Anda di halaman 1dari 87

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya
perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan
pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep
otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep
otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut
aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU
No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum
pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan
masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum
seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga
(Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-
provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia
melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah,
peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi
tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba
merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat
mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang politik,
pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan
masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan
terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era
Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan
dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat memberikan
keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki
masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah. Bagian Penjelasan Umum
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya


merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi
kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya
pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu
masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari
kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi
daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi Daerah di
Indonesia Pada Masa Reformasi”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Otonomi Daerah


Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Barumenjalankan mesin
sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul
dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya
sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya
tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama
bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Paling tidak
ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa
UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan
politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan
internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang
tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi
kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga
otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong
lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami
sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa
ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat
menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU
No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua cacat yang
dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa
dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU
otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut tentang kualitas
pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh
DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau
demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota
DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi)
terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota
DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan
relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik
rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut desentralisasi
yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan
penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis. Sehubungan dengan itu, maka
diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan
desentralisasi yang berlangsung selama ini. Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka
ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal
(political equality), mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability),
dan meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan
masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk kebijakan,
indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan
oleh Pemerintahan lokal.
B. Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan
1. Bidang Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang
luasdiantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang
menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah
ada, yaitu Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75
UU no.22 tahun 1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan perundang-
undangan.
2. Bidang Ekonomi
Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi daerah.
Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan dengan
konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat
menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti
kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan
meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)
3. Bidang Pendidikan
Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu,
pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan
dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep pertama
berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari
demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap
pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan
kualitas pendidikannya.
B. Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah
Pada Masa Reformasi
1. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur
urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat kewenangan
tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:
a.) Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM
aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan
berbagai kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk
diwujudkan. Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam
organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan.
Oleh sebab itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan
sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi
daerah. Manusia pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.) Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah
(DPRD). Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah
belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2.) Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3.) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan
sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum memadai,
hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru yang
berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah
mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum cukup jelas
kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar struktur
Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi, kalangan
Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-
calon pegawai yang cakap.
b.) Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah
diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih
mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri dengan alasan
studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting bagi kepala
daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah dan pengusaha
yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.
c.) Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah
harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang
statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan
yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya Pemerintah daerah
kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan
pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.
d.) Kurangnya Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah masih
kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah masih belum memaksimalkan perannya dalam
Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum
mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi
penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem Pemerintahan yang baru.
Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk
untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal.
Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan
perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian
tata Pemerintahan local.
e.) Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum Memadai
Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan
dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU
No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No.
5/1974 yang sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah,
ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri sendiri sebagai
dampak negatif dari sentralisasi yang dirasakan terlalu lama semasa Orde Baru. Oleh karena
tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan harus direspon dalam waktu singkat, maka
Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI mengeluarkan undang-undang tentang Pemerintah
daerah. Namun sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan substansinya
masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah. (Widjaja, 1999:1-
2).
Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai
peraturan pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:
1. Pembagian Daerah.
2. Pembentukan dan Susunan Daerah
3. Kewenangan Daerah
4. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
f.) Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, rekruitmen
birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat
memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah
menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni ketimpangan
pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang hanya memiliki
sumber daya alam yang sedikit.
Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan
dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di
era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.
Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping.
Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga
kabupaten, dan seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan
perpecahan terjadi.
2. Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi
daerah adalah sebagai berikut :
a.) Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah
dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
b.) Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali
sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing
daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan
masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka
otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.) Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan
secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah
dengan industri kecil menengah dan tradisional.
d.) Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah
rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif
serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.
e.) Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan
yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.) Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah
khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk
hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
BAB III
KESIMPULAN

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat


mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian otonomi
daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia, sehingga pada hakikatnya tujuan
otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan
penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam Desentralisasi politik adanya
sebuah birokrasi yang muncul, dalampendidikan otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai
garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan
apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan
rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam mengelola
keuangan daerah.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber
daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah
Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme
aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan
manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan
memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.

Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-
oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya
tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan
yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu
harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi
pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim
Icce Uin Jakarta dan Prenada Media.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya. Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar.
Jakarta: LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
BAB 1
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Sudah lama negara Indonesia merdeka, tepatnya sudah 69 tahun yang lalu proklamasi
kemerdekaan dikumandangkan. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi sebagai negara jajahan, namun
merupakan negara merdeka, negara yang mempunyai cita-cita sendiri dan akan berusaha sendiri
untuk mewujudkannya.
Negara Indonesia Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
dengan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh satu orang yaitu presiden. Dalam
tugasnya presiden dibantu oleh wakil presiden serta menteri-menteri. Namun hal ini terasa
kurang efektif, karena negara Indonesia memiliki wilayah yang luas yang berbentuk kepulauan.
Warga negaranya adalah gabungan dari berbagai suku mulai dari Sabang sampai Merauke. Tentu
hal ini menyulitkan dalam setiap membuat kebijakan. Belum tentu kebijakan yang diterima suatu
daerah dapat di terima daerah lain. Maka dari itu disamping dibantu oleh wakil dan menteri-
menteri, presiden juga dibantu oleh kepala-kepala daerah. Kepala-kepala daerah inilah yang
menjadi ujung tombak sebagai pelayan publik dan yang mengetahui persis seperti apa kebijakan
seharusnya dibuat untuk daerahnya. Hal inilah yang kemudian disebut otonomi daerah.
Sistem otonomi daerah ini memang meniru sistem Desentralisasi yang diterapkan oleh
Amerika Serikat dalam menyatukan negara negara bagiannya. Otonomi daerah dengan
Desentralisasi sendiri memang berbeda tapi memiliki inti yang sama, yaitu memberi pelayanan
publik sesuai daerahnya
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian otonomi daerah?
2. Bagaimana sejarah otonomi di Indonesia?
3. Apakah argumen dalam memilih Desentralisasi-otonomi?
4. Bagaimana kesalahpahaman terhadap otonomi daerah?
BAB 2
Pembahasan
A. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan
pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara teoritis
kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep ini sukar dipisahkan.
Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu
sendiri. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenanagan kepada organ-
organ penyelenggara Negara, sedangkanotonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian
wewenang tersebut. Dewasa ini hampir setiap Negara bangsa (nation state) menganut
desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Desentralisasi sebagaimana didefinisikan perserikatan bangsa sangsa (PBB) adalah:
“Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang
berada di ibukota Negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada
penjabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di
daerah.”
Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah
tapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan
itu bagi badan-badan otonomi daerah.
Menurut M. Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Wahyono,ed., 2001, h. 27)
berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada public dari seorang atau agen pemerintah pusat
pada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada public yang dilayani. Transfer
kewenangan secara fusngsional ini memiliki tiga tipe : Pertama apabila pendelegasian
kewenangan itu didalam setruktur politik formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah; Kedua, jika transfer itu terjadi dalam struktur administrasi publik, misalnya,
dari kantor pusat sebuah kementrian kepada kantor kementrian yang ada di daerah;Ketiga, jika
transfer tersebut dari institusi Negara kepada agen Negara, misalnya penjualan asset pelanyanan
public seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.
Rondinelli mendevinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam
perencanaan, menajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen agennya
kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau
korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau
lembaga privat non pemerintah dan organisai nirlaba (Teguh Yuwono, ed. , 2001, h.28).
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika derah sudah mampu mencapai kondisi tersebut,
maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri.
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration,
(2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local governments,
dan (4) nongovernment institutions (privatization). Dalam kontek Indonesia dikenal bentuk tugas
pembantuan.
1. Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconsentration), menurut Rondinelli, pada
hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara
pemerintah (departemen) pusat dengan pejabat birokrasi pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi
hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilanya yang ada
di daerah, tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan
atau kelelusaan untuk membuat keputusan.
2. Delegasi
Delegation to semi autonomous sebagai bentuk kedua desentralisasi yang disebutkan oleh
rondinelli adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial. Untuk
melakukan tugas tugas khusus pada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bwah
pengawasan pemerintah pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan
kewenangan semi independen yang melaksanakan fungsi dan tanggung jawab. Bahkan kadang-
kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih
komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Hal ini dilakukan
terhadap suatu badan usaha publik yang di tugaskan melaksanakan proyek tertentu seperti
telekomunikasi, listrik, bendungan dan jalan raya.
3. Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstentif, yang merujuk pada
situasi dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan,
keuangan dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi
dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pemerinatah pusat dengan
menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertantu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara
mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya memperkuat pemerintahan daerah
secara legal yang secara subtantif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali lansung
pemerintah pusat. Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada
pemerintah kota / kabupaten dalam memilih walikota / bupati dan DPRD, meningkatkan
pendapatan mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan
investasi. Salah satu contoh devolusi adalah di Sudan dimana komisi propinsi dan DPRD
propinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan nasional,
pos komunikasi, urusan luar negeri, perbankan dan peradilan.
4. Privatisasi
Menurut Rondinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari
pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula
merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan
BUMD dilebur menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Dalam beberapa hal misalnya pemerintah
mentransfer beberapa kegiatan kepad Kamar Dagang dan Industri, Koperasi dan Asosiasi lainnya
untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan oleh
pemerintah. Dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung
jawab kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan kesejahteraan
keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial,
termasuk melatih dan meningkatkan peran serta pemberdayaan masyarakat.
5. Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah
pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah
yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari
daerah yang tingkatannya lebih atas. Urusanyang diserahkan pemerintah pusat/ pemerintah
daerah atasan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang melaksanakan.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus.
Sedangkan kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasannya.
Berdasarkan uraian diatas tentang desentralisasi, tujuan desentralisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Eko Prasodjo dkk., terdiri dari tujuan yan bersifat politis terkait erat dengan
perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi masyarakat, dan tujuan yang bersifat
administratif terkait erat dengan penciptaan efesiansi dan efektivitas dalam pemerintahan dan
pembangunan. Selain kedua jenis tujuan tersebut , tujuan desentralisasi menurut Smith
sebagaimana dikutip oleh Eko Prasodjo dkk., adalah untuk : a. Pendidikan politik; b. Latihan
kepimpinan politik; c. Stabilitas politik; d. Kesamaan politik; e. Akuntabilitas; f. Daya
tanggap(responsivitas); dan g. Efisiansi dan efektivitas.
B. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang pemerintahan daerah
pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang
ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di
masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolianlisme. Undang-undang ini
menekankan pada aspek cita-cita kedulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah
otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat
terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang
mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini
berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini di tetapkan 2 (dua) jenis
daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan
daerah otonom yaitu propinsi, kbupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan
Undang-undang Nomor 2 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah
telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-
undang tentang pembentukan daerah , telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan
pemerintah tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalui ditandai dengan lahirnya suatu produk
perundang-undangan yang mengantikan produk sebelumnya . Perubahan tersebut pada satu sisi
menandai dinamika orientasi pembangunan daerah dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini
dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya. Periaode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan
munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU nomor 1 tahun 1957 (sebagi
perturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU nomor 18 tahun
1965 (yang menganut sistem otonom yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi
kepada daerah bukan lagi “ otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “ otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat
menimbulkan kencenderungan pemikiran yang dapa membahayakan keutuhan Negara Kesatua
Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pada
pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan
baru diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun
1999 setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
Kehadiran Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan
situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak
yang berkehendak untuk melkukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 tentang
penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional,
yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara
Kesatua Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapat
tempatnya setelah MPR RI melkukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan
kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai rinsip
otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974
dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format
otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan
materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada Undang-undang tersebut. Beberapa
butir yang terkandung di dalam kedua Undang-undang tersebut (UU No.22 tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi
dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi sedangkan
desentralisasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi.
Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-
undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan
kepajangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah,
kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas
dekonsentrsi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena
kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan
kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di daerah yang memilihnya.
Sejalan dengan tututan reformasi, tiga tahun setelah impementasi UU No. 22 tahun 1999,
dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-undang berakhir pada lahirnya UU No. 32
tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintahan daerah. Menurut Sadu Wasistiono hal-hal
penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah domonasi kembali eksekutif dan
dominasinya pengaturan pemilihan kepala darah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi
UU tersebut (Bab IV Bagian Delapan mulai pasal 56 – pasal 119).
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang
bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah, yaitu :
1. Daerah provinsi
2. Daerah kabupaten
3. Daerah kota
Daerah otonom menganut asas desentralisasi yaitu asas yang menyatakan adanya
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Undang-Undang, otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata adalah keleluasaan Daerah untuk
mnyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan
serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali pada bidang-bidang tertentu yang masih ditangani dan terpusat oleh
pemerintah pusat di Jakarta.
Dengan demikian kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang
mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai bidang, misalnya :
a. Pendidikan
b. Kesejahteraan
c. Kesehatan
d. Perumahan
e. Pertanian
f. Perdagangan , dan lain-lain
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota banyak sekali. Hal
ini Karen provinsi, kabupaten/kota memiliki hak otonomi dari pemerintah pusat. Pemerintah
pusat menyerahkan sebagian wewenangnya kepada daerah untuk mengurusinya sendiri.
Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja, yaitu :
1. Politik luar negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Moneter dan fiskal nasional
6. Agama
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan petanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikuloleh daerah. Dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi., berupa meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, mengembangkan kehidupan demokratis, keadilan dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Argumentasi dalam Memilih Desentralisasi Otonomi
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara
teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah
argumen yang menjadi dasar pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara
empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralsasi-
otonomi (Syaukani, et.al.,2002,h.20-30), yaitu :
1.) Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan
berfungsi sebagai mengelola berbagai dimensi keuangan, politik, integrasi sosial,
pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu juga mempunyai fungsi
distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut
penyediaan barang dan jasa ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka
pemyediaan tersebut, dan fungsi ektraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam
rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hal
itu dapat dilakukan dengan cara yang sentralistik, dan pemerintah negara menjadi tidak
efisien dan tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
2.) Sebagai sarana pendidikan politik. Pemerintah daerah menyediakan kesempatan bagi warga
masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk
dipilih dalam suatu jabatan politik. Merekan yang tidak mempunyai peluang untuk terliabat
dalam politik nasiaonal dan memilih pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk
ikut serta dalam politik lokal, baik pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan
kebijakan publik. Dengan demikian, pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat
bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3.) Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Adalah suatu hal yang
mustahil bagi seseorang untuk muncul dengan begitu saja menjadi politisi berkaliber
nasional dan ataupun internasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan
daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guna
menepa karir politik yang lebih tinggi. Presiden Amerika Serikat seperti George Bush, Bill
Clinton, Ronal Reagan, Jimmy Carter dan lain-lainnya, mereka sebelumnya adalah
Gubernur di negara bagian di mana mereka berasal.
4.) Stabilitas politik. Sharpe beragumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal
dari stabilitas politik tingkat lokal. Terjadi pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan
puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan
kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Gejolak disintegrasi yang terjadi di
beberapa daerah merupakan contoh yang sangat konkrit bagaimana hubungan antara
pemerintahan daerah dengan ketidakstabilan politik kalau pemerintah nasional tidak
menjalankan otonomi dengan tepat.
5.) Kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di
antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di
tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan
mempunyai kesempatan utuk terlibat dalam politik, apakah itu denag melalui pemberian
suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur.
Disamping itu warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun yang secara
berkelompok akan ikut terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat
kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka.
6.) Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat,
termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan
negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak awal tahap pengambilan keputusan
sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi
secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena masyarakat terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.
D. Kesalah pahaman Terhadap Otonomi Daerah
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan
kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut :
1. Otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam
masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi Daerah, yaitu berotonomi Daerah
harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu
muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an,
bahwa “otonomi identik dengan otomoney.” Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara empiris. Tidak ada yang menafikan bahwa uang satu-
satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci otonomi adalah
“kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan dapat dicari, dan dengan itu pula
pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan
bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2. Daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan merupakan cara berpikir yang
salah karena sebelum otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 jo,
Undang-undang No. 32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah Daerah
belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari
Pemerintah Pusat. Begitu juga tidak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu kerena
Pmerintah Daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang
sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
3. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu
dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Teptap menjadi tugas dan
tanggung jawab Peerintah Pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik
berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada di daerah,
ataupun dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan. Otonom daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun
1999 jo. Undang-undang No. 32 tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum
dikenal di berbagai negara, yaitu “No mandate without funding.” Artinya, setiap pemberian
kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan
cukup apakh berbantuk Dana Alokasi Umum, ataupun Dana alokasi Khusus, serta bantuan
keuangan yang lainya, misalnya kalau terjadi bencana alam yang sangat mengganggu roda
perekonomian daerah.
4. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi pemberian
kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka
memperkuat negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran
dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk apa saja
sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-yndang yang
berlaku secara nasional. Di samping itu, kepentingan masyarakat merupakan patokan yang
utama dala mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya pemerintah daerah mengambil langkah
kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang barlaku.
5. Otonomi daerah akan mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke
daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara pemerintahan
daerah, masyrakat dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam kerangka sistem
politik lama yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk penyalah-guanaan
kekuasaan yang lainya. Karenanya untuk menghindari pandangan tersebut, pilar-pilar
penergak demokrasi dan masyarakat madani (civil soceity) seperti Partai Politik, Media
Massa, Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombusman, Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan, termasuk LSM/NGO (Corruption Watch, Parliament Watch, Court
Watch, dan lain-lainnya) pada tingkat lokal dapat memainkan perannya secara optimal.
BAB 3
Penutup
A. Kesimpulan
Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selslu ditandai dengan lahirnya suatu produk
perundang-undangan yang mengantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu
sisi menandai dinamika orientasi pembanguna daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi
di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa
dalam menjalankan kekuasaannya.
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik
ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen
yang menjadi dasar pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara
empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih
desentralsasi-otonomi yaitu : a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan; b. Sebagai sarana pendidikan politik; c. Pemerintahan daerah sebagai
persiapan untuk karir politik lanjutan; d. Stabilitas politik; e. Kesetaraan politik; dan f.
Akuntabilitas public.
Beberapa kesalahpahaman yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan
kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut : a. Otonomi dikaitkan semata-
mata dengan uang; b. Daerah belum siap dan belum mampu; c. Dengan otonomi daerah
maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah; d.
Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja; dane. Otonomi daerah akan
mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah.
Daftar Pustaka

Ubaedillah, A. dan Rozzak, Abdul, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)


Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Cet. Ke-1, Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidayatullah.
Rosyada, Dede , dkk., 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Winarno, 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan,Jakarta: Bumi Aksara.
[1] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.170
[2] Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.150-151
[3] Ibid.,hal.151
[4] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.170-17
[5] Ibid.,hal.177
[6] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.178
[7] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.179
[8] Ibid.,hal.180
[9] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.181
[10] Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.186-188
[11] Winarno,”Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan”,(Jakarta:Bumi
Aksara,2007)hal.167
[12] Winarno,”Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan”,(Jakarta:Bumi
Aksara,2007),hal.168-169
[13] Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.154-156
[14] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.197-199
MAKALAH
MANAJEMEN PEMERINTAHAN DAERAH
”TUGAS POKOK DAN FUNGSI SEKDA”

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan nikmat dan karuniaNya yang begitu luar biasa kepada hamba – hambanya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Menejemen Pemerinahan Daerah tentang “Tugas
Pokok dan Fungsi Sekda” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini tentunya tidak dapat selesai tepat pada waktunya tanpa ada dukungan dari
pihak – pihak lain yang senantiasa memberikan masukan dan arahan demi terselesaikannya
makalah ini dengan baik. Oleh karena itu ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dosen
mata kuliah Menejemen Pemerintahan Daerah yang telah memberikan bimbingannya.
Terlepas dari itu semua, tentunya makalah ini masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki, sehingga saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas-tugas kami
selanjutnya dikemudian hari.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi dunia
pendidikan, serta tambahan wawasan bagi pembacanya.

