Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 3

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : NURUL IQBAL ARROCHMAN


NIM : 044667531
UPBJJ : YOGYAKARTA
1. Secara umum, faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain yaitu (Kaho, 2002: 60):
I. faktor manusia sebagai subjek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan
otonomi daerah.
II. faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan daerah.
III. faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan daerah.
IV. faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik, efisien, dan efektif.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa faktor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah
merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan kata lain, salah satu ciri dari daerah otonom terletak pada kemampuan self
supporting-nya dalam bidang keuangan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah
dalam menggali sumber-sumber keuangan dengan baik dan menggunakannya secara tepat dan
benar. Daerah harus mempunyai sumbersumber keuangan yang memadai untuk membiayai
penyelenggara otonominya.
2. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH
a. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan
cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan
otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat
adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam
Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya
berperspektif Ekonomi-Politik, dimana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan
untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan
menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI. Setelah
diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat
dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi
sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak
daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah
pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan”
dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini
otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999);
memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal,
agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional
pengendalian pembangunan nasional, perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga, perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya
manusia.pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi
dan standarisasi nasional. Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai
suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan
otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan
untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian
tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal). Variasi
interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.

b. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi. Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa
pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk
menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar
suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat
memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi
diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan
eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi
daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus
ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut
dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam
paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan
sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks.
Otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di
satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. UU No. 22 Tahun 1999
menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat
dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks
negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang
realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi
banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih
sangat lemah.

KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi. Paradigma
ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi
(standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi,
prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah
daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh
pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan
dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek
serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat.
Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari
pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan
bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan
paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post
Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).

LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat
tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah
dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan
otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol
terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi
yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan
kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu
melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini
memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif
bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili
kepentingannya.

KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya. Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi
daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai
masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal
ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks
pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi
kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap
kinerja.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam
sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu
dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency
Modelberubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih
cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini,
sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur
pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya
masing-masing. Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble)
antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu
sendiri. Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi,
yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja
menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
3. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pemberian otonomi daerah:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif
daerah.
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai daerah administrasi.
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai
pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan
bertanggung jawab kepada yang menugaskan.
Kendala/ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan otonomi
daerah :
a. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi
daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”.
b. High Cost Economic dalam bentuk KKN.
c. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan.
d. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang
berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset,
melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan
BUMD.
e. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian
berkelanjutan.
f. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya.
g. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan.
h. Bangkitnya egosentrisme.
i. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial
pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
j. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Upaya pejabat daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi.
a. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat
dapat terdistribusi ke daerah.
b. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui
pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan
lainnya.
c. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.
d. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.
e. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip
otonomi daerah.
Analisis langkah-langkah yang harus diambil pemerintah dalam mengontrol otonomi daerah:
a. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi
dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.Untuk itu perlu dipersiapkan
revisi UU No.22 dan No.25 ,termasuk usaha sosialisasi besar-besaran pada masyarakat
dan parlemen di tingkat pusat maupun daerah.
b. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-
faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada
masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal
yang berkelanjutan
c. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan
segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas
merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
d. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari
menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
4. Mahasiswa memiliki tiga peran penting yang harus dilakukan mahasiswa terhadap
masyarakat diantaranya :
Agent Of Change,
Sebagaimana yang sudah di jelaskan didalam Surah Ar Ra’d :11 Bahwa dimana bahwa suatu
kaum harus mau berubah bila mereka menginginkan sesuatu keadaan yang lebih baik. Dengan
adanya mahasiswa sebagai kaum intelektual, maka mahasiswa dituntut untuk melakukan
suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Mahasiswa tidak hanya “diam” melihat kondisi di
sekitarnya. Mahasiswa harus merubah kondisi sekitarnya menjadi lebih baik Mahasiswa juga
bisa berperan sebagai control terhadap kebijakan yang dibuat menyangkut hajat hidup orang
banyak, mahasiswa dapat menjadi peran penting dalam mewujudkan good governance dalam
system pemerintahan.
Iron Stock
Mahasiswa adalah asset atau cadangan untuk masa depan. Mahasiswa diharapkan menjadi
generasi yang tangguh dan juga harus memiliki kemampuan dan moralitas yang baik sehingga
dapat menggantkan generasi sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya organisasi
yang setiap akhir kepengurusan akan di tandai dengan pergiliran tongkat estafet dari golongan
tua yang sudah penah memimpin ke golongan muda yang mempunyai jiwa kempemimpinan.
Dan disinilah saatnya yang muda yang memimpin.
Sebagai mahasiswa juga harus mengerti fungsi mahasiswa yang harus dijalankan.
Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang di ungkapkan oleh M. Hatta membentuk manusia
susila dan demokrat yang:
a. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
b. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan
c. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat.
Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat kita sederhanakan bahwa tugas perguruan
tinggi adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah
fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu :
Memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis harus memiliki
sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat
ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu
selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka
mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi
menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Peran mahasiswa sebagai
kaum terpelajar dalam Good Governance diantaranya:
a. Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisiapsi dalam pemilu
dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa dan NKRI maju
seperti negara lain di dunia.
b. Memdorong dan memandu masyarakat secara langsung atau pun tidak untuk memilih
parpol dan calon walik rakyat yang jujur, amanah, cerdas, pejuang, berani, dan
mempunyai track record yang baik di masayrakat.
c. Memberikan infermasi kepada masyarakat tentang parpol dan calon wakil rakyat yang
baik dan pantas untuk dipilih, supaya hasil pemilu dapat membawa bangsa ini semakin
maju dibawah pemimpin yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai