Anda di halaman 1dari 141

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sistem politik Indonesia, terdapat fungsi politik dan struktur politik yang
manjalankannya. Fungsi politik tersebut yaitu : sosialisasi politik, pengangkatan politik,
pengajuan kepentingan, pemaduan kepentingan, komunikasi politik, pembuatan
peraturan, pelaksanaan peraturan, penghakiman peraturan, pemeriksaan keuangan negara,
dan kontrol politik. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji bagaimana pelaksanaan
kesepuluh fungsi tersebut dalam sistem politik. Penelitian ini berangkat dari
permasalahan yang terjadi terhadap fungsi-fungsi tersebut karena tidak berjalan sesuai
dengan masing-masing tujuan dari fungsi politik tersebut.

Yang pertama, dalam fungsi sosialisasi politik peranan partai politik sebagai
sosialisasi politik pada masa ini sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat, namun
kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif.

Kemudian, fungsi pengangkatan politik. Seperti banyaknya kasus calon kandidat


yang bisa dikatakan kurang mampu dibidang politik, banyaknya artis yang terjun di dunia
politik untuk popularitas, politic money, wakil rakyat yang semena-mena, korupsi, kolusi
dan nepotisme di jajaran lembaga pemerintahan, pengambilan kebijakan yang tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat cenderung diperuntukkan untuk golongan-golongan
tertentu dan masih banyak permasalahan lainnya.

Fungsi pengajuan kepentingan. Dari realitas implementasi fungsi pengajuan


kepentingan dan struktur politik yang menjalankannnya dalam sistem politik Indonesia
penulis mengangkat sebuah kasus yang terjadi di Indonesia pada tahun2005, yaitu dimana
pada tahun 2005 yang lalu kita sering mendengar, membaca ataupun melihat di televisi
maupun media sosial yang memberitakan banyak kelompok-kelompok masyarakat dan
himpunan-himpunan mahasiswa turun kejalan untuk berdemo menentang rencana

1
pemerintah menaikan harga BBM yang dimana masyarakat ataupun para mahasiswa
menganggap dan merasakan bahwa kenaikan harga BBM sangat membebani rakyat kecil.

Fungsi politik yang keempat yaitu pemaduan kepentingan. Realitas implementasi


fungsi pemaduan kepentingan dan struktur yang menjalankannya dalam sistem politik
belum berjalan dengan baik atau sangat buruk pelaksanaannya karena struktur yang
menjalankannya tumbuh di Indonesia ibarat tumbuh jamur di musim hujan, dengan
berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Pada masa ini partai politik
telah menjalankan fungsinya sebagai sarana perjuangan memepertahankan aspirasi rakyat
dan mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang bersifat politis. Implementai fungsi
pemaduan kepentingan juga belum maksimal karena dikatakan struktur yang
menjalankannya seperti partai politik sulit untuk menjadi wahana menampung
kepentingan rakyat karena nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia
boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara.

Fungsi kelima, yaitu komunikasi politik. Dalam realitas implementasi fungsi


komunikasi politik dan struktur politik yang menjalankannya dalam sistem politik
Indonesia banyak yang berjalan tidak sesuai contohnya adalah masa-masa yang terdapat
dibawah ini adalah sebagai berikut :Penyalahgunaan Penggunaan Media Komunikasi
Politik, Money Politik dalam Pemilihan Umum, Terjadinya perdebatan antara
pendukung.

Fungsi keenam yaitu pembuatan peraturan. Peraturan perundang-undangan adalah


produk politis (karena dibuat oleh organ/lembaga politik yang tentunya dapat saja
bernuansa politis), dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining (tawar-
menawar) yang bermuara pada kompromi (dapat juga konsensus/kesepakatan) politis
yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang/tidak mencerminkan
kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan
pribadi.

2
Fungsi ketujuh yaitu pelaksanaan peraturan/kebijakan. Pada tatanan implementasi
pun, persoalan yang sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi karena dalam
melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu
sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing. Tidak saja dalam proses implementasi,
dalam realitas ditemukan juga walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah
dikeluarkan tetapi mengalami hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat
diimplementasikan) karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau hambatan.

Fungsi kedelapan yaitu penghakiman peraturan. Didalam tindak pidana panghakiman


massa para pelaku memiliki persepsi negatif terhadap penegakan hukum. Hukum dinilai
berjalan sangat buruk, tidak efektif, tidak efisien, dan tidak adil. Hukum juga diartikan
secara terbatas, hanya terkait aksi-aksi aparat kepolisian.Hukum seakan-akan identik
dengan penangkapan-penangkapan oleh polisi , baik tehadap para pelaku kejahatan
maupun terhadap para pelaku penghakiman massa.dalam konteks ini , polisi
dipersepsikan tidak serius dalam menangani kejahatan maupun kasus-kasus penghakiman
massa.

Fungsi kesembilan yaitu pemeriksaan keuangan negara. Ketidakefektifan dan


ketidakefisienan merupakan indikasi dari penyimpangan, tidak akuratnya perhitungan
belanja atau tidak tepatnya penggunaan uang negara dan belanja pemerintah.
Ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome), yaitu adanya kegiatan
yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan, serta fungsi pemerintahan
yang tidak optimal sehingga tujuan pemerintah tidak tercapai.

Terakhir, fungsi kontrol politik. Kontrol politik tampaknya belum begitu melembaga
dalam masyarakat karena adanya anggapan yang keliru seakan-akan dikritik/dikontrol
berarti pribadi faktor yang bersangkutan yang dihina misalnya saat berdemonstrasi
membawa kerbau dengan bertuliskan SiBuYa. Sesungguhnya ini merupakan cerminan
budaya politik yang mementingkan cara daripada tujuan dan isinya.

3
Dari penjelasan mengenai kendala dalam realitas implementasi pada setiap fungsi
politik tersebut, maka disini penulis mengangkat permasalahan ini dalam suatu penelitian
agar dapat mengetahui bagaimana sebenarnya fungsi-fungsi tersebut berjalan pada setiap
fungsi politik dan struktur yang menjalankannya dalam sistem politik Indonesia.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan , maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut : Sistem politik indonesia, fungsi politik dalam
sistem politik indonesia, struktur politik dalam sistem politik indonesia, pengaruh sistem
politik indonesia terhadap negara lain.

C. Pembatasan Masalah
Untuk menghidari penafsiran yang berbeda dan mempertegas sasaran- sasaran yang
hendak diteliti , maka peneliti membatasi pada fungsi politik dan struktur politik yang
menjalankannya dalam Sistem Politik Indonesia.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan fungsi dan struktur politik yang menjalankannya dalam sistem
politik Indonesia ?

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan diatas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana peranan fungsi dan struktur politik yang
menjalankannya dalam sistem politik

4
F. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian diatas , maka manfaat penelitian yang diharapkan , yaitu:
1. Bagi mahasiswa, sebagai informasi atau sumbangan pemikiran dalam upaya
meningkatkan mutu pembelajaran yang berkualitas dan berintegritas.
2. Bagi dosen, sebagai bukti pemenuhan tugas yang diberikan sesuai dengan kontrak
kuliah yang telah disepakati.
3. Bagi masyarakat umum sebagai pembuatan penelitian selanjutnya yang lebih baik dan
menambah wawasan, pengalaman dalam penyusunan Proposal Riset Mini.

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Pengertian Fungsi Politik

Fungsi politik adalah peranan politik yang tiada lain merupakan tugas dan
kewenangan atau hak dan kewajiban yang melekat dalam struktur tertentu baik yang
secara formal dirumuskan dalan konstitusi maupun tidak dirumuskan yang kesemuanya
itu dalam rangka mencapai tujuan sistem politik yang bersangkutan.(dikutip halking,
2018 : 85).

Fungsi politik adalah pemenuhan tugas dan tujuan struktur politik. Jadi, suatu struktur
politik dapat dikatakan berfungsi apabila sebagian atau seluruh tugasnya terlaksana dan
tujuannya tercapai. Oleh karena itu, struktur politik di bedakan atas infrastruktur politik,
yaitu struktur politik masyarakat atau rakyat, suasana kehidupan politik masyarakat,
sektor politik masyarakat, dan suprastruktur politik, yaitu struktur politik pemerintahan,
sektor pemerintahan, suasana pemerintahan,Sektor politik pemerintahan.

2. Pengertian Struktur Politik

Struktur politik adalah pelaksana dari fungsi-fungsi atau peranan politik yang melekat
dalam struktur tersebut.(dikutip halking, 2018, 86). Struktur politik adalah pelembagaan
hubungan organisasi antara komponen-komponen tang membentuk bangunan
itu. Struktur Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi
oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan berarti kapasitas dalam
menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik.

Struktur politik berasal dari dua kata yaitu, struktur dan politik. Struktur berarti badan
atau organisasi, sedangkan politik urusan negara. Jadi secara harafiah politik adalah
badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan negara. Struktur politik adalah
pelembagaan organisasi antara komponen-komponen yang membantuk bangunan itu.

6
Struktur politik sebagai satu spesies pada umumya, selalu berkenaan dengan alokasi-
alokasi nilai yang bersifat otoratif yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta
penggunaan kekuasaan.

3. Fungsi Sosialisasi Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya


A. Pengertian Sosialisasi Politik
Pengertian sosialisasi politik menurut Wright (dalam Sutaryo, 2005) adalah proses
ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan
(sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang tersebut
untuk memperhitungkan harapan-harapan orang lain. Menurut Koirudin (2004)
sosialisasi politik adalah proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi
terhadap fenomena politik, yang pada umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia
berada. Setiap masyarakat mempunyai cara-cara untuk mensosialisasikan penduduknya
di dalam kehidupan politik. Biasanya proses sosialisasi berjalan berangsur-angsur dari
kanak-kanak sampai dewasa.
Greenstein (dalam Rush dan Althoff, 2008) menjelaskan pengertian sosialisasi politik
dalam arti sempit dan luas, yaitu: (1) Dalam arti sempit adalah penanaman informasi
yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan intruksional secara
formal ditugaskan untuk tanggung jawab. (2) Sedangkan dalam arti luas adalah semua
usaha untuk mempelajari, baik formal maupun informal, disengaja ataupun tidak
direncanakan, pada setiap tahap siklus kehidupan, dan termasuk didalamnya tidak secara
eksplisit masalah belajar saja, akan tetapi juga secara nominal belajar bersikap mengenai
karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Sosialisasi politik menurut Syarbaini, dkk. (2004) adalah proses pembentukan sikap
dan orietansi politik pada anggota masyarakat. Masyarakat melalui proses sosialisasi
politik inilah memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang
berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup melalui pendidikan
formal dan informal atau tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik
dalam kehidupan keluarga atau tetangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

