PENDAHULUAN
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan
penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam Desentralisasi politik adanya
sebuah birokrasi yang muncul, dalampendidikan otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai
garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan
apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan
rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam mengelola
keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber
daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah
Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme
aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan
manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan
memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-
oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya
tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan
yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu
harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi
pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim
Icce Uin Jakarta dan Prenada Media.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya. Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar.
Jakarta: LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
BAB 1
Pendahuluan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan nikmat dan karuniaNya yang begitu luar biasa kepada hamba – hambanya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Menejemen Pemerinahan Daerah tentang “Tugas
Pokok dan Fungsi Sekda” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini tentunya tidak dapat selesai tepat pada waktunya tanpa ada dukungan dari
pihak – pihak lain yang senantiasa memberikan masukan dan arahan demi terselesaikannya
makalah ini dengan baik. Oleh karena itu ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dosen
mata kuliah Menejemen Pemerintahan Daerah yang telah memberikan bimbingannya.
Terlepas dari itu semua, tentunya makalah ini masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki, sehingga saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas-tugas kami
selanjutnya dikemudian hari.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi dunia
pendidikan, serta tambahan wawasan bagi pembacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
3.1 KESIMPULAN
Jadi, Sekretaris Daerah adalah pemimpin sekretariat daerah sebagai unsur staf yang
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sekretaris daerah
bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri
Sipil(PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai
pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan paling puncak dalam pola
karier PNS di Daerah.
3.2 SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi kebaikan tugas
kelompok kami selanjutnya.
HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN DPRD DALAM PELAKSANAAN UU
NO 32 TAHUN 2004
Jika kita lihat DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi;
(b). angket; dan (c). menyatakan pendapat.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya
setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga
pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling
membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan
kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain
dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
URUSAN PEMERINTAHAN
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan
daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi
dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan
kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam penyediaan pelayanan
publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat
dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat membentuk suatu dewan
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan
ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan tata
laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dewan tersebut bertugas memberikan
saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai rancangan kebijakan:
pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus;
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah.
Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan,
Pemerintah dapat: (1) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan.(2)
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah atau; (3)
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Pelaksanaan pemerintahan daerah yang seharusnya didalam prakteknya haruslah sesuai dengan
asas legalitas. Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku. Pemerintah
daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampaui wewenang,
atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara Sejahtera
Nurcholis Hanif, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007 dan uu no 32 tahun 2004
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik
yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai
dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang
mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh
pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya
Bagaimana sikap pemerintahan menyikapi permasalahan etika dan norma dikalangan para pejabat
?
2. Penolakan pejabat daerah terhadap pemerintah pusat terhadap kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak)
BAB II
PEMBAHASAN
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan
mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti
dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan
oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa
PENGERTIAN ETIKA
Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari Bertens,2000), etika
mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata
‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak);
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia
yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita
surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan
dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena
maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’
dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut
dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih
mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama
Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai
ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik
Jurnalistik
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang
yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini
sama artinya dengan filsafat moral.
PENGERTIAN MORAL
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat.
Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama
dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat.
Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata
‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya
saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan
bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang
itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita
mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-
nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan
‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya
segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang
bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam
pergaulan agar hubungan selalu baik.
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika
saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan
tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar
etiket.
Pengertian Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena
mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri”
merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri
dengan tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar
kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku.
Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja
makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak
ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
Arti Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan
mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam
selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap
sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika
yang tidak bisa ditawar-tawar.
4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga
bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar
sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik,
sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.
Masalah yang dimaksud mungkin banyak. Namun, yang paling menyita perhatian adalah kasus
para kepala daerah yang turut berdemonstrasi menentang pemerintah pusat menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM). Turut disorot pula sikap kepala daerah yang sudah menjabat selama
dua periode berniat mencalonkan kembali sebagai wakil kepala daerah.
\Pemerintah pusat menganggap telah terjadi situasi yang rumit. Di satusisi, pemerintah pusat
menganggap bahwa kerap terjadi pelanggaran etika yang dilakukan kepala daerah. Namun, di
sisi lain, banyak kepala daerah menganggap mereka melakukan tindakan yang benar karena tidak
melanggar peraturan perundang-undangan. Karena tidak ada aturan hukum tertulis yang
dilanggar, pemerintah pusat merasa kesulitan untuk melarang tindakan yang tidak etis tersebut.
Dari sini, pemerintah pusat merasa perlu untuk menyusun UU ini.
Sekalipun niat awal pembentukan UU Etika baik, secara normatif, patut dipertanyakan
urgensinya karena sistem hukum sesungguhnya telah mengantisipasi permasalahan tersebut.
Sekiranya terjadi sesuatu yang debatable mengenai boleh tidaknya suatu tindakan yang tidak
diatur dalam peraturan tertulis, solusinya mencari hukum.
Misalnya, menggunakan logika hukum serta menggali nilai-nilai hukum yang terdapat pada
norma hukum dan asas hukum, perasaan hukum dan keadilan masyarakat, atau mencari nilai
filosofis yang terkandung dalam suatu peraturan hukum.Satjipto Rahardjo menjelaskan konsep
ini dengan contoh sederhana. Sekiranya ada orang waras yang buang air kecil di kelas, tindakan
orang tersebut salah. Kesimpulan tersebut tidak harus berpatokan pada ada tidaknya aturan
tertulis yang menyatakan, "dilarang buang air kecil di kelas", namun dapat berpatokan pada asas
kepantasan yang hidup dalam masyarakat, buang air kecil harus di toilet.
Mekanisme serupa sesungguhnya juga dapat menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam
pemerintahan. Upaya untuk mencegah kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan
pemerintah pusat tidaklah harus diatur dengan peraturan tertulis, cukup merujuk pada asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Salah satu poin dari AUPB tersebut menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh untuk
menarik wewenang yang sah dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam Erliyana, 2007). Kepala
daerah memang berwenang menyerap aspirasi warganya, namun wewenang tersebut tidak boleh
untuk "mengganggu" wewenang pemerintah pusat. Terkait unjuk rasa kepala daerah yang
menentang kenaikan harga BBM, itu erat dengan wewenang pemerinta pusat sebab penentuan
harga BBM merupakan masalah yang terkait dengan fiskal dan moneter. Dua hal tersebut,
menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Lebih dari
itu, semangat konsep pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah daerah senantiasa segaris
dengan pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan demikian, kasus demonstrasi kepala daerah dapat
dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis.
Pendekatan serupa juga dapat untuk membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai
menjabat selama dua periode namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah
dalam pilkada selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot membuat aturan tertulis untuk
melarang niat tersebut karena pemerintah dapat menolak berdasarkan doktrin hukum. Hipotesis
Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah diakui dan menjadi sebuah doktrin
dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis tersebut, besaran serta durasi kekuasaan senantiasa
harus dibatasi.
Khusus untuk pembatasan durasi kekuasaan, sistem pemerintahan telah menyepakati masa dua
periode adalah masa yang maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945, Pasal 110
Ayat 3 UU 32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat ketiga kalinya patut
dipandang sebagai tindakan yang tidak etis.
Maka dari itu, elaborasi tersebut memberi pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu tindakan
sudah dapat terlihat jelas sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu peraturan tertulis. Untuk
itu, wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu.Lebih dari itu, mengatur etika dalam bentuk
peraturan tertulis dapat mengunci fleksibilitas penemuan hukum tadi. Apabila UU ini lahir,
pemerintah dan masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan terdorong untuk menggunakan
UU ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai hukum dari asas, norma, atau sumber lainnya
terpinggirkan.
Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup
masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut.
Perlu pula diwaspadai sifat dari peraturan tertulis yaitu cepat usang. Peraturan selalu berjalan
tertatih-tatih di belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa depan terdapat kejadian yang
dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU ini, pelanggar juga dapat menghindar karena
tidak diatur dalam UU. Dengan demikian, baik kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali
rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan. Selain karena dipandang tidak perlu, pengaturan
etika dalam peraturan tertulis justru akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan
dalam menilai etis tidaknya suatu tindakan pemerintah.
