Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN 13 :

TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN


BERSIH ( GOOD AND CLEAN GOVERNANCE )

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Memahami pengertian good governance. Memahami pentingnya prinsip-prinsip good


governance dalam tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan menganalisa keterkaitan good
and clean governance dengan kinerja birokrasi pelayanan publik. Pada Bab ini, Saudara
diharapkan dapat :

1.1 Memahami tentang pengertian dan karakteristik Good and governance sebagai
suatu
wacana pemerintahan yang bersih dan baik.

1.2 Memahami prinsip-prinsip dasar yang menjadi aspek bagi terselenggaranya


Pemerintahan yang baik dan bersih.
1.3 Memahami dan melakukan perannya sebagai social Control terhadap transparansi
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih.
1.4 Memahami dan membuat suatu model pelayanan publik yang pro rakyat
berkenaan dengan reformasi birokrasi.

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:

Pengertian dan Karakteristik Good and Clean Governance sebagai suatu


wacana pemerintahan yang baik dan bersih

Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu politik. Ia
muncul pada awal 1990’an. Secara umum, istilah good and clean governance memiliki
pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat
mengarahkan, mempengaruhi, mengendalikan urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
atau dengan kata lain suatu system yang mengatur dan mengendalikan pemerintahan dengan
tujuan menggunakan dan melaksanakan kewenangan politik, ekonomi dan administratif agar
dapat diselenggarakan dengan baik. Oleh sebab itu dalam prakteknya, konsep good
governance harus mendapat dukungan komitmen dari semua pihak yaitu negara
(state)/pemerintah (government), swasta (private) dan masyarakat (society).
Manfaat yang akan didapat dengan adanya good governance ialah:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan pemerintahan melalui pengelolaan yang
didasarkan pada aspek transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta
kesetaraan dan kewajaran.
2. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial masyarakat.
3. Meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
Pelaksanaan good governance yang benar-benar jadi tantangan ialah dengan otonomi Daerah.
Bagaimana refunctioning kewenangan-kewenangan pusat daerah. Kemudian reposisi dari
para pegawai ke daerah-daerah. Di sesuaikan dengan kemampuan pendanaan daerah baik dari
taxing power dan dari tax share.
Di Indonesia, substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di
mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah
negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik dan ekonomi. Dalam
prakteknya, pemerintahan yang bersih (clean governance) adalah model pemerintahan yang
efektif, efisien, jujur, transparan dan bertanggung jawab.

Karakteristik Good Government


Ada tiga karakteristik dasar good governance, yaitu :
1.Diakuinya semangat pluralisme.
Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga
mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas
merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan
motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat
perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang
kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas
parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.

2.Tingginya sikap toleransi


Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana,
Toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan
pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, ’’Quraish Shihab’’ menyatakan bahwa agama
tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling
menghormati.

3.Tegaknya prinsip demokrasi


Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu
pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan
masyarakat yang semakin sejahtera. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang
tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi,
mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan,
akhlak, beradab dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat
keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan
lembaga masyarakat.

Tujuan Pembelajaran 1.2:

Prinsip-prinsip dasar yang menjadi aspek bagi terselenggaranya tata kelola


pemerintahan yang baik dan bersih

Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan
sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus diperhatikan, yaitu :

1.Partisipasi
Konsep partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang
diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam suatu
lingkungan kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan adanya proses antara dua atau lebih
pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut pembuatan keputusan,
rencana, atau kebijakan. Dalam pelayanan publik, partisipasi tidak hanya terjadi diantara
pihak pemerintah melalui birokrat yang kemudian membuat kebijakan mengenai bentuk
pelayanan yang akan diberikan, tetapi juga harus melibatkan masyarakat sehingga
mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam pelayanan
publik. Dalam hal ini, pemerintah melalui pihak birokrat harus berperan sebagai fasilitator
dan katalisator yang memberikan pelayanan terbaik yang memang sesuai. Tujuan utama dari
adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang sama dan berbeda
dalam suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang
terlibat dan terpengaruh. Keterlibatan masyarakat lebih kepada pengharapan akan
tertampungnya berbagai aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan
oleh birokrat selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk
mengedepankan keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun pembuatan
kebijakan, serta juga sebagai pengawas kinerja pelayanan. Adapun criteria yang perlu
dipenuhi dalam pengaplikasian pendekatan partisipatif ini (Lijan Poltak Sinambela, 2006),
menyangkut :
1. Pelibatan seluruh stake holder untuk setiap arena perumusan dan penetapan
kebijakan.
2. Penguatan institusi-institusi masyarakat yang legitimate untuk menyuarakan
seluruh aspirasi yang berkembang.
3. Penciptaan proses-proses politik yang negosiatif untuk menentukan prioritas atas
collective agreement.
4. Mendorong pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran kolektif sebagai
bagian dari proses demokrasi.

2. Rule Of Low
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, yang mengatur hak-
hak manusia yang berarti adanya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994),
supremasi hukum mengandung arti :
1. Suatu tindakan hukum hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan
aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya dapat
dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benar-benar menghendaki atau
penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang berlaku
dalam masyarakat (principles of natural justice)
2. Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi
maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya.

3.Transparansi
Adanya keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang
berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha, terutama para
pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan informasi terhadap publik.
Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik adalah dalam masalah transparansi
sendiri. Dalam organisasi swasta, keterbukaan informasi bukanlah suatu hal yang menjadi
harus. Banyak hal yang dirasa harus dirahasiakan dari publik dan hanya terbuka untuk
beberapa pihak. Sementara itu, organisasi publik yang bergerak atas nama publik
mengharuskan adanya keterbukaan agar dapat menilai kinerja pelayanan yang diberikan.
Dengan begini, akan terlihat bagaimana suatu system yang berjalan dalam organisasi
tersebut.

4. Responsif (responsifnes)
Responsif berarti cepat tanggap. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang menjadi
kepentingan public (public interest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi
dalam memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu model
pelayanan. Masyarakat adalah sosok yang kepentingannya tidak bisa disamakan secara
keseluruhan dan pada saatnya akan merasakan suatu kebosanan dengan hal yang stagnan atau
tidak ada perubahan, termasuk dalam pemberian pelayanan. Masyarakat selalu akan menuntut
suatu proses yang lebih mudah/simple dalam memenuhi berbagai kepentingannya. Oleh
karena itu, Birokrasi harus dengan segera mampu membaca apa yang menjadi kebutuhan
publik.

5. Berorientasi pada kesepakatan (concensus orientation)


Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan
hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan konsep
partisipatif dimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan secara bersama
mengenai hal pelayanan publik.
6. Kesetaraan (equality)
Keadilan berarti semua orang (masyarakat), baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan
kaya memilik kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini,
birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani pihak-pihak yang
dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus dipersulit dalam
pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali. Konsep keadilan masih terlihat sulit diterpakan
dalam pelayanan publik di Indonesia. Hal ini bisa dipengaruhi karena konflik kepentingan
birokrasi.

7. Efektif dan efisien


Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam
mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan
publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani masyarakat seefektif
mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa diminimalisir tanpa
mengurangi efektivitasnya.

8. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti tanggung gugat yang merupakan kewajiban untuk member
pertanggungjawaban dan berani untuk ditanggung gugat atas kinerja atau tindakan dalam
suatu organisasi. Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah
efektifkah prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersbut, sudah sesuaikah
pengaplikasiannya, dan bagaiman dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain. Dalam
birokrasi, akuntabilitas yang berarti akuntabilitas publik menjadi sesuatu yang sepertinya
menjadi sosok yang menakutkan. Hal ini tentunya disadari dari ketidakjelasan atas kinerja
birokrat itu sendiri. Namun, ternyata, banyak cara yang sering dilakukan para birokrat dalam
menutupi kesalahan sehingga akuntabilitasnya terlihat baik. Menurut Turner dan Hulme
(Mardiasmo, 2002), menerapkan akuntabilitas memang sangatlah sulit, bahkan lebih sulit
dalam memberantas korupsi. Akuntabilitas saat ini menjadi konsep utama yang harus
diterapkan dalam organisasi publik dalam mendongkrak kinerja mereka tentunya. Tuntutan
akan akuntabilitas tidak hanya menekankan pada tanggung gugat secara vertikal dalam arti
antara bawahan terhadap atasan, tetapi juga secara horisontal yang berarti terhadap
masyarakat. Elwood (Mardiasmo,2002) menyatakan bahwa ada empat dimensi akuntabilitas
yang harus dipenuhi dalam organisasi sektor publik, yang juga termasuk birokrasi, yakni;
 Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and
legality)

 Akuntabilitas Proses (process accountability)

 Akuntabilitas Program (program accountability)

 Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability)

9. Strategic vision
Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah
dan masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar terciptanya
keselarasan dan integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan latar belakang
sejarah, kondisi sosial, dan budaya masyarakat.