7
Dari beberapa pandangan ahli di atas setidaknya terdapat kesamaan yang menunjukan
bahwa pada dasarnya sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana
memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut
menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi
politik dengan demikian juga menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing
anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Pada dasarnya sosialisasi
politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik.
Sosialisasi politik adalah proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan
dari usaha saling mempengaruhi diantara kepribadian individu dengan pengalaman-
pengalaman politiknya yang relevan. Pengalaman tersebut tidak perlu khas bersifat
politik, dengan sendirinya, akan tetapi pengalaman tersebut disebuut relevan karna
memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengalaman yang semula besifat sosial
atau ekonomis, mungkin mengandung arti politis jadi gerakan dari suatu lingkungan ke
lingkungan lain dapat mempengaruhi identitas kepartaian seseorang, atau suatu priode
mengandung dapat mengakibatkan seseoarng menjadi terasing secara politis. Oleh karena
itu sosialisasi politik ditandai dengan satu jaringan rumit dari pengetahuan, nilai-nilai,
dan sikap-sikap yang ditransmisikan individu-individu dan kelompok-kelompok individu
dalam sistem politik, sebagai hasil dari dann memberikan kontribusi kepada satu set
pengalaman-pengalaman yang terjalin disekitar kepribadian individu, untuk kemudian
membentuk suatu sindrom tingkah laku politik.

B. Jenis-Jenis Sosialisasi Politik


Terdapat berbagai jenis sosialisasi politik, dan apabila dikaitkan dengan prosesnya
sosialisasi dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu: (1) Sosialisasi primer, sosialisasi
pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat
(keluarga). Sosialisasi ini berlangsung pada saat kanak-kanak. (2) Sosialisasi sekunder,
adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan
individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. (Susanto, 2012). Kedua proses
tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam

8
kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari
masyarakat luas dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani proses kehidupan,
dan diatur secara formal.
Sedangkan berdasarkan tipenya, jenis-jenis sosialisasi oleh Syarbaini, dkk. (2004)
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Sosialisasi formal, yaitu sosialisasi yang dilakukan melalui
embaga-lembaga berwenang menurut ketentuan negara atau melalui lembaga-lembaga
yang dibentuk menurut undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. (2)
Sosialisasi informal, yaitu sosialisasi yang bersifat kekeluargaan, pertemanan atau
sifatnya tidak resmi. Sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan,
seperti halnya Komisi Pemilihan Umum, disebut sosialisasi formal karena lembaga
tersebut mempunyai kewenangan serta mempunyai landasan hukum, selain itu materi
yang disampaikan oleh lembaga tersebut merupakan kebijakan pemerintah. Jenis
sosialisasi formal merupakan jenis yang sering digunakan oleh pemerintah dalam
mensosialisaskan program atau kebijakan yang baru dibuat kepada masyarakat,
sebagaimana misalnya Komisi Pemilihan Umum dalam mensosialisasikan proses
pemilihan umum.

C. Lembaga Yang Berperan Dalam Sosialisasi Politik


Adapun lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang berperan dalam
sosialisasi politik yaitu sebagai berikut:
a. Keluarga
Diluar mesin partai sebagai sarana untuk memperkenalkan diri, menyampaikan visi
misi dan program kerja, seorang caleg harus mampu mengelola, memberdayakan peranan
keluarga. Keluarga dalam hal ini tidak hanya keluarga inti saja, tetapi juga sanak famili
dan kerabat jauh.Caleg hanya perlu melakukan pendekatan kepada salah seorang anggota
keluarga (baik keluarga intinya ataupun sanak famili), selanjutnya peranan dari keluarga
itulah yang akan membangun pencitraan dan informasi. Bila dikelola dengan baik, maka
keluarga tersebut akan dapat diarahkan. Keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan
sosialisasi politik seorang caleg pada dasarnya tidak hanya sebagai ajang

9
mempromosikan, tetapi juga dapat mengurangi pengeluaran finansial untuk tim sukses.
Pada beberapa orang caleg dengan keterbatasan keuangan, memaksimalkan peran
anggota keluarga merupakan alternatif dalam rangka menarik simpati dari masyarakat.
Cara ini tidak terbatas tempat dan waktu.