Jatinangor, 19 Maret 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................2


DAFTAR ISI ....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................6
2.1 Pengertian Sekretaris Daerah .....................................................................................6
2.2 Tugas Pokok Sekretaris Daerah .................................................................................6
2.3 Fungsi Sekretaris Daerah ...........................................................................................8
BAB III PENUTUP .......................................................................................................10
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................10
3.2 Saran .........................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebelum kami membahas materi utama dalam makalah ini, pertama kami akan
mejelaskan tentang apa itu sekretariat daerah yang dipimpin oleh seorang sekretaris daerah. Hal
ini kami maksudkan agar materi pada makalah ini dapat dipahami dengan baik oleh pembaca
sesuai dengan alurnya, yang dimulai dari pemahaman apa itu sekretariat daerah (setda) dan apa
itu sekretaris daerah (sekda) beserta tugas pokok dan fungsinya.
Jadi, Sekretariat daerah (disingkat setda) adalah unsur pembantu pimpinan pemerintah
daerah, yang dipimpin oleh sekretaris daerah (disingkat sekda).
A. Sekretariat Daerah Provinsi
Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) merupakan unsur pembantu pimpinan
Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung
jawab kepadaGubernur. Sekretariat Daerah Provinsi bertugas membantu Gubernur dalam
melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana
serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Provinsi. Sekretaris
Daerah untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Sekretaris
Daerah dibantu oleh beberapa asisten. Sekretariat Daerah Provinsi terdiri atas sebanyak-
banyaknya 5 Asisten; di mana Asisten masing-masing terdiri dari 3 biro.
B. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota bertugas membantu
Bupati/Walikota dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi,
organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota. Sekretaris Daerah untuk kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas
sebanyak-banyaknya 3 Asisten; di mana Asisten masing-masing terdiri dari sebanyak-banyaknya
4 bagian.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian sekretaris daerah (sekda)?
b. Apa saja yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari sekda?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SEKRETARIS DAERAH (SEKDA)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Sekretaris adalah orang (pegawai,
anggota pengurus) yang diserahi pekerjaan tulis-menulis, atau surat-menyurat, dan sebagainya;
penulis; panitera. Sedangkan Sekretaris Daerah adalah pemimpin sekretariat daerah sebagai
unsur staf yang membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah. Sekretaris daerah bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah
diangkat dari Pegawai Negeri Sipil(PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena
kedudukannya sebagai pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan
paling puncak dalam pola karier PNS di Daerah.
2.2 TUGAS POKOK SEKRETARIS DAERAH
Sekretaris Daerah, dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh 3 orang asisten yang
membidangi Pemerintahan, Perekonomian dan Pembangunan, dan Administrasi dan Aparatur.
SEKDA mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan, merumuskan,
memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga
Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dan Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan,
Administrasi dan Aparatur Pemerintahan Daerah serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata
usaha dan kepegawaian Sekretariat Daerah.
Adapun tugas dari sekda adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan Renstra Sekretariat Daerah dengan memperhatikan Renstra Pemerintah Daerah
sebagai bahan pedoman penyusunan program kerja unit;
2. Menyusun kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, administratif, organisasi dan tatalaksana
serta pemberian pelayanan;
3. Merumuskan sasaran penyelenggaraan pemerintahan dilingkungan Kabupaten agar terjalin
kerjasama dalam pelaksanaan tugas;
4. Merencanakan kegiatan dan program kerja Sekretariat Daerah;
5. Mengorganisasikan kegiatan dan program kerja Sekretariat Daerah agar penyelenggaraan
pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan lancar;
6. Mengendalikan penyelenggaraan tugas pemerintahan dilingkungan kabupaten untuk
meningkatkan kualitas dan kemampuan para bawahan;
7. Mengoordinasikan penyelenggaraan tugas pemerintahan, administratif, organisasi dan
tatalaksana serta pemberian pelayanan kepada perangkat daerah dilingkungan Kabupaten
untuk mengetahui kesesuaian dengan arahan yang diberikan;
8. Mengarahkan atas pelaksanaan tugas pemerintahan, administratif, organisasi dan tatalaksana
serta pemberian pelayanan kepada perangkat daerah kabupaten agar sesuai dengan kebijakan
yang telah ditetapkan;
9. Membina terhadap penyelenggaraan pemerintahan, administratif, organisasi dan tatalaksana
dan pemberian pelayanan kepada perangkat daerah kabupaten;
10. Mengevaluasi hasil kerja bawahan di lingkungan Sekretariat Daerah sebagai bahan
pembinaan karier dan penentuan pengambilan kebijakan lebih lanjut;
11. Memberikan konsultasi bagi konsultan, kontraktor, pengusaha lainnya dan instansi terkait
untuk mendapatkan persamaan persepsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, administratif,
organisasi dan tatalaksana serta pemberian pelayanan kepada perangkat daerah;
12. Memberikan saran pertimbangan kepada Bupati yang menyangkut kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan, administratif, organisasi dan tatalaksana dan pemberian
pelayanan kepada perangkat daerah kabupaten;
13. Menilai kinerja dan menandatangani DP3 bawahan sebagai pembinaan karier pegawai yang
bersangkutan;
14. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Bupati secara lisan maupun tertulis sebagai
bahan pertanggungjawaban; dan
15. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati baik lisan maupun tertulis.
2.3 FUNGSI SEKRETARIS DAERAH
a. Perumusan kebijakan teknis dalam rangka mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga
Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dan Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan,
Administrasi dan Aparatur Pemerintahan Daerah serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata
usaha dan kepegawaian Sekretariat Daerah;
b. Penyusunan program kebijakan dibidang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi
Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dan
Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan, Administrasi dan Aparatur Pemerintahan Daerah
serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata usaha dan kepegawaian Sekretariat Daerah;
c. Pelaksanaan program dibidang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi Sekretariat
DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dan Lembaga Lain,
Kecamatan dan Kelurahan, Administrasi dan Aparatur Pemerintahan Daerah serta pelaksanaan
urusan rumah tangga, tata usaha dan kepegawaian Sekretariat Daerah;
d. Pembinaan pelaksanaan tugas dibidang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi
Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dan
Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan, Administrasi dan Aparatur Pemerintahan Daerah
serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata usaha dan kepegawaian sekretariat daerah;
e. Pengkoordinasian dan fasilitasi tugas-tugas dibidang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
meliputi Staf Ahli Bupati, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan
Polisi Pamong Praja dan Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan, Administrasi dan Aparatur
Pemerintahan Daerah serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata usaha dan kepegawaian
Sekretariat Daerah;
f. Pengendalian, evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang meliputi Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi
Pamong Praja dan Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan, Administrasi dan Aparatur
Pemerintahan Daerah serta pelaksanaan urusan rumah tangga, tata usaha dan kepegawaian
Sekretariat Daerah;
g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Jadi, Sekretaris Daerah adalah pemimpin sekretariat daerah sebagai unsur staf yang
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sekretaris daerah
bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri
Sipil(PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai
pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan paling puncak dalam pola
karier PNS di Daerah.

3.2 SARAN

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi kebaikan tugas
kelompok kami selanjutnya.
HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN DPRD DALAM PELAKSANAAN UU
NO 32 TAHUN 2004

HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN DPRD DALAM PELAKSANAAN


UU NO 32 TAHUN 2004

Definisi Pemerintahan Daerah (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2004):“Penyelenggaraan


urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.”

Definisi Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 32 Tahun 2004):“Gubernur, Bupati,


atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.”

Jika kita lihat DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi;
(b). angket; dan (c). menyatakan pendapat.

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya
setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga
pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling
membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan
kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain
dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Pasal 42 huruf c UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah:“DPRD mempunyai


tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah
dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah

URUSAN PEMERINTAHAN

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,


dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang
meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan


daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan


pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi
hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan
sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila


penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan
yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya
disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah.
Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada
daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian
tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan;
kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk
mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana
perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber
pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam
hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan
daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi
dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan
kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam penyediaan pelayanan
publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat
dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota


dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud. Apabila terjadi
perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara
provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, mentri dalam negri menyelesaikan perselisihan
dimaksud. Keputusan Guberneur atau Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud bersifat
final.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat membentuk suatu dewan
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan
ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan tata
laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dewan tersebut bertugas memberikan
saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai rancangan kebijakan:
pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus;
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah.

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,


kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi:Politik luar negeri,
Pertahanan, Yustisi, Moneter, Fiscal nasional, Agama

Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan,
Pemerintah dapat: (1) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan.(2)
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah atau; (3)
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan


pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi
hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan
sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Pelaksanaan pemerintahan daerah yang seharusnya didalam prakteknya haruslah sesuai dengan
asas legalitas. Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku. Pemerintah
daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampaui wewenang,
atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara Sejahtera

Nurcholis Hanif, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007 dan uu no 32 tahun 2004
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik
yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai
dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang
mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh
pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana perkembangan etika dan noma bagi para pejabat pada saat ini ?

Bagaimana sikap pemerintahan menyikapi permasalahan etika dan norma dikalangan para pejabat
?

1.3 Tujuan makalah


Adapun tujuan makalah ini untuk mempublikasikan penyimpangan yang sering
dilakukan oleh para birokrat diindonesia
1. Memberikan infomasi bahwa ada seorang pejabat yang sudah memimpin dalam kurun waktu dua
priode dan ingin menjabat kembali.

2. Penolakan pejabat daerah terhadap pemerintah pusat terhadap kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI ETIKA,MORAL,ETIKET

Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan
mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti
dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan
oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa

PENGERTIAN ETIKA

Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari Bertens,2000), etika
mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata
‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :

1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak);

2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;

3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia
yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita
surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan
dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena
maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’
dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut
dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih
mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :

1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama
Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai
ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial.

2. kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik
Jurnalistik

3. ilmu tentang yang baik atau buruk.

Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang
yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini
sama artinya dengan filsafat moral.

PENGERTIAN MORAL

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat.
Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama
dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat.
Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata
‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya
saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan
bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang
itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita
mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-
nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan
‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya
segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :

1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang
bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.

2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam
pergaulan agar hubungan selalu baik.

2.2 Perbedaan Etiket dengan Etika


K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam
perbedaan etiket dengan etika, yaitu :

1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika
saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan
tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar
etiket.

Pengertian Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena
mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri”
merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri
dengan tangan kanan atau tangan kiri.

2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar
kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku.
Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja
makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak
ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
Arti Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan
mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam
selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.

3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap
sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.

Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika
yang tidak bisa ditawar-tawar.

4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga
bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar
sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.

Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik,
sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.

2.3 Pengertian Etika Organisasi Pemerintah


Dalam pengertian sempit, etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau kebiasaan.
Akan tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu tentang adat atau kebiasaan.
Sementara itu dalam konteks organisasi, pengertian etika organisasi yaitu pola sikap dan perilaku
yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan
akan membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun
filosofi organisasi yang bersangkutan.

2.4 UU Etika Pemerintahan


Karena tidak ada aturan hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat merasa kesulitan untuk
melarang tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini, pemerintah pusat merasa perlu untuk
menyusun UU ini. Pemerintah sedang berancang-ancang untuk membuat Undang-Undang (UU)
Etika Pemerintahan. Dengan merancang UU ini, pemerintah berharap masalah-masalah etika di
pemerintahan selama ini dapat diatur dan diperjelas (Koran Jakarta, 24/4/2012).