2.5 Masalah Etika Organisasi Pemerintah
Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika organisasi
pemerintah. Salah satu contoh nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi
pemerintah yaitu KKN.
Adapun definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa
harus melibatkan hubungan negara.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di
bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh
menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus
yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.
Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan
bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih
parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus
beberapa waktu yang lalu.
Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika
organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang seharusnya dilakukan
dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan
baik dan berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek
KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
2.6 Pengertian etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, skap, cara berfikir . dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat
kebiasaan. Dan arti terahir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”
yang oleh filusuf yunani besar aristoteles (384-322 s.M.)
Dalam pengertian sempit, etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau kebiasaan.
Akan tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu tentang adat atau kebiasaan.
c) Esprit: (semangat) semangat d,crops, loyalitas, dan cinta pada kesatuan, kelompok,
masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
e) Norma : merupakan standar kriteria pola, patokan yang mantap dari masyarakat atau
pemerintah.
f) Moral : pengerian tentang benar atau salah, prinsip-prinsip yang berhubungan benar dan
salah.
a. Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan
segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif. Dengan
segala fungsi dan kewenganya
b. Pengertian Pemerintah Secara etimologi, pemerintah bersala dari perkataan perintah, Pamudji
( 1995 : 23 ) mengartikan kata – kata tersebut sebagai berikut :
· Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu ngara ( daerah negara atau badan yang
tertinggi yang memerintah suatu negara ).
2. Filsafat Idealisme dari Plato (namanya aslinya Aristokles, 427-347sM ). Kebenaran sejati apa
yang tergam-bar dalam ide. “ Pemerintahan Negara Ideal adalah komunitas etical untuk
mencapai kebajikan dan kebaikan”.
a. Filsuf Idealisme Thomas Hobbes ( 1588-1679 ) bahwa terkenal dengan Teori Perjanjian Sosial
dalam pemerintahan, Kedaulatan kekuasaan absulut dan abadi, kekuasaan itu tertinggi dibatasi
dengan UU.
b. Filsuf Idealisme John Locke ( 1632-1707 ) dengan Teori Perjanjian bahwa kebahagiaan dan
kesusilaan dihubungkan dengan peraturan yaitu : perintah Tuhan, UU Negara dan hukum
pendapat umum dengan prinsip liberty, eguality dan personality.
c. Filsuf Reusseauu dengan teori “ Contract Social “ . Manusia mempunyai kekuasaan dan hak
secara kodrat, kekuasaan negara berasal dari negara dan negara berasal dari rakyat. Intinya
pemerintah yang berkuasa tidak monarkhi absolut.
d. Filsuf Hegel dengan metode dialektika tentang pemerintahan negara bahwa : negara
penjelmaan dari ide, rakyat ada demi negara agar ide kesusilaan, negara mempunyai hukum
tertinggi terhadap negara bagi kebahagiaan rakyat
2.10 Nilai_niali etika dalam pemerintahan
Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan
dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan
yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :
kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty). Keadilan dan
kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara
profesionalisme dan bekerja keras.
2.11 Wujud etika dalam pemerintahan
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik
yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai
dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang
mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh
pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya
2.11 Mewujudkan pemerintah yang baik dan sehat (Good governance)
a. Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional )
c. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and
society sector )
d. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and
society sector )
Akuntabilitas,
Demokratis,
Responsif,
Kepentingan Umum,
Keterbukaan,
Rencana Strategis
d. Pembatasan Kekasaan ;
2) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ;
3) UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme;
4) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090 );
5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun
2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah ;
Adapun definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa
harus melibatkan hubungan negara.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di
bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh
menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus
yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.
Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan
bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih
parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus
beberapa waktu yang lalu.
Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika
organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang seharusnya dilakukan
dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan
baik dan berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek
KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUPAN
Kritik dan Saran
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi secara
sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu, maka program
pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana ekonomi, mengenai korupsi
telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka
yang melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan
terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya.
Akan tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan
korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah
untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan
nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender, kontrak, serta
ketentuan mengenai ‘governance’ pada umumnya. Mengenai langkah ke depan menghilangkan
masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak
dari tiang pada tulisan lain.
Kesimpulan
1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama
terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.
2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih
merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh
DAFTAR PUSTAKA
http://aiardian.wordpress.com/2009/07/22/contoh-makalah-etika-pemerintahan/
http://politikana.com/baca/2011/03/05/etika-pemerintahan.html
http://fisipfacebook.blogspot.com/2009/06/definisi-etikamoraletiket.html
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89462
MAKALAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA
Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini yang berjudul “Reformasi Birokrasi di Indonesia”. dan tidak lupa pula
solawat beriring salam penulis hadiahkan kepada junjungan alam yakni nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh
sebab itu, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis
mengharapkan keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
penulis makalah berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Reformasi Birokrasi 3
2.2 Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Dan
Strategi reformasi Birokrasi 8
2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia 10
2.4 Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi 14
2.5 Pelaksanaan Reformasi Birokrasi guna
mengatasi Patologi Birokrasi 15
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap
orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang
akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh
pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
adanya reformasi birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan
akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi
birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan
politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan
internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi
dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi
perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini
masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme
akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh
karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi tidak
terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.
Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance,
yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean
government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
3.2 Saran
1. Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat.
2. Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan pelayanan yang merata di
berbagai aspek
3. Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan
maka pemerintah haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya
ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan.
4. Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan
percepatan pemberantasan korupsi.
5. Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan
undang-undang yang telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi
dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Birokrasi
Birokrasi secara harfiah berasal dari kata yaitu bereau yang artinya meja tulis dan cracy
artinya orang-orang yang berada di meja tersebut. Untuk memberikan penjelasan mengenai
birokrasi secara mendalam dan komperatif menurut para ahli yang dikutip dari Priyo Budi
Sutanto (1993) yaitu sebagai berikut;
1. Yahya mahaimin (1980)
“ Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah,sipil maupun militer yang melakukan tugas
menbantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah dari statusnya itu ”
2. Almond dan Powel (1966)
“ Birokrasi adalah suatu bentuk perkumpulan secara formal mengorganisir kantor dan tugas
dalam mata rantai subordinas untuk melakukan perannya secara formal dalam pembuatan
keputusan”
3. Lance Castles (1976)
“ Birokrasi sebagai orang-orang yang di gaji menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan termasuk
didalamnya adalah pejabat tentara dan birokrasi pemerintahan ”
4. La Polambra (1967)
“Pengertian birokrasi digambarkan para suvervisor dalam mengemban tugas-tugas organisasi
dengan kemampuan dan kapasitasnya untuk melayani publik ”
5. M.Mas’ud Said (2007)
“ Birokrasi adalah sistem administrasi pelaksanaan dilakukan dengan aturan tertulis,dilakukan
oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bangian yang lain, oleh orang-orang yang dipilih
karena kemampuan dan keahlian dibidangnya ”
Dengan demikian pandangan diatas dalam memberikan pengertian birokrasi lebih
menekankan sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam melakukan kegiatan organisasi
secara sistematis dan dengan keterturan yang sudah dibakukan kedalam sistem operasi prosedur
(SOP) didukung sumberdaya manusia yang dipersyaratkan kemampuan dan keahliannya.
Birokrasi tidak bisa lepas dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia, semenjak manusia itu
melakukan aktivitas yang berhubumgan dengan manusia laindalam memenuhi kebutuhan
tersebut tidak terlepas hubungannya dengan birokrasi. Sebab birokrasi itu mengurus,mengatur
dan mengkoordiasikan seluruh aktivitas manusia dalam suatu organisasi agar kepentingan
manusia dapat tercapai dengan baik, lancar dan memuaskan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Birokrasi lebih menekankan sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam melakukan
kegiatan organisasi secara sistematis dan dengan keterturan yang sudah dibakukan kedalam
sistem operasi prosedur (SOP) didukung sumberdaya manusia yang dipersyaratkan kemampuan
dan keahliannya.
