NO 2
Empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti yang dikemukakan oleh
Siti
Zuhro, salah satu Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
adalah
konsistensi pemerintah dalam pembuatan peraturan, persepsi daerah, kerumitan pengelolaan
hubungan kewenangan daerah dan eksploitasi daerah oleh pihak-pihak tertentu. Tantangan-
tantangan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut
Empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti yang di kemukakan oleh Siti
Zuhro, salah satu peneliti utama Lembaga ilmu pengetahuan Indonesia ( LIPI) adalah
konsitensi pemerintah dalam pembuatan peraturan, presepsi daerah, kerumitan pengelolaan
hubungan kewenangan daerrah dan eksploitasi daerah oleh pihak-pihak tertentu. Tantangan-
tantangan tersebut di antaranya adalah sebgai berikut:
1. Konsintensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan dan sulitnya
melakukan harmonisasi antara UU pemerintahan daerah dengan UU terkait.
2. Presepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acap kali lebih
mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh
manfaatnya dalam konteks lebih luas.
3. Kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah.
4. Adanya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan
kesehatan lingkungan.
Hambatan-hambatan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Perbedaan konsep dan paradigma otonomi daerah setelah di berlakukan UU No 22
Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan
interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menapsirkan otonomi sebagai
kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak
darerah. Mereka yang mempunyai presepsi ini biasanya mencurigai interpensi
pemerintah pusat, otonomi daerah di anggap sebagai kemerdekaan daerah dari
belenggu pemerintah pusat. Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebgai
pemberian “otoritas ke wenangan” dalam megambil keputusan sesuai dengan
kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi di artikan atau di
presepsikan pembagian otoitas semata ( lihat UU No 22 / 1999) memaknai otonomi
sebagai kewenangan, daerah otonomi ( kabupaten/kota) untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat lokal.
2. Kuatnya paradigma birograsi
Dalam praktik di Indonesia, penentukan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat di tentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus royal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
management telah di siapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman petunjuk
dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam
bidang kebijakan public, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang di
usulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Inplikasinya masih banyak
pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat.
3. Lemahnya control wakil rakyat dan masyarakat
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranana wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di
daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani
kepentingan masyarakat lokal. Control terhadap apparat birorasi oleh Lembaga
legislative dan masyarakat tanpak artifisial dan pseudo demokratik. Kelemahan ini
kita sadari Bersama, perubahan telah di lakukan segera setelah pergantian rezim “orde
baru”, orde repormasi. UU politik dan otonomi daerah di berlakukan, semangat dan
proses demokras menjanjikan, dan control terhadap birokrasi di mulai walaupun
terkadang kebablasan, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era
repormasi ini tidak di ikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil
rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya
melakukan control terhadap pemerintah. Ketidak mampuan ini memberikan peluang
bagi eksekutif untuk bertindak leluasanya dan sebaliknya legislatif bertidak ngawur
mengorbankan kepentingan republik yang justru di percaya mewakili kepentingannya.
4. Kesalahan strategi
UU NO 22 TAHUN 1999 tentang otonomi daerah di berlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah di berikan kewenangan untuk
melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat
marginal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan,
dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model
pembangunaan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreatifitas pemerintah daerah dan aparatnya. UU no 22 tahun 1999
tentang otonomi daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan,
namun bagaimanpun juga UU ini merupakan suatu repormasi dalam sistem dari
sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada structural efficiency
model” berubah kea rah sistem pemerintahan “ desentralistik” yang menekankan
kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Permasalahan dalam otonomi daerah di Indonesia:
a. Adanya ekspoyitasi pendapatan daerah
b. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
c. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
d. Kondisi SDM aparatur pemerinthan yang belum menunjung sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah.
e. Korupsi di daerah
f. Adanya [otensi munculnya konplik antar daerah.
Referensi bahan ajar
UT.AC.ID/app/Webroot/epub/original_files/extracet/1175/EPUB/xhtml/raw/sylggb.xhtml
Lipi.go.id
N0 3
Pada intinya, masalah-masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri,
terlepas dari keberhasilan inplementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak popular
melalui intensipikasi pajak dan perilaku koruptik pejabat daerah sebnarnya sudah ada sejak
lama dan akan terus berlangsung. Jika ini keduanya baru muncul di permukaan sekarang
tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Untuk
menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan
alternative, selain intensipikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu :
1. Efesiensi anggaran,
2. Refitalisasi perusahaan daerah.
Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternative ini. Akan
tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya
alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas, pemerintah tidak
mempunyai keinginan kuat ( strong will ) untuk melaksanakan efisiensi anggaran karena
upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan ( inertia) untuk berubah dari
perilaku boros menjadi hemat. Upaya repitalisasi perusahaan daerah pun kurang
mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sipat kewirausahan pemerintah. Sudah
menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan
paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga tidak bisa dihadapkan
pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik.
