Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ni Made Agustina Dewi

NIM : 045299388
Kelas : MKWU4109
Jurusan : S1 Manajemen
Tugas 3

1. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tujuan pemberian otonomi daerah


bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga pelaksanaan otonomi
daerah dikatakan berhasil atau sukses jika mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:
a. Kemampuan struktural organisasi

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas


dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit
cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab
yang cukup jelas.
b. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling
menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan


untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
d. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan
pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari
PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.

Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang
mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan,
serta faktor organisasi dan manajerial.

2. Berikut beberapa faktor hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia;


a. Perbedaan Konsep dan Paradigma Otonomi Daerah
1. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah,terdapat perbedaan persepsi di kalangan
cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap
kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat- sifatnya dalam
konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-
Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk
berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan
menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat
beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat
kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam
segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai
persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah
dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas


kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan
aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian
otoritas semata (lihat UU No. 22/1999)

Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi


teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian
menimbulkan berbagai interpretasi.

2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya
dengan otonomi, Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak
mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari
rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level
bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota)
merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan
otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat
berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang
lebih tinggi.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan


pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara
kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang
kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan
kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan
infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.

3. Kuatnya Paradigma Birokrasi


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan
yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya
pengaruh paradigma birokrasi.

Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis
dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan
formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).

4. Lemahnya kontrol Wakil Rakyat dan Masyarakat


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam
mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif.
Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada
melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh
lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik.
Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah
diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap
birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan.
5. Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang
sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu
berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah.
Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang
berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk
mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi
dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara
masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk
pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah
sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah
kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta,
potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.

3. Dalam wawancara Dr. J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International
Studies (CSIS), Ia menyebutkan, untuk mengatasi raja kecil dapat ditempuh dengan
penertiban dana partai, lebih baik negara mengalokasikan kepada partai politik sebesar
0,5 – 1% dari APBN. Partai politik juga merupakan sumber persoalan, perlu adanya
reformasi partai, dan dana partai dari negara. Saat ini yang diperlukan adalah niat
(political will).

Jika pendanaan partai dari negara, maka partai sudah masuk sistem dalam keuangan
negara dan dapat diaudit, hal tersebut dapat menekan ketika kampanye tidak
mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya, tapi dengan cara mempersiapkan kader-
kadernya untuk bertarung, efek utama dari dana partai berasal dari negara dan adanya
transparansi pelaporan, dapat menggeser politik uang mejadi politik kaderisasi, dimaa
partai dipaksa untuk bersaing kader (dengan pendidikan yang baik). Pengkaderan
membangun karakter manusia mulai dari dini. Mendidik dengan baik yaitu dengan
menanamkan nilai sehingga orang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai yang
diajarkan.

Selain itu juga terdapat rekomendasi oleh Kristian Widya Wicaksono untuk
menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi dalam artikel berjudul “Problematika
dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia”, ia gagas sebagai berikut (Jurnal Bina Praja,
2012: 21 – 28);

Pertama adalah dibutuhkan memperjelas pembagian kewenangan antar dua level


pemerintah lokal yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini
perlu diatur secara konstitusional sehingga ada kejelasan pembagian kewenangan antar
dua level pemerintahan tersebut untuk bertanggungjawab atas sejumlah pelayanan lokal
yang strategis agar menghindari tumpang-tindi urusan dan pembiayaan ganda.

Kedua, daerah yang memperoleh limpahan kewenangan hendaknya


memiliki kekayaan, anggaran dan dana cadangan yang memadai.
Hal ini juga hendaknya didukung dengan kapasitas menggalang
penerimaannya sendiri sepanjang hal tersebut sesuai dengan substansi kewenangan yang
dimilikinya. Oleh karenanya, penguatan kapasitas pemungutan pajak oleh pemerintah
daerah merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari dalam konteks negara yang
menjalankan kebijakan desentralisasi. Maka dari itu, perlu untuk kembali
dipertimbangkandistribusi kewenangan pemungutanpajak baik antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pajak yang strategis hendaknya
diserahkan kepada lini desentralisasi yang langsung bersentuhan dengan warga
masyarakat sehingga kebijakan desentralisasi dapat memberikan manfaat dan dampak
nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, pemerintah daerah harus memperkerjakan aparatur pemerintahan yang kompeten.


Artinya aparatur pemerintah daerah hendaknya direkrut melalui merit sistem (sistem
yang sesuai dengan regulasi), dipecat apabila tidak kompeten, dapat dialihkan ke
pekerjaan lain atas alasan profesionalitas dan efektifitas kerja serta dipromosikan sesuai
dengan masa kerja serta kinerja yang mampu ditunjukkannya. Oleh karenanya, program
reformasi kepegawaian di lingkunganpemerintah daerah hendaknya mulai ditata secara
sistematik dan rasional. Badan Kepegawaian Daerah harus mengambil peranan yang
signifikan dalam menentukan proses tersebut, sehingga mekanisme kepegawaian dapat
dijalankan secara adil dan transparan untuk menciptakan organisasi pemerintah daerah
yang handal.

Keempat, penguatan lembaga legislatif yang dipilih oleh masyarakat lokal


sehingga mampu mengoperasikan garis kebijakan partai, memutuskan kebijakan dan
menentukan prosedur internal dalam kepartaiannya. Salah satu penyebab lahirnya Perda
bermasalah adalah lemahnya kapasitas lemabaga legislative daerah untuk menghasilkan
Perda-Perda yang berkualitas. Oleh karenanya, rekruitmen politik yang dijalankan partai
politik hendaknya lebih diperbaiki sehingga kualitas kader-kader mereka yang nanti akan
ditempatkan di lembaga legislatif bisa dipertanggungjawabkan.

Kelima, administrasi pemerintah pusat sebaiknya melayani secara murni sebagai penasehat
eksternal dan inspektor serta tidak memiliki peranan yang sangat strategis dalam
kewenangan lokal. Oleh karenanya, penguatan kelembagaan pemerintah daerah harus
menjadi prioritas dengan cara merampingkan struktur pemerintah pusat dan melakukan
spesialisasi pekerjaan secara efektif di level pemerintah daerah.

4. Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen


pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran
pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat
berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena
perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana),
maka disebut juga agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses
pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-
industri, dan peran perencanaan dan anggaran penting. Dalam good governance peran
pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama Mahasiswa
bisa berperan dalam good governance.
Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak
meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan
sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam
pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah
berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih
banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi
yang merupakan dua produk utama Good Governance.

Disini, “Mahasiswa” merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan faktor


pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam menerapkan
perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis besar dapat digolongkan
menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai pembaharu yang diharapkan
mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem yang ada. Salah satu contoh sejarahnya
adalah peristiwa turunnya orde baru dimana sebelumnya di dahului oleh adanya aksi
mahasiswa besar di seluruh Indonesia.

Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran preventif terhadap korupsi
dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan ketentuan dan peraturan yang adil
dan berpihak pada rakyat banyak, sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak
berpihak pada masyarakat. Kontrol terhadap kebijakan pemerintah tersebut perlu dilakukan
karena banyak sekali peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya berpihak
pada golongan tertentu saja dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Kontrol tersebut bisa berupa tekanan berupa demonstrasi ataupun dialog dengan
pemerintah maupun pihak legislatif. Mahasiswa juga dapat melakukan peran edukatif
dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat baik pada saat
melakukan kuliah kerja lapangan atau kesempatan yang lain mengenai masalah korupsi
dan mendorong masyarakat berani melaporkan adanya korupsi yang ditemuinya pada pihak
yang berwenang.

Berikut beberapa point agar gerakan - gerakan mahasiswa akan good governance menjadi
progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif, harus menunjukkan kualitas berikut ini
(Jamila, 2018) :
Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah
bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa
dilakukan dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada
penyusunan agenda aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan
mahasiswa haruslah bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para
seniornya. Karena, hal ini biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan
saling memperebutkan proyek demonstrasi.

Kedua, melakukan dialog transformatif untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang


demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung elitis dan menggunakan bahasa
yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang juga gerakan intelektual plus, haruslah
mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan masyarakat yang selama ini banyak
ditindas.

Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai
dan berjiwa intelektual organik.

Sumber referensi :
Dr. Jamillah. (2017). Konsep Gerakan Moral Mahasiswa Untuk Mewujudkan Good
Governance Di Indonesia. Journal Civics and Social Study. Vol 1, No 1.
Faisal, dkk. (2016). Otonomi Daerah : Masalah dan Penyelesaiannya di Indonesia.
Politeknik Negeri Lhokseumawe. Jurnal Akuntansi, Vol. 4, No. 2, April 2016.
Kumparan.com. (2022). Peran Mahasiswa dalam Mewujudkan Praktek Good Governance.
Diakses pada 26 November 2022. Dari https://kumparan.com/berita-terkini/peran-
mahasiswa-dalam-mewujudkan-praktek-good-governance-1zJg003Rp64/3.
Lasio dkk. 2022. Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.
Radiansyah, Rifi Rivani. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi
Daerah Pada Sektor Bidang Kesehatan Di Kabupaten Bandung Barat. Universitas Bale
Bandung. ISSN: 2087 – 4742.

Anda mungkin juga menyukai