Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya
masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk
peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas
dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat
perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum
menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat
tersebut. Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai
penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk
didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi
daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan
kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak
pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah
yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan
melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak
kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat
penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis
otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
a. Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
b. Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
c. Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
d. Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang
demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada
hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek
tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan
daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang
bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua
pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang
dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara
substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah
mencerminkan aspirasi masyarakat.Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel,
apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat
dipertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat
maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak
adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala
daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.

2. Rumusan Masalah
Berdarkan uraian diatas, maka dalam penulisan makalah ini kami
merumuskan masalah dan memberikan batasan pada masalah Peranan Apatur
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah . Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam tugas makalah ini adalah : Dalam pelaksanaan otonomi
daerah telah memberikan peluang pembangunan di daerah namun juga terjadi
penyimpangan dalam pelaksanan peraturan perundang-undangan seperti tindakan
korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah
untuk mengetahui:
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kemampuan aparatur Pemerintah Daerah
terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui aparatur Pemerintah Daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Desentralisasi
Desentralisasi merupakan salah satu penanda yang penting bagi dimulainya
upaya reformasi di Indonesia. Inisiatif desentralisasi lahir dari semangat
mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi lokal yang diabaikan selama orde baru
dengan dikeluarkan Otonomi Daerah adalah pelimpahan kewenangan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik. Bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota meliputi:
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga
kerja. Dewasa ini korupsi adalah masalah serius dibanyak-banyak negara-negara Asia
begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stablistas dan keamanan
masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi
dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan
hukum.
Di daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang.” Di daerah-daerah bersifat
otonom maka adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, didaerah
pun, akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian, Undang Undang
Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan,
dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam perkembangan sejarah Negara Republik
Indonesia, untuk melaksanakan pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tersebut, telah
dikeluarkan undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dan sudah
beberapa kali diadakan perubahan dan penyempurnaan sehingga yang berlaku hingga
pada saat ini adalah Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada
Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Desentralisasi merupakan media
dalam pelaksanaan hubungan antar level pemerintahan dalam lingkup suatu negara,
yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan pemerataan dan keadilan.
Melihat berbagai uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan Otonomi
Daerah adalah memungkinkan daerah meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan
untuk kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan
politik dan kesatuan bangsa.
Inti dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan
Pemerintah Daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti
melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas
masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungannya. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya memang sederhana.
Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya
tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah,
pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang
berkeadilan. Menurut Josep Riwu Kaho, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan Otonomi Daerah, salah satunya manusia pelaksananya harus baik.
Memang ada banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah,
namun masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang sangat mendasar
karena dengan ditetapkannya status sebagai daerah otonom yang luas disertai kadar
desentralisasi yang tinggi, memungkinkan setiap daerah mengembangkan kreasi dan
inovasi yang tinggi dalam mengurus rumah tangganya. Dalam format seperti ini,
kebutuhan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi dasar
pertimbangan utama yang memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram
secara sistematik.
Faktor manusia merupakan unsur yang penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini disadari karena manusialah yang menjalankan
mekanisme pemerintahan. Diantara beberapa sumber daya manusia yang secara
potensial sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah adalah aparatur
pemerintah daerah. Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan
juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. Dimana aparatur
Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mengemban tugas dan
fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga
diperlukan persyaratan kualitas yang memadai dari unsur sumber daya manusia ini.
Secara teoritik, kemampuan pemerintah, antara lain terbentuk melalui penerapan azas
desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi,
kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan
wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan untuk mengambil
inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik atas setiap masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Namun demikian, kenyataannya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah kapasitas
