Anda di halaman 1dari 9

Makalah Partisipasi Masyarakat di Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili atau bertempat tinggal di suatu daerah,
tentu kita mempunyai hak dan kewajiban dalam upaya mendukung suksesnya pembangunan di
daerah. Disamping itu warga negara harus tanggap terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan daerah. Hal itu dimaksudkan :
a. Agar kebijakan pemerintahan didaerah tidak menyompang dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku
b. Agar pemerintahan di daerah sesuai dengan dasar negara pancasila dan UUD 1945
c. Agar pemerintahan di daerah selalu berpihak pada kepentingan rakyat
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk kegiatan, antara lain :
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b. Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c. Merawat keindahan lingkungan
d. Membayar pajak bumi dan bangunan
e. Membayar pajak kendaraan bermotor
Selain itu, partisipasi masyarakat dalam mendukung kinerja DPRD sangat dibutuhkan.
Ada dua faktor pendukung agar DPRD dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik,
yaitu :
a. Faktor internal, yakni factor yang berasal dari dalam DPRD itu sendiri, dalam arti bahwa
anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus terus menerus berusaha untuk meningkatkan kualitas
kinerjanya. Adanya peningkatan kualitas kinerjaini merupakan syarat agar kkepentingan rakyat
terpenuhi.
b. Factor eksternal, yakni factor yang berasal dari luar DPRD, yang berupa partisipasi masyarakat.
Sebagai warga negara, hendaknya kita selalu memberikan masukan kepada DPRD dalam
berbagai bidang kehidupan antara lain sebagai berikut :
1. Menyampaikan masukan tentang prmasalahan irigasi yang sangat dibutuhkan masyarakat petani
di desa
2. Menyampaikan masukan tentang permaslahan politik uang ketika terjadi pemilihan calon kepala
daerah dan wakilnya.
3. Menyampaikan masukan tentang permasalahan keamanan dan ketrtiban masyarakat.

1.2. Permasalahan
Dalam partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah, ada dua sisi stakeholder yang
mempunyai masalah. Yaitu pada sisi pemerintahan daerah juga pada sisi masyarakatnya. Berikut
akan saya jabarkan permasalahan tersebut
Pada Pemerintahan Daerah terdapat masalah-masalah :
Pemahaman otonomi daerah dan desentralisasi yang dilandasi prinsip-prinsip demokrasi,
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat belum dimiliki oleh umumnya jajaran
pemerintahan daerah, masyarakat madani dan atau sektor swasta
Belum adanya pedoman mekanisme hubungan kemitraan dan sinergi antara masyarakat/ LSM
dengan DPRD dalam penyaluran aspirasi/ tuntutan masyarakat dan fungsi pengawasan sosial
masyarakat/ LSM terhadap DPRD. Keadaan ini menimbulkan kinerja DPRD apa adanya, tidak
aspiratif, tidak peka dalam menampung aspirasi/ tuntutan masyarakat/ LSM, bahkan cenderung
lebih aspiratif terhadap kepentingan partai atau organisasi masyarakat tertentu.

Dari sisi masyarakat/ LSM terdapat permasalahan yaitu :


Masyarakat perorangan, kelompok kepentingan umumnya belum mengetahui dan mengerti atas
haknya di dalam menyalurkan aspirasi/tuntutan kepada lembaga legislatif dan eksekutif, dan atau
lembaga pemerintah lainnya
Peran lembaga RT/RW, lembaga adat dan keagamaan di lingkungan masyarakat belum berfungsi
dan berperan di dalam mensosialisasikan hak-hak rakyat dan partisipasinya di dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah.
Keterbatasan pengetahuan masyarakat dan kesenjangan serta ketidak-adilan memberikan dampak
tersendiri di dalam menyalurkan hak dan aspirasinya sering menjadi obyek/kedok kepentingan
kelompok tertentu dalam menyelurkan tuntutannya.
Sebagian besar LSM belum memiliki SDM, kelembagaan dan landasan hukum yang memadai,
dan tidak mandiri, bekerja sesuai dengan dukungan dana.
Keterbatasan pengetahuan/ketrampilan SDM LSM mengakibatkan dalam setiap kegiatannya
tidak terfokus atau terarah dengan jelas dalam menyalurkan tuntutan dan aspirasinya, dan bahkan
tidak jarang melanggar rambu-rambu peraturan perundangan yang berlaku karena tidak
memahami peraturan perundangan yang mendasari tuntutannya.
Kurangnya komunikasi di antara LSM sering menimbulkan duplikasi dalam kegiatannya di
masyarakat, juga adanya ego kepentingan dari penyandang dana.
Cukup banyak LSM yang tidak kredibel yang sulit dipertanggungjawabkan baik di masyarakat
maupun terhadap penyandang dana.
1.3. Konsep Teori
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien, dibutuhkan
kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di
sini dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon
persoalan masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang terbebankan kepada
seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah
kabupaten dan kota saja, melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan
dan mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan bahwa tidak
ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan
kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara
efisien melalui sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif,
kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk
menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan
pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah
negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah
secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat
demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan.
Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-
negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi
desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di masa kini tidak
bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para
penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus dilibatkan
dalam berbagai proyek pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang, yang oleh
Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang ketiga (third wave) merupakan angin
segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang
mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan
desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil
dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan pertentangannya
dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum dari tujuan pembangunan itu sendiri.
Hal tersebut di lapangan pada akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik
secara politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009:
55)
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri mereka ada
keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar lebih baik. Keinginan serta
kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung
menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang
mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu:
pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau
kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka
merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada
rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak
menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa partisipasi
masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan
masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas
kebutuhan masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk
memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam
merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya kesempatan
berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi di
lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut
mengatasinya. Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka
terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat. Berbagai
praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila
komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur
Rohman dkk, 2009: 48)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Partisipasi masyarakat di Pemerintahan Daerah


Menurut Kartasasmita (1996:63), pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Pandangan ini menunjukkan asas demokrasi dalam konsep
pembangunan nasional. Masyarakat perlu dilibatkan secara langsung bukan karena mobilisasi,
melainkan sebagai bentuk partisipasi yang dilandasi oleh kesadaran. Dalam proses
pembangunan, masyarakat tidak semata-mata diperlakukan sebagai obyek, tetapi lebih sebagai
subyek dan aktor atau pelaku (Soetomo,2008:8).

Hoofsteede dalam Khairuddin (1992:125), membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan :


1. Partisipasi inisiasi (inisiation participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari
pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu
proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
2. Partisipasi legitimasi (legitimation participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan
atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.
3. Partisipasi eksekusi (execution participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan.[1]
Ada dua hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, Pertama : perlu aspiratif terhadap
aspirasi yang disampaikan oleh masyarakatnya, dan perlu sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya.
Pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya serta mau mendengarkan apa
kemauannya. Kedua : pemerintah perlu melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain pemerintah perlu
menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya sebagai objek pembangunan.
Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan
sangat ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Pendekatan partisipatif masyarakat terdapat pada 4 (empat) pasal
Undang-Undang ini yaitu pada Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Sistem perencanaan yang
diatur dalam UU 25/2004 dan aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara
top-down ( atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas), yang lebih menekankan cara-cara aspiratif
dan partisipatif.
Dengan adanya program-program partisipatif memberikan kesempatan secara langsung
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam rencana yang menyangkut kesejahteraan mereka
dan secara langsung juga melaksanakan sendiri serta memetik hasil dari program tersebut. Selain
uu no. 25 tahun 2004 terdapat peraturan perundang- undangan lain yang menekankan perlunya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yakni : Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
Menurut Siagian (2007:142), bahwa tugas pembangunan merupakan tanggung jawab
seluruh komponen masyarakat dan bukan tugas pemerintah semata-mata. Lebih lanjut Siagian
(2007:153-154) mengatakan bahwa pembangunan nasional membutuhkan tahapan. Pentahapan
biasanya mengambil bentuk periodisasi. Artinya, pemerintah menentukan skala prioritas
pembangunan.
Perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan
melibatkan masyarakat luas, melalui pemberian wewenang perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di tingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi
masyarakat banyak, sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat memberdayakan dan
memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan,
masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan untuk dapat merumuskan sendiri permasalahan yang
dihadapi, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah
diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan. Paradigma pembangunan yang sekarang menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai provider
dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika
pembangunan, sehingga dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan, masyarakat mempunyai
hak untuk terlibat dan memberikan masukan dan mengabil keputusan, dalam rangka memenuhi
hak-hak dasarnya, salah satunya melalui proses musrenbang.

2.2. Sempit dan Distortif


Ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan seperti itu disamping
dinilai terlalu sempit, dalam prakteknya juga telah terjadi distorsi yang semakin memperkecil
akses masyarakat dalam proses pembangunan.
Dalam banyak kasus, forum Musbangdes kurang optimal dimanfaatkan sebagai media
penampung aspirasi masyarakat sehingga hasil yang kemudian diajukan ke UDKP hanyalah
usulan dari kepala desa/lurah dan perangkatnya tanpa melibatkan masyarakat lagi.
Hasil UDKP dipilah secara sektoral untuk diserahkan kepada instansi terkait.
Pembahasan anggaran pembangunan di instansi menghasilkan Daftar Usulan Proyek atau
mungkin sekarang RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) yang kemudian dibahas di forum
Musrenbang (dulu dikenal Rakorbang atau Rapat Koordinasi Pembangunan) Kabupaten/Kota.
Dalam forum Musrenbang/Rakorbang ini penekanan bahwa sebuah usulan program muncul dari
sebuah desa/kelurahan sudah tidak tampak lagi, karena sudah terkalahkan oleh usulan program
sektoral masing-masing instansi, apalagi wakil masyarakat desa/kelurahan tidak terlibat lagi
dalam forum ini.
Dalam praktek, proses bottom-up tersebut selalu terhalang juga oleh 2 (dua) hal, yaitu:
pertama, tabrakan dengan program-program yang telah disusun (baca: diatur) dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi, walaupun sesungguhnya program-program tersebut sesuai
dengan kebijakan otonomi daerah masuk wilayah kewenangan daerah. Pemerintah Daerah tidak
lagi punya pilihan (apalagi masyarakat !). Maka jangan disalahkan jika pada akhirnya kegiatan
yang menghabiskan dana yang sangat besar menjadi mubazir karena tidak sesuai dengan harapan
dan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemotongan program oleh tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi karena keterbatasan anggaran yang tersedia . Pemotongan ini terjadi terutama pada level
setelah UDKP.
Belum lagi kalau mencermati dari besarnya anggaran untuk Belanja Pembangunan atau
Belanja Pelayanan Publik yang secara rata-rata nasional lebih kecil jika dibandingkan dengan
yang dialokasikan untuk Belanja Rutin atau Belanja Aparatur. Secara Nasional pada tahun 2002,
misalnya, Belanja Rutin mencapai 56,1 %, sementara untuk Belanja Pembangunan hanya 43,9
%. Malah ada di suatu kabupaten, porsi untuk Belanja Pembangunan hanya 10 % saja. Hal ini
tentu mempersempit ruang partisipasi masyarakat didalam perencanaan pembangunan, sebab
secara formal partisipasi masyarakat hanya mungkin tertampung dalam perumusan Belanja
Pembangunan atau Belanja Pelayanan Publik.[2]
Ruang partisipasi yang agak nyata adalah pada proyek-proyek pemberdayaan (yang lagi
marak) yang menggunakan pendekatan Multi-stakehorlders Processes, seperti: proyek
kemiskinan perkotaan, proyek pembangunan infrastruktur wilayah perdesaan, perhutanan sosial,
dan banyak lainnya. Hanya saja kegiatan tersebut masih berskala proyek dan kecil.
Dapat disimpulkan, keinginan mendudukan peran masyarakat secara sejajar dengan
sektor pemerintahan dan swasta didalam perencanaan pembangunan nasional sesuai tuntutan
paradigma good governance sudah ada semangat dan upaya-upayanya, hanya saja belum
sepenuhnya ditransformasikan dalam aturan hukum maupun praktis.
Dengan tidak bermaksud mengatakan ini sebuah mimpi, tapi dari realitas yang ada
tampaknya format ideal partisipasi masyarakat masih harus diperjuangkan. Betapapun mungkin
untuk mencapai itu akan menempuh jalan-jalan yang berliku dan panjang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan di daerah dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b. Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c. Merawat keindahan lingkungan
d. Membayar pajak bumi dan bangunan
e. Membayar pajak kendaraan bermotor
3.2. Saran
Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap
masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat. Berbagai praktik
partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila
komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun.

Anda mungkin juga menyukai