Anda di halaman 1dari 9

1113112000042 / Achmad Shidqi Maulana / ahmad.shidqi13@mhs.uinjkt.ac.

id

Good Governance tanpa Korupsi

Good Governance
Pengertian good governance sering diartikan sebagai pemerintahan yang baik. Good
governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptkan good governance
pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.1
World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manaejmen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan
pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administrasi, menjalankan disipin angaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.2
Good Governance dapat dimaknai sebagai konsensus antara pemerintah, masyarakat dan
sektor swasta untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bersama. Segala hal yang berkaitan
dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut didalam kehidupan sehari-
hari. Dalam konsep governance pemerintah menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi
aktor yang paling menentukan.
Penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang
sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, menghindai salah alokasi dana investasi,
mencegah korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan kerangka hukum dan politik bagi timbulnya aktivita kewiraswastaan.3
Keberadaan good governance di dunia politik tidak hanya membicarakan mengenai
masalah pemerintahan yang baik seperti apa, tetapi juga membicarakan mengenai hubungantiga
pilar yang tidak bisa di pisahkan yaitu pemerintah, pengusaha dan juga masyarakat. Ketiga pilar
ini memiliki posisi yang setara satu-sama lain. Ketiganya mempunyai peran masing-masing.
Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan

1
Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat & JPS. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h.
251
2
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Pubilk. (Yogyakarta: Andi, 2002), h. 18
3
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, (Jakarta:
Gramedia, 2010), h.156
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam
governance.

Menurut United Nations Development Program (UNDP) ada beberapa karakteristik atau
prinsip pokok Good Governance, yaitu:

1. Partisipasi, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui mediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.
2. Penegakkan Hukum, penegakkan hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparansi, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi, proses-proses,
lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. Jika tidak adanya
transparansi, Indonesia telahh terjerumus ke dalam korupsi yang sangat parah. Dalam
pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan
b. Kekayaan pejabat publik
c. Pemberian penghargaan
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e. Kesehatan
f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g. Keamanan dan ketertiban
h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehiupan masyarakat
4. Responsif, pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sesuai
dengan asas responsif, pemerintaah harus mempunyai dua etika, yaitu:
a. Etika individual
b. Etika sosial
5. Orientasi Kesepakatan, keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsensus.
6. Kesetaraan, semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Efektivitas dan efisiensi, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi
kriteria efektif fan efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna.
8. Akuntabilitas, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat bertanggung jawab pada publi. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi
dan sifat keputusan yang dibuat.
9. Visi strategis, para pemimpin dan publik harus mempunyai good governance dan
pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan
untuk pembangunan.4

Karakteristik good governance membuat keseimbangan kinerja antara pemerintahan


sebagai pelayan publik dan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Good governance
mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan lainnya.

Dalam pelaksanaan good governance, negara merupakan pihak yang paling berperan
dalam merealisasikan prinsip tersebut. Hal ini disebabkan fungsi regulasi yang memfasilitasi
sektor dunia usaha swasta dan masyarakat serta fungsi administratif peneyelenggaraan
pemerintahan melekat pada negara dan pemerintah. Oleh karena itu, perwujudan good
governance lebih tepat bila dimulai dengan membangun landasan penyelenggaraan negara yang
baik dan berpedoman pada hukum dan peraturan perundang-undangan.

Proses-proses pengambilan kebijakan di berbagai bidang utamanya yang berkaitan


langsung dengan kebijakan pembangungan dan pengelolaan anggaran haruslah selalu melibatkan
publik. Artinya, pemberantasan korupsi harus menjadi satu paket dengan perjuangan
menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan asas good governance.5

4
Ibid., h.156-158
5
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 17
Good Governance di Indonesia
Di Indonesia Upaya untuk mewujudkan good governance ini telah diatur dalam Tap MPR
No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan Undang-Undang No.25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004.6
Tap MPR Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. dalam ketetapan tersebut ditegaskan tentang konsep
pemerintahan yang baik sebagai berikut:

1. Menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat berdasarkan atas hukum dan


perlindungan hak asasi manusia
2. Menjamin kehidupan yang demokratis
3. Mewujudkan keadilan sosial
4. Menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak

Keempat tujuan pembangunan hukum tersebut di atas adalah tujuan yang sangat
fundamental sebagaimana dituangkan pada GBHN 1999 – 2004 yaitu tegaknya asas kedaulatan
rakyat atau yang lebih dikenal dengan istilah supremasi hukum.
Selanjutnya UU No.25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004 dirinci lima
prioritas pembangunan nasional sebagai berikut:
1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan.
2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik.
3. Mempercepat pemulihan ekonomi.
4. Membangun kesejahteraan rakyat.
5. Meningkatkan pembangunan daerah.
Untuk menjamin pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai syarat terciptanya
pemerintahan yang bersih, maka harus dipenuhi asas-asas seperti asas prosedural (fairness),
keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil kerja (disclosure), pertanggungjawaban
publik (accountability), kewajiban keter-bukaan kepada masyarakat (responsibility).

6
Henry Arianto, ”Implementasi Konsep Good Governance di Indonesia”, Jurnal Forum Ilmiah Indonusa, Vol 3 No.
2 Mei 2006, h. 26
Prinsip-prinsip dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dikenal di
Indonesia antara lain:7
1. Asas Kecermatan Formal.
2. Asas Fair Play.
3. Asas Pertimbangan.
4. Asas Kepastian Hukum Formal.
5. Asas Kepastian Hukum Material.
6. Asas Kepercayaan atau Asas Harapan-harapan yang Telah Ditimbulkan.
7. Asas Persamaan.
8. Asas Keseimbangan.
Dengan good governance, demokrasi akan menjadikan kehidupan lebih baik dan dengan
sendirinya bisa menekan korupsi. Karena korupsi sudah membudaya dan sistemik, maka
kebijakan pemberantasan korupsi yang bersifat local dan parsial tidak bisa lagi diandalkan.
Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan manajemen pemerintahan yang terbuka dengan
sistem yang akuntabel yang bisa menjamin asas pertanggungjawaban kepada publik.

Korupsi
Menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah “perilaku pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka”. Korupsi mengandung unsur-unsur: melawan hukum atau
melanggar hukum; menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada pada
pelaku korupsi karena jabatan atau kedudukannya; kerugian keuangan atau kekayaan atau
perekonomian negara; dan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. 8
Secara hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31
tahun 1999 jungto UU No. 20 tahun 2001. ”Korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang
dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap menyuap, penggelapan dalan jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi”.

7
Ibid., h. 26
8
M. Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia!, (Yogyakarta: PPSK Press, 2008), h. 177
Terjadinya korupsi disebabkan setidaknya tigal hal, antara lain; 9
Pertama, corruption by greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada orang yang
sebenarnya tidak butuh, tidak terdesak secara ekonomi, bahkan mungkin sudah kaya. Jabatan
tinggi, gaji besar, rumah mewah, popularitas menanjak, tetapi kerakusan yang tak terbendung
menyebabkannya terlibat korupsi.
Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi yang dilakukan karena keterdesakan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs). Misalnya, korupsi yang dilakukan
seseorang yang gajinya sangat rendah jauh di bawah standar upah minimum dan terdesak
memenuhi kebutuhan dasar tertentu, seperti membayar SPP anaknya yang masih bersekolah.
Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan karena adanya peluang
yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya melalui jalan pintas, peluang
cepat naik jabatan secara instant, dan sebagainya.
Menurut Robert Klitgaar ketika pemerintah sebagai pelayan masyarakat memiliki
kekuatan monopoli yang besar atas warga, memiliki tingkat diskresi yang besar, dan lemahnya
akuntabilitas maka akan timbul yang namanya korupsi. Faktor-faktor timbulnya korupsi di sektor
publik, yaitu:10

1. Adanya kekuatan monopoli yang dimiliki oleh pemerintah untuk dapat mengendalikan atau
mengakses sumber daya alam atau sumber daya manusia serta perundang-undangan.
2. Adanya wewenang yang dimiliki oleh pejabat publik membuka peluang untuk
disalahgunakan melakukan korupsi seperti adanya pungutan liar dalam penguruan perizinan.
3. Minimnya akuntabilittas dapat terlihat dari cara pengambilan keputusan dan tindakan yang
dilakukan oleh pejabat publik dan dapat diatasi melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Akuntabilitas terbagi menjadi tiga komponen penting, yaitu: partisipasi warga negara dalam
proses politik dan pemerintahan, birokrasi yang efektif, dan imlementasi peraturan
perundang-undangan.

9
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah. (Jakarta :
PSAP, 2006), h. 14
10
Loura Hardjaloka, “Studi Penerapan E-Government di Indonesia dan Negara Lainnya sebagai Solusi
Pemberantasan Korupsi di Sektor Publik”, Jurnal RechtsVinding, Vol.3 No.3, Desember 2014, h.436
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan budaya masyarakat, korupsi juga ikut
tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk dan jenis yang sangat beragam. Banyak
pakar yang berusaha mengelompokkan jenis-jenis korupsi, yaitu;11
Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha
kepada penguasa. Misalnya, untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau fasilitas
tertentu, seseorang menggunakan uang untuk menyogok pejabat yang berwenang.
Kedua, korupsi manipulatif, misalnya seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi
meminta kepada eksekutif maupun legislative untuk membuat peraturan atau UU yang
menguntungkan bagi usaha ekonominya, sekalipun usaha tersebut berdampak negatif bagi rakyat
banyak.
Ketiga, korupsi nepotistik, yakni korupsi yang terjadi karena ada ikatan kekeluargaan,
misalnya seseorang terlalu mementingkan istri, anak, manantu, keponakan untuk mendapatkan
fasilitas yang berlebihan dan tidak masuk akal.
Keempat, korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara
sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing, tentu dengan sejumlah keuntungan pribadi.

Persoalan korupsi nyaris menjadi hal yang biasa di Indonesia. Korupsi di Indonesia telah
menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal. Persoalan struktural karena telah melekat
dalam sistem pemerintahan, termasuk partai politik, institusi militer, aparatur penegak hokum
dan sebagainya dari pusat hingga bawah. Sedangkan persoalan kultural karena adanya kelaziman
kolektif yang telah diterima menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial.
Persoalan personal karena mentalitas korupsi yang menyatu dalam kepribadian orang Indonesia
pada umumnya.
Korupsi tidak memiliki hubungan dengan agama. Finlandia sebagai bagian dari negara-
negara Skandinavia yang dinilai paling bersih di dunia pada tahun 2004 dan penduduknya
merupakan masyarakat sekuler. Keberhasilan Finlandia dalam menjauhkan negaranya dari
korupsi adalah lebih terkait kedalam dua faktor yaitu political will pemerintahan yang kuat dan
karena masyarakat yang tidak toleransi terhadap korupsi.
Menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya pimpinan politik dapat mengambil tiga macam
kebijakan resmi guna memberantas atau paling tidak mengurangi korupsi.

11
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyahn h. 17-18
Pertama, merubah kebijakan yang mendorong orang atau memberikan kesempatan bagi terjadi-
nya korupsi. Kedua, menata kembali struktur penggajian dan insentif material lainnya yang
berlaku pada lembaga-lembaga administrasi-birokrasi dan institusi-institusi politik lainnya.
Ketiga, mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan, menegakkan hukum (law
enforcement) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan tergantung
pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif, dan
berkesinambungan.12
Berdasarkan rekomendasi yang diberikan World Bank tentang strategi untuk
pemberantasan korupsi secara komprehensif. Ada tiga komponen penting di dalamnya:
1. Membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian
yang menghargai kejujuran para pegawai negeri. Rekrutmen berdasarkan merit dan
sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mence-gah intervensi politik.
Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya
penggunaan dana publik secara arbitrari.
2. Menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi
dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam merumuskan kebijakan maupun
dalam mengelola keuangan.
3. Menegakkan akunta-bilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat pengawasan
dan menja-lankan mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga anti-korupsi dan publik
umumnya hendaklah juga member-dayakan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Ada tiga strategi memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan ini:
1. memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai,
pejabat dan politisi.
2. meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol tersebut bisa
berfungsi baik.
Keduanya memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta
lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan. Ini dapat dicapai
melalui kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan administratif, transparansi yang lebih besar
oleh pemerintah dan birokrasi dalam mengambil keputusan.

12
Azyumardi Azra, “Korupsi dalam Perspektif Good Governance”, Jurnal Kriminologi Indonesia”, Vol.2 No.1,
Januari 2002, h.34
3. mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk membe-rantas
korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi tentang konsep-konsep seperti “kantor publik”
dan “pelayanan publik” berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya
sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.

Keberhasilan dari konsep Good Governance pada setiap negara akan dapat terlihat pada
minimnya tingkat korupsi di negara tersebut. Karena prinsip-prinsip dari good governance
sendiri yang bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang bersih atau clean
governance.

Anda mungkin juga menyukai