja usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan daerah agar siap dengan
otonomi daerah?
I.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui tujuan dari otonomi daerah.
3. Untuk mengetahui dasar hukum otonomi daerah.
4. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi otonomi daerah.
5. Untuk mengetahui daerah yang tidak siap dengan otonomi daerah.
6. Untuk mengetahui usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan daerah agar siap
dengan otonomi daerah.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 PENGERTIAN OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah
berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata
autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang,
sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan
untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.[1]

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai
implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan
daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam
mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah
masing-masing.

Sedangkan desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab


dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Rondineli mendedfinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawwab dalam


perencanaan, manajemen, dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-
agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, atau unit yang ada dibawah pemerintah.

M. Tuner dan d. Hulme berpandangan bahwa yan dimaksud dengan desentralisasi


adalah transfer kewenagan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan public dari
pemerintah pusat kepada agen yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Dalam hal ini
pemerintah pusat menempatkan kerenangan kepada level pemerintah yang lebih
rendahdalam wilayah hirarkis yang secara geogradfis lebih dekat dengan yang dilayani.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.

II.2 TUJUAN OTONOMI DAERAH


Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk
memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada
pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional secara
menyeluruh.

Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan setiap
kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan
mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi sumber-
sumber pendspatan dan mampu menetapkan belanja daerah secara efisien, efektif, dan
wajar.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :

1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestik


kepada pemerintan daerah. Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan,
keagamaan, serta bidang keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah
terbagi atas dua ruang lingkup, yaitu daerah kabupaten dan kota, dan propinsi.

2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat.

3. Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi


yang dimiliki, serta lebih responsif terrhadap kebutuhan daerah.

4. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengatuan yang lebih jelas atas
sumber-sumber pendapatan daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan
yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi.

5. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan


kepada pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi
upaya pemberdayaan masyarakat.

6. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah yang merupakan suatu system
pembiayayaan penyelenggaraan pemerintah yang mencakup pembagian keuangan
antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar daerah secara
proposional.

II.3 DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH


Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1. Undang Undang Dasar.
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan
yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan
adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem
otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk
dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan
pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem
otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut
oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dan ayat (6) pasal yangsama
menyatakan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan
asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong
untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Namun, karena dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

II.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OTONOMI DAERAH


A. Faktor / Latar Belakang Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah
terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB)
menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah
yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa
menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan
prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan
dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan
investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya
kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang
didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua,
adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap
kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai
akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

B. Faktor Pendukung Terselenggaranya Otonomi Daerah


Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah merupakan desentralisasi sebagian
kewenangan dari pemeruntah pusat kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan
menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi kepada daerah haruslah
didasarkan kepada faktor-faktor yang dapat menjamin daerah yang bersangkutan
mampu mengurus rumah tangganya.

Diantara factor-faktor tersebut yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah


diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta kerersediaan
sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah tersebut.

1. Kemampuan Sumber Daya Manusia


Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah
bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur yang
kompeten, pembangunan daerak juga tidak mungkin dapat berjalan lancar tanpa
adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya
kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi
masyarakat.

Dalam mensukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang


berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauna tinggi. Sehingga benar
benar mampu menjadi innovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang
burkualitas.

2. Kemampuan Keuangan/Ekonomi

Tanpa pertumbuhan ekonomiyang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak


mungkin dapat ditingkatkan.sementara itu dengan pendapatan yang memedahi,
kemampuan daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan menungkat. Dengan
sumber daya manusia yang berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka
peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat pada daerah tersebut.

Penmgembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila


dikelola dengan secaraa optimal dapat menunjang pembangunan daerah dan
mewujudkan otonomi. Kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri akan
terus meningkat.

C. Faktor Keberhasilan Otonomi Daerah


Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan berbagai harapan baik bagi
masyarakat, swasta bahkan pemerintah sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi Pemerintah Daerah, terutama Kabupaten dan atau Kota dalam menjalankan
kebijakan otonominya. Disinilah perlunya mengidentifikasi berbagai dimensi/faktor
yang dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tujuan pemberian otonomi
daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena
itu, pelaksanaan otonomi daerah dikatakan berhasil atau sukses jika mampu mencapai
(mewujudkan) tujuan-tujuan tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai
berikut:

1. Kemampuan struktural organisasi

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala


aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan
ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam


mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan
kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.

3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki


kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.

4. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan,


pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud
pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-
sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah
pusat.

Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor
peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang
esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam
setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme
dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup
penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah
otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya.
Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk
memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi
daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.

Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam


pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia
ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar
mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula.

Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya
dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila
manusia sebagai subyek sudah baik pula.

Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat
mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam
kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik
keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara
tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah akan
menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala
kewajiban yang telah diberikan kepadanya.

Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan
daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang
bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk
melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.

Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan
untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik
akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti
alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian,
peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki
daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.

Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam
struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas
dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam


usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti
penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah
(1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah
tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada
Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.

D. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi kebijakan Otonomi daerah


Rondinellli dan Cheema (1983:30) dalam memperkenalkan teori implementasi
kebijakan, orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengarih faktor-faktor
implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah dibidang perencanaan
dan administrasi pembangunan. Menurut Rondinelli dan Cheema, ada dua pendekatan
dalam proses implementasi yang sering dikacaukan.

Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap implementasi itu


tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak
mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya
oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari
pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik
tersebut. Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut
sebagai pendekatan politik yang mengandung Administrasi merupakan bagian
integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan, dimana kebijakan
diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses
implementasi. Jadi, membuat 4 implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa
diperhitungkan (unpredictable). Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di negara-negara yang sedang
berkembang (termasuk Indonesia), karena kebanyakan para perumus kebijakan
mengenai desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan
pendekatan thecompliance approach daripada the political approach. Mereka
beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi
suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai
pelaksana secara teknik tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil
yang diharapkan segera akan dicapai. Akan tetapi, pengalaman mengenai
desentralisasi dan otonomi daerah di negara-negara sedang berkembang yang juga
menyangkut program dan kebijakan lainnya, menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan bukan hanya sekedar proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang
sudah ditetapkan. melainkan merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis
dan tidak dapat diperhitungkan.

Berbagai ragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan organisasi


kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan
dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh
pula implementasi tersebut mencapai tujuan kebijakan.

Menurut Rondinelli dan Cheema, ada empat faktor yang dipandang dapat
mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi bebas,
yaitu: environmental conditions: interofrganizational relationship; available
resources; and characteristic of implementing agencies. Signifikansi hubungan
pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain dalam mempengaruhi
pelaksananaan otonomi daerah sangat bervariasi dalam situasi yang satu dengan yang
lain.

Faktor environmental conditions mencakup faktor seperti struktur politik


nasional, proses perumusan kebijakan, infra struktur politik, dan berbagai organisasi
kepentingan, serta tersedianya sarana dan prasarana fisik. Suatu kebijakan ada
hakekatnya timbul dari suatu kondisi lingkungan sosial-ekonomi dan politik yang
khusus dan kompleks. Hal ini akan mewarnai bukan hanya substansi kebijakan itu
sendiri, melainkan juga pula hubungan antar organisasi dan karekateristik badan-badan
pelaksana di lapangan, serta potensi sumber daya, baik jumlah maupun macamnya.

Struktur politik nasional, ideologi, dan proses perumusan kebijakan ikut


mempegaruhi tingkat dan arah pelaksanaan otonomi daerah. Di samping kitu,
karakteristik struktur lokal, kelompok-kelompok sosial-budaya yang terlibat dalam
perumusan kebijakan, dasn kondisi infra-struktur. Juga memainkan peranan penting
dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Faktor inter-organizationships, Rondinelli memandang bahwa keberhasilan


pelaksananaan otonomi daerah memerlukan interaksi dari dan koordinasi dengan
sejumlah organisasi pada setiap tingkatan pemerintahan, kalangan kelompok-
kelompok yang berkepentingan.

Faktor resources for program implementation, dijelaskan bahwa kondisi


lingkungan yang kondusif dalam arti dapat memberikan diskresi lebih luas kepada
pemerintah daerah, dan hubungan antar organisasi yang efektif sangat diperlukan bagi
terlaksananya otonomi daerah. Sampai sejauhmana pemerintah lokal memiliki
keleluasaan untuk merencanakan dan menggunakan uang, mengalokasikan anggaran
untuk membiayai urusan rumah tangga snediri, ketetapan waktu dalam
mengalokasikan pembiayaan kepada badan/dinas pelaksana,
kewenangan untuk memungut sumber-sumber keuangan dan kewenangan untuk
membelanjankannya pada tingkat lokal juga mempengaruhi melaksanakan otonomi
daerah seefektif mungkin. Kepadanya juga perlu diberikan dukungan, baik dari
pimpinan politik nasional, pejabat-pejabat pusat yang ada di daerah, maupun golongan
terkemuka di daerah. Di samping itu, diperlukan dukungan administratif dan teknis
dari pemerintah pusat. Kelamahan yang selama ini dijumpai di negara-negara sedang
berkembang ialah keterbatasan sumber daya dan kewenangan pemerintah daerah
untuk memungut sumber-sumber pendapatan yang memadai guna melaksanakan
tugas-tugas yang diserahkan oleh pemerintah pusat.

Faktor characteristic of implemeting agencies, diutamakan kepada kemampuan


para pelaksana di bidang keterampilan teknis, manajerial dan politik, kemampuan
untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan
setiap keputusan, baik yang berasal dari sub-sub unit organisasi, maupun dukungan
yang datang dari lembaga politik nasional dan pejabat pemerintah pusat lainnya.
Hakikat dan kualitas komunikasi internal, hubungan antara dinas pelaksana dengan
masyarakat, dan keterkaitan secara efektif dengan swasta dan lembaga swadaya
masyarakat memegang peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang
sama pentingnya adalah kepemimpnan yang berkualitas, dan komitmen staf terhadap
tujuan kebijakan.

Menurut Rondinelli dan Cheema, hasil pelaksanaan kebijakan desentralisasi


dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung kepada hubungan
pengaruh dari keempat faktor tersebut, dan dampaknya diukur melalui tiga hal sebagai
berikut. Pertama, tercapainya tujuan kebijakan desentralisasi yang terwujud
pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, meningkatnya kemampuan lembaga pemerintah
daerah dalam hal perencanaan, memobilisasi sumber daya dan pelaksanaan. Ketiga,
meningkatnya produktivitas, pendapatan daerah, pelayanan terhadap masyarakat, dan
peran serta aktif masyarakat melalui penyaluran inspirasi dan aspirasi rakyat.

II.5 DAERAH YANG TIDAK SIAP DENGAN OTONOMI DAERAH

JAKARTA (SINDO) Mayoritas daerah pemekaran di Indonesia dinilai menjadi


tertinggal karena ketidaksiapan infrastruktur dan indeks pembangunan manusia (IPM)
rendah.

Selain itu,kebijakan otonomi daerah yang sudah dijalankan lebih sepuluh tahun
dianggap belum mampu mendorong penyelesaian disparitas ekonomi regional. Akibatnya,
daerah pemekaran tidak siap membiayai seluruh kebutuhan pembangunannya. Memang
belum ada data yang memastikan apakah ini signifikan bagi pengurangan kesenjangan atau
malah justru meningkatkan tingkat kesenjangan itu sendiri.

Namun, secara umum, daerahdaerah pemekaran belum siap untuk menjadi otonom,
kata Direktur Otonomi Daerah Bappenas Himawan Hariyoga di Jakarta kemarin. Menurut
Himawan, dilihat secara kasuistik, berkah otonomi terhadap pembangunan ekonomi bisa
dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama adalah kebijakan otonomi yang justru
menghasilkan daerah baru kategori tertinggal. Itu yang paling banyak. Ada pertambahan
daerah tertinggal hasil dari pemekaran, ujar dia.