b. Media Massa
Upaya untuk mencapai pendidikan pancasila yang demokratis dapat diwujudkan
melalui proses pembentukan sikap dan orientasi pada anggota masyarakat dalam hal ini
sosialisasi politik salah satunya dengan media massa surat kabar. Surat Kabar menurut
Abu Al Ghifari adalah barang cetakan yang berisi berita, informasi, dan pendidikan yang
terbit secara kontinyu yang biasanya harian. Ada juga yang berpendapat bahwa surat
kabar adalah salah satu bentuk media cetak yang tidak dijilid, dalam ukuran normal tiap
halaman terdiri 9 kolom. Ada yang terbit 8 halaman, 12 halaman, 16 halaman, dan lebih
dari 16 halaman. (Abu Al-Ghifari, 2010).
Jalur media massa, UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyebutkan peranan pers
nasional adalah: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, serta
menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan info yang tepat
akurat dan benar, melakukan pengawasan kritik koreksi dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran
sehingga media massa dapat dijadikan wahana pendidikan pancasila yang demokratis.

c. Partai Politik
Sosialisasi politik dalam ilmu politik dapat diartikan sebagai suatu proses yang harus
dilalui sesorang untuk memahami gejala politik yang umumnya berlaku di dalam
masyarakat dimana ia berada. Proses pemahaman berlangsung secara bertahap sejak dan
masa kanak-kanak hingga dewasa. Sosialisasi politik juga mencakup proses penyampaian
norma-norma dan nilai-nilai oleh masyarakat dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Dengan adanya sosialisasi politik, setiap orang diharapkan dapat mengetahui dan

10
menghayati, kemudian dapat mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku
didalam masyarakat. Oleh karena itu, partai politik harus berperan aktif menanamkan
norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian
masyarakat akan dapat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Adapun
cara-cara yang dilakukan dalam proses sosialisasi politik itu, antara lain melalui ceramah-
ceramah politik, kursus-kursus, penataran dan sebagainya.
Disamping itu partai politik harus mampu menumbuhkan kepercayaan kepada
masyarakat bahwa parti politik dalam kegiatannya benar-benar memperjuangkan
kepentingan masyarakat pada umumnya bukan hanya semata-mata kepentingan partai
atau golongannya.

d. Lembaga Pendidikan
Selain keluarga sekolah juga menempati posisi penting sebagai agen sosialisasi
politik. Sekolah merupakan secondary grup. Kebanyakan dari masyarakat mengetahui
lagu kebangsaan, dasar negara, pemerintah yang ada, dari sekolah. Oleh sebab itu, sistem
pendidikan nasional selalau tidak terlepas dari pamtauan negara oleh sebab peran
pentingnya ini.

e. Pemerintah
Pemerintah merupakan agen sosialisasi politik secondary grup pemerintah merupakan
agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi politik. Pemerintah yang
menjalankan sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah biasanya melibatkan diri dalam
politik penyidikan, dimana beberapa mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan
sisea kepada sistem politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan dan sejenisnya.
Pemerintah juga, secara tidak langsung melakukan sosialisasi politik melalui tindakan-
tindakannya. Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh dan
ini mempengaruhi budaya politiknya.

11
D. Perkembangan Sosialisasi Politik
Masa kanak-kanak dan masa remaja. Frank dan Elizabeth Estvan dalam buku mereka
The Cild`s World telah menunjukkan bagaimana caranya anak-anak secara berangsur-
angsur menyadari satu lingkungan yang lebih besar bagaimana caranya mereka itu
semakin bertambah tanggap dalam mereaksi situasi-situasi khusus; dan bagaiman seluruh
pandangan mereka menjadi semakin berpautan dan semakin total, sedang sebelum itu
masih bersifat terpotong-potong dan terbatas.
Selanjutnya, kesimpulan umum dari kelompok Estvan juga mempunyai relevansi
dengan sosialisasi politik. Mereka menemukan, bahwa lingkungan merupakn faktor
penting dalam sosialisasi; anak-anak urban di daerah kota, misalnya, akan lebih mengenal
gambar gedung capitol dan pada anak-anak desa; dan hal ini disebabkan oleh orientasi
yang lebih lokal dikalangan anak-anank dari daerah pedesaan.
Sebagai hasil riset survey kedalam sosialisasi politik, Davit Easton dan Robert Hess
mengemukakan, bahwa di Amerika Serikat belajar politik dimulai pada usia 3tahun, dan
menjadi mantap pada usia 7tahun. Tahap-tahap lebih awal dari belajar politik mencakup
perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan misalnya seperti “Keterikatan pada sekolah-
sekolah mereka” dan pengenalan bahwa mereka itu berdiam di suatu negara bagian
tertentu. Kesadaran patriotisme sederhana tampaknya menjadi salah satu dari manifestasi-
manifestasi dari awal dari belajar politik : Easton dan Hess menemukan, bahwa anak-
anak yang muda itu emmpunyai kepercayaan pada keindahan negrinya dan pada
kebaikan serta kebersihan rakyatnya.
Easton dan Denis menekankan, bahwa tidak terdapat pembuktian untuk menyokong
suatu teori mengenai sosialisasi politik yang mengikuti kemajuan linear, sistematis dan
bertahap atau seri lingkaran-lingkaran konsentris yang semakin melebar dalam
perkembangan kesadran politik diri anak. Sebaliknya, penekanan, bahwa belajar politik
itu tampaknya terpish-pisah dan bervariasi, sehingga dengan demikian seorang anak
menjadi sadar bersamaan dengan otoritas keluarganya, peranan agen polisi, dan
kedudukan presiden; kesadaran mengenai ketiga tingkatan pemerintahn nasional, negara
bagian, dan lokal.