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh dengan
menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi. Pemerintah
juga seharusnya merepisi UU yang di pandang dapat menimbulkan masalah baru. Di bawah
ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalh otonomi daerah tanpa harus
mengembalikan kepada sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahtera masyarakat segera terwujud.
1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinerg pembangunan di
derah agar menjadi landasan pembangunan-pembangunan di daerah dan membuat
pemeratan pembangunan antar daerah.
2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan
mengadakn kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan
bendera merah putih.
3. Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang
di lakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala
daerah melakukan korupsi.
4. Melakukan pengawasan perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan
di atasnya yang lebih tinggi.
5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk
mencegah pembentukan dinasti politik.
6. Meningkatkan control terhadap pembangunana di daerah dengan memilih mendragri
yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
7. Melaksankan Good Governence dengan memangkas birokrasi ( repormasi birokrasi )
mengadakan pelayanana satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.
8. Meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor SDA dan pajak serta mencari dari
sector lain seperti jasa dan pariwisata di gunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
NO 4
Mahasiswa memiliki tiga peran penting yang harus di lakukan mahasiswa terhadap masyrakat
di antaranya:
1. Agent Of Change
Sebagai mana yang sudah di jelaskan di dalam Surah Ar’Rad:11 bahwa dimana
bahwa suatu kaum harus mau berubah bila mereka menginginkan sesuatu keadan
yang lebih baik. Dengan adanya mahasiswa sebagai kaum intelektual, maka
mahasiswa di tuntut untuk melakukan suatu perubahan kea rah yang lebih baik.
Mahasiswa tidak hanya” diam” melihat kondisi di sekitarnya. Mahasiswa harus
merubah kondisi sekitarnya.
2. Agen Of Control
Mahasiswa juga bisa berperan sebagai control terhadap kebijakan yang di buat
menyangkut hajat hidup orang banyak, mahasiswa dapat menjadi peran penting dalam
mewujudkan good governance dalam system pemerintahan.
3. Iron Stock
Mahasiswa adalah asset atau cadangan untuk masa depan. Mahasiswa di harapkan
menjadi generasi yang Tangguh dan juga harus memiliki kemampuan dan moralitas
yang baik sehingga dapat menggantikan generasi sebelumnya. Hal ini dapat di
buktikan dengan adanya organisasi yang setiap akhir kepengurusan akan di tandai
dengan pergiliran tongkat estapet dari golongan tua yang sudah pernah memimpin
kegolongan muda yang mempunyai jiwa kepemimpinan. Dan di sinilah saatnya yang
muda yang memimpin.
Sebagai mahasiswa juga harus mengerti fungsi mahasiswa yang harus di jalankan:
a. Memiliki keinsyapan tanggung jawab atas kesejahteran masyrakat
b. Cakap dan mandiri dalam memmelihara dan memajukan ilmu pengetahuan
c. Cakap memengku jabatn atau pekerjaan di masyarakat.
Berdasarkan fungsi terebut dapat kita sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi
adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi
sebuah fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri
yaitu: memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya.insan akademis
harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalh-masalah yang
terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa
itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti
watak ilmu tersebut maka mahasiswa di harapkan dapat memahami berbagai masalah
yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk
menyelesaikannya peran mahasiswa sebgai kaum terpelajar dalam Good Govarnance
diantaranya:
A. Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisipasi dalam
pemilu dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa
dan NKRI maju seperti negara lain di dunia.
B. Mendorong dan memandu masyarakat secara langsung atupun tidak untuk
memilih parpol dan calon wakil rakyat yang jujur, amanah, cerdas, pejuang,
berani dan mempunyai track record yang baik di masyrakat.
C. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang parpol dan calon wakil rakyat
yang baik dan pantas untuk di pilih, supaya hasil pemilu dapat membawa bangsa
ini semakin maju di bawah pemimpin yang tepat.
D. Memberikan aspirasi dan juga kritisi atas kebijakan dan juga tindakn yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang di sasari oleh penelitian atau kajian.