Anda di halaman 1dari 15

1. Otonomi daerah adalah gagasan yang relative belum lama diterapkan di Indonesia.

Bersamaan dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, muncul tuntutan masyarakat
tentang perlunya manajemen pemerintahan yang baru mengingat pemerintahan yang
sentralistik dianggap memiliki banyak kekurangan . Pemerintahan yang sentralistik pada
kenyataan nya tidak mampu membawa pemerataan pembangunan tersebut sampai ke
wilayah-wilayah terluar. Akibatnya kesenjangan pembangunan terjadi antara pulau yang
satu dengan pulau yang lain. Apabila dibiarkan, hal ini berdampak pada munculnya
Gerakan-gerakan separatis yang menjadikan isu ketimpangan pembangunan sebagai
alasan utama mereka. Menindaklanjuti tuntutan tersebut, serta untuk menunjukkan
semangat pembaruan di dalam penataan pemerintah, pemerintah akhirnya mengesahkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada peraturan ini
gagasan tentang otonomi daerah muncul.
Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-
organ penyelenggara negara. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti
pembagian wewenang tersebut.
`Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan social,  ekonomi,
penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan politik yang edektif. Hak otonomi
memberikan peluang bagi masyarakat  uuntuk berpartisipasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya
secara terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam meletakkan
bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal jurisdiksi pemerintah daerah
bergeser di antara dua kutub nilai, yaitu nilai pembangunan bangsa (nation building) dan
stabilitas nasional disatu fihak, dan nilai otonomi daerah di lain fihak. Respon juridis
formal pemerintah Indonesia terhadap dilema ini, ternyata bervariasi dari waktu ke
waktu, tergantung kepada konfigurasi konstitusional dan konfigurasi politik pada suatu
waktu tertentu.
Secara konseptual rumusan kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia sudah
dilakukan dengan maksimal. Akan tetapi, kenyataannya pada tingkat implementasi
pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah yang dimaksud
belum berjalan 
Prinsip otonomi daerah secara garis besar dapat dilihat dari pernyataan berikut :
a. Pelaksanaan otonomi daerah harus memperhatikan aspek demokratis, keadilan,
pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas nyata dan bertanggung
jawab.
c. Pelaksanaan otonomi luas di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan di tingkat
provinsi otonomi terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan fungsi legislative dan fungsi
anggaran.
g. Pelaksanaan otonomi daerah harus berdarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintahan.

Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk
memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada
pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional
secara menyeluruh.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah di Indonesia:


1. Kemampuan structural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas
dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam
unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung
jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran
saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan
untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud
pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-
sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah
pusat.

Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi , yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta
faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas
pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem
pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini
sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk
dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga,
peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan
baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.

Sumber referensi : MKDU 4111 Modul 9 KB 1 Konsep otonomi daerah serta good and
clean government. Dan pendapat saya sendiri.
2. Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah

Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan
utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang
ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya
adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui
pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah, termasuk sumber keuangan serta pembaharuan manajemen birokrasi
pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks
pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. 

Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu daerah memiliki
peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerahnya masing-
masing. Hal ini  terutama disebabkan karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan
kewenangan yang pada awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi
urusan pemerintahan daerah masing-masing. 

Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat beberapa faktor
penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia yang meliputi kepala daerah
beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga legislatif dan partisipasi
masyarakatnya. Faktor keuangan daerah, baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli
daerah, yang akan mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah.
Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah. 

 Tantangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang menjanjikan
berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun dalam
realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan
sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam
pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya. 

Pelaksanaan  otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin sejuk reformasi
berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi dan dalam situasi dimana
krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan rakyat, Negara Indonesia membuat
suatu keputusan pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Judicial review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan
terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan
dengan mendasarkannya pada logika hukum. 

Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan dimana mereka harus
memahami peraturan perundang-undangan hasil judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang
baik dari aparatur, maka bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia
menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang sering terjadi dimana
peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas hukum masyarakat sehingga
kehilangan nilai sosialnya dan tidak dapat dilaksanakan. 

Dari berbagai hasil kajian dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah
kelemahan aspek regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
implementasi regulasinya. UU Nomor 32 Tahun 2004 telah berhasil menyelesaikan beberapa
masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun dalam pelaksanaannya,
ketidakjelasan pengaturan dalam UU ini sering menimbulkan permasalahan baru yang dapat
menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan dan aparaturnya yang pada akhirnya
menyebabkan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah tidak dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Sehingga kita memandang perlu UU ini perlu diubah atau diganti.

Untuk itu, RUU tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemerintahan Daerah) sebagai
pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 yang saat ini sedang dibahas dengan DPR, pada
dasarnya mencoba memperbaiki kelemahan UU Nomor 32 Tahun 2004. RUU
Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memperjelas konsep desentralisasi dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjelas pengaturan dalam berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Faktor Penghambat Otonomi Daerah Faktor-faktor yang dapat menghambat jalannya


otonomi daerah di Indonesia adalah:
a. Komitmen Politik: Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah
pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi.
b. Masih Terpaku pada Sentralisasi: Daerah masih memiliki ketergantungan tinggi
terhadap pusat, sehingga mematikan kreativitas masyarakat dan perangkat
pemerintahan di daerah.
c. Kesenjangan Antardaerah: Kesenjangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia,
serta intra struktur ekonomi.
d. Ketimpangan Sumber Daya Alam: Daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber
daya alam tetapi populasi penduduknya tinggi akan terengah-engah dalam
melaksanakan otonomi.
e. Benturan Kepentingan: Adanya perbedaan kepentingan yang sangat melekat pada
berbagai pihak yang menghambat proses otonomi daerah, seperti benturan keinginan
pimpinan daerah dengan kepentingan partai politik.
f. Keinginan Politik atau Political Will: Keinginan politik yang tidak seragam dari
pemerintah daerah untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat dan daerah.
g. Perubahan perilaku elit lokal: elit lokal mengalami perubahan perilaku dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah karena pengaruh kekuasaan yang dimilikinya.

Sumber referensi : MKDU 4111 MODUL 9 . Dan Pendapat saya sendiri


3. Otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu
keputusan politik maupun administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di
dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Namun apa yang menjadi kebutuhan
daerah tersebut harus senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.

Perjalanan sejarah otonomi Indonesia selanjutnya ditandai dengan munculnya UU nomor 1 tahun
1957 yang menjadi peraturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia.
Selanjutnya UU nomor 18 tahun 1965 yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-
luasnya. Kemudian disusul dengan munculnya UU nomor 5 tahun 1974 yang menganut sistem
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Hal ini karena sistem otonomi yang sebelumnya
dianggap memiliki kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI serta
tidak serasi denagn maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah.

UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan dengan
UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan keuanagn pusat dan
daerah dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI pada pasal 18 UUD 1945
dalam perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia
memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan politik juga semakin memberikan tempat
kepada otonomi daerah di tempatnya.
Solusi Masalah Otonomi Daerah

Berikut beberapa solusi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada otonomi daerah:

-Memperbaiki Kualitas Pemimpin

Solusi yang dapat diberikan antara lain tentang kualifikasi pimpinan atau kepala daerahnya.
Tidak bisa dipungkiri, peran kepala daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah
sangatlah besar. Jika  tidak ada political will dari pimpinan, usaha-usaha perbaikan tidak bisa
dilaksanakan. Selain itu, diperlukan kepala daerah yang memang mampu dibidangnya, tanggap,
kritis, mempunyai kreatifitas dan inovasi yang tinggi serta kemauan yang kuat untuk merubah
daerahnya lebih baik.

Karena itu diperlukan pembinaan kader-kader politik dengan cara membekali pendidikan dan
pengetahuan yang luas tentang kearifan lokal serta pentingnya daya saing daerah. Selama ini
sebagian besar kepala daerah berasal dari parpol, dengan demikian pembinaan kader politik bisa
dilakukan oleh partai yang bersangkutan dan juga memberikan mereka tanggungjawab untuk
melahirkan kader-kader politik yang berkualitas

-Memperbanyak Peranan Masyarakat

Selain dari segi kepemimpinan yang harus diperbaiki, peningkatan keterlibatan masyarakat di
berbagai kalangan, bukan hanya pada golongan masyarakat elit saja. Peningkatan keterlibatan
bisa dilakukan melalui pemberian akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat tanpa
menimbulkan diskriminiasi bagi beberapa pihak serta dengan memberikan tata cara partisipasi
mereka secara jelas dan juga tersosialisasi.

Pemberian hak seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang


penyelenggaraan pemerintah daerah juga sebagai kewajiban pemerintah. Menyediakan tempat
dan juga SOP mekanisme pengaduan masyarakat, bukan hanya dengan melalui kotak pengaduan,
via email, call center ataupun surat pos, namun menyediakan wadah/lembaga yang secara khusus
melayani pengaduan masyarakat disertai usaha merealisasikannya.

Penguatan partisipasi masyarakat bisa diwujudkan melalui optimalisasi kegiatan Musrembang,


dimulai dari Musrenbangdes, Musrenbangcam sampai Musrnebang tingkat kabupaten. Dengan
demikian, kesepakatan di Musrembang harus bisa dijawab oleh pihak pemerintah, sehingga
masyarakat akan merasa keberadaan dan partisipasi mereka dibutuhkan dalam proses
pembangunan didalam otonomi daerah. Pemerintah juga harus cerdas, kreatif serta inovatif
dalam merumuskan suatu kebijakan, terutama kemampuan untuk memprioritaskan program-
program di daerah, supaya jangan sampai menimbulkan kecemburuan social di lingkungan
masyarakat sendiri.

-Memperketat Rekrutmen Pegawai Pemerintah

Solusi lain dari masalah otonomi daerah yakni tentang perekrutan pegawai pemerintahan. Selama
ini rekrutmen PNS di daerah, hanya melalui seleksi secara umum saja, belum ada sistem
perekrutan sesuai dengan spesialisasi kerja (disesuaikan formasi dan latar belakang pendidikan),
sehingga ketika mereka ditempatkan di pemerintahan, kinerja yang dimiliki hanya sebatas tugas
yang dibebankan sebagai pegawai tanpa adanya kontribusi dan inovasi yang lebih dalam
menentukan atau pelaksanaan program-program pemerintah.

Selain itu, banyak terjadi kasus KKN di daerah ketika perkrutan PNS. Tidak sedikit dari mereka
membayar uang ratusan juta pada calo supaya bisa diterima sebagai PNS. Jadi, dampak buruknya
dirasakan oleh masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan dengan baik.

Sumber referensi : MKDU 4111 Modul 9 dan pendapat saya sendiri.


4. Mahasiswa adalah kalangan muda intelektual yang memiliki peran bukan hanya untuk
dirinya sendiri tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Peran dan fungsi mahasiswa dalam Good Governance
a. Mahasiswa sebagai Iron Stock
Mahasiswa dapat dikatakan sebagai iron stock adalah mahasiswa diharapkan menjadi
manusia-manusia Tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang
nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa itu
adalah asset, cadangan, harapan bangsa dan negara.
Peran yang dapat kita lakukan untuk memenuhi iron stock adalah dengan
memperkaya diri kita dengan berbagai pengetahuan yang baik dari segi keprofesian
maupun kemasyarakatan .
b. Mahasiswa sebagai Guardian of Value
Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga
nilai-nilai di masyarakat. Nilai yang harus dijaga kita harus melihat mahasiswa
sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran . Kita
harus memulainya dari hal tersebut.
c. Mahasiswa sebagai actor social control
Mahasiswa dapat berperan sebagai elemen pengawal segala jenis kebijakan
pemerintahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, mahasiswa juga dapat
menjadi actor penting dalam mendorong dan memaksa pemerintah dalam
mewujudkan good governance dalam system pemerintahan. Peran aktif mahasiswa
sebagai pengawal dan pendorong good governance ini dilakukan dalam rangka
menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Pengertian Good Governance


-Tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat
mengarahkan,mengendalikan atau mempengaruhi masalah public untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam Tindakan dan kehidupan keseharian.
-Suatu kesepakatan yang menyangkut pengaturan negara yang diciptakan Bersama
oleh pemerintah, masyarakat madani atau sector swasta yang mencakup keseluruhan
bentuk mekanisme,proses dan Lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok
masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban, dan menjembatani perbedaan di antara mereka.
-Indikator pemerintahan yang baik, produktif dan memperlihatkan ekonomi rakyat
yang meningkat baik dalam aspek produktivitas maupun daya belinya, kesejahteraan
spiritualnya terus meningkat (terlihat dari rasa aman, tenang dan Bahagia) serta sense
of nationality yang baik.

Manfaat Good Governance


1. Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi
2. Terciptanya system kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang bersih,
efisien, efektif, transparan, professional dan akuntabel.
3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan Tindakan yang bersifat
diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan public.
5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan undang-undang,
baik di tingkat pusat maupun daerah.

Prinsip Good Governance

1. Partisipasi Masyarakat (Participation)


Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan
mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan
aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah
daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan
pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi
dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan
masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda
pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik
memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam proses
mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi
hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang
responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi
peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di
dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di
dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar
arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi
perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan
dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang
berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan.
4. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak
korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good
governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good
governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari
pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang
ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari
konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak
perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk
memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau
panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal
maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan
bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana
perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan
semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan
milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi
semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini
perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang
mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan
kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara
partisipasi, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
terwakili. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang
berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-
kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan
penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal
tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang
kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman
melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan
yang jelas tentang cara mendapatkan informasi
7. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik
dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan
berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan
lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan
harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata
masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional
tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah,
karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga
masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah
peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas
maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen
pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja
penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan
datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan
atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa
saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Sumber referensi : MKDU 4111 MODUL 9 dan Pendapat saya sendiri

Anda mungkin juga menyukai