No. Soal
1. Keberhasailan pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya diukur dengan kemampuan pemerintah membagi beberapa
wilayah luas menjadi beberapa wilayah kecil (pemekaran). Oleh sebab itu, perlu ditunjang beberapa hal agar
otonomi daerah tersebut dianggap berhasil.
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk menentukan berbagai kemampuan yang harus dikembangkan
untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah!
2. Pemberlakuan oronomi daerah yang diterapkan sejak 2001 masih dibayangi kendala dalam 20 tahun reformasi
menurut Siti Zuhro (Peneliti LIPI, berita dapat diakses di antaranews edisi 15 Mei 2018).
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk mengidentifikasi penyebab munculnya berbagai hambatan
dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut!
3. Pelaksanaan otonomi daerah belum dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan. Hal tersebut disebabkan
masih terlampau banyak hambatan yang belum ditemukan solusinya agar otonomi daerah dapat dilaksanakan
dengan baik.
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk menganalisis berbagai solusi yang dapat dilakukan agar
pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik!
4. Persoalan good governance merupakan salah satu agenda reformasi di Indonesia. Hal itu dilakukan dalam
kerangkan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga Indonesia mampu menata diri.
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk mengurutkan prinsip-prinsip good governance yang di anut
oleh Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah!
JAWABAN
jika tiga komponen ini sudah benar, akan baik terhadap kapasitas Peningkatan Daerah, yang memiliki
kepemimpinan baik serta bisa memberikan kemudahan Kepada Rakyat dan membuat otonomi berjalan
dengan baik
Penjelasan
Otonomi Daerah adalah Bagian sistem pemerintahan Indonesia, yang bertujuan mengembangkan dan
membangun untuk kesejahteraan Masyarakat di daerah.
Otonomi Daerah juga bisa meningkatakan daya guna dan Hasil Penyelenggaraaan Pemerintah dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peratuan
perundang-undangan yang berlaku.
1. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendekiawan, dan
para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip
penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks
negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi
daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi
dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati
kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat
dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai
kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang
mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai
kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan
atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai
kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan
kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan
peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni
perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi
negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia;
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu
mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi,
diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan
ditangani oleh Daerah (lokal).
2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu
paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah
(kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu
lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi
tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif,
terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi
birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada
otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat
memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh
dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit
dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu
kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma
tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam
paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan
sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat
juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi
Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi
masyarakat.
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat
tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan
pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh
lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari
bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik
dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap
birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan
berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil
rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap
pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya
legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili
kepentingannya.
1 dari 1
D. KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang
lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan,
tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang
terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model
pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas
pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan menunda
otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang
kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara
masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan
dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi
kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
1. Keberhasailan pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya diukur dengan kemampuan pemerintahmembagi
beberapa wilayah luas menjadi beberapa wilayah kecil (pemekaran). Oleh sebab itu, perlu
ditunjang beberapa hal agar otonomi daerah tersebut dianggap berhasil.
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk menentukan berbagai kemampuan yang harus
dikembangkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah!
2. Pemberlakuan oronomi daerah yang diterapkan sejak 2001 masih dibayangi kendala dalam 20 tahun
reformasi menurut Siti Zuhro (Peneliti LIPI, berita dapat diakses di antaranews edisi 15 Mei 2018).
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk mengidentifikasi penyebab munculnya berbagai
hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut!
3. Pelaksanaan otonomi daerah belum dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan. Hal tersebut
disebabkan masih terlampau banyak hambatan yang belum ditemukan solusinya agar otonomi daerah
dapat dilaksanakan dengan baik.
Soal:
Berdasarkan pernyataan di atas, Anda diminta untuk menganalisis berbagai solusi yang dapat dilakukan
agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik!
4. Persoalan good governance merupakan salah satu agenda reformasi di Indonesia. Hal itu dilakukan
dalam kerangkan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga Indonesia mampu menata.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan
dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu
negara.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era
Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut
proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak
diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah
berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan
kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari
prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa
dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari
pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah
ini:
Partisipasi Masyarakat(Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil
mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah
menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain
untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan
agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi
untuk menyelesaikan isu sektoral.
Transparansi(Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip
transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan
informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan
informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus
memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat mempunyai
kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan
kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan
penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut
pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi
seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan
untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-
lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan
perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme
pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan
sistem pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas
dan tegas.