PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya
masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk
peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas
dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat
perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum
menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat
tersebut. Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai
penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk
didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi
daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan
kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak
pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah
yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan
melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak
kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat
penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis
otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
a. Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
b. Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
c. Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
d. Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang
demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada
hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek
tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan
daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang
bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua
pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang
dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara
substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah
mencerminkan aspirasi masyarakat.Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel,
apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat
dipertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat
maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak
adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala
daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
2. Rumusan Masalah
Berdarkan uraian diatas, maka dalam penulisan makalah ini kami
merumuskan masalah dan memberikan batasan pada masalah Peranan Apatur
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah . Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam tugas makalah ini adalah : Dalam pelaksanaan otonomi
daerah telah memberikan peluang pembangunan di daerah namun juga terjadi
penyimpangan dalam pelaksanan peraturan perundang-undangan seperti tindakan
korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah
untuk mengetahui:
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kemampuan aparatur Pemerintah Daerah
terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui aparatur Pemerintah Daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Desentralisasi
Desentralisasi merupakan salah satu penanda yang penting bagi dimulainya
upaya reformasi di Indonesia. Inisiatif desentralisasi lahir dari semangat
mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi lokal yang diabaikan selama orde baru
dengan dikeluarkan Otonomi Daerah adalah pelimpahan kewenangan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik. Bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota meliputi:
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga
kerja. Dewasa ini korupsi adalah masalah serius dibanyak-banyak negara-negara Asia
begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stablistas dan keamanan
masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi
dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan
hukum.
Di daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang.” Di daerah-daerah bersifat
otonom maka adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, didaerah
pun, akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian, Undang Undang
Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan,
dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam perkembangan sejarah Negara Republik
Indonesia, untuk melaksanakan pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tersebut, telah
dikeluarkan undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dan sudah
beberapa kali diadakan perubahan dan penyempurnaan sehingga yang berlaku hingga
pada saat ini adalah Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada
Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Desentralisasi merupakan media
dalam pelaksanaan hubungan antar level pemerintahan dalam lingkup suatu negara,
yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan pemerataan dan keadilan.
Melihat berbagai uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan Otonomi
Daerah adalah memungkinkan daerah meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan
untuk kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan
politik dan kesatuan bangsa.
Inti dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan
Pemerintah Daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti
melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas
masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungannya. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya memang sederhana.
Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya
tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah,
pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang
berkeadilan. Menurut Josep Riwu Kaho, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan Otonomi Daerah, salah satunya manusia pelaksananya harus baik.
Memang ada banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah,
namun masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang sangat mendasar
karena dengan ditetapkannya status sebagai daerah otonom yang luas disertai kadar
desentralisasi yang tinggi, memungkinkan setiap daerah mengembangkan kreasi dan
inovasi yang tinggi dalam mengurus rumah tangganya. Dalam format seperti ini,
kebutuhan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi dasar
pertimbangan utama yang memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram
secara sistematik.
Faktor manusia merupakan unsur yang penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini disadari karena manusialah yang menjalankan
mekanisme pemerintahan. Diantara beberapa sumber daya manusia yang secara
potensial sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah adalah aparatur
pemerintah daerah. Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan
juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. Dimana aparatur
Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mengemban tugas dan
fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga
diperlukan persyaratan kualitas yang memadai dari unsur sumber daya manusia ini.
Secara teoritik, kemampuan pemerintah, antara lain terbentuk melalui penerapan azas
desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi,
kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan
wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan untuk mengambil
inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik atas setiap masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Namun demikian, kenyataannya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah kapasitas
aparatur pemerintah masih sangat terbatas dimana bukan saja kuantitasnya yang
memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa
memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui sebagian aparatur Pemerintah
sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu “termasuk peringkat atas sebagai negara
korup di dunia”.
Kondisi aparatur pemerintah beberapa waktu yang lalu pernah diamati oleh
sebuah lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak
dijumpai aparatur yang hanya baca koran, hanya berbincang-bincang, dan bahkan
tidak berada ditempat kerjanya, sehingga kebanyakan aparatur tidak mengetahui
tugas-tugas rutinnya. Selain itu pendidikan formal aparatur pemerintahan kesempatan
mengikuti pelatihan atau program pemerintah sangat terbatas, keterbatasan ini
menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami setiap tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepada setiap aparatur. Apalagi dengan adanya
kebijakan otonomi daerah ini yang memerlukan kemampuan setiap aparatur untuk
mengemban tugas sebagai aparatur daerah otonom, jika kondisi aparatur seperti
kondisi ini maka menghambat percepatan pelaksanaan otonomi daerah karena
sebagian diantaranya merasa takut akan kehilangan kekuasaan akibat kurangnaya
pemahaman tentang otonomi daerah dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam
menerapkan otonomi daerah.
2. Etika Pemerintahan Di Indonesia
Kejahatan kerah putih tidak menakutkan, karena pelakunya berdasi,
berpangkat, bergelar, dan naik turun mobil mewah, teduh indah dengan sederetan para
pegawal dan para pembela. Namun demikian sejak turunnya Jenderal Soeharto dari
kursi kekuasaan yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang sebagian
besar terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia (terutama dari pulau jawa)
istilah dan spanduk yang paling banyak diangkat adalah pemberatasan KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme).
Karena pemerintahan dalam arti luas juga berarti legislatif, yudikatif,
inspektif, konsultif dan konstitutif selain dari eksekutif sendiri, maka tidak menutup
kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ini melibatkan pihak tersebut di atas.
Misalnya terjadinya penyogokan anggota legislatif untuk meloloskan suatu undang-
undang atau peraturan daerah, terjadinya penyogokan pada pejabat yudikatif untuk
meloloskan suatu perkara.
Ada beberapa patologi yang merupakan duka Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu antara lain sebagai berikut :
Loyalitas kepada atasan, maksudnya seorang pejabat yang baru saja dilantik maka
kita tidak mengetahui apakah dia akan bekerja dengan baik atau buruk, apakah dia
akan bekerja dengan benar atau salah, maka biarlah kita memberikan penilaian
setelah masa jabatannya berakhir, tetapi di Indonesia, begitu seseorang baru
dilantik para staf lalu berbondong-bondong memperlihatkan kedekatan. Jadi
seharusnya loyalitas para staf adalah kepada tugas bukan kepada atasan yang tidak
menutup kemungkinan untuk keliru sebagai manusia.
Budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa indonesia dijajah Belanda kita
melihat mereka berkulit putih berdampingan dengan kerajaan maka derajat
mereka ditinggikan dan disebut pula dengan berdarah biru, setelah indonesia
merdeka maka pegawai negari dianggap pemerintah menggantikan, oleh karena
itu untuk menjadi pegawai orang berkenan menyogok sebanyak apa pun. Oleh
karena itu bagi pemegang jabatan sudah tentu dianggap ningrat, mereka terlalu
dihormati, masyarakat menunduk bila lewat di depan pejabat pemerintah karena
dianggap raja yang berkuasa dan harus dihormati.
Pelayanan lemah, maksudnya pelayanan adalah sama apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat dengan apa yang diberikan pemerintah, kalau pemerintah mendirikan
pasar disuatu tempat yang sulit dikunjungi pembeli dan penjual dan harga retribusi
yang tidak sebanding maka berarti pemerintah tidak berbangga bahwa telah
melakukan pelayanan karena masyarakat tidak butuh apa yang diberikan oleh
pemerintah.
Mutu pegawai rendah, maksudnya setiap ada penerimaan pegawai selalu yang
diterima anak pejabat atau anak mereka yang mempunyai uang maka banyak
sekali kepala bagian kepegawaian yang kaya raya, resikonya pegawai negeri yang
diterima tidak lagi memperhatikan mutu mulai dari tingkat kecerdasan, moral
sampai pada ketrampilan kerja, dengan demikian prestasi sudah dilupakan, bahkan
pemberian penghargaan dikantor-kantor hanya berdasarkan selera atasan.
3. Desentralisasi Pemerintahan
Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tersebut tetap akan membagi-
bagi pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk
memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang, namun demikian pemerintahan pusat
juga merasa curiga terhadap timbulnya separatisme dari hasil pemberian otonomi
daerah ini. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaanya diwujudkan dengan
pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-
daerah tersebut meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemmerintah dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian
daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti
pajak-pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain yang sah.
Berikut ini ada berbagai kebaikan diadakannya desentralisasi pemerintahan,
yaitu sebagai berikut (Inu kencana 2011:58) :
1. Meringankan beban, karena aparat pemerintah pusat tidak perlu lagi jauh-jauh ke
daerah dimana aparat derah sudah difungsikan dengan baik.
2. Generalistik berkembang, karena seluruh lapisan masyarakat dengan segala
macam kemampuannya dikembangkan.
3. Semangat kerja ada karena setiap individu terpakai dan diakui keberadaannya.
4. Siap pakai, karena tenaga-tenaga yang akan dipakai sudah berada didaerahnya
masing-masing. Jadi dalam sistem kepegawaian tidak diperlukan lagi pemindahan
status kepegawaian.
5. Efisiensi, karena dalam penghematan waktu pemerintah tidak terlalu lama mengisi
formasi yang kosong.
6. Manfaat yang diperoleh besar, karena batin masyarakat terpenuhi melalui
pendemokrasian didaerah ini.
7. Resiko tinggi, karena masalah-masalah yang timbul didaerah bukan hanya
dipikirkan dan dipecahkan oleh aparat pusat, tetapi juga dipikirkan
penanggulangannya oleh masyarakat daerah.
8. Tepat untuk penduduk yang beraneka ragam
9. Memudahkan pekerjaan karena pekerjaan dapat dibagi-bagi antara pusat dan
daerah dan antara daerah dengan daerah lain.
10. Unsur individu menonjol pengaruhnya, karena setiap setiap individu yang
memiliki keahlian di daerahnya, akan segera terlihat.
11. Menciptakan administrasi yang relatif lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif karena
dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut, muncul kreasi, keinginan
untuk maju, berkembang, serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan
kedaerahan.
12. Kesewenangan berkurang, karena pemerintah pusat telah memberikan otonomi
kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, maka ketergantungan
daerah kepada pusat berkurang .
Dalam era turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap
dan dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada gaya
kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin harus mampu mengelola perubahan,
termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan
produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola keragaman
dan mendorong terus proses pembelajaran karena dinamika perubahan lingkungan
serta persaingan yang semakin ketat
Agar kinerja dapat dioptimalkan haruslah membuat deskripsi jabatan bagi setiap
pegawai, sehingga mereka mengerti apa fungsi dan tanggung jawabnya. Deskripsi
jabatan yang baik akan dapat menjadi landasan untuk:
1. Penentuan gaji. Hasil deskripsi jabatan akan berfungsi menjadi dasar untuk
perbandingan pekerjaan dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan sebagai acuan
pemberian gaji yang adil bagi pegawai dan sebagai data pembanding dalam
persaingan dalam perusahaan.
2. Seleksi pegawai. Deskripsi jabatan sangat dibutuhkan dalam penerimaan, seleksi
dan penempatan pegawai. Selain itu juga merupakan sumber untuk pengembangan
spesifikasi pekerjaan yang dapat menjelaskan tingkat kualifikasi yang dimiliki
oleh seorang pelamar dalam jabatan tertentu.
3. Orientasi. Deskripsi jabatan dapat mengenalkan tugas yang baru kepada pegawai
dengan cepat dan efisiensi.
4. Penilaian kinerja. Deskripsi jabatan menunjukkan perbandingan bagaimana
seseorang pegawai memenuhi tugasnya dan bagaimana tugas itu seharusnya
dipenuhi.
5. Pelatihan dan pengembangan. Deskripsi jabatan akan memberikan analisis yang
akurat mengenai pelatihan yang diberikan dan perkembangan untuk membantu
pengembangan karier.
6. Uraian dan perencanaan organisasi. Perkembangan awal dari deskripsi jabatan
menunjukkan dimana kelebihan dan kekurangan dalam pertanggungjawaban.
Dalam hal ini deskripsi jabatan akan menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab.
7. Uraian tanggung jawab. Deskripsi jabatan akan membantu individu untuk
memahami berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain
organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada
masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi
sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental
dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak
efisien
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik
memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi
ekonomi, sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap
dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak
profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya
birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani
masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah
ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra
birokrat dan sistim birokrasi kita. Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau
berkolusi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Karenanya di era
reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang
dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti
mengalami resistensi tinggi.
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang menuju pada good governance
memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembang dari dan
dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara. Sementara itu, menurut United
Nation Development (UNDP), Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan
aspek fundamental (asas/prinsip) yang harus diperhatikan, yaitu :
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sejak berlakunya Otonomi Daerah yang adalah pemberian wewenang dan
tanggung dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan
mengurus daerah otonomi sesuai aspirasi daerah dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi merata keseluruh wilayah, mengurangi tingkat kesenjangan
antardaerah, meningkatkan interaksi masyarakat antardaerah, yang pada ujungnya
adalah untuk menciptakan stabilitas nasional serta memperkokoh Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai
penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk
didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi
daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan
kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak
pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah
yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan
melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak
kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
2. Saran
Sebagai aparatur pemerintah daerah yang Dalam konteks pemerintahan
daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan,
dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang
penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur
untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara
akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang
dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. aparatur
pemerintah daerah Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan
juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta. PT Gramedia
Pustka Utama
Supriyatna, budi. 2009. Manajemen Pemerintahan: (plus dua belas langkah strategis).
Jakarta: CV. Media Berlian.
Syafiie, Inu Kencana. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta