Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : JHOSUA CHRISTIAN AGUNG PUTRA

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043333969

Kode/Nama Mata Kuliah : MKDU4111/ PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Kode/Nama UPBJJ : 47/PONTIANAK

Masa Ujian : 2020/21.2 (2020.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
JAWAB

1. Otonomi dapat diartikan pengaturan sendiri, mengatur, atau memerintah sendiri.


Menurut seorang ahli bernama Kansil, otonomi daerah adalah suatu bentuk hak dan
wewenang berikut kewajiban dari sebuah daerah untuk dapat mengatur serta
mengurus urusan daerah sendiri berdasaran peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Dalam artian sempit, otonomi diartikan mandiri, dan dalam arti luas
diartikan berdaya. Maka, otonomi daerah bisa diartikan sebagai suatu kemandirian
daerah untuk mengurus, berbuat, dan memberikan putusan untuk kepentingan
daerahnya sendiri. Namun, dalam melaksanakan otonomi, tiap daerah tetap
dikontrol oleh pemerintah pusat sesuai undang-undang.Untuk mengenal lebih dalam
mengenai otonimi daerah, kamu perlu memahami juga tujuan, prinsip, asas,
pelaksanaan, dan dasar hukumnya.
pelaksanaan otonomi daerah memiliki sejumlah tujuan, yakni:

 Terlaksananya pendidikan politik.


 Menciptakan stabilitas politik.
 Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
 Membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal.
 Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
pemeritah daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.
 Pemerintah daerah akan mengetahui lebih banyak masalah yang dihadapi
masyarakatnya.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menemukan momentumnya pada era


setelah reformasi 1998. Tuntutan reformasi mendorong Sidang Istimewa MPR Tahun
1998 menetapkan TAP MPR No XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi
daerah, pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
Kemudian, pelaksanaan otonomi daerah semakin sempurna ketika pemerintah dan
DPR RI sepakat mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.

2.
A.
1. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di
kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap
kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam
konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif
Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan
untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat
menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam
konteks NKRI.

2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi
publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya
kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi
kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara
teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma
politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan
subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.

B.
Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan
tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat
berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang
lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan
betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang
diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi,
dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila
institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi”
melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi
masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu
organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi
dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi
daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu
kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons
terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang
menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu
mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus
kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia
harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan
di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia
dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya
persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber
daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.

Kuatnya Paradigma Birokrasi


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan
yang dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya
pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis
dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali da n
formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh
pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut.
Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai
pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan
pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-
proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan
pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus
menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu
perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan
kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta
mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992)
atau reinventing government, 1992, 1997).

Lemahnya Kontrol Wakil Rakyat Dan Masyarakat


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam
mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif.
Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari
pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi
oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik.
Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah
diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol
terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat
demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh
strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang
ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap
pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk
bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan
kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan
untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan
yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang
terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar
bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik
birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya. Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang
dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal
untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik
antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat
buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks
pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial,
memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai
parameter tuntutan terhadap kinerja.
3. Desentralisasi atau Otonomi Daerah, pemerintah daerah (PEMDA) diharapkan mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam menerapkan dan mewujudkan pengelolaan
sumberdaya alam yang lebih baik karena para pengambil keputusan berada dan lebih dekat
dengan masyarakat setempat. PEMDA dianggap lebih mengetahui persoalan dan kebutuhan
masyarakat di daerahnya sendiri dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Dengan demikian desentralisasi akan mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif,
peningkatan pemerataan pendapatan masyarakat lokal dari hasil pemanfaatan sumberdaya
alam dan diharapkan pula untuk lebih bertanggung jawab dalam penerapan prinsip-prinsip
keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerahnya.
Walaupun demikian terdapat beberapa kelemahan dari penerapan desentralisasi yang dapat
menyebabkan penyimpangan, apabila tidak disertai tanggung jawab dalam kewenangan dan
kemampuan dalam pengelolaan serta dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai,
kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan daerah menyebabkan pengurasan dan
ketidakberlanjutan pemanfataan sumberdaya alam.eksternalitas yang timbul tidak hanya
merugikan satu sektor atau daerah itu sendiri tetapi menyebabkan kerugian yang bersifat
multisektor dan melampaui batas-batas administratif suatu daerah hingga memberikan dampak
yang bersifat regional bahkan nasional.

4. Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid


dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal dan politicanframework bagi tumbuhnya aktifitas
usaha.Goodgovernance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada
proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh
pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan
dalam suatu negara.

Prinsip GoodGovernance
Kunci utama memahami goodgovernance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu
pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan
dengan semua unsur prinsip-prinsip goodgovernance. Menyadari pentingnya
masalah ini, prinsip-prinsip goodgovernance diurai satu persatu sebagaimana tertera
di bawah ini:
Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.

Tegaknya Supremasi Hukum (Ruleof Law)


Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan
publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam
proses mewujudkan cita goodgovernance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan ruleoflaw dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
Supremasi hukum (thesupremacyoflaw), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum
yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif,
Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.

Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Anda mungkin juga menyukai