Masalah yang dimaksud mungkin banyak. Namun, yang paling menyita perhatian adalah kasus
para kepala daerah yang turut berdemonstrasi menentang pemerintah pusat menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM). Turut disorot pula sikap kepala daerah yang sudah menjabat selama
dua periode berniat mencalonkan kembali sebagai wakil kepala daerah.

\Pemerintah pusat menganggap telah terjadi situasi yang rumit. Di satusisi, pemerintah pusat
menganggap bahwa kerap terjadi pelanggaran etika yang dilakukan kepala daerah. Namun, di
sisi lain, banyak kepala daerah menganggap mereka melakukan tindakan yang benar karena tidak
melanggar peraturan perundang-undangan. Karena tidak ada aturan hukum tertulis yang
dilanggar, pemerintah pusat merasa kesulitan untuk melarang tindakan yang tidak etis tersebut.
Dari sini, pemerintah pusat merasa perlu untuk menyusun UU ini.

Sekalipun niat awal pembentukan UU Etika baik, secara normatif, patut dipertanyakan
urgensinya karena sistem hukum sesungguhnya telah mengantisipasi permasalahan tersebut.
Sekiranya terjadi sesuatu yang debatable mengenai boleh tidaknya suatu tindakan yang tidak
diatur dalam peraturan tertulis, solusinya mencari hukum.

Misalnya, menggunakan logika hukum serta menggali nilai-nilai hukum yang terdapat pada
norma hukum dan asas hukum, perasaan hukum dan keadilan masyarakat, atau mencari nilai
filosofis yang terkandung dalam suatu peraturan hukum.Satjipto Rahardjo menjelaskan konsep
ini dengan contoh sederhana. Sekiranya ada orang waras yang buang air kecil di kelas, tindakan
orang tersebut salah. Kesimpulan tersebut tidak harus berpatokan pada ada tidaknya aturan
tertulis yang menyatakan, "dilarang buang air kecil di kelas", namun dapat berpatokan pada asas
kepantasan yang hidup dalam masyarakat, buang air kecil harus di toilet.

Mekanisme serupa sesungguhnya juga dapat menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam
pemerintahan. Upaya untuk mencegah kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan
pemerintah pusat tidaklah harus diatur dengan peraturan tertulis, cukup merujuk pada asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Salah satu poin dari AUPB tersebut menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh untuk
menarik wewenang yang sah dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam Erliyana, 2007). Kepala
daerah memang berwenang menyerap aspirasi warganya, namun wewenang tersebut tidak boleh
untuk "mengganggu" wewenang pemerintah pusat. Terkait unjuk rasa kepala daerah yang
menentang kenaikan harga BBM, itu erat dengan wewenang pemerinta pusat sebab penentuan
harga BBM merupakan masalah yang terkait dengan fiskal dan moneter. Dua hal tersebut,
menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Lebih dari
itu, semangat konsep pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah daerah senantiasa segaris
dengan pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan demikian, kasus demonstrasi kepala daerah dapat
dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis.

Pendekatan serupa juga dapat untuk membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai
menjabat selama dua periode namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah
dalam pilkada selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot membuat aturan tertulis untuk
melarang niat tersebut karena pemerintah dapat menolak berdasarkan doktrin hukum. Hipotesis
Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah diakui dan menjadi sebuah doktrin
dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis tersebut, besaran serta durasi kekuasaan senantiasa
harus dibatasi.

Khusus untuk pembatasan durasi kekuasaan, sistem pemerintahan telah menyepakati masa dua
periode adalah masa yang maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945, Pasal 110
Ayat 3 UU 32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat ketiga kalinya patut
dipandang sebagai tindakan yang tidak etis.

Maka dari itu, elaborasi tersebut memberi pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu tindakan
sudah dapat terlihat jelas sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu peraturan tertulis. Untuk
itu, wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu.Lebih dari itu, mengatur etika dalam bentuk
peraturan tertulis dapat mengunci fleksibilitas penemuan hukum tadi. Apabila UU ini lahir,
pemerintah dan masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan terdorong untuk menggunakan
UU ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai hukum dari asas, norma, atau sumber lainnya
terpinggirkan.

Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup
masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut.

Perlu pula diwaspadai sifat dari peraturan tertulis yaitu cepat usang. Peraturan selalu berjalan
tertatih-tatih di belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa depan terdapat kejadian yang
dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU ini, pelanggar juga dapat menghindar karena
tidak diatur dalam UU. Dengan demikian, baik kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali
rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan. Selain karena dipandang tidak perlu, pengaturan
etika dalam peraturan tertulis justru akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan
dalam menilai etis tidaknya suatu tindakan pemerintah.
2.5 Masalah Etika Organisasi Pemerintah
Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika organisasi
pemerintah. Salah satu contoh nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi
pemerintah yaitu KKN.

Adapun definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa
harus melibatkan hubungan negara.

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di
bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh
menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus
yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan
bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih
parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus
beberapa waktu yang lalu.

Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika
organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang seharusnya dilakukan
dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan
baik dan berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek
KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
2.6 Pengertian etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, skap, cara berfikir . dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat
kebiasaan. Dan arti terahir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”
yang oleh filusuf yunani besar aristoteles (384-322 s.M.)

Dalam pengertian sempit, etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau kebiasaan.
Akan tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu tentang adat atau kebiasaan.

Berikut beberapa pengertian yang berkaitan dengan etika:


a) Etika: (etik) sistem dari prinsip-prinsip moral, dapat juga berupa rules of conduct, kode sosial
(sicial code), etika kehidupan. Dapat berartijuga ilmu pengetahuan tentang moral, atau cabang
filsafat

b) Ethos: (jiwa) karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu


(community,society).

c) Esprit: (semangat) semangat d,crops, loyalitas, dan cinta pada kesatuan, kelompok,
masyarakat, pemerintah dan lain-lain.

d) Rule :(ketentuan dan peratuaran) ketentuan-ketentuan dalam setiap pergaulan masyarakat


yang memberi pedoman atau pengawasan tentang benar dan salah

e) Norma : merupakan standar kriteria pola, patokan yang mantap dari masyarakat atau
pemerintah.

f) Moral : pengerian tentang benar atau salah, prinsip-prinsip yang berhubungan benar dan
salah.

2.7 Pengertian pemeritah

a. Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan
segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif. Dengan
segala fungsi dan kewenganya

b. Pengertian Pemerintah Secara etimologi, pemerintah bersala dari perkataan perintah, Pamudji
( 1995 : 23 ) mengartikan kata – kata tersebut sebagai berikut :

· Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.

· Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu ngara ( daerah negara atau badan yang
tertinggi yang memerintah suatu negara ).

· Pemerintah adalah perbuatan ( cara, hal urusan dan sebagainya ) memerintah

Perbedaan pengertian “pemerintah“ dan “pemerintahan “ lazimnya disebut bahwa “


pemerintah “ adalah lembaga atau badan publik yang mempunyai fungsi untuk melakukan upaya
mencapai tujuan negara sedangkan “ pemerintahan “ dari aspek dinamikanya.
2.8 Pengertian etika pemerintahan
Sudah di jelas kan bagai mana pengertian mengenai etika dan pemerintah ataupun pemerintahan.
Jadi pengertian etika pemerintahan itu sendiri adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan
benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia
2.9 Pendekatan filsafat terhadap etika pemerintahan Negara
1. Filsafat Idealisme Sokrates( 470-399 sM ) bahwa kebenaran dan kebaikan nilai obyektif yang
harus dijunjung tinggi oleh semua orang.

2. Filsafat Idealisme dari Plato (namanya aslinya Aristokles, 427-347sM ). Kebenaran sejati apa
yang tergam-bar dalam ide. “ Pemerintahan Negara Ideal adalah komunitas etical untuk
mencapai kebajikan dan kebaikan”.

a. Filsuf Idealisme Thomas Hobbes ( 1588-1679 ) bahwa terkenal dengan Teori Perjanjian Sosial
dalam pemerintahan, Kedaulatan kekuasaan absulut dan abadi, kekuasaan itu tertinggi dibatasi
dengan UU.

b. Filsuf Idealisme John Locke ( 1632-1707 ) dengan Teori Perjanjian bahwa kebahagiaan dan
kesusilaan dihubungkan dengan peraturan yaitu : perintah Tuhan, UU Negara dan hukum
pendapat umum dengan prinsip liberty, eguality dan personality.

c. Filsuf Reusseauu dengan teori “ Contract Social “ . Manusia mempunyai kekuasaan dan hak
secara kodrat, kekuasaan negara berasal dari negara dan negara berasal dari rakyat. Intinya
pemerintah yang berkuasa tidak monarkhi absolut.

d. Filsuf Hegel dengan metode dialektika tentang pemerintahan negara bahwa : negara
penjelmaan dari ide, rakyat ada demi negara agar ide kesusilaan, negara mempunyai hukum
tertinggi terhadap negara bagi kebahagiaan rakyat
2.10 Nilai_niali etika dalam pemerintahan
Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan
dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan
yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :

Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.

kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty). Keadilan dan
kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.

kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara
profesionalisme dan bekerja keras.
2.11 Wujud etika dalam pemerintahan
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik
yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai
dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang
mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh
pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya
2.11 Mewujudkan pemerintah yang baik dan sehat (Good governance)
a. Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional )

b. Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya ( legitimate )

c. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and
society sector )

d. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and
society sector )

Prinsip Penegakkan Hukum,

Akuntabilitas,

Demokratis,

Responsif,

Efektif dan Efisensi,

Kepentingan Umum,

Keterbukaan,

Kepemimpinan Visoner dan

Rencana Strategis

e. Pemerintahan yang menguatkan fungsi : kebijakan publik (Public Policy ), pelayanan


publik ( Public Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ),
pemberdayaan masyarakat ( Social Empowering ) dan privatisasi ( Privatization ) .
2.12 Prinsip Negara hukum dalam system penyelenggaraan pemerintahan
a. Supremasi Hukum ( Suprmacy of Law )

b. Persamaan dalam hukum ( Eguality before the Law)

c. Asas Legalitas ( Due Process of Law );

d. Pembatasan Kekasaan ;

e. Organ-organ pemerintahan yng independen;

f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;

g. Peradilan Tata Usaha Negara(Constitutional Court );

h. Peradilan Tata Negara;

i. Perlindungan Hak asasi Manusia;

j. Bersifat Demokratis ( Democratische Rechtsaats )

k. Berfungsi sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare Rechtstaat)

l. Transparansi dan Kontrol Sosial


2.13 Landasan etika pemerintahan Indonesia
1) Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;

2) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ;

3) UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme;

4) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090 );

5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun
2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah ;

6) PP No. 60 tentnag Disiplin Pegawai Negeri .


2.14 Masalah Etika dalam pemerintah
Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika organisasi
pemerintah. Salah satu contoh nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi
pemerintah yaitu KKN.

Adapun definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep
modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa
harus melibatkan hubungan negara.

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di
bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh
menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus
yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10
tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan
bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih
parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus
beberapa waktu yang lalu.

Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika
organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang seharusnya dilakukan
dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan
baik dan berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek
KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUPAN
Kritik dan Saran
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi secara
sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu, maka program
pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana ekonomi, mengenai korupsi
telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka
yang melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan
terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya.

Akan tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan
korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah
untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan
nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender, kontrak, serta
ketentuan mengenai ‘governance’ pada umumnya. Mengenai langkah ke depan menghilangkan
masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak
dari tiang pada tulisan lain.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:

1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama
terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.

2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih
merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh
DAFTAR PUSTAKA

http://aiardian.wordpress.com/2009/07/22/contoh-makalah-etika-pemerintahan/

http://politikana.com/baca/2011/03/05/etika-pemerintahan.html

Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia,Gema Insane Press,Jakarta,19991.

Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Fernanda, M.Soc.Sc, Drs.Desi. 2006.Etika Organisasi Pemerintah:Modul Pendidikan Dan


Pelatihan Prajabatan Golongan III.Jakarta.Lembaga Administrasi Negara

http://fisipfacebook.blogspot.com/2009/06/definisi-etikamoraletiket.html

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89462
MAKALAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA

“REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA”

Disusun Oleh : Kelompok II


EDISON HIDAYAT PUTRA
JULIANDA
RITA
TRINITA Br.SIMBOLON
ZULFITRA

PROgram studi ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini yang berjudul “Reformasi Birokrasi di Indonesia”. dan tidak lupa pula
solawat beriring salam penulis hadiahkan kepada junjungan alam yakni nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh
sebab itu, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis
mengharapkan keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
penulis makalah berikutnya.

Pekanbaru, 5 Mei 2013

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Reformasi Birokrasi 3
2.2 Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Dan
Strategi reformasi Birokrasi 8
2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia 10
2.4 Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi 14
2.5 Pelaksanaan Reformasi Birokrasi guna
mengatasi Patologi Birokrasi 15

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 17
3.2 Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah


Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi
birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi,birokrasi
pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi
keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi
yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya
birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi
birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap
reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah
terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi
pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap
komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian
masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap
dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat
semu.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi
secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan
empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society),
supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling
terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak
terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah, diantaranya:
1. Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
2. Bagaimana reformasi birokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah guna mengatasi patologi birokrasi?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk
mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di
Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Reformasi Birokrasi


2.1.1 Definisi Reformasi Birokrasi
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam
bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian
kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang
berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah
menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara
pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas
wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta -juta
penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah
ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya
masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini
perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim
sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan
dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan
keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga
dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai
peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat
dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka
terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto:
185-186).
Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara
atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga
negara, sebagai motor penggerak utama. Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan
dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya
perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat.
Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya
mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang
lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga
mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini
berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu
memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat
untuk menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu
masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan
bernegara berjalan dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang
dilayani pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan elemen-elemen
birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas,
aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk
memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan
fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai
diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh
kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari
harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan
antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang peran
birokrasi dewasa ini.
2.1.2 Tujuan Reformasi Birokrasi
1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.
2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta
memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
selaku abdi masyarakat dan abdi negara.
3. Pemerintah yang bersih (clean government).
4. Bebas KKN.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
2.1.3 Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumberdaya manusia
aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur
yang sederhana tidak berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan
menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik
menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima. Reformasi birokrasi perlu
diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak,
pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi
pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan,
legislatif, yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan,
departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan
sebagai berikut :
1. Penataan Kelembagaan atau Orgnisasi.
Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan,
diantaranya : perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi, menciptakan
organisasi yang efektif dan efesien, rasional, dan proporsional, organisasi disusun
berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas, mengedepankan kompetensi dan
profesionalitas dalam pelaksanaan tugas, menerapkan strategi organisasi pembelajaran
(learning organization) yang cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan.

2. Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur.


SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen
kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna,
produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan
masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan
beban kerja yang ada di masing-masing instansi pemerintah), penerapan sistem merit dalam
manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar
kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu
bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan
pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem
remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.
3. Tata Laksana atau Manajemen.
Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,
prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan
yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan
prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian,
proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan
perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan apresiasi
kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat,
disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan
budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam
administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang
andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi
perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah
yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit
korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero,
UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.

4. Akuntabilitas Kinerja Aparatur


Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar diciptakan Kinerja
Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN, ditandai oleh Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja
yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem
akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu
oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung sistem
informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di
semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan
ketalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan
indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi
yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta
pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).
5. Pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan nasional dengan
elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan
pengawasan masyarakat,ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib ,
sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat
pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan
tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tind ak
lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.
6. Pelayanan Publik.
Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat
didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat,
tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif,
konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan
tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai
pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan
pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan
mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna
jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen
pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial
competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan acco untable
government (pemerintahan tanggap/responsive), serta global-cosmopolit orientation
government (pemerintahan yang berorientasi global.
7. Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.
Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk membangun kultur
birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya iklim kerja yang
berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya
Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan perilaku serta motivasi kerja;
menemukenali kembali karakter dan jati diri, membangun birokrat berjiwa entrepreneur,
dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan
perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup
sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat
kepercayaan masyarakat).

8. Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi


Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi program dan
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program
pendayagunaan aparatur negara.
9. Best Practices.
Best practices yaitu Mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain
Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo, Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman,
Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar, dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan,
Malang, Sawahlunto, dan Pekanbaru).
2.2 Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi Birokrasi
a. Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal
Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen
perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi,
mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam
rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh,
berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang
dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:
1. Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita,
tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam
instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan
cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka
tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan
pengambilan keputusan.
2. Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun
organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
3. Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya
dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat
mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten
dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya.
4. Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment
yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
5. Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu
menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
6. Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan,
termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
7. Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul
selama proses perubahan berlangsung.
b. Strategi Reformasi Birokrasi
1. Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu,
prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2. Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat,
penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi
Pemerintah.
3. Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
4. Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa
karakteristik antara lain:
a. Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian
yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
b. Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa
pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
c. Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan
dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula
sistem evaluasi program-programnya.
d. Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang
ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
e. Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya
dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh
pemerintah.
f. Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
g. Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas
pemerintahan.
h. Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan
nepotisme.

2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia


Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang
diharapkan, yaitu reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti
bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk
mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan
yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan
pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat
untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari
harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun
eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja
pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN
dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah
banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius
dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang
restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya
fungsi). Tujuannya jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan
daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang
menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang
selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung
menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol Unwar,2006) . Agenda reformasi
tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat
serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia sep erti
entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan
berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara
maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment.
Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut
:
1. Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public.
2. Adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta
3. Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi
dan mewujudkan desentralisasi (ibid).
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut
cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada
era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan.
1. Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa
birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks
competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti (Cullen&
Cushman,2000).
2. Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa
kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya
pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003).
3. Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun
2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup
(Kompas,22 juni 2001)
Sementara itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King (1989) mengungkapkan
beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti :
1. Tidak efisien, antara lain ditandai dengan adanya :
 Tumpang tindih kegiatan antar instansi
 Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan.
 Budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan
 Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh
orang-orang yang berkompeten.
Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat
negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita
harus dilaksanakan, atau melaksanakan reformasi birokrasi.
2. Jumlah pegawai yang berlebihan.
3. Tidak modern atau ketinggalan jaman
4. Seringkali menyalahgunakan wewenang.
5. Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas
keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir
tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah
Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan
Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81
Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No.
20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan
pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan
dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang
Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi
birokrasi dan tunjangan kinerja.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan
berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design
Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman
pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem
monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem
pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari
sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang
Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya
ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.
Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya
pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan
target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan
program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja
Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi
secara nasional.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat
penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi
sebagaimana diharapkan.

2.4 Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi


Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan
peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi
di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans
Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta
pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada
pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang
dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan
regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di
Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan
mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut,
seperti :
1. Maraknya tindak KKN
2. Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
3. Pelayanan publik yang diskriminatif
4. Penyalahgunaan wewenang
5. Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

2.5 Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi


Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon kesan buruk birokrasi.
Birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan
dan kewenangan.
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang
perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat).
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu pembangunan.
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis,
inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan
pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang
terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan
yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek
persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang
benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan
(competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera
menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu
menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada
peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap
orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang
akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh
pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
adanya reformasi birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan
akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi
birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan
politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan
internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi
dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi
perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini
masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme
akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh
karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi tidak
terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.
Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance,
yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean
government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
3.2 Saran
1. Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat.
2. Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan pelayanan yang merata di
berbagai aspek
3. Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan
maka pemerintah haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya
ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan.
4. Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan
percepatan pemberantasan korupsi.
5. Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan
undang-undang yang telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi
dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM
press.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi birokrasi. jakarta: gramedia,
Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. terlebih lagi,
birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap
kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya
birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi
birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap
reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah
terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen
pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat
Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan
kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi
secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan
empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi
hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan
mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan
dalam buruknya birokrasi saat ini.

