Anda di halaman 1dari 26

KONSEP OTONOMI DAERAH

Konsep Otonomi Daerah, Good Governance, dan Reinventing Government


dalam Pembangunan Daerah

Reformasi berarti menata ulang dalam rangka perbaikan negara, hakekatnya


melakukan perbaikan pada tiga unsur dasar kehidupan bernegara yaitu:
1. Sistem (Konstitusi dan Sistem Hukum Nasional);
2. Pemerintah/Penyelenggara Negara dan (3) Rakyat/Masyarakat.

Reformasi sistem diperlukan, karena sistem penyelenggaraan pemerintahan yang


mendasarkan pada konstitusi perundangan sebelumnya terutama produk-produk
pemerintah  ORBA yang sentralistik sudah kurang cocok dengan dinamika
perkembangan masyarakat. Reformasi penyelenggara pemerintahan mutlak
diperlukan, karena pemerintahan masa lalu mengandung berbagai penyakit berat yang
menghancurkan negara seperti KKN dan berbagai masalah moral lainnya.
Masyarakat/rakyat juga harus direformasi karena adanya keadaan dan perilaku yang
tidak sehat seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidaksabaran/emosional. Reformasi
harus bertanggung jawab pada tiga tataran tersebut secara komprehensif, sistematis,
dan konstitusional.
Dalam era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah.
Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999
tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua adalah UU
No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33/2004 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah.

Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie
dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974
Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.

Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi dan pembangunan daerah,


UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 telah dinilai baik dari segi kebijakan dan
implementasinya, dan seiring kondisi zaman ternyata UU No.22/1999 dan UU
NO.25/1999 mengalami kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami
revisi menjadi UU.32/2004 dan UU No.33/2004.

Berlakunya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah mulai tahun 2005 karena
terjadi perubahan mendasar yang menjadikan pemerintahan daerah sebagai titik
sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengedepankan otonomi yang luas,nyata dan bertanggung jawab tidak hanya
dibidang ekonomi tetapi juga politik. Dengan demikian, perubahan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan layanan publik tingkat lokal, serta sesuai
dengan asas demokrasi.

Pelaksanaan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu
perangkat penting dalam kerangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan
secara berkelanjutan, khususnya menyangkut hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Di samping berbagai produk konstitusional dan perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 definisi otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Jika dilihat dari semangat Undang-Undang tersebut maka tujuan otonomi daerah
adalah :
 Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat di daerah agar
semakin baik
 Memberi kesempatan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri
 Meringankan beban pemerintah pusat
 Memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan
masyarakt daerah
 Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan di daerah
 Memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah
maupun antardaerah untuk menjaga keutuhan NKRI
 Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
 Mewujudkan kemandirian daerah dalam pembangunan.

Dengan kata lain pemerintah ingin melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yaitu dengan
melaksanakan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Untuk itu, pemberlakuan otda dan desentralisasi, memberikan ruang (kewenangan)
pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan program
yang sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Pengelolaan sumberdaya yang
dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab oleh pemerintah serta melibatkan
masyarakat setempat sangat berpotensi mengurangi kesenjangan yang semakin
melebar disegala bidang.

Salah satu wujud kepemerintahan yang baik ialah suatu kepemerintahan yang
memperhatikan dan responsif terhadap kehendak dan aspirasi masyarakat serta
melibatkan mereka (partisipasi) dalam setiap pengambilan keputusan yang
menyangkut berbagai aspek kepentingan masyarakat (kebijakan publik). Masyarakat
dilibatkan dan berpartisipasi dalam penyusunan program pembangunan serta
pengambilan kebijakan, baik yang diambil dalam forum legislatif maupun eksekutif
atau secara bersama-sama. Selain itu juga manajemen kepemerintahan dilaksanakan
secara terbuka dan transparan, serta dapat dipertanggung jawabkan (akuntabel)
kepada masyarakat, menggunakan prinsip-prinsip pelayanan untuk kepuasan
masyarakat, efisiensi, dan efektivitas.

Lahirnya Undang-Undang Otonomi daerah tersebut memberikan pengaruh yang


sangat signifikan dalam kepemerintahan termasuk mekanisme pembangunan dalam
penanggulangan kemiskinan di suatu daerah. Kalau pada waktu yang lalu
pembangunan lebih banyak ditentukan oleh dan bersifat dari atas kebawah (top-
down), maka setelah lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah di era Reformasi
seperti sekarang ini maka peran dan tanggung jawab dalam pembangunan menjadi
milik dan harus merupakan prakarsa masing-masing daerah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh pihak
berdasarkan prinsip kemitraan, selaras dengan konsep kepemerintahan yang baik.
Keadaan ini menuntut adanya perubahan paradigma pembangunan.
Otonomi daerah memerlukan pembiayaan yang besar yang harus dipikul dan menjadi
tanggung jawab daerah, tidak dapat lagi hanya mengandalkan pemerintahan pusat.
Oleh karena itu pembangunan masyarakat perlu diarahkan pada partisipasi secara luas
dan kemandirian masyarakat itu sendiri. Dalam membangun suatu wilayah,
Pemerintah Daerah perlu memberikan kesempatan yang lebih besar kepada sektor
swasta dan masyarakat untuk berperan dan berinvestasi dalam pembangunan
perdesaan melalui konsep pembangunan yang bertumpu pada kemitraan.

Pada akhir abad 20 berbagai pengetahuan dan pengalaman telah menghasilkan


konsensus bahwa pembangunan berkelanjutan yang multidemensi seyogyanya
menjadi prinsip pokok bagi perumusan kebijakan dan tata pemerintahan. Tata
pemerintahan yang baik dicapai melalui upaya terpadu dari pemerintah daerah,
masyarakat madani dan sektor swasta untuk menempatkan pembangunan
berkelanjutan sebagai tujuan utama dari pembangunan. Kebijakan ini memang mudah
untuk dinyatakan dalam ungkapan yang umum tetapi sulit sekali untuk
dioperasionalkan dalam keputusan hidup sehari-hari. (Dokumen Kebijakan UNDP
1997) Ciri-ciri tata pemerintahan yang baik:
1. Mengikutsertakan semua
2. Transparan dan bertanggung jawab
3. Effektif dan adil
4. Menjamin adanya supremasi hokum
5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didarsarkan
pada konsensus masyarakat
6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya
pembangunan

Sedangkan unsur-unsur dari tata pemerintahan yang baik adalah (Partnership for
governancereform, UNDP,1997) :

•Partisipasi
Semua pria dan wanita mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara kontruktif.

•Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum-
hukum yang menyangkut Hak Asasi Manusia.

• Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan dan informasi yang tersedia agar dapat dimengerti dan dipantau

• Cepat Tanggap
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
• Membangun Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda
demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-
kebijakan dan prosedur-prosedur.

• Kesetaraan
Semua pria dan wanita mempunyai kesempatan memperbaiki atau mepertahankan
kesejahteraan mereka.

• Efektif dan Efesien


Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai
kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang
ada seoptimal mungkin.

• Bertanggung Jawab
Para pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi-organisasi
masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-
lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu
dengan yang lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan, dan dari
apakah bagi organisasi itu keputusan tersebut bersifat kedalam atau keluar.

• Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas
tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu, mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif itu.
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk efisien 
dan professional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang
terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (beureaucracy reengineering). Hal
tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang (pusat dan daerah) akan
menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun
dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi
globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalism arus informasi, investasi,
modal, tenaga kerja, dan budaya. Disisi internal, pemerintah akan menghadapi
masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang
semakin banyak tuntutannya (demending community).

Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade
(Kontrol Sistem Globalisasi) sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk
pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti
pada perdagangan  internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa
depan, Negara menjadi terlalu besar untuk dapat menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kecil tapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh
sejumlah ilmuwan dibidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan
Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborn dan Gaebler tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi
pelayanan publik
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam
pemberian pelayanan publik
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi
5. Pemerintah berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi
7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan
8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati
9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar: mengadakan perubahan
dengan mekanisme pasar (system isentif) dan bukan dengan mekanisme
administrative (sistem prosedur dan pemaksaan).

Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan


political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang
terpenting adalah adanya perubahan pola piker dan mentalitas baru ditubuh birokrasi
pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika
penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep itu
tersebut hanya akan menjadi slogan tanpa mmebawa perubahan apa-apa untuk
kesejahteraan masyarakat/rakyat.

Tuntutan dari pelaksanaan otonomi daerah, good governance, dan reinventing


government diharapkan membawa perubahan besar terhadap peran pemerintah dalam
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
 

I. Gambaran Umum Otonomi Daerah

A. Konsep Otonomi Daerah


Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  definisi otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pada hakikatnya otonomi daerah memberikan ruang gerak secukupnya bagi
pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri agar lebih berdaya mampu
bersaing dalam kerjasama, dan profesional terutama dalam menjalankan pemerintah
daerah dan mengelola sumber daya serta potensi yang dimiliki daerah tersebut.

B. Dasar Hukum Otonomi Daerah


 UUD 1945, Pasal 18, 18A, dan 18B
 Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangaka
NKRI
 Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
 UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah
Daerah

C. Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004


 Hak Dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah

Berdasarkan pasal 21 dalam otonomi daerah, setiap daerah memiliki hak :


 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
 memilih pemimpin daerah
 mengeloloa aparatur daerah
 mengelola kekayaan daerah
 memungut pajak daerah dan retribusi daerah
 mendapatkan bagi hasil pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
 mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
 mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Dalam pasal 22, kewajiban daerah yaitu :


 melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kerukunan nasional, serta
keutuhan NKRI
 meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
 mengembangkan kehidupan demokrasi
 mewujudakan keadilan dan pemerataan
 meningkatkanfasilitas dasar pendidikan
 meningkatkan pelayanan kesehatan
 menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
 mengembangkan sistem jaminan sosial
 menyususn perencanaan dan tata ruang daerah
 mengembangkan sumber daya produktif di daerah
 melestarikan lingkungan hidup
 mengelola administrasi kependudukan
 melestarikan nilai sosial budaya
 membentuk dan menerapakan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya
 kewajiban lain yang diatur di dalam perturan perundang-undangan

D. Tujuan Otonomi Daerah


 Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat di daerah agar
semakin baik
 Memberi kesempatan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri
 Meringankan beban pemerintah pusat
 Memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan
masyarakt daerah
 Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan di daerah
 Memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah
maupun antardaerah untuk menjaga keutuhan NKRI
 Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
 Mewujudkan kemandirian daerah dalam pembangunan.

E. Asas Otonomi Daerah


 Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI
 Dekosentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/ atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu
 Tugas pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah
dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa,
serta dari pemerintah kabupaten / kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.

F. Pengaturan, Pembagian, Pemanfaatan Sumber Daya dan Perimbangan


Keuangan Daerah
Menurut UU NO.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan OTDA diperlukan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pendanaan dalam
pelaksanaan desentralisasi daerah terdiri dari PAD, dana perimbangan, dan lain-lain
penerimaan yang sah. Berdasarkan sumber pendanaan tersebut, maka pelaksanaan
pembangunan didaerah diharapkan menjadi lebih baik dan lancar dengan tidak
mengabaikan distribusi pendapatan antarwilayah yang timpang seperti yang terjadi
pada masa lalu.
 
II. Variabel-Variabel Yang Terkait Dengan Otonomi   Daerah
Otonomi  daerah merupakan    realisasi dari ide desentralisasi.  Konsep    
desentralisasi  terdiri   atas:
 Desentralisasi Politik (Ketatanegaraan)
Menurut Koesoemahatmadja  (1979)  desentralisasi ketatanegaraan
(staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik adalah pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan (relegende en bestuurende
bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom. Keikutsertaan rakyat dalam
desentralisasi politik terbatas melalui perwakilan.
 Desentralisasi Administratif
Menurut Sidik (dalam Sun’an dan Senuk, 2015 :63) adalah pelimpahan
wewenang dan pertanggung jawaban untuk mengelola sumber-sumber
keuangan dalam    rangka membiayai   kegiatan   operasional dan penyediaan
pelayanan publik (public service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan
dengan fungsi-fungsi manajemen urusan pemerintahan dalam bidang
keuangan (financial  management) dari pemerintah pusat kepada pemerinah
daerah (local government). Dalam  sistem desentralisasi administratif yang
terjadi di Indonesia terdapa tiga bentuk, yaitu:
Desentralisasi: Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi: Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu
untuk mengurus urusan pemerintahan.  

Tugas Pembantuan (Medebewind) : Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah


dan/atau desa dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu dalam jangka
waktu tertentu disertai pendanaan dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.                                                                                  

Desentralisasi Fiskal
 a. Pengertian Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan suatu mekanisme transfer dana dari APBN dalam
kaitan dengan kebijakan keuangan Negara yaitu untuk   mewujudkan  ketahanan
fiskal yang berkelanjutan (fiscal suistainability)  dan memberikan stimulus terhadap
aktivitas perekonomian masyarakat,maka dengan kebijakan desentralisasi   fiskal
diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah yang
sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah otonom.

Desentralisasi fiskal juga merupakan salah satu "pilar' dalam memelihara kestabilan
kondisi ekonomi ,karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong
aktivias perekonomian masyarakat didaerah. Desentralisasi fiskal tersebut
dikelompokkan pada:
1. Dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan maksud menciptakan
keadilan dan pemerataan serta memperkecil  kesenjangan fiskal antardaerah.  
Dana perimbangan itu   berasal dari penerimaan dalam negeri yang diperoleh
dari pendapatan perpajakan,royalti dan bagi hasil SDA.
2. Dana yang bersumber dari utang dalam negeri dan luar negeri yang disalurkan
ke daerah (subsidiary loan) baik uang bilateral maupun multilateral.

b. Indikator Desentralisasi Fiskal

Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, Sun’an dan Senuk


(2015:54) menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel yang merupakan representasi
desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga variabel tersebut ialah sebagai    berikut:

1. Desentralisasi Pengeluaran
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten /
kota (APBD) terhadap total pengeluaran   pemerintah (APBN) (Phillip dan
Woller,1997 ; Zhang dan Zhou,1998). Hal ini menunjukkan ukuran relatif
pengeluaran pemerintah antara  pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hasil studi
dari Zhang dan Zhou (1998), menunjukkan bahwa variabel ini mempunyai pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.  Hasil ini mengimplikasikan bahwa
desentralisasi   fiskal gagal mendorong perumbuhan ekonomi di Cina. Hal ini
mungkin merefleksikan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk
melakukan investasi disektor infrastruktur . Sementara studi yang dilakukan oleh
Philip dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negatif desentralisasi fiskal
terhadap  pertumbuhan ekonomi pada Negara Maju. Dan mereka gagal menjelaskan
efek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara Berkembang.

2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan


Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan
masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan
nasional (APBN) (Zhang dan Zhou,1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif
pengeluaran   pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.
Dari rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik
untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak.  Jika terdapat hubungan positif
antara variable ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam 
posisi yang baik untuk melakukan investasi disektor publik.

3. Desentralisasi Penerimaan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing
kabupaten/kota (APBD),   tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan
pemerintah (Philip dan Woller,1997). Variabel ini mengekspresikan besaran relative
antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

 c. Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal


Menurut Khusaini     (dalam Sun’an dan Senuk, 2015 :74) , ada beberapa prinsip-
prinsip  utama desentralisasi fiskal yang harus diperhatikan agar berhasil, yaitu:
1. Perencanaan Partisipatif
2. Peningkatan alternatif sumber-sumber keuangan baru
3. Penerapan prinsip keadilan dalam pembagian Dana Perimbangan
4. Penentuan prinsip-prinsip pengeluaran
5. Penerapan Good Governance
6. Penerapan Standar Pelayanan Minimal
7. Penerapan insentif dalam desain pembagian Dana Perimbangan
8. Mengumumkan secara rutin kerja Pelayanan Pemerintah Daerah

Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki


wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri
dalam menetapkan prioritas pembangunan. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam
mengembangkan wilayah menurut potensi daerah masing-masing. Menurut Saragih
(dalam Badrudin, 2012:19), Mardiasmo (dalam Badrudin, 2012:19), dan
Reksohadiprodjo (dalam Badrudin, 2012:19), otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang
memadai oleh daerah otonom. Menurut Susanti (dalam Badrudin, 2012:19), dengan
adanya desentralisasi fiskal, daerah dituntut untuk meningkatkan kemampuan
ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan daerah lain melalui
penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau
kemampuan berinteraksi dengan daerah lain.
Dalam berbagai penelitian, desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio pada komponen
pendapatan daerah dan pengeluaran daerah pada APBD (Sasana,2009 dan Mursinto,
2008:84-86). Pendapatan daerah pada APBD meliputi PAD, dana perimbangan, dan
lain-lain pendapatan. Pengeluaran daerah meliputi belanja rutin (Aparatur Daerah)
dan belanja pembangunan (belanja public). Belanja rutin merupakan komponen pada
pengeluaran daerah yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi
atau kegiatan yang bersifat rutin terutama untuk kegiatan aparatur daerah yang
bersangkutan. Belanja pembangunan merupakan komponen pada pengeluaran daerah
yang digunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat. Dalam belanja pembangunan untuk mensejahterakan
masyarakat maka apabila pemerintah daerah ingin meningkatkan kesejahteraan
masyarakat maka pemerintah daerah harus meningkatkan anggaran belanja
pembangunan termasuk belanja modal. Untuk meningkatkan anggaran belanja modal
maka pemerintah daerah harus mampu meningkatkan pendapatan daerah melalui
peningkatan PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan.

Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk
mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama
untuk kegiatan aparatur  daerah pada daerah yang bersangkutan, misalnya untuk
membayar gaji pegawai negeri dan honorarium sebagai kompensasi bagi pegawai
negeri dan honorarium didaerah  terhadap aktivitas kegiatan yang dilakukan di daerah
yang bersangkutan. Penerimaan gaji pegawai negeri akan menjadi faktor pendapatan
yang akan digunakan untuk kegiatan konsumsi membeli barang dan jasa yang
dibutuhkan pegawai negeri tersebut. Oleh karena itu, kegiatan membeli barang dan
jasa dari pegawai negeri akan menimbulkan permintaan permintaan barang dan jasa
yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa
sesuai kebutuhan konsumen. Berdasarkan kegiatan konsumsi dan produksi akan
terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan
pertumbuhan ekonomi.

Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah efisiensi,
stabilitas makro ekonomi, dan keadilan (Musgrav 1989:6 dan 16). Aspek efisiensi
merupakan raison d’etre (alasan sebuah keberadaan) untuk desentralisasi fiskal.
Karena prefensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu
sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal
disebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan prefensinya dalam rangka
memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (Usman,2001:24). Argumentasi ekonomi
tentang efisiensi berasal dari fakta  bahwa pemerintah daerah dapat memenuhi
berbagai kepentingan dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber
daya secara lebih efisiensi dibandingkan pemerintah pusat (Hirawan,2007:10; Adi,
2005:16-22; dan Susanto, 2004:4-16).

Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah


akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan
yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini akan
menimbulkan permintaan barang dan jasa yang kemudian akan direspon oleh
produsen untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pemerintah daerah,
sehingga akan terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut
dengan pertumbuhan ekonomi,
Belanja modal sebagai komponen belanja pembangunan pada pengeluaran daerah
akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan
yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan pemerintah daerah ini
mengakibatkan dibangunnya fasilitas publik seperti fasilitas jalan, jembatan
telekomunikasi, listrik, gedung sekolah, gedung rumah sakit, pasar, dan berbagai
fasilitas publik lainnya yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa jenis
fasilitas tersebut akan memudahkan aksesibilitas masyarakat dalam melakukan
aktivitas ekonomi. Disamping itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan untuk
aktivitas nonekonomi khususnya dalam melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan
diberbagai ruang publik yang tersedia;.

Pertumbuhan ekonomi sebagai nilai relatif dari perubahan PDRB dari waktu ke waktu
menunjukkan terjadinya  peningkatan pendapatan masyarakat dari waktu ke waktu
pula. Peningkatan pendapat masyarakat akan ditunjukkan dengan peningkatan alokasi
pendapatan untuk konsumsi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sehinga
masyarakat daerah tersebut menjadi lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan
sebagai Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan terjadi pula peningkatan rasio
antara banyaknya kejahatan yang dilaporkan dengan putusan oleh Kantor Pengadilan
Negeri sebagai Indikator Kriminalitas Daerah (IKD) sebagai Indikator Sosial
(Arsyad,2010: 46). IPM dan IKD merupakan indikator kesejahteraan masyarakat.

III. Sisi Positif Otonomi Daerah


Menurut Said (dalam Badrudin, 2012:17), sisi positif dari otonomi daerah ialah:
1. Demokratisasi
2. Membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan daerah
3. Mendorong stabilitas dan kesatuan nasional
4. Memajukan pembangunan daerah

IV. Sisi Negatif Otonomi Daerah


 Menurut Penulis, sisi negatif otonomi daerah ialah sebagai berikut:
 Pemerintah pusat menganaktirikan daerah
 Cenderung timbulnya egoisme "Putera Daerah"
 Mudah tumbuhnya proses disintegrasi bahkan kemungkinan gerakan separatis
dikarenakan pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah untuk masalah bagi
hasil kekayaan alam,dan lain-lain
 Disparitas antar Daerah menimbulkan kecemburuan antar Daerah.
 Banyak daerah salah dalam menerapkan strategi pembangunan, daerah
terkesan tidak mampu mengelola keuangan dan melakukan manajemen
pembangunan dengan baik. terbukti dari banyaknya proyek pembangunan
yang mubazir dan tumpang tindih.
 Banyak juga pembangunan yang dilakukan pemda tidak berjalan sinergis
dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat.
 Penyalahgunaan anggaran berupa kas bon atau utang proyek kepada pihak
ketiga, kelebihan pembayaran pajak, utang kepada pihak ketiga untuk
menutup utang lama sebelum pertanggungjawaban anggaran, dan
menggunakan dana sisa lebih anggaran untuk deposito
 Semangat politisasi yang berlebihan terhadap aspek demokrasi dan hak
poleksosbud telah menghasilkan daerah otonom baru yang tidak kapabel yang
menggantungkan pembiayaan APBD dari dana perimbangan
 Rendahnya akuntabilitas Pemerintah Daerah dan DPRD
                           
V. Otonomi Daerah Dilihat Dalam Berbagai Perspektif
1. Otonomi Daerah dalam Perspektif Politik Lokal
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke
paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta
menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan tetapi juga pemberdayaan
berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah
kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , juga telah
melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala
daerah dipilih secara langsung oleh rakyat .
Dengan demikian proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksana-
kan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang
dipilih secara langsung melalui pemilukada demokratik.
Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah mendorong demokratisasi tata kelola
pemerintahan. Realisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan
daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-fungsi
pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan
standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan Negara dan
daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan
sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah.
Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah
menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat
secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
 
2. Otonomi Daerah dalam Perspektif Ekonomi
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara
berupaya secara maksimal untuk menciptakan kerangka kebijakan yang mampu
menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk
bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya
tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap ensiensi, dan efektivitas sektor
publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor
publiknya tidak efisien.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan ensiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan
masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan
dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah
sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang
besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi
utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
 Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
 Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
 Meniberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antarnegara-negara dalam suatu
sistem ekonomi internasional. Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan
perdagangan internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan
efisiensi dan produktivitas kerja, Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi
dan produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktural untuk memperkuat
kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Perubahan struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem
menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan
struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern
diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi
dan pembangunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu dianibil dalam
mewuiudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999):
 Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, yang
paling meiidasar adalah akses pada dana.
 Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat,
 Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas
sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.
 Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri
rakyat yang terkait dengan industri besar, Industri rakyat yang berkembang
menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang
punggung industri nasional.
 Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri
sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi
wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
 Pemerataan pembangunan antardaerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di
seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah
diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah Daerah yang
dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi
daerah dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan
lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya-
upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah harus dilaksanakan
secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif
maupun legisiatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategis dan marapu berpikir
strategis, serta merniliki moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan
daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat
dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan
kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalaban yang dihadapi daerah.
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah, Salah
satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan
yang utama bagi Pemerintah Daerah.

Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya


pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan
sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk
evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua
aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan
pelaksanaan APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan
program dan aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk
memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan
mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat
pertanggungjawaban (responsibility centers) sebagai unit pelaksana.

Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan
sebagairnana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan evaluasi
terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal
yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal auditor, misalnya
auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik,
pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan kepada
publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak
diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak "kebablasan" dan dapat
mencapai tujuannya.

3. Otonomi Daerah dalam Perspektif Sejarah


A. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan
sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-
undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap,
stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.
Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat (zelfbestuurende landschappen).Pemerintah kerajaan satu per satu diikat
oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang
maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial,
warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
 
B. Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea
Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil
menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina,
serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

 C. Masa Kemerdekaan/Orla, Orba, Dan Reformasi


1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan
daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua
macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
 Provinsi
 Kabupaten/Kota Besar
 Desa/Kota Kecil
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
 
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU
Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.
Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
 Provinsi
 Kabupaten/Kota Besar
 Desa/Kota Kecil
 Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri

3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957


Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah
swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
 Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
 Daerah swatantra tingkat II 
 Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-
luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
 
4. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
 Provinsi (tingkat I)
 Kabupaten (tingkat II)
 Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasan, dan menjalankan
tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan
kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
 

5. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974


UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi, akan tetapi dizaman soeharto pelaksanaannya cenderung
sentralistik. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan
daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
 Provinsi/ibu kota negara
 Kabupaten/kotamadya
 Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
 
6. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 
1999 adalah sebagai berikut:
 Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
 Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota. 
 Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi
 Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan
dan kesejahteraan bagi masyarakat.
 
7. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober 2004 disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya
UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten
dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara
kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.
 
4. Otonomi Daerah dalam Perspektif Pancasila
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti
bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.

Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka


bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu
dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur,
parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.

Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam


melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma,
artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan
tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini
sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional.

Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan,
falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara
lain pengakuan ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak
azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur
Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan bangsa Indonesia.
 
VI. Kepemimpinan Pemerintahan Daerah

Sejak diterapkan otonomi daerah di Indonesia maka peran daerah menjadi lebih besar
dan luas akan pemberikan peluang yang besar terhadap usaha usaha peningkatan
"pelayanan publik" yang pada gilirannya kesejahteraan masyarakat yang di cita-
citakan sesuai tujuan negara akan lebih mudah terwujud.

Kepala Daerah sebagai sosok yang memiliki kewenangan sangat luas harus menyadari
perlunya kepemimpinan yang efektif agar penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat mencapai sasaran sesuai yang ditetapkan. Tugas sebagai Kepala Daerah yang
sangat berat tersebut sebenarnya membawa misi yang luhur, kerena dengan kekuasaan
yang dimiliki, Kepala Daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan daerah
menuju pada perubahan yang lebih maju.

Efektivitas kepemimpinan kepala daerah merupakan ukuran keberhasilan pencapaian


suatu tujuan atau apa yang dicapai dibandingkan dengan apa yang ingin dicapai
kesenjangannya tidak terlalu jauh. Dengan demikian kepemimpinan yang efektif
adalah sistem kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dapat
menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Oleh
karena itu pemimpin yang efektif harus memiliki kemampuan yang antara lain
menyangkut kompotensi teknis dan profesional, efektivitas kepemimpinan
dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang merupakan pola perilaku yang relatif tetap
yang memberi karakteristik pada seorang pemimpin serta sifat-sifat dan karakteristik
personal.

Salah satu kewajiban Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan


adalah pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian di atas agar Kepala Daerah dalam
pengambilan keputusan berkualitas maka kompetensi teknis dan profesionalisme
harus dimiliki oleh setiap kepala daerah.

Oleh karena itu efektivitas kepemimpinan seorang kepala daerah mutlak diperlukan
karena dengan "kepemimpinan yang efektif" dalam arti memiliki kemampuan
melaksanakan fungsi manajemen, motivasi untuk berhasil dalam pekerjaan,
intelegensi, k'emampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan, rasa
percaya diri dan kemampuan melaksanakan inisiatif, berani dan tegas, merupakan
modal dasar seorang pemimpin. Jika modal dasar tersebut dimiliki oleh setiap
"pemimpin pemerintahan daerah", niscaya peran "kepemimpinan" yang dijalankan
pada gilirannya menuju pada titik optimum yakni dengan kata kunci "efisien", artinya
pengelolaan sumberdaya yang terbatas dapat tercapai "hasil guna" yang maksimal,
misalnya dalam membangun "infrastruktur " memiliki manfaat dan dampakyang luas
bagi pertumbuhan ekonomi dan modal sosial yang memadai. Kepemimpinan akan
efektif artinya dalam mengelola sumber sumberdaya yang terbatas tersebut tepat
sasaran, misalnya dalam melaksanakan pembangunan sektor perdagangan mampu
menggerakan potensi pedagang ekonomi lemah yang seluruhya terkoordinasikan oleh
"infrastruktur " pasar tradisionil yang aman, bersih dan nyaman, bukan justru
sebaliknya membangun sektor perdagangan dengan membiarkan tumbuhnya Mall-
Mall, Supermarket, Mini Market yang bertebaran sampai pelosok desa, tetapi tidak
memiliki linkage yang signifikan dengan eksistensi pada pedagang kecil dan ekonomi
lemah di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan yang terjadi justru pembangunan
sektor perdagangan yang memiliki efek semakin melemahnya atau gulung tikarnya
para pedagang kecil secara perlahan tapi pasti. Dengan kata lain sesungguhnya sedang
terjadi kontradiksi kebijakan pembangunan yang disadari atau tidak " proses
pemiskinan sedang berjalan secara massif baik di pedesaan maupun di perkotaan
terutama pendudukyangberada pada wilayah pinggiran dan perkampungan kumuh
(slum). Walaupun situasi tersebut sudah diketahui oleh para "policy maker", akan
tetapi secara situasional mereka berada pada posisi " ketidak berdayaan dibidang
pemikiran" sehingga seolah-olah terjadi proses "pembiaran".

Oleh sebab itu analisis terhadap contoh fenomena yang sedang berkembang saat ini,
agar tidak menjadi preseden yang perkembangannya tidak terkendali, pada dasarnya
dibutuhkan di setiap daerah seorang "pemimpin pemerintahan" yakni Gubernur dan
Bupati/Walikota memiliki "kepemimpinan" yang efesien dan efektif sebagaimana di
jelaskan diatas.

Dengan demikian kepemimpinan yang efektif bagi seorang kepala daerah bisa
diharapkan problem yang kompleks mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah yang
meliputi kepegawaian, keuangan, pelayanan kepada masyarakat serta masalah
kelembagaan serta masalah pemerintahan dan pembangunan dan lain-lain, dapat
diselesaikan secara lebih sistematis, konsepsional dan terpadu. Serba dengan
"kepemimpinan" yang efektif tersebut akan mendorong terhadap "proses pengambilan
keputusan" yang cepat dan akurat.

Dalam hal ini pengambilan keputusan yang dimaksud adalah pengambilan keputusan
yang maksimum yang dapat dibuat oleh para kepala daerah dalam rangka mendukung
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk itu hasil keputusan yang
diharapkan adalah keputusan yang memiliki legitimasi kuat, keputusan yang
maksimum, akurat dan cermat serta dampak risiko yang rendah.

Hasil keputusan seperti dipaparkan di atas jika bisa dilakukan secara terukur maka
memerlukan dukungan yang kuat dan para manajer atau pemimpin, oleh karena itu
gambaran teoritis mengenai pola perilaku kepemimpinan seperti yang dikutip
Kaloh diatas baik dari Redin (1964) Likert, Yuki (1989) dan lain-lain dapat menjadi
acuan atau pedoman bagi para manajer atau pemimpin terutama kepada daerah,
sehingga kualitas kepemimpinannya akan lebih baik dan mampu menangani
kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dengan semakin luasnya kewenangan pemerintahan daerah saat ini dan juga
kompleksnyai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan baik dari aspek
kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pelayanan masyarakat dan lain-lain, maka
untuk peningkatan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan diperlukan
kepemimpinan yang kuat, kredibel dan akseptabel.

Sebab dengan kepemimpinan yang demikian tersebut sosok sebagai kepala daerah
akan mampu menjalankan peran kepemimpinannya, jika peran kepemimpinan yang
besar tersebut berjalan dengan baik maka permasalahan yang ada di daerah-daerah
seperti kecenderungan munculnya permasalahan: di bidang kepegawaian seperti
tentang kualitas SDM, standar kompetensi jabatan, pengurangan jumlah jabatan. Di
bidang kelembagaan seperti misalnya adanya rencana restrukturisasi organisasi
pemerintah daerah, di bidang keuangan mengenai pembagian keuangan pusat dan
daerah yang sampai saat ini belum tertata dengan baik dan juga mengenai persoalan
standar pelayanan minimum (SPM) yang belum ada.

Dari berbagai permasalahan tersebut, apabila para kepala daerah memiliki


kepemimpinan yang bisa menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya antara lain
kecermatan, kecepatan keakurasian dalam pengambilan keputusan, maka
permasalahan tersebut niscaya akan ada solusinya lebih komprehensif dan terpadu.
Seperti dikatakan di atas bahwa pengambilan keputusan merupakan kunci dari
kepemimpinan Gore (1959) dan Siagian (1988) juga mengatakan bahwa pengambilan
keputusan adalah inti kepemimpinan. Oleh karena itu betapa pentingnya kaitan antara
kepemimpinan dengan pengambilan keputusan, meskipun dalam perilaku
kepemimpinan menimbulkan berbagai macam gaya kepemimpinan yang  "one man
show', "konsultatif', "pendelegasian" dan "musyawarah" maka di antara gaya
kepemimpinan yang dapat kita pilih yaitu gaya kepemimpinan "musyawarah". Sebab
gaya kepemimpinan ini berpengaruh terhadap pengambilan putusan yaitu efektif
secara teknis, tapi mampu memberikan motivasi yang tinggi kepada para bawahan.
Kepemimpinan musyawarah kemungkinan merupakan gaya kepemimpinan yang
cocok bagi para kepala daerah. Sebagaimana dikutip Kaloh   dari Bernard dan Yuki
(1989), gaya kepemimpinan ini dicirikan dengan kehati-hatian dalam pengambilan
keputusan dan mengutamakan efektifitas pengambilan keputusan melalui
pendelegasian wewenang kepada bawahan. Penjelasannya yaitu sebagai berikut: :
Chester I Bernard mengatakan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemimpin harus hati-hati yaitu:
1. "In not deciding prematurely', yaitu jangan mengambil keputusan terlalu
cepat, kalau masih ada kesempatan untuk mengedepankan masalah-masalah
yang akan diputuskan.
2. "In not deciding that are not now pertinent", yaitu jangan mengambil
keputusan mengenai masalah-masalah yang saat itu belum memerlukan
keputusan, dengan maksud untuk mencari saat (waktu) yang tepat (proper
timing). Mengingat situasi dan kondisi dapat saja berubah dalam perjalanan
waktu, keputusan yang diambil (sebelum waktunya) mengenai tidak cocok
sama sekali, sehingga perlu diambil keputusan baru.
3. "In not making decisions that can not be made effective", yaitu jangan
mengambil keputusan yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini untuk mencegah
keragu-raguan di kalangan bawahannya yang dapat menghilangkan
kepercayaan dan wibawa kepala daerah.
4. "In not making decisions that other should make", yaitu jangan mengambil
keputusan yang seharusnya dibuat oleh orang lain.
Pernyataan yang disampaikan oleh Bernard menunjukan bahwa "proses pengambilan
keputusan" hendaknya dilakukan dengan cermat, akurat dan penuh dengan kehati-
hatian, karena dampak dari proses pengambilan keputusan yang terlalu cepat bisa
berdampak kemungkinan salah atau tidak tepat sasaran. Kemudian jika pengambilan
keputusan dilakukan yang sebetulnya belum diperlukan, bisa berdampak kepada
keadaan yang justru bisa menimbulkan masalah baru. Selanjutnya, jika pengambilan
keputusan tidak dapat dilaksanakan, maka karena sebuah keputusan itu dibuat untuk
menyelesaikan masalah, sudah barang tentu akan menimbulkan masalah baru jika
"suatu keputusan" tidak dapat dilaksanakan dan bahkan dapat dikatakan pemborosan
atau suatu tindakan yang cenderung inefisiensi, karena sebuah proses pengambilan
keputusan memerlukan energi dan pembiayaan yang tidak sedikit. Sedangkan
pengambilan keputusan yang sebetulnya urusan orang lain atau instansi lain juga
merupakan tindakan yang sia-sia dan kemungkinan dapat dikatakan menyerobot tugas
dan fungsi yang seharusnya dikerjakan instansi lain. Dengan penjelasan tersebut
menambah pendalaman dalam melakukan kajian mengenai peran kepemimpinan
dalam pengambilan keputusan, artinya bahwa "tugas pokok" pemimpin adalah
"mengambil keputusan". Oleh sebab itu seorang pemimpin yang berkualitas adalah
seorang pemimpin yang dalam tindakannya selalu efektif.

Selanjutnya, menurut pendapat Yuki (1989) efektivitas kepemimpinan memberikan


contoh dalam "pengambilan keputusan" salah satunya yaitu melalui pendelegasian
wewenang kepada bawahan dengan ilustrasi atau gambaran sebagai berikut:
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengamati isyarat-isyarat non
verbal dari staf agar dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan, perasaan,
interaksi, serta konflik dari staf. Dengan melakukan hal-hal kelompok sebagai
kumpulan individu.
2. Memberi pelayanan sebagai seorang konsultan penasehat guru dan fasilitator
dari pada sebagai seorang direktur atau manajer dari kalangan tersebut.
3. Memodelkan perilaku kepemimpinan yang sesuai dan mendorong para
anggota untuk belajar melaksanakan perilaku-perilaku itu sendiri dengan
meniru.
4. Menetapkan sebuah suasana penyetujuan untuk mengekspresikan perencanaan
maupun gagasan.
5. Mendorong anggota untuk menangani kebutuhan-kebutuhan akan
pemeliharaan apa saja dari memproses masalah-masalah yang muncul dari
pertemuan anggota yang terbentuk.
6. Melepaskan kontrol kepada stafnya dan memungkinkan mereka untuk
membuat pilihan terakhir pada semua jenis keputusan yang sesuai.

Pendapat kedua pakar di atas menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan dalam


pengambilan keputusan terdapat dua sikap yang menarik yaitu sikap hati-hati, cermat
dan penuh perhitungan yang matang dan sikap yang lebih manusiawi dan terbuka
kepada bawahan. Apabila kedua hal tersebut dipadukan menjadi pola perilaku
kepemimpinan Kepala Daerah niscaya keputusan yang dihasilkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah akan merniliki kualitas yang balk. Karena
kebijakanyang dibuat sudah melalui proses yang cukup komprehensif dan terpadu
baik dari aspek pendekatan formal kelembagaan dan pendekatan human relation.
Transparansi atau keterbukaan bagi masyarakat Indonesia yang masih feodalistik dan
paternalistik memang menjadi barang yang mahal dan sulit dicari. Selama ini
pemimpin atau Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan sering tidak
transparan. Oleh karena itu di era reformasi ini maka sejak pemerintah orde baru
melemah justru keterbukaan yang ada didalamnya masyarakat sering tidak terkendali.
Oleh karena itu peran kepemimpinan Kepala Daerah saat ini melakukan konsolidasi
agar kontrol masyarakat dapat tertata secara melembaga. Hal tersebut harus didukung
berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah terlebih dahulu harus
dilakukan secara terbuka melalui fungsi komunikasi dengan masyarakat dan
sosialisasi terhadap masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan yang setiap saat
mengalami perubahan. Dengan demikian Kepala Daerah sangat berperan dalam
meletakkan dasar bagi pembentukan masyarakat yang lebih terbuka.

Dewasa ini masyarakat sangat mendambakan adanya penyelenggaraan pemerintah


lebih baik, dalam arti kebutuhan pokok masyarakat dapat dengan mudah dilayani oleh
pemerintah. Dengan demikian menurut Kaloh sebagai Pimpinan, Kepala Daerah harus
mampu melayani masyarakat secara baik dengan berpegang pada prinsip-prinsip.
Good Governance, sebab secara teoritis Good Governance mengandung makna
bahwa pengelolaan perluasan didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku,
pengambilan kebijaksanaan secara transparan serta pertanggungjawaban kepada
masyarakat, kekuasaan juga didasarkan pada aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak
seseorang atau kelompok tertentu.
Untuk menciptakan pemerintahan yang dapat mengelola pemerintahan secara baik
(Good governance), seorang Kepala Daerah perlu memperhatikan kesejahteraan
pegawai. Hal ini sangat penting dipertimbangkan secara filosofis bahwa suatu
organisasi pemerintahan yang baik hanya akan terbentuk jika dijalankan oleh orang-
orang baik dan orang yang baik tersebut hanya dapat dikeluarkan melalui sistem
penggajian yang terbaik.

Dengan demikian merupakan keniscayaan bahwa kepimpinan di segala lini kegiatan


yang dilakukan oleh sekelompok orang memiliki nilai dan posisi penting dan
strategis. Bahkan ditegaskan oleh David Osborne dan Ted Jabler tidak ada yang lebih
penting davi pada kepemimpinan. Demikian pula Ryas Rasyid dan Kwik Klan Gie
yang menyoroti kepemimpinan pemerintah di Indonesia, mengatakan bahwa terdapat
kecendrungan kepemimpinan dewasa ini di segala lini baik di pemerintahan, partai
politik, ormas-ormas dan organisasi lain-lain semakin berperilaku buruk dan tidak
memberikan cermin keteladanan bagi masyarakat. Fenomena perilaku korupsi, kolusi
dan nepotisme yang terjadi bahkan semakin meningkat yang melibatkan berbagai
level pemimpin dan menteri, gubernur, bupati/walikota dan anggota DPR/DPRD
terlibat dalam masalah hukum. Ketika pemimpin sudah tidak memiliki pengaruh dan
juga tidak mendapat kepercayaan (trust) dari masyarakat maka tinggal menunggu
kehancurannya. Oleh karena itu upaya pemerintah dan masyarakat dalam melakukan
perbaikan di era reformasi, sesungguhnya merupakan momentum yang terbaik.
Praktek penyelenggaraan demokrasi langsung dalam memilih para pemimpinnya,
yaitu Pemilihan Presiden dan wakil Presiden dan juga Gubernur serta Bupati/Walikota
dilakukan melalui pemilu. Dengan pemilihan langsung rakyat dapat menggunakan
hak politik dengan bebas. Sehingga pemimpin yang terpilih akan memiliki legistimasi
yang kuat, ketika legistimasi kepemimpinan kuat, diharapkan penyelenggaraan
pemerintahan akan stabil.

Namun praktek demokrasi langsung tersebut yang baru berjalan sejak tahun 2004,
masih menemukan banyak kendala dan bahkan timbul implikasi yang mungkin tidak
diperhitungkan. Fenomena demokrasi langsung tersebut baik dalam pemilihan
Presiden maupun Gubernur dan Bupati/Walikota menimbulkan kecenderungan
terutama pemilu Kepala Daerah, diberbagai daerah terjadi; konflik horizontal antar
pendukung calon, money politik dan biaya yang besar (high cost) bagi masing-masing
calon pemimpin tersebut. Bahkan hasil pemilu kepala daerah tersebut justru yang
terpilih tidak memenuhi standar kompetensi sebagai pemimpin. Tidaklah
mengherankan jika banyak terjadi para kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus
pidana korupsi. Fenomena tersebut harus memdapatkan perhatian untuk mengkaji
lebih jauh terhadap sistem pemilihan pemimpin pemerintahan yang dilakukan secara
langsung. Pendekatan interdispliner atau multidisipliner nerupakan keniscayaan, agar
sistem yang baru berjalan belum lama tersebut lebih teruji, jika sistem demokrasi
langsung dianggap sebagai instrumen kontrol yang lebih unggul terutama dalam
memilih pemimpin pemerintahan tersebut. Apabila kepemimpinan pemerintahan
dengan melalui sistem dan mekanisme yang sudah teruji maka pemimpin yang
dihasilkan sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif.

VII. Globalisasi
Disamping otonomi daerah, globalisasi merupakan lingkungan strategis yang akan
mempengaruhi kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Globalisasi disatu sisi
membawa perbaikan ekonomi kepada negara yang efisien dan cukup kompetitif
dalam pasar internasional. Tetapi hal ini menjadi sangat beresiko karena dapat
menimbulkan ketidakadilan dalam ekonomi, marjinalisasi dan eksploitasi sosial.
Meningkatnya ketidakadilan dapat memperburuk upaya penanggulangan kemiskinan.
Karena itu, penyebab kemiskinan tidak hanya dari faktor penyebab tradisional seperti
kurang meratanya akses terhadap pendidikan, bias urban dan lainnya, tetapi juga
harus dilihat dari segi ketidakseimbangan global dalam kompleksitas interaksi antar
aset, pasar dan kelembagaan (KPK,2002).

