TUGAS 3
1. Otonomi daerah menurut undang-undang no. 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat atas prakarsa sendiri
atas dasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah berarti sebagian besar kewenangan yang sebelumnya menjadi milik pemerintah
pusat telah dialihkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih
cepat merespon kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan kapasitasnya. pelaksanaan
tugas pemerintahan dan pembangunan akan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat dan lebih
berkualitas. Keberhasilan implementasi otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan
keuangan daerah sumber daya manusia milik wilayah tersebut, serta kemampuan kawasan untuk
mengembangkan semua potensi wilayah otonomi.
Untuk daerah pertanian dan perkebunan otonomi daerah sangat membantu dalam hal penyaluran
benih unggul, pupuk, penyuluhan serta kegiatan pengelolaan dan pemanenan yang di dukung
dengan adanya bantuan dari pemerintah daerah yang memberikan alat panen yang memudahkan
masyarakat dalam kegiatan pengolahan maupun pemanenan.
b. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan
tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan.
Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu
lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa
pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk
menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada
otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga
kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi
(standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam
menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang
kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di
daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan
kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta
mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah
cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan
masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat
tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah
dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan
otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol
terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat
demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh
strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada
masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan
sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru
dipercaya mewakili kepentingannya.
4. KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam
sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru,
yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural
Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya
lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, tentu cukup banyak keberhasilan yang telah dicapai.
Namun, juga tidak sedikit pekerjaan rumah yang belum tertangani, khususnya terkait upaya
mengatasi bias-bias implementasi kebijakan otonomi daerah. Hanya menyebut beberapa contoh,
di antara keberhasilan yang telah dicapai tersebut adalah semakin luasnya kewenangan yang
dimiliki daerah, diperankannya DPRD sebagai lembaga legislatif, semakin terbukanya kesempatan
bagai masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam
pengawasan pemerintahan daerah,dan terlaksanakannya sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung (pilkada).
Sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah menyebabkan mengapa capaian reformasi
desentralisasi dan otonomi daerah tersebut cenderung bernuansa kuantitas. Koinsidensi dari tiga
faktor inilah selanjutnya telah melahirkan bias-bias kebijakan yang pada gilirannya telah dijadikan
sebagai kambing hitam untuk membangun citra buruk atas kinerja desentralisasi dan otonomi
daerah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Secara singkat,tiga faktor yang dimaksud
dapat dijelaskan sebagai berikut: .
Pertama, ada ambivalensi pada tataran konseptual orientasi ideologis vs orientasi teknis. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pendulum relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
di Indonesia sejauh ini lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi.
Kendati UU No 22/1999 pada tingkat yang minimal telah mencoba untuk menggeser pendulum
sen-tralisasi tersebut ke arah kutub desentralisasi, UU No 32/2004 cenderung untuk
mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). Di antara penyebab terjadi gerak balik
pendulum relasi kewenangan tersebut adalah karena konsep dasar dari desentralisasi itu sendiri
belum terbebas dari adanya ambivalensi antara orientasi ideologis vs orientasi teknis . Secara
ideologis, desentralisasi dan otonomi daerah diaplikasikan dengan tujuan antara lain untuk
mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Meski demikian, orientasi
ideologis ini harus banyak berbenturan dengan orientasi teknis, terutama terkait tuntutan untuk
menciptakan pemerintahan yang stabil dan efisien. Akibatnya, kendati pada tingkat pernyataan
sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat
proses demokratisasi di tingkat lokal,pada tingkat kenyataan wewenang yang diserahkan kepada
daerah sangat dibatasi dan kontrol pemerintah pusat atas daerah juga terlihat sangat ketat. .
Kedua, ada bias relasi antarelite sebagai implikasi dari pergeseran relasi negara dan
masyarakat.Realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga harus
didudukkan dan dipahami pada konteks pergeseran relasi negara-masyarakat (statesociety
relation) pada periode pasca- Orde Baru.Dengan demikian,akan diketahui bahwa bias
implementasi kebijakan yang terjadi sejauh ini bukan sepenuhnya merupakan dampak langsung
dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga sebagai implikasi dari
pergeseran pola interaksi antara negara dan masyarakat (statesociety relation) pada periode
pasca- Orde Baru.Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi state-society
tersebut adalah masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun,peran masyarakat dalam
hal ini belum dalam arti civil society,tetapi lebih banyak diwakili oleh elite masyarakat (societal
actors).Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan,baik
di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan
tawarmenawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi dan state actors (para elit
penyelenggara negara) pada sisi lain.Pada konteks inilah, desentralisasi dan otonomi daerah,serta
berbagai produk turunannya, seperti pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah (pilkada)
harus didudukkan dan dimaknai. .
Ketiga, agenda reformasi yang lebih menekankan pada upaya membangun citra negara, namun
minus perbaikan kapasitas. Realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga tidak
dapat dilepaskan dari adanya bias agenda reformasi yang berlangsung di Tanah Air. Dalam kurun
waktu sepuluh tahun pertama (1999-2009), fokus perhatian dari agenda reformasi lebih banyak
dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform).
.Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) relatif
belum mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya, dapat dimengerti bila kemudian kehadiran
negara dalam praktik kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan
dalam beberapa kasus justru absen . Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang
berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harus dipahami dan dimaknai
sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity. Karena itu, juga dapat
dimengerti bila kemudian kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat sangat nyata
dalam bentuk institusi, tetapi tidak kentara dalam fungsi. Desentralisasi dan otonomi daerah juga
sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi,namun roh yang terkandung di dalamnya masih
sangat kental bernuansa sentralisasi.
Dari uraian diatas saya simpulkan tiga kunci sukses otonomi daerah. Pertama,
kepemimpinan kepala daerah dan DPRD. Kedua, kapasitas kepala daerah dan ketiga partisipasi
dan kontrol rakyat. Jika tiga kelompok besar ini sudah benar, akan berdampak terhadap
peningkatan kapasitas. Daerah yang mempunyai kepemimpinan baik, bisa memberikan
kemudahan kepada rakyat dan membuat otonomi berjalan baik.
4. Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak
meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem
pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance
merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan
tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini,
penerapan Good Governance diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai
dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran
dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah
ini:
Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh
informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan,
meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang
berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai
tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan
baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten
bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh
setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai
elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh
perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas
untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau
panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun
eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana
perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut
bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip
kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan
informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat.
Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur,
leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya
kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah,
sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat
maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut
berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen
dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik
akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen
pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.