12
Degan semakin lebih tua nya usia anak, mereka juga menyadari, bahwa bermacam-
macam individu dan kelompok-kelompok itu memainkan peranan dalam proses politik :
Easton dan Denis mengemukakan, bahwa pada kelas 4 (usia 9-10 tahun), anak-anak telah
memiliki beberapa pengetahuanmengenai peranan yang dimainkan oleh serikat buruh,
perusahaan-perusahaan besar, surat-surat kabar, dan gereja-gereja; yaitu suatu kesadaran
mengenai politik yang informal. Kesadaran ini disertai dengan perkembangan sikap
mengenai pemerintah dan politik termasuk didalamnya identitas partai, dan satu
pembedaan yang semakin jelas diantara institusi dengan rakyat, antara jabatan-jabatan
politik dan pribadi-pribadi yang memegang jabatan tersebut.
Easton dan Denis mengutarakan empat tahap dalam sosialisasi politik diri anak-anak :
1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan
polisi.
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan eksternal, yaitu antara
pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi yang impersonal seperti kongres, MA, dan
pemungutan suara (pemilihan umum).
4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang
terlibat dari aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini, sehingga
ggambaran yang idealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti Presiden atau
seorang anggota kongres telah dialihkan kepada kepresidenan.
Easton dan Denis telah menyelidiki pula kemahiran yang diperoleh anank-anak
mengenai kemampuan politik mereka : yaitu perasaan kepada individu bahwa dia dapat
menggunakan beberapa pengaruh dalam sistem politik. Easton dan Denis menemukan,
bahwa perasaan dalam hal kompetensi politik ini bertambah dari 16% di kelas III menjadi
58% di kelas VII; akan tetapi mereka menekankan, bahwa hal ini tidak tergantung baik
pada kemampuan untuk memahai pemerintah maupun pada jurnal informasi yang
dimiliki oleh para responen. Gambaran yang diberikan Easton dan Denis mengenai
sosialisasi politik selama masa kanak-kanak itu cukup jelas.

13
E. Sosialisasi Politik Dalam Masyarakat Berkembang
Hubungan antara hal-hal yang lama dengan yang baru paling jelas data dilihat dari
bagian-bagian dunia yang dahulunya dijadikan koloni oleh kekuata-kekuatan Eropa,
sampai kadar yang berbeda kekuatan-kekuatan kolonial tersebut memperkenalkan
lembaga-lembaga politik Barat, Birokrasi, kebudayaan, dan pendidikan. Selama
perjuangan memperebutkan kemerdekaan, sikap-sikap tradisomal dan pengaruh-pengaruh
sedemikian itu cenderung tenggelam di bawah permukaan dalam suatu satuan yang
dipertahankan demi tercapainya kemerdekaan nasional. Sekali kemerdekaan itu tercapai,
maka tekanan-tekanan tradisional itu menyatakan dirinya kembali dan biasanya menjadi
basis bagi kelempok-kelompok interses dan bagi partai-partai politik.
Proses tradisonal dari sosialisasi terus-menerus membentuk orientasi dan pola-pola
tingkah laku mayoritas rakyatnya sedangkan para pemimpin politik selalu berusaha
menghancurkannya, yng di anggap sebagai suatu rintangan bagi kemajuan. Sosialisasi
lalu menjadi terpotong-potong, dengan sendirinya, sebagian disebabkan karena bnayak
negara berkembang itu terdiri atas campuran dari beberapa masyarakat tradisional, yang
sering menjadi kelompok-kelompok kekuasaan yang saling bersaing ditengan bangsa-
bangsa yang baru, dan sebagain lagi disebabkan oleh semakin tajam perbedaan antara
hal-hal sosial politik. Lembaga-lembaga politik eksekutif, legislative, yudikatif, partai-
partai politik, kelompok-kelompok interes yang tidak menjadi bagian-bagian integral dari
masyarakatnya, kini diciptakan.
Masalah berat yang dihadapi oleh suatu negara berkembang adalah adanya berbagai
macam kelompok dan tradisi di negara itu. Hal ini dapat jelas dilihat dalam sejarah
Nigreria sejak kemerdekaannya pada tahun 1960. Robert le Vine berpendapat, sosialisasi
politik di negara-negara berembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada
sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada sistem-sistem politik nasional.
Vine selanjutnya mengemukakan bahwa ada tiga faktor penting dalam sosialisasi politik
di tengan masyarakat sedemikian itu :

14
1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas
merek untuk memodernisir keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan
pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisonal
antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada yang
disebut belakangan ini; namu si ibu dapat memainkan satu peranan penting pada
saat sosialisasi dini pada anak.
3. Adalah mungkin bahwa pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai suatu
kesatuan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional, paling sedikitnya
secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai kedalam daerah-
daeah perkotaan, khusus nya dengan pembentukan komunitas-komunitas
kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
Karena itu le Vine menyimpulkan bahwa adalah menyesatkan untuk menganggap
nila-nili trdisionl sebagai sesuatu yng harus dimusnahkan atau diganti: hal ini seharusnya
bisa dikombinasikan dengan lembaga-lembaga baru dan pola-pola tingakah laku yang
baru.

F. Pengertian Budaya Politik


Budaya politik adalah pola perilaku individu dan orientasinya dalam kehidupan
bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat
istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap
harinya (Kantaprawira, 2006:25). Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat
seluruhnya.
Budaya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba (1990:178) sebagai suatu sikap
orientasi yang khas suatu warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Pengertian
budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua

15
tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. Almond dan Verba
juga mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap
sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri
dalam sistem politik.
Budaya politik merupakan aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan tingkat pendidikan
dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara
dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri,
terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat
kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara
akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Secara teoritis, budaya politik juga
dapat diartikan aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat,
takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat
dalam memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
Kemudian jenis-jenis budaya politik yaitu terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
1) Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial ditunjukkan oleh frekuensi terhadap keempat jenis objek
politik yang mendekati nol. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik demikian
adalah masyarakat suku-suku di Afrika atau komunitas-komunitas lokal yang otonom
(kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain di dunia.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik parokial diantaranya sebagai berikut:
a. Tidak adanya peran-peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala
kampung atau dukun merupakan pemencar peran-peran yang bersifat politik,
ekonomi dan keagamaan. Orientasi anggota-anggota masyarakat terhadap peran-
peran ini juga tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka.
b. Orientasi parokial juga memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap perubahan-
perubahan yang berarti yang diinisiatifkan oleh sistem politik. Kaum parokial
tidak mengharapkan spa pun dari sistem politik.

16
Secara relatif parokialisme (budaya politik parokial) yang murni terdapat pada
masyarakat yang memiliki sistem tradisional yang lebih sederhana dengan tingkat
spesialisasi politik yang sangat minim. Namun demikian pada masyarakat yang lebih
besar juga masih tetap memiliki budaya politik parokial. Parokialisme dalam sistem
politik yang deferensiatif (masyarakat yang besar) lebih bersifat afektif dan normative
daripada kognitif. Contohnya adalah suku-suku bangsa di Nigeria dan Ghana. Bisa saja
mereka mengetahui akan suramnya rezim politik central, tetapi perasaannya terhadap hal
tersebut bersifat negatif dan mereka tdiak membakukan berbagai norms untuk mengatur
hubungan dengan hal-hal tersebut.

2) Budaya Politik Subjek/Kaula


Dalam budaya politik subjek terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem
politik yang diferensiatif dan objek-objek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi
terhadap objek-objek input dan pribadi sebagai partisipan yang aktif (aktor politik)
mendekati nol. Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik subjek diantaranya
adalah:
a. Para subjek (anggota masyarakat yang memiliki budaya subjek) menyadari
adanya otoritas pemerintah (sistem politik), mereka secara efektif diarahkan
terhadap otoritas tersebut, mereka juga mungkin merasa bangga terhadap sistem
itu atau sebaliknya tidak menyukainya, dan mereka menilainya absah atau
sebaliknya.
b. Hubungan pars subjek dengan sistem secara umum dan terhadap output,
administrative atau "downward flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari sistem
politik itu secara esensial merupakan hubungan yang pasif, walaupun mereka
memiliki bentuk kompetensi (kemampuan) secara terbatas.
Orientasi subjek yang murni terdapat pada masyarakat yang tidak memiliki struktur
input yang dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah
mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normative daripada
kognitif. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan Perancis. Mereka

17
sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak
memberi keabsahan pada mereka.

3) Budaya Politik Partisipan


Tipe budaya politik partisipan adalah satu bentuk budaya yang anggota-anggota
masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem secara
keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif (objek-objek input dan
output). Demikian pula anggota-anggota pemerintah yang partisipatif secara
menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada berbagai objek politik yang serba
ragam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat,
meskipun perasaan dan penilaian mereka terhadap peranan yang demikian bisa menerima
atau justru menolaknya. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh anggota
masyarakat atau warga negara yang memiliki pengetahuan dan kesadaran politik,
perhatian dan kepedulian terhadap keseluruhan objek-objek politik yang sangat tinggi.
Meskipun mereka sendiri bisa saja bersikap positif atau negatif terhadap objek-objek
politik tersebut. Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik
partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat.
Tipe budaya politik partisipan secara umum tidak akan menanggalkan tipe-tipe
terdahulu yaitu parokial dan subjek, karena ketidaksamaan kondisi di masing-masing
masyarakat atau negara. Ketidaksempurnaan proses-proses sosialisasi politik, pembatasan
dalam pendidikan atau kesempatan untuk belajar yang menyebabkan tipe budaya politik
parokial dan subjek akan terns ada. Bahkan di negara demokrasi yang sudah terhitung
mapan dan stabil. Begitu pula dengan kebudayaan parokial akan tetap bertahan walaupun
dalam kebudayaan subyek yang tinggi. Bila dianalisa lebih jauh, budaya-budaya politik
itu dapat disejajarkan dengan struktur-struktur sistem politik atau sebaliknya.
Keharmonisan akan tercipta bilamana struktur politik yang ada di suatu negara sesuai
dengan kebudayaan politiknya.
Partisipasi politik kini semakin beragam seiring dengan beragamnya permasalahan
dalam masyarakat serta sarana penyalurannya. Partisipasi politik yang pada awalnya

18
hanya dipahami sebagai aktivitas masyarakat dalam rangka melibatkan diri dalam
kehidupan politik, kini mulai bergeser. Semula partisipasi politik hanya didominasi oleh
politikus melalui partai politik, kini semua elemen masyarakat dapat melakukan aspirasi
politik melalui berbagai saluran aspiratif dalam rangka turut berperan serta
mempengaruhi kebijakan publik. Apabila partai politik yang menjadi alat penyaluran
aspirasi politik, maka hanya ada satu isu yang diangkat, yaitu, isu yang sesuai
kepentingan dan ideologi partai saja.
Sedangkan bila saluran aspirasi politik diperluas, maka isu-isu yang diangkatpun
dapat lebih beragam dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara riil. Namun, tidak
dapat dipungkiri, bahwa salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana untuk
sosialisasi politik, agar masyarakat dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara
langsung kepada pembuat kebijakan (legislative). Fungsi sosialisasi politik bagi partai
politik adalah memberikan penyadaran warga masyarakat agar menyadari peran
pentingnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hak dan kewajibannya sebagai
warga Negara. Dalam sosialisasi politik ini, parpol juga bertugas untuk mendidik anggota
dan warga masyarakat untuk lebih mementingkan Negara dan bangsanya diatas
kepentingan diri dan kelompoknya/partainya semata (Budiardjo, 2010: 408).

4. Fungsi Komunikasi Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya


A. Definisi Komunikasi Politik

Komunikasi politik merupakan salah satu input dari istem politik, dimana komunikasi
politik ini menggambarkan proses informasi-informasi politik. komunikasi
mempersembahkan semua kegiatan dari sistem politik, sehingga aspirasi dan kepentingan
dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Komunikasi politik adalah proses
penyampaian dan penerimaan pesan-pesan dengan lisan, tulisan atau simboldari seorang
komunikator kepada komunikate melalui suatu media untuk mencapai tujuan tertentu.

Komunikasi politik adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk
mneyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu

19
mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Sedangkan
menurut Nimmo (Riswandi, 2014 : 3) merumuskan komunikasi politik sebagai kegiatan
yang bersifat politis atas dasar konsekuensi aktual dan potensial yang mengatur perilaku
manusia dalam kondisi konflik. Menurut Richard Fagen, yang mengatakan bahwa
komuniksi politik adalah kegiatan komunikasi politik yang terdapat dalam suatu sistem
politik yang mempunyai dampak aktual dan potensial. Dalam formulasi yang
dikemukakan oleh Almond & Powell (1966) dan rumusan Meadow (1980) dimuka,
terlihat jelas adanya kaitan antara komunikasi politik dengan sistem politik Indonesia.
Para pakar itu mnempatkan komunikasi politik sebagai slah satu fungsi politik dalam
sistem politik dan bahkan komunikasi merupakan prasyarat yang diperlukan bagi
berlangsnungnya fungsi-fungsi lainnya.

Yang dimana sistem politik menurut Gabrial A. Almond (1953:7) menyatakan bahwa
sistem politik adalah interaksi yang terajdi dalam masyarakat yang merdeka dimana
menyelenggarakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi dengan memakai jabatan dan
sedikit banyak sah menggunakan kekuatan. Didalam komunikasi poltitik adanya sistem
hikarki dalam struktur sosial baik makro maupun mikro, menyebabkan kesenjangan
dalam pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab. Disatu pihak ada sebagian
individu yang memperoleh kesempatan emas untuk menyampaikan ide-ide dan bahkan
menentukan pengambilan keputusan, karena suara atau gagasan tidak menentukan hasil
konsensus secara psikologis-politis, pola-pola komunikasi yang demikian mendorong
orang untuk bersikap apatis dan pada gilirannya menimbulkan berkurangnya partisipasi
politik formal, dan tidak menutup peluang merebaknya aktivitas politk yang ilegal.

Keefektivan tersebut, dalam pertaliannya dengan kekuasaan sebagaimana


ditekankan Foucault, kiranya makin membuktikan secara kritis bahwa
kekuasaan bukanlah suatu institusi, struktur, dan bukan pula suatu kekuatan
yang dimiliki, melainkan “hanya” nama yang diberikan pada suatu situasi
strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Dalam konteks komunikasi
politik, dengan demikan pers sebagai pemraktik “pengetahuan-kekuasaan”

20
mestinya menjadi lebih eksis, terutama jika dihubungkan dengan praktik
kekuasaan lain yang berupa tiga bentuk “kejahatan” yang telah disebutkan,
yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Siapa pun tentu tidak sependapat
bahwa kekerasan, politik uang, dan korupsi adalah sesuatu yang harus ada
dalam penyelenggaraan negara, namun eksistensi dan dampaknya sebagaimana
dapat dilihat dewasa ini berkesan makin terstruktur dan makin mencolok mata,
seperti kemunculan kekerasan terlembaga, radikalisme, fanatisme, dan praktik
suap-menyuap.

