Anda di halaman 1dari 7

Nama : Pingkan Leoni Darmawati Tatibas Sarudi

NIM : 23603097

Kelas : C

MK : Teori Administrasi Publik

1. Menelaah pengertian good governence dan clean government

Good governence mengandung makna tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan


pemerintahan yang baik, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, penyelenggaraan
negara yang baik ataupun administrasi negara yang baik.

Penerapan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas diakui sebagai landasan


awal bagi terwujudnya tata kepemerintahan yang baik secara umum.

Suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia
usaha swasta, dan masyarakat.

https://www.slideshare.net/DadangSolihin/clean-government-dan-good-governance-
policy-konsep-dan-implementasi

Pemerintah yang bersih (clean government) adalah pemerintah yang aparatnya tidak
melakukan praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme).

Bisa bertindak objektif, netral, dan tidak diskriminatif, artinya tidak mendahulukan
teman, kerabat, kelompoknya, atau orang-orang yang memiliki uang, berkuasa, atau
punya katebelece.

Pemerintah yang bersih adalah pemerintah yang diisi oleh aparat yang jujur, yang
bekerja sesuai dengan tugas yang diembannya, tidak bersedia menerima sogokan, tidak
melakukan, dan tidak memperlambat atau mempercepat suatu pekerjaan karena
adanya keuntungan yang bisa diperoleh.

https://www.slideshare.net/DadangSolihin/clean-government-dan-good-governance-
policy-konsep-dan-implementasi
2. Prinsip-prinsip good governence dan clean government

a. Partisipasi

Pengertian ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi
UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan ringkas Sukardi (2000)
menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan masyarakat
dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini adalah upaya
melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam teori
pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses kelahiran sebuah
politik maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan tersebut (Dunn,
1997). Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan pemerintah yang
mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.

Konsep partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang
diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam
suatu lingkungan kegiatan. Peran serta di sini menyangkut akan adanya proses antara
dua atau lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut
pembuatan keputusan, rencana, atau kebijakan. Dalam pelayanan publik, partisipasi
tidak hanya terjadi di antara pihak pemerintah melalui birokrat yang kemudian
membuat kebijakan mengenai bentuk pelayanan yang akan diberikan, tetapi juga harus
melibatkan masyarakat sehingga mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya
dibutuhkan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam hal ini, pemerintah melalui
pihak birokrat harus berperan sebagai fasilitator dan katalisator yang memberikan
pelayanan terbaik yang memang sesuai.

Tujuan utama dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan


kepentingan yang sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan
kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh.
Keterlibatan masyarakat lebih kepada pengharapan akan tertampungnya berbagai
aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrat
selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk mengedepankan
keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun pembuatan kebijakan, serta
juga sebagai pengawas kinerja pelayanan. Adapun kriteria yang perlu dipenuhi dalam
pengaplikasian pendekatan partisipatif ini (Lijan Poltak Sinambela, 2006), menyangkut :

1. Pelibatan seluruh stake holder untuk setiap arena perumusan dan penetapan
kebijakan.

2. Penguatan institusi-institusi masyarakat yang legitimate untuk menyuarakan


seluruh aspirasi yang berkembang.
3. Penciptaan proses-proses politik yang negosiatif untuk menentukan prioritas
atas collective agreement.

4. Mendorong pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran kolektif sebagai


bagian dari proses demokrasI.

b. Penegak Hukum (aturan hukum)

Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, yang mengatur
hak-hak manusia yang berarti adanya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994),
supremasi hukum mengandung arti :

1. Suatu tindakan hukum hanya sah apabila dilakukan menurut atau


berdasarkan aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya
dapat dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benar-benar menghendaki
atau penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang
berlaku dalam masyarakat (principlesof natural justice)

2. Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi
maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya. Asas
penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus
didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.

Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud good governence and clean
government harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum
yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi


masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan
aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta
independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah
atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).

Kepastian hukum

Bahwa setiap kehidupan berbangsa bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti,
tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara suku, agama dan lainnya.

Hukum yang responsif

Yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu
mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
1. Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan
hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan
penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap
kebenaran hukum.

2. Independensi peradilan

Yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.

c. Transparansi (transparency)

Adanya transparansi / keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak
yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha,
terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan
informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik
adalah dalam masalah transparansi sendiri. Dalam organisasi swasta, keterbukaan
informasi bukanlah suatu hal yang menjadi harus. Banyak hal yang dirasa harus
dirahasiakan dari publik dan hanya terbuka untuk beberapa pihak. Sementara itu,
organisasi publik yang bergerak atas nama publik mengharuskan adanya keterbukaan
agar dapat menilai kinerja pelayanan yang diberikan. Dengan begini, akan terlihat
bagaimana suatu system yang berjalan dalam organisasi tersebut.

Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan diartikan
sebagai berikut:

"Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara".

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang
benar dan jujur tentang penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat
secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara lebih
jelas peran serta masyarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2
ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara
yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:

1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai


penyelenggaraan negara;

2. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelenggaraan negara.

d. Responsif (responsif)

Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip- prinsip good governance and clean
government bahwa pemerintah harus cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat, harus memahami kebutuhan masyarakat, harus proaktif mempelajari dan
menganalisa kebutuhan masyarakat. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang
menjadi kepentingan public (publicinterest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal
ini, Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam
memberikan suatu model pelayanan.

Masyarakat adalah sosok yang kepentingannya tidak bisa disamakan secara


keseluruhan dan pada saatnya akan merasakan suatu kebosanan dengan hal yang
stagnan atau tidak ada perubahan, termasuk dalam pemberian pelayanan. Masyarakat
selalu akan menuntut suatu proses yang lebih mudah/simple dalam memenuhi
berbagai kepentingannya. Oleh karena itu, Birokrasi harus dengan segera mampu
membaca apa yang menjadi kebutuhan publik.

Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni
etika individual dan sosial.

1. Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar


memiliki kriteria kapabilitas dan layolitas profesional.

2. Etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas terhadap berbagai


kebutuhan publik

e. Berorientasi pada kesepakatan (concensusorientation)

Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus


merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat.

Hal ini sejalan dengan konsep partisipatif di mana adanya keterlibatan dari masyarakat
dalam merumuskan secara bersama mengenai hal pelayanan publik.

Cara pengambilan keputusan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau
sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang
bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa terhadap semua yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut.
Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif,
maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili.
Semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-
kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas
pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

f. Kesetaraan (ekuitas)

Asas kesetaraan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas ini
mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah bersikap dan berperilaku adil dalam hal
pelayanan publik tanpa membedakan suku, jenis, keyakinan, jenis kelamin, dan kelas
sosial.

Keadilan berarti semua orang (masyarakat), baik laki- laki maupun perempuan, miskin
dan kaya memilik kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi.
Dalam hal ini, birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif di mana hanya mau melayani
pihak-pihak yang dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus
dipersulit dalam pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali. Konsep keadilan masih
terlihat sulit diterpakan dalam pelayanan publik di Indonesia. Hal ini bisa dipengaruhi
karena konflik kepentingan birokrasi

g. Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)

Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana
dalam mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk
pelayanan publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani
masyarakat seefektif mungkin dan tanpa banyak hal- hal atau prosedur yang
sebenarnya bisa diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya. Pemerintahan yang
baik dan bersih harus memenuhi criteria efektif (berdaya guna)dan efesien (berhasil
guna). Efektivitas dapat diukur dari seberapa besar produk yang dapat menjangkau
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok. Efesiensi umumnya di ukur dengan
rasionalisitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat

H. Akuntabilitas (akuntabilitas)

Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat public terhadap masyarakat


yang memberinya wewenang untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat
public dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral,
maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah efektifkah
prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersebut, sudah sesuaikah
pengaplikasiannya, dan bagaimana dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain.
Dalam birokrasi, akuntabilitas yang berarti akuntabilitas publik menjadi sesuatu yang
sepertinya menjadi sosok yang menakutkan. Hal ini tentunya disadari dari ketidak
jelasan atas kinerja birokrat itu sendiri. Namun, ternyata, banyak cara yang sering
dilakukan para birokrat dalam menutupi kesalahan sehingga akuntabilitasnya terlihat
baik. Menurut Turner dan Hulme (Mardiasmo, 2002), menerapkan akuntabilitas
memang sangatlah sulit, bahkan lebih sulit dalam memberantas korupsi. Akuntabilitas
saat ini menjadi konsep utama yang harus diterapkan dalam organisasi publik dalam
mendongkrak kinerja mereka tentunya. Tuntutan akan akuntabilitas tidak hanya
menekankan pada tanggung gugat secara vertikal dalam arti antara bawahan terhadap
atasan, tetapi juga secara horisontal yang berarti terhadap masyarakat. Elwood
(Mardiasmo, 2002) menyatakan bahwa ada empat dimensi akuntabilitas yang harus
dipenuhi dalam organisasi sektor publik, yang juga termasuk birokrasi, yakni :

• Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum


(accountabilityforprobityandlegality)

• Akuntabilitas Proses (processaccountability)

• Akuntabilitas Program (program accountability)

• Akuntabilitas Kebijakan (policyaccountability)

https://an-nur.ac.id/good-and-clean-governance-pengertian-prinsip-dan-manfaatnya/

Anda mungkin juga menyukai