Anda di halaman 1dari 4

SUPREMASI HUKUM DAN KEDAULATAN

RAKYAT
Oleh: A. Kahar Maranjaya
Pendahuluan
Penyelenggaraan negara mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan untuk
mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan tujuan nasional dan menegakkan
hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun, penyelenggara negara tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan,
wewenang dan tanggungjawab pada Presiden. Kekuasaan Presiden begitu besar, karena
sistem yang dianut membuka peluang untuk itu dimana presiden mempunyai juga
kekuasaan di bidang legislatif, yudikatif, administratif, diplomatik dan militer. Di
samping itu infrastruktur politik belum sepenuhnya berperanserta dalam menjalankan
fungsi kontrol yang efektif terhadap penyelenggara negara.
Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab pada Presiden tidak hanya
memberi dampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter
serta bidang hukum, antara lain terjadinya penyelenggara negara yang lebih
menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap timbulnya Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang menempatkan posisi hukum kita pada posisi yang
tidak memberi perlindungan kepada masyarakat di mana adanya kesenjangan antara
hukum sebagai teori (das sollen) dan hukum sebagai empiris (das sein).
Negara Hukum.
Konsep negara hukum merupakan konsep yang sangat populer dalam perkembangan
negara-negara modern, dalam sejarah dikenal dua konsep yang sangat berpengaruh
berkenaan dengan negara hukum, yaitu rechtstaat dan the rule of law.
Istilah rechtstaat mulai populer di Eropa sejak abat XIX meskipun pemikiran tentang itu
sudah lama menjadi wacara. Sementara istilah the rule of law mulai populer dengan
terbitnya buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the study
of law of the constitution.
Dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya terdapat perbedaan antara
konsep rechtstaat dan konsep rule of law, meskipun dalam perkembangan dewasa ini
tidak lagi dipermasalahkan perbedaan keduanya karena pada dasarnya kedua konsep itu
mengarah pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak dasar. Konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of the law berkembang secara evolusioner.
Para pendiri bangsa Indonesia telah merumuskan dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka. Jika diperhatikan rumusan tersebut mengandung pengakuan atas dua
unsur pokok yaitu: Hukum dan Kekuasaan. Kedua unsur ini dalam penyelenggaraan
negara tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena di dalam kenyataan, hukum tidak
dapat ditegakkan tanpa ada kekuasaan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum dapat
melenceng ke arah negara totaliter atau otokrasi dan anarkhis yang dapat membahayakan
keutuhan negara kesatuan RI.

Kalau kita bicara tentang pemerintahan, perlu disadari bahwa pemerintahan adalah salah
satu dari tiga unsur dari negara di samping rakyat dan wilayah tertentu. Negara pada
hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan. Kekuasaan sifatnya netral dan akan
menjadi positif atau negatif banyak tergantung kepada orang atau rezim yang memegang
kekuasaan itu. Oleh sebab itu orang sering mengatakan power tend to corroup atau
kekuasaan cenderung korup. Dalam konteks ini kita jumpai suatu ungkapan klasik yang
mengandung ajaran bijak: politeae legibus non leges politiis adoptandae atau
politics are to be adopted to the laws, and not the laws to politics. Artinya jika kita
ingin memiliki pemerintahan yang baik, maka politik wajib tunduk kepada hukum, bukan
sebaliknya hukum harus tunduk pada politik. Bila ini yang diterapkan maka yang ada di
dalamnya hanyalah negara kekuasaan.
Harus kita akui bahwa hukum merupakan produk politik, hal ini membawa kita kepada
hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum
tertentu pula. Misalnya konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk
hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang
otoriter (non demokratis) akan melahirkan produk hukum yang berkarakter
konservatif/ortodoks atau menindas.
a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi
berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan
negara.
b. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada
posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak
teragregasi dan terartikulasi secara profesional.
c. Produk hukum responsif atau otonom adalah produk hukum yang karakternya
mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu ataupun berbagai
kelompok sosial di dalam masyarakat, sehingga lebih mampu mencerminkan rasa
keadilan di dalam masyarakat.
d. Produk hukum konservatif/ortodok adalah produk hukum yang karakternya
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya
tidak mengandung partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
Atas dasar itu tiap substansi produk hukum akan tampak kepentingan-kepentingan dari
penguasa, namun demikian produk hukum harus terikat oleh syarat-syarat dasar
rechtstaat, seperti:
1. Legalitas, asas yang mengharuskan setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan
atas dasar peraturan perundang-undangan.
2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak
boleh bertumpu hanya pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (groundrechten), hak dasar merupakan sarana perlindungan hukum
bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang.
4. Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas
untuk menguji keabsahan tindak pemerintah.
Sadar atau tidak sadar, telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelecehan hukum,
pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum masyarakat.
Berangkat dari pengalaman panjang perjalanan sejarah bangsa itu dan dalam menghadapi
masa depan yang penuh tantangan, maka kita sebagai bangsa telah sampai kepada

kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan negara, supremasi hukum haruslah ditegakkan


atas asas kedaulatan rakyat, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka penyelenggara
negara harus dikembalikan dalam konsep kedaulatan rakyat, yang menurut hemat kami
dapat dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Semua orang yang menjadi anggota Badan Perwakilan Rakyat harus dipilih oleh
rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui suatu pemilihan umum yang
diselenggarakan secara demokratis, jujur dan adil. Dengan demikian tidak ada
seorangpun yang duduk dalam BPR yang tidak dipilih oleh rakyat.
2. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat harus mendistribusikan lebih
lanjut kedaulatan rakyat itu kepada lembaga-lembaga negara lainnya seperti:
a. Kedaulatan rakyat di bidang Legislatif kepada DPR.
b. Kedaulatan rakyat di bidang Eksekutif kepada Presiden.
c. Kedaulatan rakyat di bidang Yudikatif kepada Mahkamah Agung.
d. Kedaulatan rakyat di bidang Konsultatif kepada DPA.
e. Kedaulatan rakyat di bidang Inspektif kepada BPK.
Konsekuensi dari pelimpahan itu akan terjadi atau adanya pertanggungjawaban dari
penerima mandat kepada pemberi mandat, mekanisme tentang ini telah diakomodir
melalui Tap MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR yaitu adanya sidang tahunan MPR
yang akan mendengar laporan pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tinggi negara. Selain
itu sudah selayaknya pula ketua dan para anggota lembaga tinggi negara itu ditentukan
oleh MPR.
3. Pembangunan hukum yang dilaksanakan di Indonesia selama ini bertumpu pada lima
pilar, yaitu:
a. Materi Hukum- dilakukan melalui upaya percepatan transformasi sistem hukum
dalam tataran normatif dan empiris, dari yang masih tradisional (sebagai warisan
masa kolonial) dan plural, menuju ke arah sistem hukum yang responsif dan
tunggal demi untuk menjamin tercapainya kepastian hukum.
b. Apparatur Hukum aparatur hukum harus dilandasi dengan kualitas moral dan
etik guna mengayomi masyarakat, disamping
kemampuan penyuluhan,
penerapan, dan keteladanan aparat hukum harus ditingkatkan agar tercapai
kesadaran hukum masyarakat.
c. Sarana dan prasana hukum- tersedianya sarana dan prasana hukum dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat, yang cepat dan murah, disamping
masyarakat dapat ekses langsung ke informasi hukum.
d. Budaya hukum- Keteladanan penyelenggara negara menjadi panutan bagi
masyarakat dalam peransertanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
e. Hak-hak asai manusia-HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
penegakan supremasi hukum.
4. Amandemen terhadap UUD 1945 perlu terus dilakukan terutama terhadap ketentuan
yang dapat menimbulkan interpretasi misalnya menetapkan institusi TNI/Polri dan
Bank Indonesia sebagai organ negara, sehingga tertutup peluang bagi Presiden untuk
memanfaatkan institusi tersebut sebagai alat kekuasaannya, disamping itu peraturan
perundang-undangan di bawahnya harus dipertegas khususnya tentang hubungan dan
tata kerja antar lembaga negara.

Penutup
1. Kelemahan Sumber Daya Manusia Hukum. Suatu kajian yang dilakukan oleh
organisasi Dekan-Dekan Fakultas Hukum (Konsorsium Ilmu Hukum) dalam tahun
1990 agar Depdiknas meningkatkan kurikulum inti dari program studi ilmu hukumapakah kurikulum sudah sesuai dengan tuntutan masa depan? Di samping berbagai
pelatihan tambahan bagi para dosen. Profesi hukum yang diisi dari lingkungan
Sarjana Hukum untuk berbagai posisi dihadapkan pada masalah kualitas yang
beraneka ragam karena tidak ada rekruitmen yang memadai, maka tidak ada jaminan
bahwa hanya Sarjana Hukum yang terbaik saja yang terjun ke dalam profesi hukum.
2. Kelemahan sistem peradilan. Penghargaan masyarakat terhadap sistem hukum akan
datang dari pelayanan pengadilan. Masyarakat menganggap pengadilan telah gagal
mewujudkan harapan mereka sebagai benteng terakhir terhadap ketidak adilan.
Perkara pengadilan dilaksanakan tidak efesien dan prosedur putusan hakim tidak
transparan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya rasa hormat terhadap sistem
peradilan dan tuduhan bahwa pengadilan melakukan korupsi, kolusi dan politisasi.
Dengan adanya akuntabilitas maka putusan pengadilan yang kontraversial dapat
dimintakan pertanggungjawaban.
3. Kami mengusulkan dan mengharapkan agar mata kuliah Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan dapat memberi nuansa nilai-nilai etik dan moral agama Islam.
4. Melalui amandemen UUD 1945 dapat merupakan awal penegakan supremasi hukum
di mana kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara dapat diletakkan
secara proporsional. Akan lebih baik kalau MPR dapat membuat UUD yang baru
Penulis dosen Fakultas Hukum UMJ dan Anggota LPSH & HAM PP Muhammadiyah.
Sumber: SM-06-2002

Anda mungkin juga menyukai