aparatur pemerintah masih sangat terbatas dimana bukan saja kuantitasnya yang
memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa
memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui sebagian aparatur Pemerintah
sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu “termasuk peringkat atas sebagai negara
korup di dunia”.
Kondisi aparatur pemerintah beberapa waktu yang lalu pernah diamati oleh
sebuah lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak
dijumpai aparatur yang hanya baca koran, hanya berbincang-bincang, dan bahkan
tidak berada ditempat kerjanya, sehingga kebanyakan aparatur tidak mengetahui
tugas-tugas rutinnya. Selain itu pendidikan formal aparatur pemerintahan kesempatan
mengikuti pelatihan atau program pemerintah sangat terbatas, keterbatasan ini
menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami setiap tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepada setiap aparatur. Apalagi dengan adanya
kebijakan otonomi daerah ini yang memerlukan kemampuan setiap aparatur untuk
mengemban tugas sebagai aparatur daerah otonom, jika kondisi aparatur seperti
kondisi ini maka menghambat percepatan pelaksanaan otonomi daerah karena
sebagian diantaranya merasa takut akan kehilangan kekuasaan akibat kurangnaya
pemahaman tentang otonomi daerah dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam
menerapkan otonomi daerah.
2. Etika Pemerintahan Di Indonesia
Kejahatan kerah putih tidak menakutkan, karena pelakunya berdasi,
berpangkat, bergelar, dan naik turun mobil mewah, teduh indah dengan sederetan para
pegawal dan para pembela. Namun demikian sejak turunnya Jenderal Soeharto dari
kursi kekuasaan yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang sebagian
besar terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia (terutama dari pulau jawa)
istilah dan spanduk yang paling banyak diangkat adalah pemberatasan KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme).
Karena pemerintahan dalam arti luas juga berarti legislatif, yudikatif,
inspektif, konsultif dan konstitutif selain dari eksekutif sendiri, maka tidak menutup
kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ini melibatkan pihak tersebut di atas.
Misalnya terjadinya penyogokan anggota legislatif untuk meloloskan suatu undang-
undang atau peraturan daerah, terjadinya penyogokan pada pejabat yudikatif untuk
meloloskan suatu perkara.
Ada beberapa patologi yang merupakan duka Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu antara lain sebagai berikut :
 Loyalitas kepada atasan, maksudnya seorang pejabat yang baru saja dilantik maka
kita tidak mengetahui apakah dia akan bekerja dengan baik atau buruk, apakah dia
akan bekerja dengan benar atau salah, maka biarlah kita memberikan penilaian
setelah masa jabatannya berakhir, tetapi di Indonesia, begitu seseorang baru
dilantik para staf lalu berbondong-bondong memperlihatkan kedekatan. Jadi
seharusnya loyalitas para staf adalah kepada tugas bukan kepada atasan yang tidak
menutup kemungkinan untuk keliru sebagai manusia.
 Budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa indonesia dijajah Belanda kita
melihat mereka berkulit putih berdampingan dengan kerajaan maka derajat
mereka ditinggikan dan disebut pula dengan berdarah biru, setelah indonesia
merdeka maka pegawai negari dianggap pemerintah menggantikan, oleh karena
itu untuk menjadi pegawai orang berkenan menyogok sebanyak apa pun. Oleh
karena itu bagi pemegang jabatan sudah tentu dianggap ningrat, mereka terlalu
dihormati, masyarakat menunduk bila lewat di depan pejabat pemerintah karena
dianggap raja yang berkuasa dan harus dihormati.
 Pelayanan lemah, maksudnya pelayanan adalah sama apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat dengan apa yang diberikan pemerintah, kalau pemerintah mendirikan
pasar disuatu tempat yang sulit dikunjungi pembeli dan penjual dan harga retribusi
yang tidak sebanding maka berarti pemerintah tidak berbangga bahwa telah
melakukan pelayanan karena masyarakat tidak butuh apa yang diberikan oleh
pemerintah.
 Mutu pegawai rendah, maksudnya setiap ada penerimaan pegawai selalu yang
diterima anak pejabat atau anak mereka yang mempunyai uang maka banyak
sekali kepala bagian kepegawaian yang kaya raya, resikonya pegawai negeri yang
diterima tidak lagi memperhatikan mutu mulai dari tingkat kecerdasan, moral
sampai pada ketrampilan kerja, dengan demikian prestasi sudah dilupakan, bahkan
pemberian penghargaan dikantor-kantor hanya berdasarkan selera atasan.
3. Desentralisasi Pemerintahan
Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tersebut tetap akan membagi-
bagi pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk
memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang, namun demikian pemerintahan pusat
juga merasa curiga terhadap timbulnya separatisme dari hasil pemberian otonomi
daerah ini. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaanya diwujudkan dengan
pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-
daerah tersebut meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemmerintah dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian
daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti
pajak-pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain yang sah.
Berikut ini ada berbagai kebaikan diadakannya desentralisasi pemerintahan,
yaitu sebagai berikut (Inu kencana 2011:58) :
1. Meringankan beban, karena aparat pemerintah pusat tidak perlu lagi jauh-jauh ke
daerah dimana aparat derah sudah difungsikan dengan baik.
2. Generalistik berkembang, karena seluruh lapisan masyarakat dengan segala
macam kemampuannya dikembangkan.
3. Semangat kerja ada karena setiap individu terpakai dan diakui keberadaannya.
4. Siap pakai, karena tenaga-tenaga yang akan dipakai sudah berada didaerahnya
masing-masing. Jadi dalam sistem kepegawaian tidak diperlukan lagi pemindahan
status kepegawaian.
5. Efisiensi, karena dalam penghematan waktu pemerintah tidak terlalu lama mengisi
formasi yang kosong.
6. Manfaat yang diperoleh besar, karena batin masyarakat terpenuhi melalui
pendemokrasian didaerah ini.
7. Resiko tinggi, karena masalah-masalah yang timbul didaerah bukan hanya
dipikirkan dan dipecahkan oleh aparat pusat, tetapi juga dipikirkan
penanggulangannya oleh masyarakat daerah.
8. Tepat untuk penduduk yang beraneka ragam
9. Memudahkan pekerjaan karena pekerjaan dapat dibagi-bagi antara pusat dan
daerah dan antara daerah dengan daerah lain.
10. Unsur individu menonjol pengaruhnya, karena setiap setiap individu yang
memiliki keahlian di daerahnya, akan segera terlihat.
11. Menciptakan administrasi yang relatif lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif karena
dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut, muncul kreasi, keinginan
untuk maju, berkembang, serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan
kedaerahan.
12. Kesewenangan berkurang, karena pemerintah pusat telah memberikan otonomi
kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, maka ketergantungan
daerah kepada pusat berkurang .

Indonesia memang boleh berbangga telah menerapkan sistem di mana merupakan


alat untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta tata kelola daerah menjadi
tanggungjawab daerah sendiri atau kita kenal dengan istilah desentralisasi. Hal
tersebut kemudian mengacu pada dua aspek yang menjadi tujuan, yakni dibidang
ekonomi dan politik yang mengedepankan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat
daerah seperti yang termuat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah.

4. Pemimpin Seperti Apa Yang Kita Ikuti


Saat pemimpin tersebut memutuskan (baik secara sadar atau tidak) untuk
mengikuti kepemimpinan nya, keputusan itu terutama karena satu atau dua hal
berikut:karakter pemimpinnya atau kemampuannya. Seorang pemimpin yang luar
biasa, harus mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-
orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak pemikiran dan segenap
kemampuannya. Dia bekerja lebih keras dan berpikir lebih kuat, lebih lama, dan lebih
mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang
selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-
orang yang dipimpinnya.
Tentu ada banyak pertimbangan, untuk mengetahui macam-macam karakter
pemimpin yang membuat orang lain mengikuti kepemimpinan. Ada beberapa hal
yang dimiliki seorang pemimpin adalah :
a. Gaya kepemimpinan analitis (Analytical). Dalam gaya kepemimpinan tipe ini,
biasanya pembuatan keputusan didasarkan pada proses analisis, terutama analisis
logika pada setiap informasi yang diperolehnya. Gaya ini berorientasi pada hasil
dan menekankan pada rencana-rencana rinci serta berdimensi jangka panjang.
Kepemimpinan model ini sangat mengutamakan logika dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta kuantitatif.
b. Gaya kemimpinan asertif (Assertive). Gaya kepemimpinan ini sifatnya lebih
agresif dan mempunyai perhatian yang sangat besar pada pengendalian personal
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih
terbuka dalam konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses
argumentasi dengan beberapa sudut pandang sehingga muncul kesimpulan yang
memuaskan.
c. Gaya kepemimpinan entepreneur. Gaya kepemimpinan ini sangat menaruh
perhatian kepada kekuasaan dan hasil akhir serta kurang mengutamakan pada
kebutuhan akan kerjasama. Gaya kepemimpinan model ini biasannya selalu
mencari pesaing dan menargetkan standar yang tinggi.

Dalam era turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap
dan dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada gaya
kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin harus mampu mengelola perubahan,
termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan
produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola keragaman
dan mendorong terus proses pembelajaran karena dinamika perubahan lingkungan
serta persaingan yang semakin ketat

5. Kinerja Aparatur Pemerintah


Secara etimologi, kinerja berasal dari kata performance. Performance berasal
dari kata to perform yang mempunyai arti Kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu oganisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan
organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
moral dan etika.
Rumusan diatas menjelaskan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan
seseorang atau lembaga dalam melaksanakan pekerjaannya. Dari definisi diatas
terdapat beberapa indikator yaitu :
1. Hasil kerja yang dicapai secara individual atau secara institusi, yang berarti
kinerja tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh atau dicapai
2. Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewenang dan
tanggung jawab, yang berarti orang atau lembaga diberikan hak dan kekuasaan
untuk bertindak sehingga pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik. Meskipun
demikian orang atau lembaga tersebut tetap harus dalam kedali, yakni
mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemberi hak dan wewenang,
sehingga dia tidak akan menyalahgunakan hak dan wewenangnya tersebut.
3. Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam melaksanakan tugas
individu atau lembaga tentu saja harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
4. Pekerjaan tidaklah bertentangan dengan moral dan etika, artinya selain mengikuti
aturan yang telah ditetapkan, tentu saja pekerjaan tersebut haruslah sesuai dengan
moral dan etika yang berlaku umum.

Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan tugasnya


dibantu oleh pimpinan yang lain bersama pegawai. Jika kinerja pegawai baik akan
mempengaruhi kinerja pimpinan dan selanjutnya kinerja organisasi.

Agar kinerja dapat dioptimalkan haruslah membuat deskripsi jabatan bagi setiap
pegawai, sehingga mereka mengerti apa fungsi dan tanggung jawabnya. Deskripsi
jabatan yang baik akan dapat menjadi landasan untuk:

1. Penentuan gaji. Hasil deskripsi jabatan akan berfungsi menjadi dasar untuk
perbandingan pekerjaan dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan sebagai acuan
pemberian gaji yang adil bagi pegawai dan sebagai data pembanding dalam
persaingan dalam perusahaan.
2. Seleksi pegawai. Deskripsi jabatan sangat dibutuhkan dalam penerimaan, seleksi
dan penempatan pegawai. Selain itu juga merupakan sumber untuk pengembangan
spesifikasi pekerjaan yang dapat menjelaskan tingkat kualifikasi yang dimiliki
oleh seorang pelamar dalam jabatan tertentu.
3. Orientasi. Deskripsi jabatan dapat mengenalkan tugas yang baru kepada pegawai
dengan cepat dan efisiensi.
4. Penilaian kinerja. Deskripsi jabatan menunjukkan perbandingan bagaimana
seseorang pegawai memenuhi tugasnya dan bagaimana tugas itu seharusnya
dipenuhi.
5. Pelatihan dan pengembangan. Deskripsi jabatan akan memberikan analisis yang
akurat mengenai pelatihan yang diberikan dan perkembangan untuk membantu
pengembangan karier.
6. Uraian dan perencanaan organisasi. Perkembangan awal dari deskripsi jabatan
menunjukkan dimana kelebihan dan kekurangan dalam pertanggungjawaban.
Dalam hal ini deskripsi jabatan akan menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab.
7. Uraian tanggung jawab. Deskripsi jabatan akan membantu individu untuk
memahami berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah


Daerah otonom, oleh pemerintah pusat diberikan wewenang yang luas untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi, asas dekosentrasi, dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah yang di tetapkan dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan
prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Prinsip otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi dalam penyelenggaraannya harus benar-benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian
antar daerah dengan daerah lainnya artinya mampu membangun kerjasama antar
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu
menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru mewajibkan pemerintah melakukan
pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar,
arahan bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan
evaluasi. Bersama itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian
peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan
otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif. Penyelenggaraan desentralisasi
menurut undang-undang ini mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan
didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang
sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Kewenangan tersebut dalam
prakteknya masih akan dibatasi oleh kewenangan pemerintah pusat dibidang lainnya,
seperti diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain” (Undang-Undang Otonomi Daerah, 2004)
Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent,
artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu
dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan
yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan ;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan


yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus pula didasarkan pada


semangat dan prinsip yang dijadikan pedoman dalam UU. No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, yaitu:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan


kesejahteraan masyarakat, dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat.
b. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menekankan
hubungan antar susunan pemerintahan serta pemberian hak dan kewajiban
otonomi daerah; dengan prinsip: demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan,
dan kekhususan daerah.
c. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekosentrasi, dan
tugas pembantuan, diselenggarakan secara proposional sehingga saling
menunjang.
d. Tujuan pemberian otonomi daerah tetap seperti yang dirumuskan sampai saat ini
yaitu untuk memberdayakan potensi daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong
prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan. Disamping itu untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan,
dan perlindungan terhadap masyarakat dalam ikatan NKRI.

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan


pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan
transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya
belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada
fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak
mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan
masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih
bersifat direktif yang hanya memperhatikan atau mengutamakan kepentingan
pimpinan atau organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak
memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau,
mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola
dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada
kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi
pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain
organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada
masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi
sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental
dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak
efisien

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik
memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi
ekonomi, sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap
dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak
profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya
birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani
masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah
ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra
birokrat dan sistim birokrasi kita. Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau
berkolusi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Karenanya di era
reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang
dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti
mengalami resistensi tinggi.
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang menuju pada good governance
memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembang dari dan
dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara. Sementara itu, menurut United
Nation Development (UNDP), Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan
aspek fundamental (asas/prinsip) yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Partisipasi (participation); yaitu keikut sertaan warga masyarakat dalam


pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang
sah dan mewakili kepentingan mereka. Bentuk partisipasi dimaksudkan dibangun
atas dasar prinsip demokrasi, yaitu kebebasan berkumpul dan mengeluarkan
pendapat secara konstruktif. Dalam hal ini perlu deregurasi birokrasi, sehingga
proses sebuah usaha efektif dan efesien.
2. Penegakan hukum (rule of law); yaitu bahwa pengelolaan pemeritahan yang
profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa, karena tanpa
ditopang oleh aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, maka
partisipasi masyarakat dapat berubah menjadi tindakan yang anarkis.
3. Transparansi (transparency); asas transparansi adalah unsur penting yang
menompang terwujudnya good dan clean governance. Transparansi dibangun atas
dasar arus informasi arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan informasi yang bersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau.
4. Responsif; yaitu tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat dalam hal ini
pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat dan proaktif, bukan
menunggu mereka menyampaikan keinginan. Untuk setiap unsur pemerintah
harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan etika sosial.
5. Consensus (orientasi kesepakatan); yaitu bahwa keputusan apapun harus
dilakukan melalui kesepakatan dalam suatu permusyawaratan. Melalui cara ini
akan memuaskan semua pihak sehingga semuanya merasa terikat untuk
melakukan konsensus.
6. Kesetaraan (equity); yaitu kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Hal
ini mengharuskan setiap pelaksana pemerintah bersikap dan berperilaku adil
dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis
kelamin, dan kelas sosial.
7. Efektifitas dan efisiensi; (berdayaguna dan berhasilguna). Kriteria efektif diukur
dengan parameter produk yang dapat menjangkau besar-besarnya kepentingan
masyarakat dari berbagai kelompok lapisan sosial sedangkan efisiensi diukur
dengan rasionalitas biaya untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
8. Akuntabilitas; yaitu pertanggunggugatan pejabat publik terhadap masyarakat
yang memberinya kewenangan untuk mengurus kepentingan mereka. Dalam hal
ini setiap pejabat publik dituntut mempertanggung jawabkan semua kebijakan,
keputusan, perbuatan, moral maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
9. Visi strategis (strategic vision); yaitu pandangan-pandangan strategis untuk
menghadapi masa yang akan datang (forecasting) artinya, kebijakan/keputusan
apapun yang akan diambil saat ini harus mempertimbangkan akibatnya di masa
depan.

Pelaksanaan pemerintahan pada reformasi telah membawa perubahan secara


umum sasaran penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah terciptanya tata
pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang
diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat
memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Sejak berlakunya Otonomi Daerah yang adalah pemberian wewenang dan
tanggung dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan
mengurus daerah otonomi sesuai aspirasi daerah dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi merata keseluruh wilayah, mengurangi tingkat kesenjangan
antardaerah, meningkatkan interaksi masyarakat antardaerah, yang pada ujungnya
adalah untuk menciptakan stabilitas nasional serta memperkokoh Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai
penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk
didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi
daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan
kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak
pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah
yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan
melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak
kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
2. Saran
Sebagai aparatur pemerintah daerah yang Dalam konteks pemerintahan
daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan,
dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang
penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur
untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara
akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang
dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. aparatur
pemerintah daerah Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan
juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa.
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2011. Manajemen Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Graha


Ilmu

Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu

Budiarjo, miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta. PT Gramedia
Pustka Utama

Darmadi.D & Sukidin. 2011. Administrasi Publik. Yogyakarta. LaksBang


PRESSindo.

Kaloh, Jeremis. 2010. Kepemimpinan Kepala Daearah. Jakarta. Sinar Grafika

Ndraha, Taliziduhu. 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta

Nugroho. Riant & Wrihatnolo. Randy. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia.


Jakarta. PT Gramedia

Supriyatna, budi. 2009. Manajemen Pemerintahan: (plus dua belas langkah strategis).
Jakarta: CV. Media Berlian.

Syafiie, Inu Kencana. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta

Syafiie, Inu Kencana. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta

Salam, Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta.


Djambatan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai