Pemerintahan yang bersih dan demokratis merupakan sebuah keniscayaan dari berlakunya nilai-nilai de
mokrasi dan masyarakat madani pada level kekuasaan Negara. Nilai-nilai masyrakat madani (civil societ
y) tidak hanya dikembangkan dalam masyarakat (individu, keluarga, dan komunitas), tetai juga harus di
kembangkan pada level Negara (civil state). Sehingga system kenegaraan yang dibangun menjunjung ti
nggi nilai-nilai demokrasi dalam perwujudan masyarakat madani, termasuk system pemerintahan yang
demokratis dan bersih. Keduanya, kekuatan sipil (masyarakat) dan Negara (state), saling mendukung d
alam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
Dalam era menuju demokrasi di Indonesia, Negara yang selama ini cukup hegemonik atas kekuatan sipil
(masyarakat) sudah saatnya mengembangkan budaya demokrasi. Sinergi antara kekuatan Negara dan k
ekuatan sipil sangat dibutuhkan, karena keduanya memang saling mendukung.
PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Secara sederhana, pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para
pelaku yang terlibat di dalam nya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kor
upsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang
tidak legal. Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegal
pula (melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah pem
anfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga atau kerabat
dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain. Pemerintahan yang penuh dengan gejala
KKN biasanya tergolong ke dalam pemerintahan yang tidak bersih, dan demikian pula sebaliknya.
Sejak Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi di tahun 1999, citra negeri ini di dunia interna
sional terus terpuruk. Antara tahun 1999 hingga 2003, Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tingkat
korupsi yang sangat buruk, bahkan paling buruk di seluruh asia. Agar pemerintahan bebas dari rongrong
an KKN, maka para pejabat pemerintahan dan politis, baik di eksekutif, birokrasi, maupun badan legislat
ive, pusat maupun daerah, hendaknya mengindahkan nilai-nilai molaritas. Adapun sikap-sikap moral ter
sebut adalah kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain, menjauhkan diri dari tindakan melanggar ho
kum, kesediaan berkorban demi kemuliaan lembaga dan masyarakatnya, dn keberanian membawa pesa
n-pesan moral dalam kehidupan sehari-harinya sebagai pejabat dan politisi pemerintah.
Sudah barang tentu, molaritas politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan pemerintahan yang bers
ih dari pelanggaran moralitas atau etika politik, tetapi diperlukan sebuah system politik dan hokum yang
egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistematik masyarakat madani. Pejabat Negara/pemerintah
menduduki posisi yang sama dengan rakyat di hadapan hukum. Tidak ada satupun pejabat pemerintah
yang kebal (immune) terhadap hukum. Dengan system hukum yang egaliter dan adil itulah pemerintaha
n yang bersih dapat diwujudkan, dan pemerintahan yang berwibawa bisa ditegakkan.
Untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan berbagai kondisi dan mekanis
me hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik. Tentunya, budaya demokrasip
un perlu dikembangkan dalam proses pemerintahan negeri ini, sehingga terwujud pula pemerintahan ya
ng demokratis. Berikut ini akan dipaparkan beberapa kondisi dan mekanisme hubungan kepemerintahan
yang diperlukan untuk menopang kerangka sistematik pemerintahan yang bersih dan demokratis untuk
mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
SISTEM DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN
Untuk mengembangkan budaya demokrasi dalam pemerintahan diperlukan system yang demokratis pul
a untuk mengelola proses pemerintahan melalui mekanisme yang demokratis. Setidaknya menurut peng
alaman politik di berbagai Negara, ada beberapa system yang dikembangkan dalam mekanisme pengelo
laan proses pemerintahan.
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Salah satu system pemerintahan yang dikenal dan dipraktekkan di banyak Negara adalah system parle
menter. Prinsip utama dari system parlementer adalah adanya fusi kekuasaan eksekutif dan legislatif.
2. Sistem Presidensial
Sistem ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mend
apatkan mandate langsung dari rakyat. Bandinglkan dengan system parlementer, dimana perdana ment
ri mendapatkan mendatnya tidak langsung dari rakyat tetapi dari partai mayoritas di parlemen.
3. Kekuasaan Eksekutif Terbatas.
Persoalan mendasar baik dalam system parlementer maupun presidensial adalah sejauh mana masyarak
at memberi batasan bagi kekuasaan eksekutif. Apapun system politik yang diterapkan jika masyarakat
masih menoleransi kekuasaan eksekutif yang tidak terbatas, eksekutif cenderung melakukan sentralisasi
kekuasaan . proses sentralisasi kekuasaan yang tidak terbendung akan menghasilkan sebuah pemerinta
han yang otoriter. Bentuk pemerintahan inilah yang kondusif bagi terjadinya berbagai tindakan penindas
an terhadap hak-hak rakyat, termasuk didalamnya penculikan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan ya
ng dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Oleh karena itu konstitusi harus dengan jelas m
embatasi kekuasaan eksekutif.