TUGAS 3
Tujuan otonomi daerah yang pertama adalah meningkatkan pelayanan umum. Melalui otonomi
daerah diharapkan pelayanan umum dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini dilakukan agar
masyarakat bisa memperoleh manfaat dan kemudahan dalam melakukan berbagai keperluan di
berbagai bidang.
Tujuan otonomi daerah yang kedua adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berkaitan
dengan poin sebelumnya, dengan pelayanan umum yang baik dan memadai diharapkan kesejahteraan
masyarakat bisa meningkat. Kesejahteraan masyarakat yang meningkat akan menunjukkan kinerja
daerah otonom berjalan dengan baik dalam menggunakan setiap hak dan wewenangnya secara tepat
dan bijak.
Tujuan otonomi daerah yang terakhir adalah meningkatkan saya saing daerah. Dalam hal ini, melalui
otonomi daerah, pemerintah daerah dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan bentuk
keanekaragaman dan ciri khasnya.
Ini dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi semboyan negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal
Ika”. Meskipun berbeda-beda namun tetap bersatu dan saling menghargai satu sama lain.
Sumber :
https://www.merdeka.com/jateng/tujuan-otonomi-daerah-kewenangan-dan-hak-penyelenggaraan-
perlu-diketahui-kln.html?page=all
https://brainly.co.id/tugas/9682429
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang
mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor
organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai
pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang
merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat
kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah
tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar
kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka
diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi
daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam
sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula.
Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan
dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai subyek
sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung
pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip
pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah
keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula
kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk,
maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala
kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah,
sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan
keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah
daerah yang baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik
pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi
kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat
komunikasi dan lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada
kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur
organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta
hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama,
sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap
penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau
tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan,
khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.
Sumber :
http://xpresipena.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-otonomi.html
1. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendekiawan,
dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai
prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya
dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah
diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga
mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks
NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai
akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi
sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.
Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi
daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi
diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi
sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah
pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang
pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta
kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional;
perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi
strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu
mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas.
Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah
Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari
suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang
dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja
sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan
merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu
lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah
secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah
otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980:
40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin
tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and
Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986:
40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan
pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di mana
masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada
kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini
otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan
dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk
negara adalah “negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi
Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang
mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat
terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan.
Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi
maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang
Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan
”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara
yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal,
sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika
hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara
terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999
berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan
khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut. Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara
kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain
perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan pendekatan metodologis
yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang
terbaik tersebut diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan
kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini
mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat
campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang
sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan
bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan
tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal
9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan
dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di
atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol
langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen
dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of
control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya
sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah
konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat
yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat
Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan
antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara
mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu
dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan
kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun
ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999
jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di
dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam
Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution”
ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke
dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi
kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima)
tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu. Malangnya UU
No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu
UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J.
Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-
undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan.
Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat
mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari
ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi
daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat
di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam
siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus
disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti
kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan
sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri.
Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu
kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas
kebijakan.
2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi,
yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah
(kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan
otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama
posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya
“otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas
birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan
dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma
“organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat
tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga
sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh
karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua
paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus
dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang
berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di
Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi
lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu
memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan
“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi
(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks
negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis
karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang
terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari
pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik
bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini
untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng
dari hakikat otonomi itu sendiri.
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang dibutuhkan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi,
prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi,
prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah
harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat,
berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah.
Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus
menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah
terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci
di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di
daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami
serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).
C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif
sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani
kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap
aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik.
Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde
baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi
menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang,
semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh
strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih
kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini
memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak
ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
D. KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka
butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat
di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi
daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat
buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya
ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan
yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan
berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan otonomi daerah seperti terlihat
dalam peta konsep berikut ini.
Gambar 8.2.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-
kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem
pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem
pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke
arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local
Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya
daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu
menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi
sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi
menurut Hatta.
Sumber :
http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1175/EPUB/xhtml/raw/sylggb.xht
ml
Sumber :
http://xpresipena.blogspot.com/2011/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-otonomi.html
3. Salah satu faktor penyebabnya adalah kelemahan aspek regulasi yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan implementasi regulasinya. UU Nomor 32 Tahun 2004
telah berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun
dalam pelaksanaannya, ketidakjelasan pengaturan dalam UU ini sering menimbulkan permasalahan
baru yang dapat menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan dan aparaturnya yang pada
akhirnya menyebabkan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah tidak dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Sehingga kita memandang perlu UU ini perlu diubah atau diganti.
Untuk itu, RUU tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemerintahan Daerah) sebagai pengganti
UU Nomor 32 Tahun 2004 yang saat ini sedang dibahas dengan DPR, pada dasarnya mencoba
memperbaiki kelemahan UU Nomor 32 Tahun 2004. RUU Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
memperjelas konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjelas
pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selain itu, RUU ini juga menambah pengaturan baru sesuai dengan kebutuhan hukum untuk
mengakomodir dinamika pelaksanaan desentralisasi, antara lain pengaturan tentang hak warga untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, adanya jaminan terselenggaranya
pelayanan publik dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelaksanaan otonomi harus dilaksanakan sesuai dengan konsep otonomi yang dimaknai
sebagai penyerahan urusan pemerintah pusat ke daerah, kecuali lima kekuasaan yang dipergunakan
untuk kelangsungan kehidupan bangsa. Namun diluar lima kekuasaan yang dikecualikan harus
diserahkan pada daerah. Dengan mempertimbangkan penyerahan urusan itu sebagai usaha untuk
mengurangi beban dan tuga pemerintah pusat. Disamping itu juga, dalam rangka meratakan tanggung
jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung jawab pemerintah dapat dipikul rata oleh
seluruh masyarakat yang diikutsertakan melalui disentralisasi fungsional dan teritorial. Hal ini dapat
menciptakan stabilitas pemerintahan pada umumnya. Pelaksanaan otonomi juga dapat mempertinggi
efektifitas dan efisiensi dalam kepengurusan kepentingan daerah yang sudah barang tentu masyarakat
daerahlah yang lebih mengetahui kepentingan dan aspirasi mereka. Pemerintah pusat hanya berperan
sebagai motivator, bimbingan dan bantuan dimana diperlukan.
Penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan
antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hakhak dan tanggung jawab, tindakan dan
akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan
tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu
rendah, dan pengurasannya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya
kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap
isyarat-isyarat pasar (market signals) untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi
terjadinya peningkatan efisiensi, subtitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara
permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan
disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan
dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Beberapa ketidakmampuan sistem pengorganisasian ekonomi
tercermin diantaranya dalam bentuk kekeliruan kebijaksanaan (policy failure) yang membuat terjadinya
distorsi dari bekerjanya sistem pasar yang efisien melalui subsidi kapital, batas pagu sukubunga, subsidi
pestisida, subsidi enegi, pengurangan pajak (tax holiday), kuota dan beberapa hak-hak dan kemudahan-
kemudahan yang diberikan pada segolongan penduduk. Kegagalan pasar dan kelangkaan sumberdaya alam
tersebut tercermin dari terjadinya akses terbuka, tidak jelasnya hak-hak, terjadinya eksternalitas dan sifat-sifat
dari public good, pasar yang bersifat monopoli, tingginya biayabiaya transaksi, konsesi-konsesi pengusahaan
sumberdaya jangka pendek, keputusan sistem pasar yang bersifat jangka pendek dan banyaknya sumberdaya
alam yang tidak dinilai (unpriced values).
Saran, bagaimana agar pelaksanaan otonomi seyogyanya dievaluasi, terutama hal-hal yang
menyebabkan pelaksanaan pemerintahan tidak efektif dan efisien.Seperti penempatan aparat pusat
didaerah hanya berfungsi sebagai pemantau,pembimbing saja.Sehingga penempatan aparat pusat tak
usah memiliki perangkat yang melibatkan aparat yang banyak tapi mungkin cukup satu unit
organisasi yang bertugas mengawasi / pengawas saja.
Sumber :
https://media.neliti.com/media/publications/53317-ID-kontroversi-pelaksanaan-otonomi-daerah.pdf
4. Pencanangan otonomi daerah tentu tidak demikian saja memenuhi keinginan daerah.
Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung pada pemerintah daerah, yaitu DPRD, kepala daerah
dan perangkat daerah serta masyarakatnya untuk berkerja keras, trampil, disiplin, dan berperilaku dan
atau sesuai dengan nilai, norma dan moral, serta ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
Kebijakan otonomi daerah yang sejak awal tahun 2001, memang bisa dilihat sebagai bagian
dari suatu proses perubahan. Akan tetapi bila proses perubahan tersebut ditumpukan hanya pada
kebijakan otonomi daerah, khususnya yang termuat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan direvisi lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008, maka
demokrasi tidak akan pernah terwujud. Setiap kebijakan elit politik, masih sangat mungkin
menyisakan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan demokrasi dan keadilan.
Partisipasi masyarakat di dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik merupakan hal
penting sebagai cermin asas demokrasi di suatu negara. Hal ini menjadi sangat tepat ketika partisipasi
publik kemudian diangkat menjadi salah satu prinsip yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam
upaya mewujudkan good governance (kepemerintahan yang baik). Prinsip partisipasi dalam upaya
mewujudkan good governance yang dilakukan melalui pelayanan publik sangat sejalan dengan
pandangan baru yang berkembang di dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara
melihat masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan sebagai warga negara yang
memiliki negara sekaligus pemerintahan yang ada di dalamnya (owner).
Pentingnya partisipasi publik juga memperoleh momentum yang tepat seiring dengan
munculnya era otonomi daerah di Indonesia yang memberikan kuleluasaan yang lebih besar kepada
daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh
masyarakat.
Transparansi juga memiliki keterkaitan dengan akuntabilitas publik. Untuk menciptakan good
governance yang salah satunya ditunjukkan dengan sistem pelayanan birokrasi pemerintah yang
akuntabel, kesadaran di antara para pegawai pemerintah mengenai pentingnya merubah citra
pelayanan publik sangat diperlukan. Akuntabilitas (accountability) adalah suatu derajat yang
menunjukkan tanggungjawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah.
Adapula aturan yang berupa peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah rangka
mencapai good governance di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (SITARO) yaitu
Peraturan Daerah No. 3 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (SITARO) dan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2010
Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
(SITARO).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, prinsip good governance dalam
prakteknya adalah dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan yang baik dalam setiap pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan daerah
dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah juga tidak terlepas dari partisipasi aktif
anggota masyarakatnya. Masyarakat Daerah, baik secara kesatuan sistem maupun sebagai individu,
merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara
prinsip penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera di
daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah
tidak saja di tangan kepala daerah, DPRD, aparat pelaksananya , tetapi juga di tangan masyarakat
daerah tersebut (Kaho : 120).
Sumber :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/governance/article/viewFile/1523/1218