TUGAS 3
2.
A.
1. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di
kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap
kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam
konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif
Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan
untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat
menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam
konteks NKRI.
2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi
publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya
kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi
kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara
teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma
politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan
subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
B.
Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi
yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan
tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat
berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang
lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan
betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang
diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi,
dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila
institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi”
melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi
masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu
organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi
dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi
daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu
kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons
terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang
menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu
mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus
kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia
harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan
di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia
dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya
persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber
daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.
Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu
pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan
untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan
yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang
terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar
bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik
birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya. Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang
dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal
untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik
antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat
buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks
pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial,
memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai
parameter tuntutan terhadap kinerja.
3. Desentralisasi atau Otonomi Daerah, pemerintah daerah (PEMDA) diharapkan mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam menerapkan dan mewujudkan pengelolaan
sumberdaya alam yang lebih baik karena para pengambil keputusan berada dan lebih dekat
dengan masyarakat setempat. PEMDA dianggap lebih mengetahui persoalan dan kebutuhan
masyarakat di daerahnya sendiri dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Dengan demikian desentralisasi akan mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif,
peningkatan pemerataan pendapatan masyarakat lokal dari hasil pemanfaatan sumberdaya
alam dan diharapkan pula untuk lebih bertanggung jawab dalam penerapan prinsip-prinsip
keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerahnya.
Walaupun demikian terdapat beberapa kelemahan dari penerapan desentralisasi yang dapat
menyebabkan penyimpangan, apabila tidak disertai tanggung jawab dalam kewenangan dan
kemampuan dalam pengelolaan serta dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai,
kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan daerah menyebabkan pengurasan dan
ketidakberlanjutan pemanfataan sumberdaya alam.eksternalitas yang timbul tidak hanya
merugikan satu sektor atau daerah itu sendiri tetapi menyebabkan kerugian yang bersifat
multisektor dan melampaui batas-batas administratif suatu daerah hingga memberikan dampak
yang bersifat regional bahkan nasional.
Prinsip GoodGovernance
Kunci utama memahami goodgovernance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu
pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan
dengan semua unsur prinsip-prinsip goodgovernance. Menyadari pentingnya
masalah ini, prinsip-prinsip goodgovernance diurai satu persatu sebagaimana tertera
di bawah ini:
Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.