Globalisasi mentransformasi bidang perdagangan, keuangan, ketenagakerjaan,


teknologi, komunikasi, lingkungan, dan bahkan kehidupan sosial dan kultural bangsa
didunia dewasa ini. Proses integrasi yang tak terelakkan ini dapat memberikan
manfaat yang berlimpah bagi kehidupan ekonomi, sospol, serta kebudayaan, namun
disisi lain jika tidak dikelola dengan baik maka dampak negatif dari globalisasi akan
kita rasakan. Dalam laporan World Development Report (World Bank, 1995:3)
dilaporkan bahwa globalisasi dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga dapat
mengurangi kesenjangan dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan melalui
efek ganda (multiplier effects) perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel.
Bagi negara maju karena ketersediaan dukungan berbagi keunggulan, barangkali
hipotesis itu dapat menjadi kenyataan. Bagi kebanyakan negara berkembang dengan
berbagai macam kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia
hanya menguntungkan pemilik modal (negara-negara maju) dan akan menimbulkan
malapetaka bagi negara-negara berkembang. Masyarakat miskin yang merupakan
mayoritas pendududuk negara berkembang mungkin tidak dapat menikmati peluang-
peluang yang tercipta dan bahkan terpaksa tersisih dalam pusaran kemiskinan, hal ini
berarti globalisasi justeru dapat menghambat pemerintah dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya.

Adanya globalisasi harus dapat menjadi pendorong dan mempercepat proses adopsi
dapat implementasi pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Salah satu strategi
yang dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia (baik pusat maupun daerah) dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suistainable delopment, yaitu
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan.
Dengan potensi yang besar dan beragam, Indonesia mempunyai peluang baik untuk
mengurangi tingkat kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing dengan bangsa lain
didunia, dengan memperhatikan, pertama, kemampuan menghasilkan suatu komoditi
yang lebih murah dari pesaing tidak cukup menjamin keunggulan daya saing di pasar
internasional. Kedua, kemampuan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan
preferensi konsumen yang berkembang, sangat menentukan keunggulan bersaing di
pasar internasional. Ketiga, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan
mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki mulai dari hulu hingga hingga
hilir, dalam menghasilkan suatu produk sesuai dengan preferensi konsumen
berkembang.

VIII.  TANTANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA ERA GLOBAL


Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era
global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam era
penguatan otonomi dan desentralisasi, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan
yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga
keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemerintah daerah harus dapat mendayagunakan potensi dan
sumber dana daerah secara optimal. Dalam konteks ini, usulan David Osborne, dan
Ted Gaebler dalam bukunya Government (1993) untuk entrepreneural spirit dalam
sector publik perlu kita simak. Menurut semangat wirausaha tidak hanya para pelaku
bisnis, tetapi juga dapat diterapkan bagi para birokrat dan lembaga lainnya. Dalam
konteks pemerintah daerah, semangat wirausaha dapat diwujudkan dengan mengubah
gaya manajemen yang hierarkis-birokratis menjadi gaya manajemen yang lebih
partisipatif atau participatory management dan teamwork organisation (Kuncoro,
1997).
Akhirnya, dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat, meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah
daerah, dan reformasi manajemen keuangan daerah diharapkan akan memacu
mewujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab
serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era
perekonomian global.

Globalisasi perekonomian me'mbawa implikasi pada pertentangan antara kepentingan


nasionalisme ekonomi untuk mempertahankan eksistensi negara bangsa dengan
kepentingan efisiensi dan efektivitas yang menjadi trend global untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dunia. Salah satu titik temu kedua pandangan tersebut
adalah bahwa pengambilan peluang-peluang dari globalisasi ekonomi diletakkan
dalam konteks penguatan ekonomi nasional.

Langkah konkrit yang diambil harus dalam rangka menghadapi globalisasi


perekonomian dunia adalah dengan melakukan penguatan ekonomi rakyat dan
peiaksanaan otonomi luas. Hal tersebut antara lain bertujuan untuk menciptakan
sistem ekonomi nasional yang tangguh, mandiri, efisien, dan efektif sehingga siap
bermain dalam sistem perekonomian global. Agenda paling mendesak yang harus
dilakukan dalam rangka peiaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab dalam melaksanakan reformasi manajemen keuangan daerah agar
daerah siap dalam menyelenggarakan otonomi dan pembangunan daerah.

IX. Model Pemerintah Daerah Masa Depan


Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih
efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan
ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal
tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan
daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan
eksternal maupun dari internal masyarakatnya.

Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan
persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya.
Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas
(knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak timtutannya
(demanding community).

Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade
sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin
kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional,
informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu
besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu keci!
untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat
yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang
manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan
konsepnya "reinventing government".

Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:


 Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan
produksi pelayanan publik. pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada
pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada
pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan
nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang
belum dapat dilakukan oleh pihak nonpemerintah.
 Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada
melayani. Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan)
masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat
menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat
lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang
optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi.
 Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalani
pemberian pelayanan publik.  Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan
kompetisi karena kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak
pelayanan pubjik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus
memperbesar biaya.
 Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh
misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur
dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi
misinya.
 
 Pemerintah yang berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan
masukan. Pemerintah wirausaha herusaha mengubah bentuk penghargaan dan
insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah
mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu
unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung
jawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan
dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit
kerja tersebut.
 Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan
pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah wirausaha akan berusaha
mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini,
tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif,
tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual
accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
 
 Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak
sekedar membelanjakan. Pemerintah daerah wirausaha dapat
mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan
publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang
daerahnya kepada pusat-pusat penelitian: BUMN7 BUMD; pemberian hak
guna usaha yang menarik kepada/para pengusaha dan masyarakat; penyertaan
modal; dan lain-lain.
 
 Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada
mengobati. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapiproaktif. Pemerintah
tidak hanyamencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras
untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
 
 Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim
kerja. Pemerintah wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat,
asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat
untuk/berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
 
 Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan
perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan
mekanisme administratif (sistem prosedur pemaksaan). Pemerintah
wirausaha menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumber
daya yang dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan
mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar
orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi
tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti dilakukannya bureaucracy
reengineering, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punishment, maka
konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi
selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas
dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu,
yang terpenting adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh
birokrasi pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika
semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma
lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan
apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai