Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie
dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974
Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.
Dengan kata lain pemerintah ingin melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yaitu dengan
melaksanakan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Untuk itu, pemberlakuan otda dan desentralisasi, memberikan ruang (kewenangan)
pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan program
yang sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Pengelolaan sumberdaya yang
dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab oleh pemerintah serta melibatkan
masyarakat setempat sangat berpotensi mengurangi kesenjangan yang semakin
melebar disegala bidang.
Salah satu wujud kepemerintahan yang baik ialah suatu kepemerintahan yang
memperhatikan dan responsif terhadap kehendak dan aspirasi masyarakat serta
melibatkan mereka (partisipasi) dalam setiap pengambilan keputusan yang
menyangkut berbagai aspek kepentingan masyarakat (kebijakan publik). Masyarakat
dilibatkan dan berpartisipasi dalam penyusunan program pembangunan serta
pengambilan kebijakan, baik yang diambil dalam forum legislatif maupun eksekutif
atau secara bersama-sama. Selain itu juga manajemen kepemerintahan dilaksanakan
secara terbuka dan transparan, serta dapat dipertanggung jawabkan (akuntabel)
kepada masyarakat, menggunakan prinsip-prinsip pelayanan untuk kepuasan
masyarakat, efisiensi, dan efektivitas.
Sedangkan unsur-unsur dari tata pemerintahan yang baik adalah (Partnership for
governancereform, UNDP,1997) :
•Partisipasi
Semua pria dan wanita mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara kontruktif.
•Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum-
hukum yang menyangkut Hak Asasi Manusia.
• Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan dan informasi yang tersedia agar dapat dimengerti dan dipantau
• Cepat Tanggap
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
• Membangun Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda
demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-
kebijakan dan prosedur-prosedur.
• Kesetaraan
Semua pria dan wanita mempunyai kesempatan memperbaiki atau mepertahankan
kesejahteraan mereka.
• Bertanggung Jawab
Para pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi-organisasi
masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-
lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu
dengan yang lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan, dan dari
apakah bagi organisasi itu keputusan tersebut bersifat kedalam atau keluar.
• Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas
tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu, mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif itu.
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk efisien
dan professional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang
terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (beureaucracy reengineering). Hal
tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang (pusat dan daerah) akan
menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun
dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi
globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalism arus informasi, investasi,
modal, tenaga kerja, dan budaya. Disisi internal, pemerintah akan menghadapi
masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang
semakin banyak tuntutannya (demending community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade
(Kontrol Sistem Globalisasi) sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk
pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti
pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa
depan, Negara menjadi terlalu besar untuk dapat menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kecil tapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh
sejumlah ilmuwan dibidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan
Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborn dan Gaebler tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi
pelayanan publik
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam
pemberian pelayanan publik
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi
5. Pemerintah berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi
7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan
8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati
9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar: mengadakan perubahan
dengan mekanisme pasar (system isentif) dan bukan dengan mekanisme
administrative (sistem prosedur dan pemaksaan).
Desentralisasi Fiskal
a. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan suatu mekanisme transfer dana dari APBN dalam
kaitan dengan kebijakan keuangan Negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan
fiskal yang berkelanjutan (fiscal suistainability) dan memberikan stimulus terhadap
aktivitas perekonomian masyarakat,maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal
diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah yang
sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah otonom.
Desentralisasi fiskal juga merupakan salah satu "pilar' dalam memelihara kestabilan
kondisi ekonomi ,karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong
aktivias perekonomian masyarakat didaerah. Desentralisasi fiskal tersebut
dikelompokkan pada:
1. Dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan maksud menciptakan
keadilan dan pemerataan serta memperkecil kesenjangan fiskal antardaerah.
Dana perimbangan itu berasal dari penerimaan dalam negeri yang diperoleh
dari pendapatan perpajakan,royalti dan bagi hasil SDA.
2. Dana yang bersumber dari utang dalam negeri dan luar negeri yang disalurkan
ke daerah (subsidiary loan) baik uang bilateral maupun multilateral.
1. Desentralisasi Pengeluaran
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten /
kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) (Phillip dan
Woller,1997 ; Zhang dan Zhou,1998). Hal ini menunjukkan ukuran relatif
pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hasil studi
dari Zhang dan Zhou (1998), menunjukkan bahwa variabel ini mempunyai pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mengimplikasikan bahwa
desentralisasi fiskal gagal mendorong perumbuhan ekonomi di Cina. Hal ini
mungkin merefleksikan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk
melakukan investasi disektor infrastruktur . Sementara studi yang dilakukan oleh
Philip dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negatif desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi pada Negara Maju. Dan mereka gagal menjelaskan
efek desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara Berkembang.
3. Desentralisasi Penerimaan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing
kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan
pemerintah (Philip dan Woller,1997). Variabel ini mengekspresikan besaran relative
antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Belanja rutin merupakan komponen pada pengeluaran daerah yang digunakan untuk
mendanai kegiatan yang sudah pasti terjadi atau kegiatan yang bersifat rutin terutama
untuk kegiatan aparatur daerah pada daerah yang bersangkutan, misalnya untuk
membayar gaji pegawai negeri dan honorarium sebagai kompensasi bagi pegawai
negeri dan honorarium didaerah terhadap aktivitas kegiatan yang dilakukan di daerah
yang bersangkutan. Penerimaan gaji pegawai negeri akan menjadi faktor pendapatan
yang akan digunakan untuk kegiatan konsumsi membeli barang dan jasa yang
dibutuhkan pegawai negeri tersebut. Oleh karena itu, kegiatan membeli barang dan
jasa dari pegawai negeri akan menimbulkan permintaan permintaan barang dan jasa
yang kemudian akan direspon oleh produsen untuk menghasilkan barang dan jasa
sesuai kebutuhan konsumen. Berdasarkan kegiatan konsumsi dan produksi akan
terjadi aktivitas ekonomi yang akan membentuk nilai absolute Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan nilai relatif perubahan PDRB yang disebut dengan
pertumbuhan ekonomi.
Dimensi ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah efisiensi,
stabilitas makro ekonomi, dan keadilan (Musgrav 1989:6 dan 16). Aspek efisiensi
merupakan raison d’etre (alasan sebuah keberadaan) untuk desentralisasi fiskal.
Karena prefensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu
sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal
disebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan prefensinya dalam rangka
memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (Usman,2001:24). Argumentasi ekonomi
tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa pemerintah daerah dapat memenuhi
berbagai kepentingan dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber
daya secara lebih efisiensi dibandingkan pemerintah pusat (Hirawan,2007:10; Adi,
2005:16-22; dan Susanto, 2004:4-16).
Pertumbuhan ekonomi sebagai nilai relatif dari perubahan PDRB dari waktu ke waktu
menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat dari waktu ke waktu
pula. Peningkatan pendapat masyarakat akan ditunjukkan dengan peningkatan alokasi
pendapatan untuk konsumsi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sehinga
masyarakat daerah tersebut menjadi lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan
sebagai Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan terjadi pula peningkatan rasio
antara banyaknya kejahatan yang dilaporkan dengan putusan oleh Kantor Pengadilan
Negeri sebagai Indikator Kriminalitas Daerah (IKD) sebagai Indikator Sosial
(Arsyad,2010: 46). IPM dan IKD merupakan indikator kesejahteraan masyarakat.
Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif
maupun legisiatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategis dan marapu berpikir
strategis, serta merniliki moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan
daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat
dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan
kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalaban yang dihadapi daerah.
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah, Salah
satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan
yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan
sebagairnana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan evaluasi
terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal
yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal auditor, misalnya
auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik,
pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan kepada
publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak
diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak "kebablasan" dan dapat
mencapai tujuannya.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan
dan kesejahteraan bagi masyarakat.
7. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober 2004 disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya
UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten
dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara
kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.
4. Otonomi Daerah dalam Perspektif Pancasila
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti
bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan,
falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara
lain pengakuan ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak
azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur
Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan bangsa Indonesia.
VI. Kepemimpinan Pemerintahan Daerah
Sejak diterapkan otonomi daerah di Indonesia maka peran daerah menjadi lebih besar
dan luas akan pemberikan peluang yang besar terhadap usaha usaha peningkatan
"pelayanan publik" yang pada gilirannya kesejahteraan masyarakat yang di cita-
citakan sesuai tujuan negara akan lebih mudah terwujud.
Kepala Daerah sebagai sosok yang memiliki kewenangan sangat luas harus menyadari
perlunya kepemimpinan yang efektif agar penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat mencapai sasaran sesuai yang ditetapkan. Tugas sebagai Kepala Daerah yang
sangat berat tersebut sebenarnya membawa misi yang luhur, kerena dengan kekuasaan
yang dimiliki, Kepala Daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan daerah
menuju pada perubahan yang lebih maju.
Oleh karena itu efektivitas kepemimpinan seorang kepala daerah mutlak diperlukan
karena dengan "kepemimpinan yang efektif" dalam arti memiliki kemampuan
melaksanakan fungsi manajemen, motivasi untuk berhasil dalam pekerjaan,
intelegensi, k'emampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan, rasa
percaya diri dan kemampuan melaksanakan inisiatif, berani dan tegas, merupakan
modal dasar seorang pemimpin. Jika modal dasar tersebut dimiliki oleh setiap
"pemimpin pemerintahan daerah", niscaya peran "kepemimpinan" yang dijalankan
pada gilirannya menuju pada titik optimum yakni dengan kata kunci "efisien", artinya
pengelolaan sumberdaya yang terbatas dapat tercapai "hasil guna" yang maksimal,
misalnya dalam membangun "infrastruktur " memiliki manfaat dan dampakyang luas
bagi pertumbuhan ekonomi dan modal sosial yang memadai. Kepemimpinan akan
efektif artinya dalam mengelola sumber sumberdaya yang terbatas tersebut tepat
sasaran, misalnya dalam melaksanakan pembangunan sektor perdagangan mampu
menggerakan potensi pedagang ekonomi lemah yang seluruhya terkoordinasikan oleh
"infrastruktur " pasar tradisionil yang aman, bersih dan nyaman, bukan justru
sebaliknya membangun sektor perdagangan dengan membiarkan tumbuhnya Mall-
Mall, Supermarket, Mini Market yang bertebaran sampai pelosok desa, tetapi tidak
memiliki linkage yang signifikan dengan eksistensi pada pedagang kecil dan ekonomi
lemah di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan yang terjadi justru pembangunan
sektor perdagangan yang memiliki efek semakin melemahnya atau gulung tikarnya
para pedagang kecil secara perlahan tapi pasti. Dengan kata lain sesungguhnya sedang
terjadi kontradiksi kebijakan pembangunan yang disadari atau tidak " proses
pemiskinan sedang berjalan secara massif baik di pedesaan maupun di perkotaan
terutama pendudukyangberada pada wilayah pinggiran dan perkampungan kumuh
(slum). Walaupun situasi tersebut sudah diketahui oleh para "policy maker", akan
tetapi secara situasional mereka berada pada posisi " ketidak berdayaan dibidang
pemikiran" sehingga seolah-olah terjadi proses "pembiaran".
Oleh sebab itu analisis terhadap contoh fenomena yang sedang berkembang saat ini,
agar tidak menjadi preseden yang perkembangannya tidak terkendali, pada dasarnya
dibutuhkan di setiap daerah seorang "pemimpin pemerintahan" yakni Gubernur dan
Bupati/Walikota memiliki "kepemimpinan" yang efesien dan efektif sebagaimana di
jelaskan diatas.
Dengan demikian kepemimpinan yang efektif bagi seorang kepala daerah bisa
diharapkan problem yang kompleks mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah yang
meliputi kepegawaian, keuangan, pelayanan kepada masyarakat serta masalah
kelembagaan serta masalah pemerintahan dan pembangunan dan lain-lain, dapat
diselesaikan secara lebih sistematis, konsepsional dan terpadu. Serba dengan
"kepemimpinan" yang efektif tersebut akan mendorong terhadap "proses pengambilan
keputusan" yang cepat dan akurat.
Dalam hal ini pengambilan keputusan yang dimaksud adalah pengambilan keputusan
yang maksimum yang dapat dibuat oleh para kepala daerah dalam rangka mendukung
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk itu hasil keputusan yang
diharapkan adalah keputusan yang memiliki legitimasi kuat, keputusan yang
maksimum, akurat dan cermat serta dampak risiko yang rendah.
Hasil keputusan seperti dipaparkan di atas jika bisa dilakukan secara terukur maka
memerlukan dukungan yang kuat dan para manajer atau pemimpin, oleh karena itu
gambaran teoritis mengenai pola perilaku kepemimpinan seperti yang dikutip
Kaloh diatas baik dari Redin (1964) Likert, Yuki (1989) dan lain-lain dapat menjadi
acuan atau pedoman bagi para manajer atau pemimpin terutama kepada daerah,
sehingga kualitas kepemimpinannya akan lebih baik dan mampu menangani
kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dengan semakin luasnya kewenangan pemerintahan daerah saat ini dan juga
kompleksnyai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan baik dari aspek
kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pelayanan masyarakat dan lain-lain, maka
untuk peningkatan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan diperlukan
kepemimpinan yang kuat, kredibel dan akseptabel.
Sebab dengan kepemimpinan yang demikian tersebut sosok sebagai kepala daerah
akan mampu menjalankan peran kepemimpinannya, jika peran kepemimpinan yang
besar tersebut berjalan dengan baik maka permasalahan yang ada di daerah-daerah
seperti kecenderungan munculnya permasalahan: di bidang kepegawaian seperti
tentang kualitas SDM, standar kompetensi jabatan, pengurangan jumlah jabatan. Di
bidang kelembagaan seperti misalnya adanya rencana restrukturisasi organisasi
pemerintah daerah, di bidang keuangan mengenai pembagian keuangan pusat dan
daerah yang sampai saat ini belum tertata dengan baik dan juga mengenai persoalan
standar pelayanan minimum (SPM) yang belum ada.
Namun praktek demokrasi langsung tersebut yang baru berjalan sejak tahun 2004,
masih menemukan banyak kendala dan bahkan timbul implikasi yang mungkin tidak
diperhitungkan. Fenomena demokrasi langsung tersebut baik dalam pemilihan
Presiden maupun Gubernur dan Bupati/Walikota menimbulkan kecenderungan
terutama pemilu Kepala Daerah, diberbagai daerah terjadi; konflik horizontal antar
pendukung calon, money politik dan biaya yang besar (high cost) bagi masing-masing
calon pemimpin tersebut. Bahkan hasil pemilu kepala daerah tersebut justru yang
terpilih tidak memenuhi standar kompetensi sebagai pemimpin. Tidaklah
mengherankan jika banyak terjadi para kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus
pidana korupsi. Fenomena tersebut harus memdapatkan perhatian untuk mengkaji
lebih jauh terhadap sistem pemilihan pemimpin pemerintahan yang dilakukan secara
langsung. Pendekatan interdispliner atau multidisipliner nerupakan keniscayaan, agar
sistem yang baru berjalan belum lama tersebut lebih teruji, jika sistem demokrasi
langsung dianggap sebagai instrumen kontrol yang lebih unggul terutama dalam
memilih pemimpin pemerintahan tersebut. Apabila kepemimpinan pemerintahan
dengan melalui sistem dan mekanisme yang sudah teruji maka pemimpin yang
dihasilkan sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif.
VII. Globalisasi
Disamping otonomi daerah, globalisasi merupakan lingkungan strategis yang akan
mempengaruhi kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Globalisasi disatu sisi
membawa perbaikan ekonomi kepada negara yang efisien dan cukup kompetitif
dalam pasar internasional. Tetapi hal ini menjadi sangat beresiko karena dapat
menimbulkan ketidakadilan dalam ekonomi, marjinalisasi dan eksploitasi sosial.
Meningkatnya ketidakadilan dapat memperburuk upaya penanggulangan kemiskinan.
Karena itu, penyebab kemiskinan tidak hanya dari faktor penyebab tradisional seperti
kurang meratanya akses terhadap pendidikan, bias urban dan lainnya, tetapi juga
harus dilihat dari segi ketidakseimbangan global dalam kompleksitas interaksi antar
aset, pasar dan kelembagaan (KPK,2002).
Adanya globalisasi harus dapat menjadi pendorong dan mempercepat proses adopsi
dapat implementasi pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Salah satu strategi
yang dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia (baik pusat maupun daerah) dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suistainable delopment, yaitu
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan.
Dengan potensi yang besar dan beragam, Indonesia mempunyai peluang baik untuk
mengurangi tingkat kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing dengan bangsa lain
didunia, dengan memperhatikan, pertama, kemampuan menghasilkan suatu komoditi
yang lebih murah dari pesaing tidak cukup menjamin keunggulan daya saing di pasar
internasional. Kedua, kemampuan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan
preferensi konsumen yang berkembang, sangat menentukan keunggulan bersaing di
pasar internasional. Ketiga, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan
mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki mulai dari hulu hingga hingga
hilir, dalam menghasilkan suatu produk sesuai dengan preferensi konsumen
berkembang.
Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan
persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya.
Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas
(knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak timtutannya
(demanding community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade
sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin
kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional,
informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu
besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu keci!
untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat
yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang
manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan
konsepnya "reinventing government".