Anda di halaman 1dari 10

1.

Analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi keberhasilan otonomi daerah di Indonesia

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No. 23 tahun 2014 pasal 1 ayat 6,
pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah otonomi daerah dimulai dari lahirnya UU Nomor 1 tahun 1945, dalam undang-
undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas, berumur lebih kurang tiga tahun
karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
Otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Penerapan otonomi
daerah menjadi salah satu wujud demokratisasi yang memberikan ruang terhadap partisipasi
masyarakat sipil dalam merespon permasalahan daerah.
Sejak tahun 2000 pelaksanaan otonomi daerah mulai terealisasi secara bertahap. Setelah
dilaksanakannya otonomi daerah maka perimbangan keuangan sesuai UU no 25 tahun 1999
memberikan peluang kepada daerah untuk mendapatkan 70% dari hasil pengelolaan
kekayaan alamnya sendiri untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerahnya sendiri.
Otonomi daerah memiliki beberapa kelebihan yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten serta
kota dapat melihat kebutuhan yang mendasar pada daerah kekuasaannya untuk menjadi
prioritas pembangunan. Pada dasarnya kelebihan otonomi daerah biasanya daerah lebih
mampu melihat persoalan yang mendasar pada daerah masing-masing. Jadi otonomi daerah
akan membuat daerah itu lebih maju, berkembang dan bersaing dengan daerah-daerah lain
tanpa takut dianaktirikan oleh pemerintah pusat.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah di indonesia adalah:


a. Faktor Sumber Daya Manusia: Manusia sebagai pelaku pemerintahan daerah harus
mampu menjalankan tugasnya dalam mengurus rumah tangga daerah demi
tercapainya tujuan. Sumber daya manusia (SDM) sebagai salah satu sumber kekuatan
keberhasilan otonomi daerah karena kualitas SDM yang tinggi memiliki pengaruh yang
sangat signifikan terhadap keberhasilan pembangunan daerah maupun nasional. SDM
dimaksud untuk diutamakan diperhatikan pengelolaannya dengan baik, baik untuk
ketersediannya maupun kompetensinya/kemampuannya. Apabila di suatu daerah
sudah memiliki modal besar, teknologi canggih, sumber daya alam melimpah namun
tidak ada sumber daya manusia yang dapat mengelola dan memanfatkannya maka
tidak akan mungkin dapat meraih keberhasilan dalam mencapai tujuan daerah
tersebut. Oleh sebab itulah pentingnya peran sumber daya manusia sangat diperlukan
sebagai unsur utama dan unsur pengendali keberhasilan berlansungnya otonomi
daerah..
b. Kemampuan Struktural Organisasi: Struktur organisasi pemerintah daerah harus
mampu menampung segala aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemerintah daerah harus mampu mengelola daerahnya sendiri dengan baik dengan
penuh tanggung jawab dan jauh dari praktik-praktik korupsi.
c. Kemampuan Mendorong Partisipasi Masyarakat: Pemerintah daerah harus mampu
mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat
sangat penting menurut Conyers (1994) ialah pertama, karena masyarakat
merupakan sumber informasi utama mengenai kebutuhan dan kondisi yang mereka
hadapi. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan
apabila dilibatkan langsung karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk
program kegiatan dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program kegiatan
tersebut. Ketiga, mendorong partisipasi akan menimbulkan anggapan bahwa
merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
d. Kemampuan Keuangan Daerah: Keuangan daerah harus mampu mendukung
pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Pemerintah
Daerah harus mampu menggali sumber-sumber penerimaan sesuai potensi daerah
yang ada, demi tercapainya penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat.
e. Faktor Anggaran: Sebagai alat utama dalam pengendalian keuangan daerah,
sehingga dibutuhkan rencana anggaran yang tepat guna. Anggaran merupakan
pernyataan mengenai estimasi kinerja yang ingin dicapai selama periode waktu
tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansia
f. Faktor Peralatan: Setiap alat yang digunakan harus mampu memperlancar kegiatan
pemerintah daerah.
g. Manajemen yang Baik: susunan organisasi beserta pejabat, tugas,dan wewenang
harus memiliki hubungan yang baik dalam rangka mencapai tujuan. Dalam
mengelola (manajemen) sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya daerah
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang – undangan
https://www.merdeka.com/jatim/6-tujuan-otonomi-daerah-beserta-kelebihan-dan-
kekurangannya-wajib-diketahui-kln.html
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/16/01450011/faktor-keberhasilan-dan-
penghambat-otonomi-daerah

2. Faktor hambatan dalam melaksanakan otonomi daerah di Indonesia

1. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH


a. Perbedaan Konsep
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam,
sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang
menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang
sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai
intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari
belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan”
dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di
sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata; memaknai otonomi
sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu
diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan
yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).

b. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini
tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri.
Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan
secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma
politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi
dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa
pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk
menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah
bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah
pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya
sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan
politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat
otonomi itu sendiri.

2. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma
birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi
(standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat,
dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen
telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani
berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik,
program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat
persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus
menunggu perintah dan petunjuk dari pusat.

3. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan
masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama,
perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi.
UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan.
Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak
diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat
yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap
pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak
leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik
yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

4. KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri
apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini
akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang
memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang
dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas
pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai
alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi
daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan
berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan
pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu
diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang
matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan
berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini,
sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM
aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan
daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara
“otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu
sendiri.

http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/
sylggb.xhtml

3. Solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah

Otonomi daerah saat ini belum merujuk pada otonomisasi masyarakat daerah. Salah satu ciri
otonomi daerah ialah peningkatan keterlibatan masyarakat daerah untuk ikut menentukan
nasibnya sendiri, namun kenyataannya masyarakat belum mempunyai andil besar dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Ada kecenderungan partisipasi masyarakat di era desentralisasi
dimanfaatkan para masyarakat elit yang lebih mengetahui akses untuk mempengaruhi
kebijakan pada tingkat daerah serta kehadiran mereka mengatasnamakan wakil rakyat yang
menyuarakan keinginan dari rakyat. Rakyat hanya dipakai untuk tunggangan politik ketika
pemilu untuk memenangkan tujuan seseorang ataupun kelompok tertentu. Dengan kata lain,
partisipasi dari masyarakat masih rendah.

Pemimpin mempunyai peran besar dalam mencapai suatu tujuan organisasi dan juga
mengembangkan organisasinya supaya bisa bertahan menghadapi perubahan lingkungan.
Begitu pula dengan pemerintahan daerah sebagai organisasi yang bergantung pada puncuk
pimpinan yakni kepala daerah. Untuk memasuki babak otonomi daerah, mau tidak mau
daerah harus terus berusaha menggali potensi yang ada serta mendorong para penyelenggara
pemerintahan daerah untuk berinovasi dan juga lebih kreatif lagi.

Tetapi justru saat ini, pemerintah kurang berinovasi serta kreatif dalam memanfaatkan
potensi yang ada. Seperti dalam mengelola sumber daya. Banyak daerah yang dari tahun ke
tahun hanya melakukan program seperti program sebelumnya. Belum ada program dengan
inovasi baru yang lebih diperlukan oleh masyarakat.

Berikut beberapa solusi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada otonomi daerah:

1. Memperbaiki Kualitas Pemimpim


Solusi yang dapat diberikan antara lain tentang kualifikasi pimpinan atau kepala daerahnya.
Tidak bisa dipungkiri, peran kepala daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah
sangatlah besar. Jika tidak ada political will dari pimpinan, usaha-usaha perbaikan tidak
bisa dilaksanakan. Selain itu, diperlukan kepala daerah yang memang mampu dibidangnya,
tanggap, kritis, mempunyai kreatifitas dan inovasi yang tinggi serta kemauan yang kuat
untuk merubah daerahnya lebih baik.

Karena itu diperlukan pembinaan kader-kader politik dengan cara membekali pendidikan
dan pengetahuan yang luas tentang kearifan lokal serta pentingnya daya saing daerah.
Selama ini sebagian besar kepala daerah berasal dari parpol, dengan demikian pembinaan
kader politik bisa dilakukan oleh partai yang bersangkutan dan juga memberikan mereka
tanggungjawab untuk melahirkan kader-kader politik yang berkualitas.

2. Memperbanyak Peranan Masyarakat

Selain dari segi kepemimpinan yang harus diperbaiki, peningkatan keterlibatan masyarakat
di berbagai kalangan, bukan hanya pada golongan masyarakat elit saja. Peningkatan
keterlibatan bisa dilakukan melalui pemberian akses seluas-luasnya pada seluruh masyarakat
tanpa menimbulkan diskriminiasi bagi beberapa pihak serta dengan memberikan tata cara
partisipasi mereka secara jelas dan juga tersosialisasi.

Pemberian hak seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang


penyelenggaraan pemerintah daerah juga sebagai kewajiban pemerintah. Menyediakan
tempat dan juga SOP mekanisme pengaduan masyarakat, bukan hanya dengan melalui kotak
pengaduan, via email, call center ataupun surat pos, namun menyediakan wadah/lembaga
yang secara khusus melayani pengaduan masyarakat disertai usaha merealisasikannya.

Penguatan partisipasi masyarakat bisa diwujudkan melalui optimalisasi kegiatan


Musrembang, dimulai dari Musrenbangdes, Musrenbangcam sampai Musrnebang tingkat
kabupaten. Dengan demikian, kesepakatan di Musrembang harus bisa dijawab oleh pihak
pemerintah, sehingga masyarakat akan merasa keberadaan dan partisipasi mereka
dibutuhkan dalam proses pembangunan didalam otonomi daerah. Pemerintah juga harus
cerdas, kreatif serta inovatif dalam merumuskan suatu kebijakan, terutama kemampuan
untuk memprioritaskan program-program di daerah, supaya jangan sampai menimbulkan
kecemburuan social di lingkungan masyarakat sendiri.

3. Memperketat Rekrutmen Pegawai Pemerintah


Solusi lain dari masalah otonomi daerah yakni tentang perekrutan pegawai pemerintahan.
Selama ini rekrutmen PNS di daerah, hanya melalui seleksi secara umum saja, belum ada
sistem perekrutan sesuai dengan spesialisasi kerja (disesuaikan formasi dan latar belakang
pendidikan), sehingga ketika mereka ditempatkan di pemerintahan, kinerja yang dimiliki
hanya sebatas tugas yang dibebankan sebagai pegawai tanpa adanya kontribusi dan inovasi
yang lebih dalam menentukan atau pelaksanaan program-program pemerintah.

Selain itu, banyak terjadi kasus KKN di daerah ketika perkrutan PNS. Tidak sedikit dari
mereka membayar uang ratusan juta pada calo supaya bisa diterima sebagai PNS. Jadi,
dampak buruknya dirasakan oleh masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan dengan
baik.

https://duniapendidikan.co.id/solusi-otonomi/

4. Peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good governance.


Secara umum, mahasiswa adalah sebutan untuk seseorang yang tengah menempuh
pendidikan di sebuah universitas, sekolah tinggi, hingga akademi. Meskipun begitu, tidak
semua orang dapat menjadi seorang mahasiswa karena berbagai hambatan tertentu.
Mahasiswa biasanya dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam
berpikir, serta perencanaannya dalam bertindak. Maka dari itu, berpikir kritis dan bertindak
secara cepat serta tepat menjadi sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa.
Mahasiswa merupakan kelompok kaum intelektual muda yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa, sehingga mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting untuk
mewujudkan good governance di lingkungan masyarakat. Mahasiswa juga memiliki
kewajiban untuk memberikan upaya terbaik mereka di sela-sela waktu perkuliahan demi
mewujudkan perubahan yang baik di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Good governance diartikan sebagai perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik. Wujud
dari tata kelola pemerintahan yang baik adalah dengan ditandai adanya pemerintahan yang
demokratis. Pemerintahan yang demokratis merupakan pemerintahan yang bersifat terbuka
terhadap kritik dan kontrol sepenuhnya ada pada rakyat.
Wacana good governance baru dikenal di Indonesia sekitar dekade 1990-an terutama setelah
berbagai lembaga pembiayaan internasional misalnya Bank Dunia, Asian Development
Bank, dan IMF menetapkan "good governance" sebagai persyaratan utama untuk setiap
program bantuan mereka.
Menurut Bank Dunia good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam
penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan
dan interaksi yang setara dan bersinergi.
Inilah beberapa peran mahasiswa dalam mewujudkan praktek good governance:
1. Agent of Change
Sebagai mahasiswa harus peka dan mau bergerak untuk mengajak masyarakat atau bahkan
merubah masyarakat menjadi lebih baik apabila ada kesalahan dan perlu diperbaiki. Artinya,
mahasiswa tidak boleh hanya diam saja di kampus untuk mengikuti kelas kemudian
mengabaikan sekitar.
Sebagai mahasiswa yang benar, yaitu harus bisa bertindak sebagai katalis atau bisa disebut
sebagai pemicu terjadinya sebuah perubahan dan mengakselerasi perubahan tersebut.
Perubahan ini tidak hanya akan dirasakan oleh mahasiswa saja tetapi juga bisa menyebar ke
seluruh masyarakat yang berdampak.
2. Agent of Control
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang anti kritik. Artinya hal ini juga berlaku untuk
organisasi-organisasi yang ada di mahasiswa sendiri yang harus mengedepankan demokrasi.
Selain itu, sebagai mahasiswa, Kalian harus bisa menjadi kontrol sosial dan juga kontrol
pemerintah apabila ada kebijakan yang tidak sesuai dengan lapangan dan
menyengsengsarakan rakyat.
Ingat, agen penggerak tidak hanya mengkritik dan menyuarakan saja dengan demo atau
malah duduk-duduk manis bak penguasa. Akan tetapi, juga harus bisa bercengkrama dan
terjun langsung ke masyarakat dan merasakan kondisi langsung di lapangan yang sedang
terjadi.
3. Iron Stock
Dan yang terakhir, peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good governance
adalah dengan menjadi iron stock untuk masa depan bangsa dan negara.
Mahasiswa sangat diharapkan bisa menjadi generasi yang berani dan kuat serta memiliki
jiwa kepemimpinan yang bermoral baik. Tujuannya adalah supaya bisa menggantikan
kepemimpinan generasi yang sebelumnya sudah pernah memimpin dan memiliki pandangan
yang lebih luas dan bisa menumpas hal-hal yang tidak adil.
Sumber Referensi :

https://www.kompasiana.com/lianakhusnulsaputri/62a085782154ae661843da62/peran-penting-
mahasiswa-dalam-mewujudkan-good-governance-di-lingkungan-masyarakat

https://deepublishstore.com/peran-mahasiswa-dalam-upaya-mewujudkan-praktik-good-governance/

Anda mungkin juga menyukai