Reformasi birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi kearah
perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi pemerintah yaitu
pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta efisien dan efektif.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh menuju reformasi birokrasi yaitu
langkah internal yang berisi meluruskan orientasi, memperkuat komitmen, membangun kultur
baru, rasionalisasi, memperkuat payung hukum, peningkatan Kualitas SDM, dan langkah
eksternal yang berisi komitmen dan keteladanan elit politik, pengawasan masyarakat.
4.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini
adalah:
1. Diharapkan penulis dapat mengembangkan dan melanjutkan penulisan makalah mengenai
reformasi birokrasi Indonesia ini.
2. Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik dengan
kata lain merupakan pemerintahan yang bisa disebut pemerintahan yang ideal, akan tetapi
wujudnya bagaimana dan bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman
yang lebih dalam lagi.
Sementara itu juga ada yang memahami good governance sebagai suatu kondisi yang
menjamin tentang adanya proses kesejajaran, kesamaan, dan keseimbangan peran serta, saling
mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen seperti pemerintahan (government),
rakyat (citizen), dan usahawan (business).
Dan untuk mencapai pemerintahan yang bisa dikatakan good governace pastilah tak
semudah yang dibayangkan.
Maka dari itu sebagai upaya dalam menciptakan pemerintahan yang baik ataugood
governance munculah istilah reformasi birokrasi. Reformasi merupakan merubah atau membuat
sesuatu kearah yang lebih baik dan birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah atau dengan kata lain dapat disebut sebagai birokrat. Jadi
reformasi birokrasi merupakan suatu arah pergerakan atau perubahan dalam perbaikan jalannya
pemerintahan terhadap pelayanan kepada masyarakat dalam upaya mewujudkan good
governance.
Sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan good governance reformasi birokrasi dirasa
perlu untuk dilakukan sebagai bentuk perbaikan sistem pemerintahan, maka dari itu kami
berkeinginan untuk membuat suatu makalah yang berjudul “Good Governance dan Reformasi
Birokrasi”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan good governance?
2. Apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
3. Apa hubungan antara good governance dan reformasi birokrasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan good governance.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi.
3. Untuk mengetahu bagaimana hubungan antara good governance dan reformasi birokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
c. Transparansi
f. Kesetaraan
h. Akuntabilitas
i. Visi strategis
b. Rule of law, harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin
perlingdungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
c. Transparansi, adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang
membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan
inforamasi yang terbuka untuk publik.
e. Persamaan hak, pemerintahan harus menjamin bahwa semua pihak, anpa terkecuali,
dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihak pun yang dikesampingkan.
f. Efektivitas dan efisiensi, pemerintahan harus efektif (abash) dan efesien dalam memproduksi
output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keunagan negara, dll.
b. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang
bersangkutan.
c. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggungjawab bersama dan
kerjasama dalam suatu kerepaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
d. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang menandai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menanggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini
secara realistik dapat dekembangkan.
e. Adanya pelayanan adminstrasi masyarakat public yang berorientasi pada masyarakat, mudah
dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan keadilan dalam
setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan
masyarakat, bersikap professional, dan tidak memihak (non-partisipan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reformasi birokrasi merupakan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan dan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut
unsur-unsur kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur negara atau birokrat.
Tujuan dari adanya reformasi birokrasi yaitu sebagai upaya dalam mewujudkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan ideal yaitu good governance.
Good governance memiliki tiga komponen dalam pelaksanaannya sebagai suatu sistem
yang harus saling bekerja sama menjaga keseimbangan dan saling mengontrol. Tiga komponen
tersebut yaitu pemerintah (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga
komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan ini tidak
sebanding, dipastikan terjadi pembiasan dan konsep good governancetersebut.
B. Rekomendasi
Untuk memperbaiki kesalah dalam pembuatan makalah ini kami memohon dengan penuh
hormat kepada semua pihak baik dosen pengampu mata kuliah birokrasi ataupun rekan-rekan
seperjuangan untuk dapat ikut serta memberikan kritikan dan masukan dalam perbaiki makalah
ini.
Di harapkan dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintahan yang baik, efektif, efisien
dan terbebas dari praktek KKN dapat diwujudkan sebagai upaya menuju good governance.
DAFTAR PUSTAKA