Anda di halaman 1dari 13

Kewarganegaraan

1.Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi
penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000
yang sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah.
Bersamaan dengan bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan
dari masyarakat tentang perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut
disebabkan bahwa pemerintahan yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak
kekurangan. Tuntutan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22
tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah. Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor
yang dapat memperngaruhi keberhasilan otonomi daerah di Indonesia!

Jawab:

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tujuan pemberian otonomi daerah bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara hubungan
yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dikatakan berhasil
atau sukses jika mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:

1. Kemampuan struktural organisasi


Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas
yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan
kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah


Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya
tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan
serta dalam kegiatan pembangunan.

4. Kemampuan keuangan daerah


Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan
rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari
subsidi pemerintah pusat.

Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang
mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta
faktor organisasi dan manajerial.

• Faktor Manusia
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi
daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme
dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau
subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun
pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan
apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.

• Faktor Keuangan
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung
pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip
pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara,
masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin
stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan
negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam
menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya. Selain itu juga anggaran
sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang
dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan
susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke
muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk
melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.

• Faktor Peralatan
yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah
daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai
tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian,
peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah,
serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.

• Faktor Organisasi dan Manajemen


yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan
organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan
dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti
penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34)
mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan
daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai
manajer daerah.
2.Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!

Jawab:

Berikut beberapa faktor hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia;

1. Perbedaan Konsep dan Paradigma Otonomi Daerah

a. Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah,terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendekiawan, dan


para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai
prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-
sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di
mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi
kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan
persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai
akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi
sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.
Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi
daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi
diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999)

Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.

b. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi,
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan


“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi
(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia
dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan
semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah
masih sangat lemah.

2. Kuatnya Paradigma Birokrasi


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang dibutuhkan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.

Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi,
prosedur, dan aturan yang ketat).

3. Lemahnya kontrol Wakil Rakyat dan Masyarakat

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif
sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung
melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal.
Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan
fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan,
semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan.

4. Kesalahan Strategi

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak
sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah

sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan
daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
3. Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan
UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih
banyak hal yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi
kebijakan otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya
kewenangan dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku
eksekutif dan semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal
pengambilan keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah.
Namun, keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-
raja kecil di daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga
menyebabkan anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan
pembangunan menjadi terhambat. Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan
solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah!

Jawab:

Dalam wawancara Dr. J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies
(CSIS), Ia menyebutkan, untuk mengatasi raja kecil dapat ditempuh dengan penertiban dana
partai, lebih baik negara mengalokasikan kepada partai politik sebesar 0,5 – 1% dari APBN.
Partai politik juga merupakan sumber persoalan, perlu adanya reformasi partai, dan dana partai
dari negara. Saat ini yang diperlukan adalah niat (political will).

Jika pendanaan partai dari negara, maka partai sudah masuk sistem dalam keuangan negara dan
dapat diaudit, hal tersebut dapat menekan ketika kampanye tidak mengeluarkan uang sebanyak-
banyaknya, tapi dengan cara mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung, efek utama dari
dana partai berasal dari negara dan adanya transparansi pelaporan, dapat menggeser politik uang
mejadi politik kaderisasi, dimana partai dipaksa untuk bersaing kader (dengan pendidikan yang
baik). Pengkaderan membangun karakter manusia mulai dari dini. Mendidik dengan baik yaitu
dengan menanamkan nilai sehingga orang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai yang
diajarkan.

Selain itu juga terdapat rekomendasi oleh Kristian Widya Wicaksono untuk menanggulangi
hambatan pelaksanaan otonomi dalam artikel berjudul “Problematika dan Tantangan
Desentralisasi di Indonesia”, ia gagas sebagai berikut (Jurnal Bina Praja, 2012: 21 – 28);
Pertama adalah dibutuhkan memperjelas pembagian kewenangan antar dua level pemerintah
lokal yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini perlu diatur secara
konstitusional sehingga ada kejelasan pembagian kewenangan antar dua level pemerintahan
tersebut untuk bertanggungjawab atas sejumlah pelayanan lokal yang strategis agar menghindari
tumpang-tindi urusan dan pembiayaan ganda.

Kedua, daerah yang memperoleh limpahan kewenangan hendaknya memiliki


kekayaan, anggaran dan dana cadangan yang memadai. Hal ini juga hendaknya
didukung dengan kapasitas menggalang penerimaannya sendiri sepanjang hal tersebut sesuai
dengan substansi kewenangan yang dimilikinya. Oleh karenanya, penguatan kapasitas
pemungutan pajak oleh pemerintah daerah merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari
dalam konteks negara yang menjalankan kebijakan desentralisasi. Maka dari itu, perlu untuk
kembali dipertimbangkandistribusi kewenangan pemungutanpajak baik antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pajak yang strategis hendaknya diserahkan
kepada lini desentralisasi yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat sehingga
kebijakan desentralisasi dapat memberikan manfaat dan dampak nyata bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, pemerintah daerah harus memperkerjakan aparatur pemerintahan yang kompeten.


