Bersamaan dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, muncul tuntutan masyarakat
tentang perlunya manajemen pemerintahan yang baru mengingat pemerintahan yang
sentralistik dianggap memiliki banyak kekurangan . Pemerintahan yang sentralistik pada
kenyataan nya tidak mampu membawa pemerataan pembangunan tersebut sampai ke
wilayah-wilayah terluar. Akibatnya kesenjangan pembangunan terjadi antara pulau yang
satu dengan pulau yang lain. Apabila dibiarkan, hal ini berdampak pada munculnya
Gerakan-gerakan separatis yang menjadikan isu ketimpangan pembangunan sebagai
alasan utama mereka. Menindaklanjuti tuntutan tersebut, serta untuk menunjukkan
semangat pembaruan di dalam penataan pemerintah, pemerintah akhirnya mengesahkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada peraturan ini
gagasan tentang otonomi daerah muncul.
Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-
organ penyelenggara negara. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti
pembagian wewenang tersebut.
`Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan social, ekonomi,
penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan politik yang edektif. Hak otonomi
memberikan peluang bagi masyarakat uuntuk berpartisipasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya
secara terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam meletakkan
bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal jurisdiksi pemerintah daerah
bergeser di antara dua kutub nilai, yaitu nilai pembangunan bangsa (nation building) dan
stabilitas nasional disatu fihak, dan nilai otonomi daerah di lain fihak. Respon juridis
formal pemerintah Indonesia terhadap dilema ini, ternyata bervariasi dari waktu ke
waktu, tergantung kepada konfigurasi konstitusional dan konfigurasi politik pada suatu
waktu tertentu.
Secara konseptual rumusan kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia sudah
dilakukan dengan maksimal. Akan tetapi, kenyataannya pada tingkat implementasi
pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah yang dimaksud
belum berjalan
Prinsip otonomi daerah secara garis besar dapat dilihat dari pernyataan berikut :
a. Pelaksanaan otonomi daerah harus memperhatikan aspek demokratis, keadilan,
pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas nyata dan bertanggung
jawab.
c. Pelaksanaan otonomi luas di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan di tingkat
provinsi otonomi terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan fungsi legislative dan fungsi
anggaran.
g. Pelaksanaan otonomi daerah harus berdarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintahan.
Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk
memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada
pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional
secara menyeluruh.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi , yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta
faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas
pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem
pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini
sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk
dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga,
peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan
baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Sumber referensi : MKDU 4111 Modul 9 KB 1 Konsep otonomi daerah serta good and
clean government. Dan pendapat saya sendiri.
2. Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah
Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan
utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang
ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya
adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui
pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah, termasuk sumber keuangan serta pembaharuan manajemen birokrasi
pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks
pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu daerah memiliki
peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerahnya masing-
masing. Hal ini terutama disebabkan karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan
kewenangan yang pada awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi
urusan pemerintahan daerah masing-masing.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat beberapa faktor
penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia yang meliputi kepala daerah
beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga legislatif dan partisipasi
masyarakatnya. Faktor keuangan daerah, baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli
daerah, yang akan mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah.
Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah.
Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang menjanjikan
berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun dalam
realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan
sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam
pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin sejuk reformasi
berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi dan dalam situasi dimana
krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan rakyat, Negara Indonesia membuat
suatu keputusan pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Judicial review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan
terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan
dengan mendasarkannya pada logika hukum.
Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan dimana mereka harus
memahami peraturan perundang-undangan hasil judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang
baik dari aparatur, maka bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia
menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang sering terjadi dimana
peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas hukum masyarakat sehingga
kehilangan nilai sosialnya dan tidak dapat dilaksanakan.
Dari berbagai hasil kajian dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah
kelemahan aspek regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
implementasi regulasinya. UU Nomor 32 Tahun 2004 telah berhasil menyelesaikan beberapa
masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun dalam pelaksanaannya,
ketidakjelasan pengaturan dalam UU ini sering menimbulkan permasalahan baru yang dapat
menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan dan aparaturnya yang pada akhirnya
menyebabkan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah tidak dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Sehingga kita memandang perlu UU ini perlu diubah atau diganti.
Untuk itu, RUU tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemerintahan Daerah) sebagai
pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 yang saat ini sedang dibahas dengan DPR, pada
dasarnya mencoba memperbaiki kelemahan UU Nomor 32 Tahun 2004. RUU
Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memperjelas konsep desentralisasi dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjelas pengaturan dalam berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.
Perjalanan sejarah otonomi Indonesia selanjutnya ditandai dengan munculnya UU nomor 1 tahun
1957 yang menjadi peraturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia.
Selanjutnya UU nomor 18 tahun 1965 yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-
luasnya. Kemudian disusul dengan munculnya UU nomor 5 tahun 1974 yang menganut sistem
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Hal ini karena sistem otonomi yang sebelumnya
dianggap memiliki kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI serta
tidak serasi denagn maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah.
UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan dengan
UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan keuanagn pusat dan
daerah dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI pada pasal 18 UUD 1945
dalam perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia
memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan politik juga semakin memberikan tempat
kepada otonomi daerah di tempatnya.
Solusi Masalah Otonomi Daerah
Berikut beberapa solusi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada otonomi daerah:
Solusi yang dapat diberikan antara lain tentang kualifikasi pimpinan atau kepala daerahnya.
Tidak bisa dipungkiri, peran kepala daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah
sangatlah besar. Jika tidak ada political will dari pimpinan, usaha-usaha perbaikan tidak bisa
dilaksanakan. Selain itu, diperlukan kepala daerah yang memang mampu dibidangnya, tanggap,
kritis, mempunyai kreatifitas dan inovasi yang tinggi serta kemauan yang kuat untuk merubah
daerahnya lebih baik.
Karena itu diperlukan pembinaan kader-kader politik dengan cara membekali pendidikan dan
pengetahuan yang luas tentang kearifan lokal serta pentingnya daya saing daerah. Selama ini
sebagian besar kepala daerah berasal dari parpol, dengan demikian pembinaan kader politik bisa
dilakukan oleh partai yang bersangkutan dan juga memberikan mereka tanggungjawab untuk
melahirkan kader-kader politik yang berkualitas
Selain dari segi kepemimpinan yang harus diperbaiki, peningkatan keterlibatan masyarakat di
berbagai kalangan, bukan hanya pada golongan masyarakat elit saja. Peningkatan keterlibatan
bisa dilakukan melalui pemberian akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat tanpa
menimbulkan diskriminiasi bagi beberapa pihak serta dengan memberikan tata cara partisipasi
mereka secara jelas dan juga tersosialisasi.
Solusi lain dari masalah otonomi daerah yakni tentang perekrutan pegawai pemerintahan. Selama
ini rekrutmen PNS di daerah, hanya melalui seleksi secara umum saja, belum ada sistem
perekrutan sesuai dengan spesialisasi kerja (disesuaikan formasi dan latar belakang pendidikan),
sehingga ketika mereka ditempatkan di pemerintahan, kinerja yang dimiliki hanya sebatas tugas
yang dibebankan sebagai pegawai tanpa adanya kontribusi dan inovasi yang lebih dalam
menentukan atau pelaksanaan program-program pemerintah.
Selain itu, banyak terjadi kasus KKN di daerah ketika perkrutan PNS. Tidak sedikit dari mereka
membayar uang ratusan juta pada calo supaya bisa diterima sebagai PNS. Jadi, dampak buruknya
dirasakan oleh masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan dengan baik.