1.2. Fokus Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan Birokrasi ?
2. Apa yang dimaksud dengan Reformasi Birokrasi ?
3. Apa tujuan reformasi birokrasi ?
4. Bagaimana langkah memajukan reformasi birokrasi di Indonesia ?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya
pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan
untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di
Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Birokrasi


Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada
suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-
kegiatan administrasi.
Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”.
Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Secara etimologi birokrasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jabatan.
2.2. Pengertian Reformasi
Reformasi secara umum berarti perubahan pada suatu sistem yang telah ada pada suatu
masa. Di Indonesia kata reformasi umumnya merajuk pada gerakan mahasiswa pada tahun
1998. Pengertian reformasi secara harfiah dari kata reform atau reformation artinya membentuk
kembali sesuai dengan hakikinya. Namun secara fungsiaonal pemahamannya adalah membentuk
kembali kearah perbaikan, kemajuan dan pembaharuan dan penyampurnaan.
2.3. Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi kearah
perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi pemerintah yaitu
pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta efisien dan efektif.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Birokrasi
Birokrasi secara harfiah berasal dari kata yaitu bereau yang artinya meja tulis dan cracy
artinya orang-orang yang berada di meja tersebut. Untuk memberikan penjelasan mengenai
birokrasi secara mendalam dan komperatif menurut para ahli yang dikutip dari Priyo Budi
Sutanto (1993) yaitu sebagai berikut;
1. Yahya mahaimin (1980)
“ Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah,sipil maupun militer yang melakukan tugas
menbantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah dari statusnya itu ”
2. Almond dan Powel (1966)
“ Birokrasi adalah suatu bentuk perkumpulan secara formal mengorganisir kantor dan tugas
dalam mata rantai subordinas untuk melakukan perannya secara formal dalam pembuatan
keputusan”
3. Lance Castles (1976)
“ Birokrasi sebagai orang-orang yang di gaji menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan termasuk
didalamnya adalah pejabat tentara dan birokrasi pemerintahan ”
4. La Polambra (1967)
“Pengertian birokrasi digambarkan para suvervisor dalam mengemban tugas-tugas organisasi
dengan kemampuan dan kapasitasnya untuk melayani publik ”
5. M.Mas’ud Said (2007)
“ Birokrasi adalah sistem administrasi pelaksanaan dilakukan dengan aturan tertulis,dilakukan
oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bangian yang lain, oleh orang-orang yang dipilih
karena kemampuan dan keahlian dibidangnya ”
Dengan demikian pandangan diatas dalam memberikan pengertian birokrasi lebih
menekankan sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam melakukan kegiatan organisasi
secara sistematis dan dengan keterturan yang sudah dibakukan kedalam sistem operasi prosedur
(SOP) didukung sumberdaya manusia yang dipersyaratkan kemampuan dan keahliannya.
Birokrasi tidak bisa lepas dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia, semenjak manusia itu
melakukan aktivitas yang berhubumgan dengan manusia laindalam memenuhi kebutuhan
tersebut tidak terlepas hubungannya dengan birokrasi. Sebab birokrasi itu mengurus,mengatur
dan mengkoordiasikan seluruh aktivitas manusia dalam suatu organisasi agar kepentingan
manusia dapat tercapai dengan baik, lancar dan memuaskan.

3.2. Ciri-ciri Birokrasi


Birokrasi di Indonesia sejak jaman orde baru dan era reformasi memiliki ciri aliran
birokrasi gaya Max Weber yang di tandai dengan hal berikut ini :
1. Tingkat spesialisasi yang tinggi.
2. Struktur kewenangan hirarki dengan batas-batas kewenangan yang jelas.
3. Hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi.
4. Rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis.
5. Diferensi antara pendapatan yang resmi dan pribadi.

3.3. Reformasi Birokrasi


Pengertian reformasi secara harfiah dari kata reform atau reformation artinya membentuk
kembali sesuai dengan hakikinya. Namun secara fungsiaonal pemahamannya adalah membentuk
kembali kearah perbaikan, kemajuan dan pembaharuan dan penyampurnaan. Reformasi adalah
membangun sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada
perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian
perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada
development. Karl Mannheim menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan
dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan
keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati
oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan
martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan
masyarakat.
Dari pengertian ini, maka reformasi birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi
kearah perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi pemerintah
yaitu pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta efisien dan efektif. Reformasi
birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi.
Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau
menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai
motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good
governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi
merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi,
dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan
efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga
pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan
sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat
melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu
dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable
dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh
etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban
misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
3.4. Tujuan Reformasi Birokrasi
Tujuan Reformasi Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :
1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki
integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi negara
3. Pemerintah yang bersih (clean government)
4. Bebas KKN
5. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

3.5. Langkah-Langkah Memajukan Reformasi Birokrasi Indonesia


Reformasi birokrasi merupakan usaha mendesak, mengingat implikasinya yang begitu luas
bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaruan birokrasi menjadi lancar
dan berkelanjutan. Ada dua usaha serius yang perlu diperhatikan: langka internal dan langkah
eksternal. Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh menuju reformasi birokrasi
(Hardjapamekas, 2002:283).
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi. Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan
pada kekuasaaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi
birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen. Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat
penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah, maka reformasi
birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan dikalangan
birokrat, perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak
memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru. Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti
mekanisme dan prosedur kerja berbelit-belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai
gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani
secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi. Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien.
Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi
ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan, serta dalam menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi.
5. Memperkuat payung hukum. Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum
yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan-
perubahan.
6. Peningkatan Kualitas SDM. Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil
yang optimal tanpa disertai SDM yang handal dan profesional. Karena itu perlu penataan dan
sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan
kesejahteraan.
Langkah Eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik. Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena
menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama.
Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang
kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin
yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian
memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan masyarakat. Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat,
karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada
tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi. Misalnya, menegur
birokrat yang lamban dalam melayani masyarakat, atau yang sedang santai saja.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Birokrasi lebih menekankan sebagai suatu sistem dan prosedur kerja dalam melakukan
kegiatan organisasi secara sistematis dan dengan keterturan yang sudah dibakukan kedalam
sistem operasi prosedur (SOP) didukung sumberdaya manusia yang dipersyaratkan kemampuan
dan keahliannya.
Reformasi birokrasi adalah membangun kembali kondisi birokasi kearah
perbaikan,penyempurnaan dan pembaharuan,sesuai dengan tujuan birokrasi pemerintah yaitu
pemberian pelayanan publik yang tertib, teratur, lancar serta efisien dan efektif.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh menuju reformasi birokrasi yaitu
langkah internal yang berisi meluruskan orientasi, memperkuat komitmen, membangun kultur
baru, rasionalisasi, memperkuat payung hukum, peningkatan Kualitas SDM, dan langkah
eksternal yang berisi komitmen dan keteladanan elit politik, pengawasan masyarakat.

4.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini
adalah:
1. Diharapkan penulis dapat mengembangkan dan melanjutkan penulisan makalah mengenai
reformasi birokrasi Indonesia ini.
2. Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu
pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Tangke,Paulus M. “Reformasi Birokrasi Good Governance & Good Government”. 29 Februari


2016. https://paulusmtangke.wordpress.com/reformasi-birokrasi-good-governance-good-
government/
Istianto, Bambang . 2012. Demokrasi Birokrasi. Jakarta.Mitra Wacana Media

GOOD GOVERNANCE DAN REFORMASI BIROKRASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik dengan
kata lain merupakan pemerintahan yang bisa disebut pemerintahan yang ideal, akan tetapi
wujudnya bagaimana dan bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman
yang lebih dalam lagi.
Sementara itu juga ada yang memahami good governance sebagai suatu kondisi yang
menjamin tentang adanya proses kesejajaran, kesamaan, dan keseimbangan peran serta, saling
mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen seperti pemerintahan (government),
rakyat (citizen), dan usahawan (business).
Dan untuk mencapai pemerintahan yang bisa dikatakan good governace pastilah tak
semudah yang dibayangkan.
Maka dari itu sebagai upaya dalam menciptakan pemerintahan yang baik ataugood
governance munculah istilah reformasi birokrasi. Reformasi merupakan merubah atau membuat
sesuatu kearah yang lebih baik dan birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah atau dengan kata lain dapat disebut sebagai birokrat. Jadi
reformasi birokrasi merupakan suatu arah pergerakan atau perubahan dalam perbaikan jalannya
pemerintahan terhadap pelayanan kepada masyarakat dalam upaya mewujudkan good
governance.
Sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan good governance reformasi birokrasi dirasa
perlu untuk dilakukan sebagai bentuk perbaikan sistem pemerintahan, maka dari itu kami
berkeinginan untuk membuat suatu makalah yang berjudul “Good Governance dan Reformasi
Birokrasi”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan good governance?
2. Apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
3. Apa hubungan antara good governance dan reformasi birokrasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan good governance.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi.
3. Untuk mengetahu bagaimana hubungan antara good governance dan reformasi birokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Good Governance


Secara umum penyelengaraan pemerintahan yang dimaksud dalam good governance itu
berkaitan dengan isu transparansi, akuntabilitas public, dan sebagainya. Secara konseptual dapat
dipahami bahwa good governancemenunjukan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat
mengatur ekonominya. Institusi serta sumber social dan politiknya tidak hanya sekedar
dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integritas bagi kesejahteraan
rakyat. Good governance juga dipahami sebagai suatu penyelenggaraan manajemen
pemerintahan yang solid yang bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan
pasar, pemerintahan yang efisien, serta pemerintahan yang bebas dan bersih dari kegiatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dengan demikian good governance adalah pemerintahan yang baik dalam standar proses
dan hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling
berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang
dapat mengahmbat proses pemabangunan.
Sementara itu juga ada yang memahami good governance sebagai suatu kondisi yang
menjamin tentang adanya proses kesejajaran, kesamaan, dan keseimbangan peran serta, saling
mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen seperti pemerintahan (government),
rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang
sama dan sederajat. Jika kesamaan ini tidak sebanding, dipastikan terjadi pembiasan dan
konsep good governance tersebut.
Dalam workshop “Best Practices Reformasi Birokrasi” di Surakarta, Bupati Jembrana I
Gede Winasa mengungkapkan dalam konsep governance pada hakikatnya didukung oleh tiga
kaki yakni:
1. Tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses pembuatan keputusan untuk
formulasi kebijakan public. Penyusunanya baik dilakukan oleh birokrasi maupun birokrasi
bersama politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses ini tidak hanya pada tataran implementasi,
melainkan mulai dari formulasi, implementasi, sampai evaluasi.
2. Tata pemerintahan di bidang ekonomi, meliputi proses pembuatan keputusan untuk
memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara para penyelenggara
ekonomi, sector pemerintahan diharapkan tidak terlampau banyak campur dan terjun langsung
pada sector ekonomi karena ini bisa menimbulkan distrosi mekanisme pasar.
3. Tata pemerintahan di bidang administrasi adalah berisi implementasi kebijakan yang telah
diputuskan oleh institusi politik.
Pelayanan umum (public service) adalah produk yang dihasilkan oleh pemerintah.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya, maka pelayanan umum
menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintahan, dalam hal ini pemerintah
daerah sadar betul bahwa untuk mewujudkan konsep good governance mengandung sebuah
tatanan yang cukup berat, sehingga bermodalkan komitmen yang kuat dan kepercayaan
masyarakat, secara bertahap mulai menata kembali sinergi hubungan antara pemerintah,
masyarakat, dan pihak swasta. Hubungan ketiga komponen tersebut akan dapat sinergi apabila
masing-masingnya memahami posisi dan tugasnya. Yang menjadi permasalahan adalah
kesenjangan pada ketiga komponen itu sangat tinggi. Maka tidak ada pilihan, pemerintah harus
melakukan upaya dalam pemberdayaan menuju kemandirian melalui suatu system pelayanan
yang optimal.
B. Reformasi Birokrasi
Dalam berbagai kesempatan, untuk berbagai tujuan, istilah reformasi sering dilabelkan
pada setiap usaha yang dimaksudkan untuk melakukan perbaikan secara gradual, bertahap dan
berlangsung di sistem yang ada. Reformasi itu juga dipersamakan dengan sebuah perubahan dan
perbaikan atau sesuatu yang berkonotasi positif, meskipun pada kenyataannya ia hanya jargon
politis atau sesuatu yang hanya lip service. Begitupun ketika pemerintah melakukan sejumlah
perbaikan tata kelola (governance) atau manajemen pemerintahan, maka upaya itu dengan serta
merta dinyatakan sebagai reformasi birokrasi.
Reformasi atau apa pun namanya jika ia merujuk pada sebuah perubahan ke arah
perbaikan, maka ia sesungguhnya bukan sesuatu yang hanya dilakukan untuk saat atau oleh
kondisi tertentu. Mengacu pada istilah Michel Beer (2000:452) yang menyatakan berubah itu
adalah memilih tindakan yang berbeda dari sebelumnya, perbedaan itulah yang menghasilkan
suatu perubahan.
Jika reformasi itu dimaknai sebagai buah dari sebuah perubahan, maka buah yang
dihasilkan dari proses perubahan yang kemudian disebut reformasi itu masih jauh dari apa yang
diharapkan sebagaimana ketentuan normatif atau teoritisnya. Sejumlah kajian teoritis mengenai
reformasi birokrasi di Indonesia menunjukan bahwa proses reformasi atau perubahan dan
perbaikan organisasi birokrasi itu belum cukup menggembirakan. Berbagai telaah dan kajian
teoritis empiris menunjukkan bahwa proses reformasi birokrasi di Indonesia memerlukan kajian
lebih mendalam untuk memperoleh landasan teoritis ilmiah dan strategis yang tepat dalam
rangka implementasi proses birokrasi. Padahal menurut Mustopadidjaja (2000), jika proses
reformasi birokrasi bisa dijalankan dengan baik, maka akan terwujudlah good governance di
dalam birokrasi di Indonesia yang selanjutnya bisa dijadikan alat untuk melakukan pembangunan
masyarakat madani. Soebhan (2000) menyatakan bahwa agar proses reformasi birokrasi di
Indonesia bisa berjalan secara optimal, maka model keterkaitan birokrasi dengan politik harus
dipisahkan dengan jelas dan tegas.
Reformasi birokrasi atau apa pun padanan kata yang dimaksudkan sebagai sebuah
perubahan ke arah perbaikan sebuah usaha yang senantiasa dilakukan sebagai kebutuhan objektif
sebagai organisasi terbuka dari pengaruh dan senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan
perkembangan lingkungan di mana organisasi itu hidup.
Beberapa faktor yang mendorong timbulnya reformasi birokrasi pemerintah adalah :
1. Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan aparatur negaradan pemerintah itu
sangat tergantungdari kebutuhan dari pimpinan nasional. Jika pemimpin nasional meras butuh
melakukan perubahan psti perubahan dan pembaharuan aparatur itu akan terwujud. Kebijakan itu
didukung oleh kebijakan politik yang strategis dan dijadikan suetu program nasional dengan
dukungan seluruh komponen rakyat maka perubahan dan pembaharuan aparatur
negara/pemerintah bisa dilakukan.
2. Memahami erubahan yang terjadi dilingungan strategis nasiona, faktor ini yang akan
menimbulkan rencana dan tindakan pembaharuan aparatur negara/pemerintah, jika dilihat dan
diamati semenjak jatuhnya pemerintahan ordebaru perubahan lingkungan strategis nasional kita
ialah, terjadi krisis ekonomi/moneter dan perubahan sistem politik nasionaal. Dua kejadian ini
yang perlu dijadikan dorongan dan rencana adanya perubahan danpembaharuan aparatur.krisis
moneter dengan sendirinya akan melahirkan suatu kebijakan melakukan pembaharuan aparatur
yang efektif dan effisien dan hemat. Sedangkan perubahan sistem politik akan melahirkan sistem
yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari kekuatan politik dan partai politik yang
memperoleh kepercayaan suara rakyat terbanyak, sehingga perlu ditata hubungan sistem yang
tepat antara jabatan-jabatan politik dan jabatan karier dari proses rekruitmen, promosi dan
netralitas birokrasi. Termasuk didalam diatur tentang siapa dan bagaimana hubungannya pejabat
negara dan ejabat politik.
3. Memahami perubahan yan terjadi dilingkungan strategis global. Mendorong agar pembaharuan
aparatiur negara/pemerintah tidakberdiri sendiri melainkan mempertimbangkan perubahan global
tersebut, perubahan global antara lain sistem desentralisasi dan demokrasi yang sedang banyak
dipakai oleh negara-negara dipentas dunia yang menginginkan juga terjadi kepemerintahan yang
baik (Good Govermen). Selain itu perkembangan teknologi informasi yang mulai diterapkan
dalam pemerintahan yang elektronik (e-goverment). Penggunaan e-goverment tidak lain agar
pelayananyang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada rakyat memberikan kepuasan yang
prima kepada rakyat.
4. Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen pemerintahan yang menuju
ke otonomi dan desentralisasi daerah
C. Hubungan Good Governance dan Reformasi Birokrasi
Terbukti, buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi
Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang terbaisi di Hongkong meneliti
pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indoneisa dinilai termasuk
terburk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan ditahun 1999, meskipun
lebih baik dibandingkan keadaan Cina, Vietnam, dan India.
Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tidak bergerak dari skor 1999, dari
kisaran skor yang memungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau
jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan engalaman dan persepsi expatriats yang
menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi Pemerintahan
Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
1. Reformasi Birokrasi di Indonesia
Reformasi birokrasi pemerintah pertama pernah dilakukan dijaman pemerintahan Bung
Karno dengan slogan yang amat terkenal dengan kementrian yag ditugaskan melakukan
retooling. Retooling walalaupun mempunyai konotasi untuk melakukan pembaharuan pegawai,
menjadi penertiban dan pendayagunaan aparatur tekanannya masih diartikan pegawai yakni
orang-orang atau sumber daya manusia yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan negara.
Ketika pemerintah proklamasi melaksanakan pemerintahan sendiri, indonesia masih
meniru dan mewarisi sistem administrasi dari pemerintahan kolonial. Ketika dijajah Belanda
yang lama sekali sistem administrasi pemerintahan kerajaan Belanda kita pakaii dalam menata
administrasi negara kita semenjak proklamasi. Pemerintahan Jepang pernah juga menjajah
negara kita, dan pernah sistem administrasi Jepang dicoba dipakai untu sementara waktu. Karena
sistem pemerintahan Belanda yang lama diterapkan dinehagara jajahan saat itu, maka sistem ini
lama-kelamaan dirasakan tidak lagi memadahi lagi pula semangat ingin melepas dari warisan
kolonial dan semangat kemerdekaan yang masih berkorbar didada bangsa Indonesia, makahal ini
amat mendorong terciptanya sistem administrasi negara yang baru.
Saat itu di Amerika Serikat dikembangkan sistem administrasi negara yang modern dan
yang lebih praktis dan efisien. Maka presiden Soekarn melalui perdana menteri Almarhum
H.Juanda mengundang perutusan dari Amerika Serikat .Guru besar ilmu administrasi publik dari
Cornel dan PittBurg didatangkan ke Indonesia untuk memberikan saran pengembangan dan
perbaukan sistem administrasi negara. Hasil dari perutusan ini dilakukan refoemasi administrasi
pemerintahan. Susunan kementrian mulai ditata, didirikan lembaga yang menjadi pusat pelatihan
dan pengembangan tenaga-tenaga administrsi negara, didirikannya fakultas dan universitas yang
mengajarkan ilmu administrasi negara seperti yang dokembangkan oleh Amerika Serikat, dan
dibangun oleh perancang nasional yang kelak kemudian berubah menjadi Bappenas
Reformasi pertama yang dilakukan ketika zaman kepresidenan Soekarno didorong oleh
perubahan yang terjadi dilingkungan strategis rasional dan global. Lingkungan strategis
nasional ialah berubahnya tatasistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan warisan
kolonial belanda ke arah tatanan sistem administrasi yang bersifat modern pengaruh dari
Amerika Serikat . pengaruh global terjadi bermula dari sistem administrasi yang modern,praktis
dan efisien yang dikembangkan oleh Amerika Serikat tadi. Leverage points ditandai dariadanya
perubahan baik dilingkungan strategis nasional maupun global. Pemerintahan presiden soekarno
mempunyai pandangan yang jelas terhadap Administrasi Negara. Perhatiannya untuk
mengembangkan sistem administrasi negara sangat berat dengan didirikannya pada waktu itu
Lembaga Administrasi Negara yang diharapkan sebagai lembaga kajian untuk mengembangkan
ilmu Administrasi Negara yang bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari dari praktika
kepemerintahan.
Reformasi kedua dilakukan ketiaka jaman kepresidenan Soeharto. Dorongan untuk
melakukan reformasi ini pun diawali oleh keingina untuk membangun bangsa dan negara yang
dimulai unntuk menyelenggarakan stabilitas disegara sektor. Pembangunan kesejahteraan rakyat
yang tidak bakal terjadi kalau ekonomi bangsa ini tidak tumbuh. Untuk menumbuhkannya
diperlukan adanya stabilitas politik, pertahanan, keamanan, sosial dan sektor lainnya. Dari
keinginan mewujudkannya stabilitas ini maka visi pemerintahan presiden Soeharto adalah harus
dijalankan melalui sistem yang sentralistis. Pendekatan kekuasaan, keamanan, dan pemusatan
segala macam kebijakan dan urusan dipemerintah pusat amat kelihatan sikali. Maka disusunlah
suatu perubahan kebijakan menaata kelembagaan dan sistem birokrasi pemerintah yang
mendukung terwujudnya visi sentral tersebut. Tahun 1974 lima tahun setelah presiden Soeharto
memegang kendali pemerintahan mengeluarkan Keppres no 44 dan 45 tahun 1974 sebagai
tonggak dirombaknya dan disusun sistem dan struktur lembaga birokrasi pemerintah. Semua
organisasi dan sistem diseragamkan. Mulailah berturut-turut adanya ketentuan perundangan yang
menuju keseragaman itu. Susunan departemen kita yang dipimpin para menteri diseragamkan
susunan dan sistemnya. Sistem penyusunan, peaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran,
sistem rekruitment pegawai dan pegangkatan jabatan dalam jabatan, sistem diklat pegawai dll.
Susunan pemerintahan daerah dan desa pun diseragamkan untuk seluruh negara kita melalui UU
no 5/1974 tentang pemeritahan daerah dan UU 5/1979 tentang pemerintahan Desa.
Reformasi Administrasi Negara yang dilakukan oleh presiden soeharto karena didorong
oleh perubahan sistem lingkungan strategis nasional dari pemerintahan Soekarno orde lama ke
pemerintahan Soeharto orde baru. Dan adanya dorongan melakukan pembagunan ekonomi.
Sementara lingkungan strategis global ditandai dengan perlunyabantuan dari negara donor untuk
membantu kebijakan dan program pembangunan yang dilakukannya. Bantuan atau pinjaman
merupakan tatanan global yang harus ditaati dan diperhatikan untuk keberhasilan pembangunan.
Dari kebijakan bantuan luar negeri ini, ulailah bangsa ini senantiasa mengandalkan jasa-jasa dan
mulai dikuasainya kebijakan pemerintah oleh kebutuhan negara lain. Walaupun pada
akhirna setelah kejatuhan pemerintahannya beban pinjama ini sangat memberatkan kondisi
ekonomi bangsa saat ini.
Kedua presiden terdahulu mempunyai perhatian besar terhadap pengembangan ilmu
administrasi negara untuk kemanfaatan pemerintahan yang dipimpinnya . keduanya melakukan
reformasi karena didorong oleh leverage point yang jelas baik pada tatanan lingkungan strategis
nasional maupun global. Itulah reformasi yang dilakukan diawal tahun 1998, pemerintah hingga
kini belum pernah melakukan reformasi dan bahkan pemerintah silih berganti itu kurang
perhatiannya terhadap sistem da tatalaksanana administrasi negara.
Sejak era reformasi tata keperintahan dari sistem sentralisasi telah berubah menuju sistem
desentralisasi dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. UU no 22/1999 dan kemudian
diganti menjadi UU no 32/2004 dan ditahun 2008 direvisi menjadi UU no 12/2008 merupaka
kebijakan pemerintah untuk melakukan reformasi tata keperintahan. Akan tetapi kelanjutan
untuk melakukan reformasi dibidang lembaga administrasi negara.
2. Rapor Buruk Birokrasi Indonesia
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya smasa Orde Baru, yang
menjadikan birikrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar
biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang
bertanggunngjawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa
untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih
bertindak sebagai pangreh prajadaripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi
birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan.
Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah
ingin melestarikan budaya tersebut dnegan mengaburkan antara pejabat karier dengan nonkarier.
Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemeritahan Indonesia kembali kepada
kondisi birokrasi pemerintahan pada masa Orde Baru. Bahkan kemunculan RUU Administrasi
Pemerinthan turut mendapat respon yang cukup agresif dari para pejabat politik melalui fraksi-
fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka untuk
dapat menduduki jabatan birokrasi.
Reformasi birokrasi pemerintahan saat ini memang belum sepenuhnya terlihat. Birokrasi
pemerintahan masih kental dengan nuansa klasik, yaitu kekuasaan tunggal ada di tangan
pemerintahan. Selain itu, rancangan besar yang lengkap dan tuntas mengenai penyelenggaraan
birokrasi pemerintahan belum terlihat. Struktur organisasi pemerintahan tergolong gemuk,
sehingga kegiatan yang dilakukan cenderung boros.
Good Gavernance sering diartikan sebagai indicator terealisasikannya reformasi birokrasi
dengan terpenuhinya prinsip-prinsip, seperti :
a. Partisipai masyarakat

b. Tegaknya supremasi hukum

c. Transparansi

d. Kepedulian kepada stakeholder


e. Berorientasi kepada consensus

f. Kesetaraan

g. Efektivitas dan efesiensi

h. Akuntabilitas

i. Visi strategis

Reformasi didefinisikan sebagai perubahan raikal untuk perbaikan di berbagai bidang


dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan demikian, reformasi birokrasi adalah perubahan
raikal dalam bidang sistem pemerintahan.
Menurut teori liberal, birokrasi pemerintahan menjalankan kebijakan-kebijakan
pemerintahan yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh
dalam pemilihan umm. Dengan demikian, birokrasi pemerintahan itu bukan hanya diisi oleh para
birokrat, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik, (Carino,
1994). Demikian pula sebaliknya, didalam birokrasi pemerintahan itu bukan hanya dimiliki oleh
pemimpin politik dari partai politik tertentu, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier
professional.

3. Mewujudkan Good Governance


Pada awal tahun 1900-an, diadakan pertemuan negara-negara donor yang dipromotori
oleh Bank Dunia. Ertemuan ini, kemudian dikenal sebgai “Konsensus Washington”. Dalam
pertemuan itu terungkap, banyak bantuan asing “bocor” akibat praktik bad governance
(pemerintah yang tidak dikenal akuntabel, tidak transparan, penyalahgunaan wewenang, korupsi,
dll). Oleh karena itu, kemudian diseokatai bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan
(conditionality), yaitu kesediaan untuk mempraktikkan good governance (keterbukaan,
demokrasi, check and balances, dll). Maka sejak pertengahan 1900-an, bantuan asing disertai
kondisionalitas untuk mengurangi kebocoran bantuan asing dan efektivitas pemerintahan negara
berkembang.
Governance merupakan paradigma baru dalam tatanan pengelolaan kepemrintahan. Ada
tiga pilar governance, yaitu pemerintahan, sector swasta, dan masyarakat. Sementara itu,
paradigm pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berkembang adalah government sebagai
satu-satunya penyelenggara pemerintahan.
Dengan bergesernya paradigma dari goeverment ke arah governance, yang menekankan
pada kaloborasi dalam kesehatan dan keseimbangan antara pemerintahan, sekor swasta, dan
masyarakat madani (civil society), maka dikembangkan pandangan atau paradigm baru
administrasi publik yang disebut dengan kepemerintahan yang baik (good governance).
Good governance mengandung arti hubungan yang sinergis dan kontruktif diantara
negara, sector swasta, dan masyarakat (society).
Seperti yang disampaikan Bob Sugeng Hadiwinata, asumsi dasar good
governance haruslah menciptakan sinergi antara sektor pemerintahan (menyediakan perangkat
aturan dan kebijakan),sektor bisnis (menggerakkan roda perekonominan), dan sector civil
society (aktivitas swadaya guna mengembangkan produktivitas ekonomi, efektivitas, dan
efesiensi).
Syarat bagi terciptana good governance, yang merupakan prinsip dasar, meliputi :
a. Partisipatoris, setiap pembuatan peraturan dan kebijakan selalu melibatkan unsur masyarkat
(melaui wakil-waklnya).

b. Rule of law, harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin
perlingdungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.

c. Transparansi, adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang
membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan
inforamasi yang terbuka untuk publik.

d. Responsiveness, lembaga public harus mampu merespon kebuthan masyarakat, penyelesaian


harus mengutamakan cara dialogmusyawarah menjadi consensus.

e. Persamaan hak, pemerintahan harus menjamin bahwa semua pihak, anpa terkecuali,
dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihak pun yang dikesampingkan.

f. Efektivitas dan efisiensi, pemerintahan harus efektif (abash) dan efesien dalam memproduksi
output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keunagan negara, dll.

g. Akuntabilitas, suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk


mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Imlementasi
akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-
perubahan cepat yang terjadi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan
perubahan tertentu, sebagai antisipasi terhadap tuntutan pihak-[ihak yang berkepentingan.

Menurut Institute on Govenance (1996), sebagaimana di kutip Nisjar (1997), untuk


menciptakan good governance perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut :
a. Kerangka kerja tim (team work) antarorganisasi, depertemen, dan wilayah.

b. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang
bersangkutan.

c. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggungjawab bersama dan
kerjasama dalam suatu kerepaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.

d. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang menandai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menanggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini
secara realistik dapat dekembangkan.
e. Adanya pelayanan adminstrasi masyarakat public yang berorientasi pada masyarakat, mudah
dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan keadilan dalam
setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan
masyarakat, bersikap professional, dan tidak memihak (non-partisipan).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Reformasi birokrasi merupakan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan dan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut
unsur-unsur kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur negara atau birokrat.
Tujuan dari adanya reformasi birokrasi yaitu sebagai upaya dalam mewujudkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan ideal yaitu good governance.
Good governance memiliki tiga komponen dalam pelaksanaannya sebagai suatu sistem
yang harus saling bekerja sama menjaga keseimbangan dan saling mengontrol. Tiga komponen
tersebut yaitu pemerintah (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga
komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan ini tidak
sebanding, dipastikan terjadi pembiasan dan konsep good governancetersebut.
B. Rekomendasi
Untuk memperbaiki kesalah dalam pembuatan makalah ini kami memohon dengan penuh
hormat kepada semua pihak baik dosen pengampu mata kuliah birokrasi ataupun rekan-rekan
seperjuangan untuk dapat ikut serta memberikan kritikan dan masukan dalam perbaiki makalah
ini.
Di harapkan dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintahan yang baik, efektif, efisien
dan terbebas dari praktek KKN dapat diwujudkan sebagai upaya menuju good governance.

DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Zaidan. 2013. Manajemen Pemerintahan. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.


Ridwan, Junarsa dan Sodik Sudrajat, Ahmad. 2012. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa.
Santoso, Panji. 2012. Administrasi Publik. Bandung: PT Refika Aditama.
Sulaiman, Asep. 2013. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: Fadillah Press.
Wibawa, Samodra. 2009. Administrasi Negara: Isu-Isu Kontemporer . Yogyakarta: Graha Illmu.

Anda mungkin juga menyukai