Anda di halaman 1dari 11

KD. 2.23.

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN SESUAI KARAKTERISTIK


GOOD GOVERNANCE
A. Pengertian Good Governance
Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang solid dan bertanggungjawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan mencegah korupsi, baik secara
politik maupun secara administratif, serta menjalankan disiplin anggaran.

Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik) pada dasarnya adalah
suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan
(konsensus) oleh Pemerintah, warga negara, dan lembaga swasta dalam
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, dan pelaksanaannya dapat
dipertanggungjawab-kan secara bersama.

Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar-benar dirintis dan diterapkan


sejak meletusnya era Reformasi, dimana pada era tersebut telah terjadi
perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang
bersih, sehingga Good Governance merupakan salah satu syarat yang harus
diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari
perkembangan Reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun ini,
penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya sesuai dengan cita-cita Reformasi sebelumnya. Karena masih
banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran
dan akuntansi yang merupakan 2 (dua) produk utama Good Governance.
B. Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami Good Governance adalah pemahaman atas prinsip-
prinsip didalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur
kinerja suatu pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai, bila telah
bersinggungan dengan prinsip-prinsip Good Governance, sebagai berikut :
1. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat memiliki suara dalam pengambilan keputusan,
baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang
mewakili suara/kepentingan mereka. Partisipasi tersebut dibangun
berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, serta
kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bertujuan
untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan
aspirasi masyarakat.

2. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)


Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan
kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum.
Sehubungan dengan itu, dalam proses mewujudkan cita-cita Good
Governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan Rule
of Law. Kerangka hukum harus adil (melindungi hak setiap orang) dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum
yang menyangkut HAM.
3. Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan
yang diambil oleh Pemerintah. Prinsip tranparansi menciptakan
kepercayaan timbal balik antara Pemerintah dengan masyarakat melalui
penyediaan media informasi dan menjamin kemudahan didalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, agar dapat dimengerti dan dipantau
oleh masyarakat. Dengan bertambahnya wawasan dan pengetahuan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, diharapkan akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah,
meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan.

4. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha


Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini,
Stakeholder memiliki tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana
Good Governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing
lembaganya. Pelaksanaan Good Governance secara benar dan konsisten
bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang
seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga. Dunia Usaha (pihak perusahaan
sebagai bagian dari masyarakat luas, memiliki kewajiban untuk
memberikan kontribusinya. Praktek Good Governance harus menjadi
panduan/acuan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan
dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan (mengarah pada
bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan Stakeholder lainnya,
termasuk didalamnya publik).

5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus)


Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah melalui Konsensus. Model ini selain dapat memuaskan
semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan
yang mengikat dan milik bersama, sehingga dia akan memiliki “kekuatan
memaksa” (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini harus dikembangkan
dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka
kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan semakin banyak
aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata pemerintahan
yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu consensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik
bagi masyarakat.
6. Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua
warga masyarakat memiliki kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan
kepercayaan timbal balik antara Pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh
informasi yang akurat dan memadai tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah perlu mendayagunakan
berbagai media informasi, seperti : brosur, pengumuman melalui TV,
Radio, dll.

7. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)


Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah dijabarkan di atas,
Pemerintah yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan
efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektif biasanya
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-
besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan
sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat
pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang
sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional
dan terukur dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada
seoptimal mungkin. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka
harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah,
karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kepercayaan untuk mengurusi
kepentingan mereka. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan
perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan
akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan
sistem pemantaun kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem
pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.

9. Visi Strategis (Strategic Vision)


Visi Strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi
masa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik
dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang
dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka
juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya,
dan sosial yang menjadi dasar perspektif tersebut.
Berlakunya prinsip-prinsip atau karaktersitik Good Governance di atas,
biasanya menjadi jaminan untuk :
1. Meminimalkan terjadinya tindakan korupsi.
2. Pandangan/kepentingan kelompok minoritas terwakili dan
dipertimbangkan.
3. Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah didengarkan dalam
pengambilan keputusan.

4. Beberapa Permasalahan Penerapan Good Governance di Indonesia


Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Good Governance di Indonesia
mulai benar-benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi,
namun hingga saat ini penerapan Good Governance di Indonesia belum
dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai cita-cita Reformasi. Secara
garis besar, permasalahan penerapan Good Governance, meliputi :
1. Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2. Tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3. Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek
KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara;
4. Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam
kebijakan publik;
5. Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik, al : transparansi, akuntabilitas, dan kualitas kinerja publik serta taat
pada hukum.
6. Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggungjawab, kewenangan
dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7. Rendahnya kinerja SDM dan kelembagaan aparatur, sistem
kelembagaan (organisasi), dan ketatalaksanaan (manajemen)
pemerintahan daerah yang belum memadai.

Akan tetapi hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang
dilakukan Pemerintah dalam menciptakan iklim Good Governance yang baik,
diantaranya ialah mulai diupayakan transparansi informasi terhadap publik
mengenai APBN sehinga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan
APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat menjadi acuan terhadap
akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan
kredibel ke depannya.

Undang-Undang, peraturan, lembaga-lembaga penunjang pelaksanaan Good


Governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangat berbeda jika
dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir
pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru yang sangat menghambat
lahirnya pemerintahan sesuai karakteristik Good Governance. Diterapkannya
Good Governance di Indonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam
sistem pemerintahan saja, akan tetapi hal tersebut juga mampu membawa
dampak positif terhadap Badan Usaha non-pemerintah, yaitu dengan lahirnya
Good Coorporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan
membawa bangsa Indonesia ke dalam pemerintahan yang bersih, berwibawa,
dan amanah.
5. Pelaksanaan Pemerintahan Indonesia sesuai karakteristik (konsep) Good
Governance
Ada beberapa wujud nyata konsep Good Governance, yaitu :
1. Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis), wujud
nyatanya dimana semua kegiatan pemerintahn di berbagai bidang dan
tingkatan seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas dan ada
jangka waktu pencapaiannya, serta dilengkapi strategi implementasi yang
tepat sasaran, manfaat, dan berkesinambungan.
2. Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan), wujud nyata prinsip
tersebut dapat dilihat apabila masyarakat memiliki kemudahan untuk
mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan,
program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di
Pusat maupun di Daerah.
3. Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat, wujud
nyatanya masyarakat ikut serta dalam proses perumusan dan/atau
pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi
masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat sangat diperlukan pada
setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
4. Tata pemerintahan yang bertanggungjawab (akuntabel), wujud nyatanya
Pemerintah beserta aparatur negara harus dapat mempertanggung-
jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Demikian pula dengan kebijakan, program, dan
kegiatan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan.
5. Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum, wujud nyata
prinsip ini mencakup upaya penuntasan/pemberantasan kasus KKN dan
pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran akan arti penting HAM, hukum
serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan
dengan menggunakan aturan-aturan yang terbuka dan jelas serta tidak
tunduk pada manipulasi politik.
6. Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada consensus,
wujud nyatanya tampak pada perumusan kebijakan pembangunan baik di
pusat maupun di daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan
tidak ditentukan sendiri oleh Eksekutif. Keputusan-keputusan yang
diambil harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan yang
diambil benar-benar melupakan keputusan bersama.
7. Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi,
wujud nyatanya dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi
yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme SDM
yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas SDM.
8. Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif), wujud nyatanya
dimana pemerintah harus cepat tanggap terhadap perubahan
situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi masyarakat, serta mengambil
prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
9. Tata pemerintahan yang terdesentrasilsasi (OTDA), wujud nyatanya
tampak dengan adanya pendelegasian tugas dan kewenangan antara
pusat dan daerah sehingga dapat mempercepat proses pengambilan
keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola
pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di
daerah.
10. Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha
(swasta) dan masyarakat, wujud nyatanya tampak dalam peningkatan
peran serta dunia usaha (swasta) dan masyarakat melalui pembentukan
kerjasama atau kemitraan antara Pemerintah, dunia usaha (swasta) dan
masyarakat. Hambatan birokrasi yang ada harus segera diatasi dengan
perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swata
dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu.

Anda mungkin juga menyukai