Anda di halaman 1dari 2

Nama : Nofa kuratul

NIM : 2021015230

Kelas : 2E

Tugas Matkul : Kewarganegaraan

Pertanyaan : Masalah krusial apa atau masalah penting apa yang menyebabkan otonomi daerah kita sejak
2004-2022 belum terlaksana dengan baik?

Pada permasalahan yang dihadapi oleh kita mengenai otonomi daerah, ada beberapa hal atau hambatan-
hambatan yang menyebabkan otonomi daerah ini belum terlaksana ialah yang pertama adanya perbedaan
konsep, adanya bebrapa variasi perspektif di kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara
mereka ada yang memberikan pendapatnya mengenai otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, sebagai
upaya berperspektif Ekonomi-Politik, sebagai pembagian otoritas semata, sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan), jadi ada bnayak variasi pendapat yang diberikan oleh para pejabat birokrasi ini,
banyaknya variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Oleh karena
itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Dari beberapa pendapat konsep otonomi daerah
di atas sangat variatif atau bervariasi seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus
diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian
dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang
perlu kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas
kebijakan.

Pada permaalahan yang kedua ialah adanya perbedaan paradigma, variasi makna tersebut berkaitan
pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma
organisasi yang bernuansa pertentangan. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin
ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Berbeda dengan
paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk
menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan
bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan
tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat
(negara). Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan
agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik
yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena itu dalam konteks otonomi di Indonesia
harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya
birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi
masyarakat.

Pada permasalahan yang ketiga ialah kuatnya pardigma birokrasi, yang dimana bisa kita lihat bahwa
Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi
administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari,
memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing
government, 1992, 1997).

Pada permasalahan yang keempat ialah lemahnya kontrol wakil rakyat dan masyarakat, Kelemahan ini
kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde baru” orde reformasi.
UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol
terhadap birokrasi dimulai walaupun terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan
berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat.
Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah.

Pada permasalahan yang kelima ialah adanya kesalahan strategis, Pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat
marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan
peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang
dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi
daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru,
seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat
buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam
yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak
artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan
terhadap kinerja.

Anda mungkin juga menyukai