Kedua, ungkap Himawan, pada beberapa kasus tertentu justru daerah induk yang
menjadi tertinggal dibanding daerah otonom baru yang dipisahnya. Hal ini terjadi karena
daerah otonom yang dipisah dari induk memiliki kekayaan alam dan sumber-sumber
penerimaan lain yang cukup. Dalam catatan SINDO, dalam dua bulan pertama 2008,
pemerintah telah mengesahkan beberapa pembentukan kabupaten/kota baru.

Beberapa di antaranya Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Puncak, Kabupaten Lanny Jaya,


Kabupaten Yalimo, Kabupaten Mamberamo Tengah, dan Kabupaten Nduga, Provinsi
Papua. Khusus di Sulsel, saat ini ada dua daerah yang sedang mengajukan proposal
pemekaran. Keduanya adalah Kabupaten Tana Toraja untuk dimekarkan menjadi
Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Luwu untuk dimekarkan menjadi Luwu Tengah.
Untuk Toraja Utara, usulan pemekarannya sudah mulai dibahas di DPR RI dan tidak lama
lagi resmi menjadi otonom.

Sementara Luwu Tengah proposalnya baru diserahkan ke DPRD Sulsel untuk


mendapatkan rekomendasi. Direktur Pengembangan Wilayah Bappenas Arifin Rudiyanto
menambahkan, otonomi juga ternyata menghasilkan daerah baru yang memiliki kinerja
pembangunan ekonomi seperti induknya. Arifin mencontohkan pemisahan Sulawesi Utara
dengan Gorontalo.

Ketika dipecah, IPM Sulut melonjak tinggi karena sebelumnya harus menanggung
IPM (indeks pembangunan manusia) daerah Gorontalo yang rendah.Namun, dalam
perkembangannya, karena kendali pembangunan jadi diperpendek, pertumbuhan IPM
Gorontalo juga jadi lebih cepat. Itu contoh positifnya, ujar Arifin. Deputi Meneg
PPN/Kepala Bappenas Max H Pohan mengatakan, pemerintah akan melakukan kaji ulang
(moratorium) terhadap daerah- daerah otonomi terhitung 10 tahun setelah memisahkan diri.

Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Wakil Ketua Komisi II DPR
Fachruddin mempertanyakan upaya moratorium pemekaran. Menurut dia, DPD sekalipun
tidak bisa menghalangi kehendak rakyat yang menginginkan pemekaran.Kalau
kemampuan daerah sangat mendukung untuk dimekarkan, kenapa mesti kita tolak?
tanyanya. Untuk itu,setiap usulan pemekaran disetujui, DPR harus melakukan verifikasi.
(zaenal muttaqin/ ahmad baidowi)

II.6 USAHA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MEMPERSIAPKAN DAERAH AGAR


SIAP DENGAN OTONOMI DAERAH
1. Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan wilayah

a. Pelaksanaa otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan
tanggung jawab pemerintahan pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan
otonomi terbatas.
b. Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugas-tugas
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan dipertanggung
jawabkan oleh pemerintah daerah.

c. Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan pusat didaerah, memfasilitasi dan mengakomodasi
kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan
ketentraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan
kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan
menjalankan kewengana lain.

d. Pejabat Pembina wilayah dilaksanakan oleh kepala daerah yang menjalankan dua
macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum.

2. Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan sumber daya manusia

a. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan sumber daya


manusia kepada daerah. Hal ini menjadi tugas berat bagi bagi daerah, karena SDM
pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak
maksimal.

b. Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan
dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

c. Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat,
pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan
jaringan dan kerja sama tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.

d. Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang
terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berjreatif dan membuat terobosan baru,
(4) memberikan penghargaan bagi yang berjasil, (5) mengembangkan pola
komunikasi yang efektif anatr PNS, (6) membangun suasana kerja di PNS yang
inovatif, (7) mengurangi hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang
mengganggu proses kerja professional, dan (9) mendelegasikan tanggung jawab
dengan baik.

e. Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat


perencanaan, melaksanakan kerja denagan pengawasan yang memadai, menentukan
prioritas, memecahkan masalah dengan inovatif, melakukan komunikasi lisa dan
tulisan, melakukan hubungan antarpribadi, dan memperhatikan waktu kehadiran dan
kretivitas.

f. Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi.

3. Implementasi otonomi daerah dalam penanggulangan kemiskinan


a. Masalah kemiskinan merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan
tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya.

b. Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor 25 tahun 1999,


dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang cukup dari
APBD.

c. Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan terpadu berdasarkan karakter


penduduk dan wilayah , dengan melakukan koordinasi antar instansi yang terkait.

d. Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan


peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan investasi yang dapat
menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.

e. Membangun paradigm baru tentang peran pemda, yaitu dari pelaksana menjadi
fasilitator, memberikan instruksi menjadi melayani, mengatur menjadi
memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk
mencapai misi pengembangan.

f. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi


kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi
konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut mengendalikan
pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu pengenatasan
kemiskinan.

g. Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil


kebijakan keluarga.

4. Implemantasi otonomi daerah dalam hubungan fungsional eksekutif dan legislative

a. Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat
dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD.

b. Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian


wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab
permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan public.

c. Asas dalam otonomi menurut UU no. 22 tahun 1999 adalah: (1) penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang
hankam, luar negeri, pradilan, agama, moneter, dan fiscal, (2) pelimpahan
wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat didaerah, dan
(3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.

d. Kepala daerah mempunyai wewenang: memimpin penyelenggaraan pemerintah


daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggungjawab kepada
DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.

e. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih gubernur/
wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/ wakil walikota, membentuk
peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapat belanja daerah, melaksanakan
pengawasan, memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian internasional
menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindak lanjuti aspirasi
masyarakat.

f. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan


komunikasi intensif, baik untuk tukar-menukar informasi, dan pengembangan
regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.

g. Prinsip kerja dalam dalam hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah adalah:
proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanan kerja melalui mekanisme
akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur
dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika.

5. Implementasi otonomi daerah dalam membangun kerja sama tim

a. Koordinasi merupakan masalah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering


bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperi PAM, PLN, dan Telkom
menunjukkan lemahnya koordinasi selama ini .

b. Dalam rangka otonomi, dimana pemda mempunyai wewenang mengatur selain


enam bidang yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur koordinasi sektor riil
seperti transportasi, sarana/ prasarana, pertanian, dan usha kecil serta wewenang
lain yang ditentukan Undang-Undang.

c. Lemahnya koordinasi selam otnomi daerah telah menimbulkan dampak negative,


diantaranya : inefisiensi organisasi pemborosan uang, tenaga dan alat, lemahnya
kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan tertunda-tunda, tidak
tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi
pembangunan.

d. Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda anatara lain
karena sesame instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana
pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis,
rendahnya kemauan bekerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando,
rendanya ketrampilan, integritas, dan percaya diri.

e. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus


menciptakan kerja sama tim.[4]
BAB III
PENUTUP
III.1 SIMPULAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tujuan otonomi daerah merata tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan
daerah merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Dasar hukum otonomi daerah :
Undang-Undang Dasar
Ketetapan MPR-RI
Undang-Undang
Usaha yang dapat dilakukan unuk mempersiapkan otonomi daerah :
Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan wilayah
Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan sumber daya manusia
Implementasi otonomi daerah dalam penanggulangan kemiskinan
Implementasi otonomi daerah dalam hubungan fungsional eksekutif dan
legislatif
Implementasi otonomi daerah dalam membangun kerja sama tim

III.2 KRITIK DAN SARAN

III.3 DAFTAR PUSTAKA


http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/keberhasilan-otonomi-daerah.html
http://bataviase.co.id/node/296914
http://ibnunurafandi.blogspot.com/2010/05/latar-belakang-otonomi-daerah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia
http://saifoel.multiply.com/journal/item/6
http://www.lan.go.id/pkkod/index.php?mod=6&d=72
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29501:
kita-harus-akui-otonomi-daerah-gagal-dan-janggal&catid=27&Itemid=102
http://referensiakuntansi.blogspot.co.id/2012/07/dasar-hukum-otonomi-daerah.html

Anda mungkin juga menyukai