Anda di halaman 1dari 12

JAWABAN 1

kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur
dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 (yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kedua undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah yang
lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, baik berkaitan dengan masalah
desentralisasi kewenangan (power sharing) maupun desentralisasi keuangan (fiscal
decentralization). Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat ke
daerah di maksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah agar dapat tercipta, antara lain:

a. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah;

b. Berkembangnya kehidupan yang demokratis yang disertai dengan peningkatan peran serta
masyarakat dalam perencanaan pembangunan di daerah

c. Terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Soedjito dalam Mulyanto, 2002: 1-2). Dengan ditetapkannya UU No.22/1999 dan UU
No.25/1999 yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya UU No.25/2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004; mengisyaratkan adanya 4 (empat) pilar
yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:

a. Kapasitas aparat daerah;

b. Kapasitas kelembagaan daerah;

c. Kapasitas keuangan daerah, dan

d. Kapasitas lembaga nonpemerintah di daerah.


Faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia yaitu :

1. Faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan otonomi daerah.


2. Faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintah daerah.
3. Faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan daerah.
4. Faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik, efisien, dan efektif.

Factor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kata lain, salah satu ciri
dari daerah otonom terletak pada kemampuan self supporting-nya dalam bidang keuangan,
termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber keuangan
dengan baik dan menggunakannya secara tepat dan benar. Daerah harus mempunyai
sumbersumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaran otonominya.

Menurut pernyataan dari ( Wahidin,2015 :86 ) Otonomi daerah harus di laksanakan


dengan penuh perhitungan dan di landasi dengan prinsip yang jelas.

Prinsip otonomi dari secara garis besar diantaranya :

1. Pelaksanaan otonomi daerah harus memperhatikan aspek demokratis, keadilan,


pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas nyata dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi luas di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan tingkat provinsi
otonomi terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan fungsi legislative dan fungsi anggaran.
7. Pelaksanaan otonomi daerah harus bedasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Berbagai macam prinsip dan asas di dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut di
terapkan agar tujuan-tujuan otonomi daerah tercapai. Sebaik apapun pelaksanaan otonomi
daerah, tidak akan berjalan dengan baik dan meraih sasaran apabila tidak di dasari dengan
niatan yang baik dari pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan tersebut. Maka
dari itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu dukungan sebuat tata kelola pemerintahan
yang baik dan bersih, yang di sebut dengan a good and clean government.

JAWABAN 2
Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat banyak hambatan yang sering terjadi seperti,
perbedaan konsep, paradigma otonomi daerah,

Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan para
pejabat. Di antara mereka ada yang menanggapi otonomi daerah sebagai prinsip
penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-
sifatnya dalam konteks negara kesatuan (Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik,
di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk bertindak memenuhi
kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan
persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam,
sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang
menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang
sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai
intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari
belenggu Pemerintah Pusat.
Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata ( UU No.
22/1999) memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota)
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada
daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan
keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan
bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga, perekonomian negara, pembinaan,
dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan
teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.

Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence
dari suatu institusi (Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi
yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi
publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak
diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah
satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari
lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung
menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.

Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di
mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini
didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan
perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai
kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian. Apabila dikaji lebih jauh, UU No.
22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945
yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara
adalah “negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi
Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan
yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan
tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi,
kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah
ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah.
Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah.
Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi”
namun isinya adalah ”sentralisasi”.

Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan


pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal
yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-komponen
terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada dan memilih
yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai
kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat
campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal
yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4
ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara
provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu
sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota
(lihat Pasal 9). bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki?
Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada
lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural.

Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI


mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota.
Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar
biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan
oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa.
Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.

Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini
tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri.
Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan
secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma
politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi
dari lembaga yang lebih tinggi.

Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa


pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk
menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi
agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat
memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk
dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi
“otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi
birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi
tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh
Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma
“kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan
sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di
Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi
dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan
“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah
otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat,
namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi
daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan
sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.

KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Hingga saat ini aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi
(standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).

Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,


standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat,
dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen
telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani
berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik,
program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat
persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus
menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini
telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa
aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi
administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan
mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic
(Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).
LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT.
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan
masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama,
perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi.
UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan.
Sayangnya, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak
diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat
yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap
pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak
leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik
yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri
apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini
akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang
memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang
dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas
pemerintah daerah dan aparatnya.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi
daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan
visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi
dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma
baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural
Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang
orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih
menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa “memberikan otonomi
daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya
auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah
hakikat otonomi menurut Hatta.

JAWABAN 3

Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam mengelola
pemerintahan daerah dengan memberikan beberapa hak istimewa sehingga pemerintah daerah
dapat membantu pemerintah pusat dalam mengurusi setiap daerah di wilayah indonesia sehingga
dapat berkembang menjadi lebih baik di segala aspek seperti ekonomi dan pengelolaan sumber
daya manusia serta sumber daya alamnya. Untuk itu perlu beberapa tindakan yang mencegah hal
tersebut agar tidak merugikan negara indonesia.

Solusi yang dapat diberikan untuk menanggulangi hambatan dari pelaksanaan otonomi daerah di
wilayah indonesia harus penuh dengan perhitungan dan di landasi denngan prinsip yang jelas.
Secara garis besar prinsip otonomi daerah dapat di uraikan dari pernyataan berikut ini.
(Wahidin,2015 :86 )

Prinsip otonomi dari secara garis besar diantaranya :

1. Pelaksanaan otonomi daerah harus memperhatikan aspek demokratis, keadilan,


pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas nyata dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi luas di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan tingkat provinsi
otonomi terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan fungsi legislative dan fungsi anggaran.
7. Pelaksanaan otonomi daerah harus bedasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

Pelaksanaan otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu
kebijakan besar yang berarti adanya pemecahan kewenangan antara pemerintah pusat daerah.
Oleh karena itu di samping berpegang pada prinsip-prinsip yang telah disampaikan tersebut,
harus taat pada asa juga. Asas otonomi daerah di bedakan menjadi dua, yaitu asas umum dan asa
khusus. Asas umum terdiri atas kepastian hokum, tertib penyelenggaraan Negara, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Sedangkan asas khusus, dapat di bagi lagi menjadi tiga, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan.

Sebaik apapun pelaksanaan otonomi daerah, tidak akan berjalan dengan baik dan meraih sasaran
apabila tidak di dasari dengan niatan yang baik dari pemerintah daerah untuk menjalankan
kebijakan tersebut. Maka dari itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu dukungan sebuat tata kelola
pemerintahan yang baik dan bersih, yang di sebut dengan a good and clean government.

Pemerintahan juga harus tegas dalam membantu menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah dengan cara, Memperketat pengawasan dalam penggunaan anggaran belanja daerah,
memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai otonomi daerah yang berhubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, memberikan hukuman kepada para pejabat daerah yang melakukan
korupsi, Mendorong pemerintah daerah untuk mandiri dan juga tidak selaluu bergantung pada
pemerintah pusat, memberikan pelatihan para pejabat daerah dalam melaksanakan otonomi
daerahnya agar berkembang lebih baik lagi, dan bila perlu memfasilitasi pemerintah daerah
dalam menjalin hubungan dengan investor asing sehingga dapat meningkatkan anggaran belanja
daerah secara mandiri dan kerjasama dalam membangun daerahnya.

Masyarakat harus tetap berpartisipasi dalam hal pengambilan keputusan dan pengawasan yang di
lakukan terhadap jalannya pemerintahan. Dan menghindari hal-hal yang berbau sogokan, agar
terhindar dari korupsi, untuk membangun otonomi daerah yang bersih dan tertib di daerahnya.
JAWABAN 4

Mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi kepada masyarakat, di mana


mahasiswa harus memiliki kepekaan untuk berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi di
luar dirinya maupun kegiatan kampus, baik itu masyarakat umum di lingkungan kampus maupun
masyarakat sekitarnya atau bahkan permasalahan bangsanya. Terlebih lagi bagi mereka yang
berkuliah di universitas negeri, di mana kampusnya dibangun dengan uang masyarakat kecil.
Sudah sepatutnya mahasiswa itu lebih memiliki tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu,
sebagai mahasiswa, kita diharapkan mempunyai andil dan kontribusi nyata terhadap masyarakat.

Good Governance atau tata kelola pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik
dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan
mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-
kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Indikator pemerintahan yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan
indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat dalam aspek produktifitas maupun dalam daya
belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan indikator rasa aman, tenang dan
bahagia serta sense of nationality yang baik.

Peran mahasiswa dalam masyarakat, terutama dalam pelaksanaan “Good Governance”


Mahasiswa memiliki tiga peran penting yang harus dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat
diantaranya, Agent Of Change, Sosial Control, Moral Force.

Peran mahasiswa dalam masyarakat dikenal sebagai agent of change (agen perubahan).
Mahasiswa merupakan penggerak perubahan ke arah yang lebih baik. Melalui pengetahuan, ide,
dan keterampilan yang dimilikinya, mahasiswa bisa menjadi lokomotif kemajuan. Peran
mahasiswa sebagai agen perubahan itu tak hanya dalam sosial politik. banyak juga mahasiswa
yang bergerak sebagai penggerak ekonomi sekitar misalnya dengan memproduksi sebuah produk
dan akhirnya bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Mahasiswa juga dikenal memiliki peran social control. Maksudnya adalah mahasiswa memiliki
kontrol sosial terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketika ada kejadian yang
tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan nilai luhur bangsa, maka mahasiswa akan memberikan
saran, kritikan, dan solusi. Dengan begitu diharapkan arah kebijakan para pemimpin tidak
sampai melenceng.

Mahasiswa juga dikenal sebagai kekuatan penjaga moral (moral force). Peran mahasiswa dalam
masyarakat ini begitu penting untuk menjaga nilai-nilai baik dalam masyarakat. Di dunia global
seperti sekarang, banyak nilai-nilai luar yang mudah masuk ke dalam negeri. Moral yang tidak
sesuai dengan jati diri bangsa ini harus ditangkal. Mahasiswa merupakan kekuatan untuk
menjaga nilai-nilai baik dalam masyarakat. Dengan terjaganya moral masyarakat maka
diharapkan kekuatan bangsa pun akan lebih kuat. Lebih dari itu, bangsa Indonesia memiliki
kepribadian khas yang berakar dari sejarah dan tradisi bangsa. Nilai itu yang perlu dijaga
bersama, termasuk oleh mahasiswa.

Referensi :

https://slideplayer.info/slide/2608898/

BMP MKDU4111 : 9.17 – 9.23

http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/sylggb.x
html

https://media.neliti.com/media/publications/122594-ID-implementasi-good-governance-pada-
organi.pdf

Anda mungkin juga menyukai