Tujuan Pembelajaran 1.3:


Peran social control terhadap transparansi tata kelola pemerintahan yang baik
dan bersih

Clean government berasal dari kata bahasa Inggris yang bila diterjemahkan secara
harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “pemerintah yang bersih”. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pemerintah adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul
tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan; menjalankan wewenang dan
kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-
bagiannya. Istilah clean government pada dasarnya menunjukkan pada penyelenggara
pemerintahan yang mendapatkan amanat dan tanggung jawab bersama elemen terkait untuk
merumuskan kebijakan dan melakukan tindakan atau cara untuk mengarahkan,
mengendalikan dan menyelesaikan masalah masyarakat dalam suatu negara.
Dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun
1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme,
berkaitan dengan clean government, disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah:
1. Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif
2. Pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif
3. Pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif
4. Pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan ketentuan clean government sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat
(7) UU No. 28 tahun 1999 adalah penyelenggara negara yang :
1. Menaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang bersih.
2. Bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
3. Bebas dari perbuatan tercela lainnya.
4. Menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum.
Merujuk pada kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat di artikan clean government
sebagai para penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pejabat
lain yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan suatu negara yang menaati
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih, serta memiliki iktikad baik untuk
membangun negara dan bangsanya dengan tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan,
kepatutan dan norma hukum.

Adapun asas-asas umum penyelenggaraan clean government adalah :


1. Asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan peraturan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi,
golongan dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegangn kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan clean government yang kedua menyebutkan tentang penyelenggara
negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan, dalam literatur lain, istilah
clean government hanya dikonsepsikan sebagai pemerintah yang bersih dari unsur KKN.
Doddy Wuryanto misalnya, memandang agenda clean government dari perspektif
pemberantasan korupsi. Hal tersebut menandakan pentingnya unsur ini sebagai karakter
utama pemerintah yang bersih yang dapat diukur dengan tolak ukur yang jelas.
Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan
dari implementasi good and clean governance. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pengelolaan lembaga pemerintahan pada akhirnya melahirkan kontrol masyarakat terhadap
jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good and clean governance, setidaknya dapat
dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni :
1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, dan DPRD).
Dalam rangka peningkatan fungsi sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain
melakukan check and balances, lembaga legislatif harus pula mampu menyerap dan
mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2. Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa berdasarkan prinsip good and clean governance peningkatan
profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak
dilakukan, karena aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang
menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.
3. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur
negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayan rakyat) harus dibarengi
dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan
pelayanan birokrasi secara cepat, efektif dan berkualitas.
4. Penguatan partisipasi Masyarakat Madani ( civil society ). Peningkatan partisipasi
masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam merealisasikan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada
dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.
5. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip clean and good governance, kebijakan otonomi daerah
dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang
menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah


memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan
masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan
NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat
diwujudkan secara cepat guna mendorong kemandirian masyarakat.

Pemerintahan dan moralitas


Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan baik tidak terlepas dari moralitas para
penyelenggaranya. Moral menjadi kontrol utama dalam kegiatan penyelenggaraan yang
berorientasi bagi kepentingan rakyat. Moralitas bersifat naturalistik, dalam arti bahwa
moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai
amat peduli akan pencapaian hidup yang baik. Moralitas juga bersifat rasionalistik dan
objektivistik, dalam arti percaya dan percaya dan meyakini akan adanya wujud kebenaran
yang obyektif, dan bahwa akal budi merupakan sumber pengetahuan yang benar dari
kebenaran moralitas (William M. Kurtines, 1992).
Pendapat yang mengkaitkan pemerintahan dan moralitas memiliki latar belakang
tersendiri. Imam Alghozali salah seorang cendikiawan Islam, mengemukakan teori yang
menggabungkan negara dengan moralitas yang dikenal dengan Siyasatul Akhlaq atau negara
moral. Pendapat ini memiliki kemiripan dengan pendapat para tokoh kristen Augustinus yang
diperkuat oleh Thomas Aquinas tentang negara tuhan (civita dei).
Seiring dengan teori Alghozali bila dicermati fenomena sosiologis bangsa Indonesia
akan ditemukan dua kecenderungan yang saling berlawanan:
1. Bangsa Indonesia menyebut dirinya sebagai bangsa yang relijius yang ditunjukan
dengan simbol-simbol yang sangant jelas, dimana setiap penduduk negeri ini
menyatakan keagamaannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembangunan
tempat ibadah yang seolah berlomba antara satu dengan lainnya, dan dari tempat-
tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan melakukan kebaikan, dan
banyak kegiatan lain yang menunjukan simbol keagamaan, menunjukan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis.
2. Fenomena yang bertolak belakang dan berseberangan dengan gambaran suasana dan
gambaran suasana dan nuansa keagamaan diatas. Sering kita melihat pelanggaran
moral yang di anggap remeh walaupun ajaran agama yang di anutnya mengecam
perilaku tersebut dengan ancaman yang ringan hingga ketingkat yang sangat keras.
Sekecil apapun pelanggaran moral, bila hal itu menggejala dan sampai menjadi
budaya, maka akan merapuhkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

Contoh yang paling menggelisahkan bangsa Indonesia adalah adanya kecenderungan untuk
berbuat korup dan menyalahkan gunakan kekuasaan. Sejarah Indonesia selama beberapa
dekade ini sarat dengan muatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Atribut-atribut
mulia keagamaan di koyakkan oleh perilaku korup dan penyalahguanaan wewenang dalam
birokrasi.
Dari yang kita pelajari pada pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1).Pendidikan dan moralitas merupakan dua pilar yang sangat penting bagi teguh dan
kokohnya suatu bangsa. Pendidikan merupakan suatu proses panjang dalam rangka
mengantarkan manusia menjadi seseorang yang memiliki kekuatan intelekual dan spiritual,
seihingga dapat meningkatkan kualitas diri dalam segala aspek kehidupan yang memiliki
tujuan pasti.

2).Krisis moral yang berkembang dalam masyarakat suatu bangsa akan sangat berbahaya bagi
kehidupan. Bahaya tersebut antara lain lahirnya budaya tamak dan korup yang akan
berakibatn pada tindakan penyalahgunaan wewenag dalam pemerintahan.

3).Pendidikan dan pencerahan moral merupakan tanggung jawab semua pihak. Namun secara
spesifik pendidik memiliki tugas khusus untuk menunjukan kemampuan prima melihat
moralitas bangsa serta mencarikan solusi-solusi yang arif dan realistis guna menghindari
bangsa ini dari kehancuran. Sifat buruk yang terdapat dalam diri seseorang harus dilawan
dengan ilmu dan akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan ajaran agama.

Tujuan Pembelajaran 1.4:


Pelayanan publik yang pro rakyat berkenaan dengan reformasi birokrasi

Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah,
pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau
tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masyarakat. Dengan
demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan hanya
instansi pemerintah, melainkan juga pihak swasta.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma ataupun
disertai dengan pembayaran. Pelayanan publik yang bersifat cuma-cuma sebenarnya
merupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Adapun,
pemberian pelayanan publik yang disertai dengan penarikan pembayaran, penentuan tarifnya
didasarkan pada harga pasar ataupun menurut harga yang paling terjangkau bukan
berdasarkan ketentuan sepihak aparat atau instansi pemerintah.
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan dan penerapan good and clean governance di Indonesia. Pertama, pelayanan
publik selama ini menjadi area di mana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan
lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya
dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi; kedua, pelayanan publik adalah wilayah di
mana berbagai aspek good and clean governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah;
ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu pemerintah,
masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi titik pangkal
efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-
elemen indikator sebagai berikut :
1. Indikator masukan ( input ) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang
meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan sebagainya.
2. Indikator proses ( process ), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses
pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan
pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yanag
berupa fisik atau nonfisik.
3. Indikator produk ( output ), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai
dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau nonfisik.
4. Indikator hasil ( outcomes ) adalah segala sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5. Indikator manfaat ( benefit ), adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir
dari pelaksanaan kegiatan
6. Indikator dampak ( impacts ) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif
maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang
ditetapkan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi


Faktor-faktor yang memempengaruhi kinerja birokrasi antara lain : manajemen organisasi
dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi; budaya kerja; dan organisasi
pada birokrasi; kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi; Kepemimpinan
birokrasi yang efektif; koordinasi kerja pada birokrasi.

C. SOAL LATIHAN / TUGAS


1. Bagaimana peran lembaga pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan
good and clean governance di Indonesia, jelaskan !
2. Menurut pendapat Saudara, bagaimana membangun birokrasi pemerintahan pusat
dan daerah yang efektif dalam pelayanan public !
3. Jelaskan, apakah prinsip-prinsip good and clean governance dapat menjamin
pelaksanaan Hak Asasi Manusia !

D. DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, Suko Susilo, Demokrasi & HAM, Jenggala Pustaka Utama, 2006
Bintoro Tjoroamijoyo, Good Governance, LAN, 2002
Denny Indrayana, Indonesia Optimis, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2011
Eko Prasojo, As’ad Nugroho, Erry RH dkk, Mengurai Benang Kusut Birokrasi,
Piramedia, 2006
H. Hartono Mardjono, Negara Hukum Yang Demoratis Sebagai Landasan Membangun
Indonesia Baru, Yayasan Koridor Pengabdian, 2001
M. Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, 2008
M. Mahfud M.D, Amandemen Konstitusi menuju Reformaasi Tata Negara, 1999

Anda mungkin juga menyukai