Artinya aparatur pemerintah daerah hendaknya direkrut melalui merit sistem (sistem yang sesuai
dengan regulasi), dipecat apabila tidak kompeten, dapat dialihkan ke pekerjaan lain atas alasan
profesionalitas dan efektifitas kerja serta dipromosikan sesuai dengan masa kerja serta kinerja
yang mampu ditunjukkannya. Oleh karenanya, program reformasi kepegawaian di
lingkunganpemerintah daerah hendaknya mulai ditata secara sistematik dan rasional. Badan
Kepegawaian
Daerah harus mengambil peranan yang signifikan dalam menentukan proses tersebut, sehingga
mekanisme kepegawaian dapat dijalankan secara adil dan transparan untuk menciptakan
organisasi pemerintah daerah yang handal.

Keempat, penguatan lembaga legislatif yang dipilih oleh masyarakat lokal sehingga mampu
mengoperasikan garis kebijakan partai, memutuskan kebijakan dan menentukan prosedur
internal dalam kepartaiannya. Salah satu penyebab lahirnya Perda bermasalah adalah lemahnya
kapasitas lemabaga legislative daerah untuk menghasilkan Perda-Perda yang berkualitas. Oleh
karenanya, rekruitmen politik yang dijalankan partai politik hendaknya lebih diperbaiki sehingga
kualitas kader-kader mereka yang nanti akan ditempatkan di lembaga legislatif bisa
dipertanggungjawabkan.

Kelima, administrasi pemerintah pusat sebaiknya melayani secara murni sebagai penasehat
eksternal dan inspektor serta tidak memiliki peranan yang sangat strategis dalam kewenangan
lokal. Oleh karenanya, penguatan kelembagaan pemerintah daerah harus menjadi prioritas dengan
cara merampingkan struktur pemerintah pusat dan melakukan spesialisasi pekerjaan secara
efektif di level pemerintah daerah.
4. Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang
penting yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat
diberikan kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah
terhadap kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan
apakah akan memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya. Dari uaraian
di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good
governance!

Jawab:

Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen


pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran
pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing
di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan yang dikehendakinya,
menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development.
Agent of development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat
bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program,
proyek-proyek, bahkan industri- industri, dan peran perencanaan dan anggaran penting. Dalam
good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan
terutama Mahasiswa bisa berperan dalam good governance.

Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak
meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem
pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan
baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15
tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya
sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan
kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Disini, “Mahasiswa” merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan faktor
pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam menerapkan perilaku
terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis besar dapat digolongkan menjadi peran
sebagai kontrol sosial dan peran sebagai pembaharu yang diharapkan mampu melakukan
pembaharuan terhadap sistem yang ada. Salah satu contoh sejarahnya adalah peristiwa turunnya
orde baru dimana sebelumnya di dahului oleh adanya aksi mahasiswa besar di seluruh Indonesia.

Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran preventif terhadap korupsi dengan
membantu masyarakat dalam mewujudkan ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada
rakyat banyak, sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada
masyarakat. Kontrol terhadap kebijakan pemerintah tersebut perlu dilakukan karena banyak
sekali peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya berpihak pada golongan tertentu
saja dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Kontrol tersebut bisa berupa tekanan berupa demonstrasi ataupun dialog dengan pemerintah
maupun pihak legislatif. Mahasiswa juga dapat melakukan peran edukatif dengan memberikan
bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat baik pada saat melakukan kuliah kerja lapangan
atau kesempatan yang lain mengenai masalah korupsi dan mendorong masyarakat berani
melaporkan adanya korupsi yang ditemuinya pada pihak yang berwenang.

Berikut beberapa point agar gerakan - gerakan mahasiswa akan good governance menjadi
progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif, harus menunjukkan kualitas berikut ini (Jamila,
2018):
Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah
bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan
dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi.
Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah bersifat
independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini biasanya
hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan proyek
demonstrasi.

Kedua, melakukan dialog transformatif untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang


demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung elitis dan menggunakan bahasa yang
mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga gerakan intelektual plus, haruslah
mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan masyarakat yang selama ini banyak ditindas.

Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan
berjiwa intelektual organik.
http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/keberhasilan-otonomi-daerah.html

http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/sylggb.x
html

https://wantimpres.go.id/id/implementasi-otonomi-daerah-guna-mencapai-tujuan-bernegara-
kebahagiaan-bersama/

https://jurnal.kemendagri.go.id/index.php/jbp/article/download/58/55

https://yippo.wordpress.com/2017/04/29/good-governance/

http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/peranan_mahasiswa.pdf

https://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/journalcss/article/download/79/83

Anda mungkin juga menyukai