1. Maryulianti
3. Nessya febiola
Pembimbing
A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya negara kesatuan republik indonesia para founding father setelah
menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan
negara. Demikian halnya dalam manajeman penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Pola-pola penyelenggaraan dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang aktual, sehingga
perlu pendekatan desentralistik. Peran pemerintah lebih di tekankan sebagai regulator dan
fasilitator untuk menciptakan iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial,
politik, ekonomi masyarakat agar berjalan dengan tertib, terkendali, demokratis dan efektif.
Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaran pemerintahan sesuai dengan tuntutan
keadaan sebagaimana tersebut diatas, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan
ditetapkan, di antaranya adalah pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun
1999, serta PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai daerah otonom.
Dalam masa transisi pelaksanaan otonomi daerah, adanya berbagai kekurangan atau
kelemahan kemungkinan akan muncul, makalah ini mencoba memahami problematika yang
akan timbul. Kekurangan dan kelemahan itu kita perbaiki sambil berjalan sampai di temukan
sistem dan mekanisme penyelenggaraan otonomi daerah yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan dan harapan kita bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” yang berarti
“sendiri”, dan “nomos” yang berarti “aturan”. Sehingga otonomi diartikan pengaturan sendiri,
mengatur atau memerintah sendiri.
Sedangkan jika ditinjau dari dasar hukumnya, arti otonomi daerah menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan
dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Arti otonomi daerah dengan demikian
adalah kemandrian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan
daerahnya sendiri, mengutip Ubedilah dkk dalam Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
Indonesia Center for Civic Education (2000).
Maka, otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah
pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan
dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan
mengacu kepada kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.
1
Athur, Muhammad 2012.Menggugah peran aktif masyarakat dalam otonomi daerah , dari http://w.w.w pelita
or.id/baca.php?id=4437, dikutip pda 27 maret 2012
6. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kpd daerah
& optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
D. Model Desentralisasi.
1. UU No. 1 tahun 1945: mengatur Pemda 3 jenis daerah otonom : karesidenan, kabupaten
dan kota.
2. UU No. 22 tahun 1948: mengatur susunan pemda yang demokratis 2 jenis daerah otonom :
daerah otonom biasa, dan otonom istimewa, dan 3 tingkatan daerah otonom : propinsi,
kab/kota & desa.
3. UU No. 1 tahun 1957: mengatur tunggal yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia.
4. UU No. 18 tahun 1965: menganut sistem otonomi seluas-luasnya.
5. UU No. 5 tahun 1974: mengatur pokok-pokok penyelenggara-an pemerintahan yg menjadi
tugas pempus di daerah. Prinsip yg dipakai: bukan otonomi yg riil dan seluas-luasnya, tetapi
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Alasannya, pandanganotoda yg seluas-luasnya
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yg dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan
tdk serasi dg maksud & tujuan pemberian otonomi.
6. UU No. 22 tahun 1999 ttg Pemda perubahan mendasar pd format otoda dan substansi
desentralisasi.
7. UU No. 25 tahun 1999 ttg perimbangan keuangan antara pempus dan pemda. Butir 6 & 7
memiliki misi utama desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pempus ke pemda, dan
juga pelimpahan beberapa wewenang pem ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi.
Kemudian UU tsb dianggap tidak sesuai dg perkembagnan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaraan otoda, shg diganti. Beberapa pertimbangan lainnya,
memperhatikan TAP dan Keputusan MPR, a.l : TAP MPR No.IV/MPR/2000 ttg
Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otoda; TAP MPR No.VI/MPR/2002 ttg
Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Pres, DPA, DPR, dan MA
pada sidang tahunan MPR RI Tahun 2002; Keputusan MPR No.5/MPR/2003 ttg Penugasan
MPR RI utk menyampaikan Saran Atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Pres,
DPA, DPR, dan MA pada sidang tahunan MPR RI Tahun 2003.
8. UU No. 32 tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah pengganti UU No. 22 tahun UU No. 33
tahun 2004 ttg Perimbangan Keuangan antara pemerinah Pusat dan pemerintah Daerah UU
No. 25 tahun 1999 Dalam melakukan perubahan UU, diperhatikan berbagai UU yang terkait
di bidang Politik dan Keuangan Negara, a.l : UU NO. 12 Tahun 2003 ttg Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD; UU NO. 22 Tahun 2003 ttg Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD; UU NO. 23 Tahun 2003 ttg Pemilihan Pres dan Wapres; UU NO. 17 Tahun 2003 ttg
Keuangan Negara UU NO. 1 Tahun 2004 ttg Perbendaharaan Negara UU NO. 15 Tahun 2004
ttg Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
Secara garis besar uu no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dengan jelas mengatur
masalah pembagian kewenangan ini. Undang-undang menyuratkan bahwa kewenangan
pemerintah ditingkat lokal akan bertambah dan mencakup kewenangan pada hampir seluruh
bidang pemerintahan.
Sementara itu kewenangan yang terdapat pada pemerintah pusat terbatas hanya pada
kewenangan dibidang:
a. Politik luar negeri.
b. Pertahanan keamanan
c. Peradilan.
d. Moneter dan fiskal.
e. Agama.
f. Kewenangan dibidang lain.
Khusus mengenai kewenangan dan tanggung jawab di bidang lain yang masih dimiliki oleh
pusat sebagai mana dijelaskan dalam pasal 7, UU Nomor 22 Tahun 1999 meliputi kewenangan:
a. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro.
b. Dana perimbangan keuangan.
c. Sistem administrasi dinegara dan lembaga perekonomian negara.
d. Pembinaan dan pemberdayaan manusia.
e. Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis.
f. Konservasi.
g. Standarisasi nasional.
Didalam UU No. 22 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan daerah adalah:
“mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan republik indonesia.” Kewenangan
ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan yang masih
harus ditangan pusat.
Pembagiaan kewenangan dari sudut pandang masyarakat dapat ditentukan dengan siapa yang
akan menerima manfaat dan siapa yang akan menanggung beban atau resiko atau dampak
sebagai contoh penyelenggaraan upaya pertahanan negara akan bermanfaat bagi seluruh bangsa
dan harus didanai oleh seluruh bangsa secara nasional, oleh karenanya bidang pertahanan
merupakan kewenangan pemerintah nasional ( pusat). Namun “ lampu penerangan jalan”
misalnya, hanya bermanfaat bagi penghuni kota atau permukiman tertentu dan dapat didanai oleh
masyarakat setempat karenanya hal ini mutlak kewenangan pemerintahan kota.
2
Pasal 1 huruf i, UU No.22/1999
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undang.