B. Tujuan Komunikasi Politik


Tujuan komunikasi politik didalam makalah ini dibagi menjadi 4 (empat) bagian
yaitu : Citra Politik, Opini Politik, Partisipasi Politik dan Kebijakan Politik, serta
Pemilihan Umum (pemilu).
1. Citra Politik
Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra politik yang baik pada
khalayak. Citra politik itu terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung
maupun melalui media politik, termasuk media sosial dan media massa yang berkerja
menyampaikan pesan politik yang umum dan aktual. Citra politik memiliki empat fase .
Baudrillard dalam Arifin (2011:193) menyebutkan keempat fase tersebut (1) representasi
dimana citra merupakan cermin suatu realitas, (2) ideologi dimana citra
menyembunyikan dan memberikan gambaran yang salah akan realitas, (3) citra
menyembunyikan bahwa tidak ada realitas dan (4) citra tidak memiliki sama sekali
hubungan dengan realitas apapun.

2. Opini Publik
Selain citra politik, komunikasi politik juga bertujuan membentuk dan membina
Opini Publik serta mendorong partisipasi politk, sebagaimana yang telah disinggung.
Bahkan dapat dikatakan bahwa citra politik dan opini politik merupakan konsekuensi-
konsekuensi dan proses komunikasi politik yang bersifat mekanistis.

21
Opini adalah kumpulan orang—orang yang sam minat dan kepentingan terhadap isu.
Publik tidak sama dengan umum, karne apublik ditandai oleh adanya sesatu isu yang
dihadapi dan dibincangkan oleh sutau kelompok kepentingan yang dimaksud, yang
menghasilkan terbentuknya opini mnegenai isu tersebut, istilah publik bersifat
kontroversial, dan didalamnya terdapat suatu proses diskusi. Sedangkan opini publik
menurut Riswandi (2014:27) adalah suatu proses yang menggabungkan pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan dan usulan-usuan yang dinyatakan oleh pribadiwarga negara terhadap
kebijkan yang diambil oleh pejabat pemerintah.
Opini Publik adalah fenomena komunikasi politik yang duah cukup lama menjadi
perhatian, baik oleh para politikus maupun oleh para akademisi. Hal itu dapat dipahami
karena pada hakikatnya Opini publik dinegara demokrasi liberal dapat disebutkan sebagai
sebuah kekuatan politik. Opini publik sebagai salah satu tujuan komunikasi politk,
sesungguhnya merupakan efek komunikasi politik. opini publik juga sekaligus
merupakan pesan dari proses komunikasi massa yang demokratis dalam paradigma
mekanistis. Maka selain efek komunikasi politik yang dilakukan oleh para politikus atau
partai politik, tetapi juga umpanbalik dari khalayak kepada politikus atau partai politik.
dan dapat juga disebut sebagai pesan.
Opini Publik atau Public Opinion itu mulai dikenal dan dipakai pada akhir bad ke-18
di Eropa dan di Amerika Serikat. Machiavelli tercatat sebagai orang pertama yang
menggunakan istilah Opini Publik dalam arti yang modern dengan menulis dlam buku
Discourses tentang pentingnya opini publik dalam kehidupan sosial dan politik.

3. Partisipasi Politik dan Kebijakan politik


Komunikasi politik, sosialisasi politik, citra politik, dan pada akhirnya menuju pada
sasaran dan tujuan , yaitu terciptanya pasrtisipasi politik dan keikutsertaan dalam proses
penetapan kebijakan politik. partisispasi adalah keterlibatan individu-indivudu dlaam
bermacam-macam tindakan dalam kehidupan politik. keikutsertaan ini dapat berupa
kegiatan memberi atau tidak memberi dukungan politik dalam berbagai kegiatan,

22
terutama dalam kegiatan kampanye dan pemberian suara dalam kegiatan pemilihan
umum serta kegiatan dalam proses penetapan kebijakan politik.
Pakar ilmu politik, Huntington dan Nelson (1977:3) dalam buku Anwar Arifin
(2011:211) memandang partisipasi sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi dengan maksud memengaruhi pembutaan keputusan oleh pemerintah.
Dalam hal itu Huntington dan Nelson membedakan antara partisipasi yang bersifat
otonom (autonomous partisipation) dan partisispasi yang dimobilitasi atau digerakkan
oleh pihak lain (mobilized participation).
Sedangkan tujuan komunikasi yang tidak kalah penting adalah memengaruhi
kebijakan politik atau kebijakan publik. (publik policy) dlam segala segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan politik merupakan strategi pokok
kehidupan sutau negara atau garis besar sutau negara yaitu apa yang dilakukan oleh
pemerintah yang didasarkan kepada hukum. Kebijakan yang berkaitan dengan hal
tersebut, meliputi natara lain : (1) politk luar negeri, (2) politk dalam negeri, (3) politik
pertahanan, (4) politik hukum, (5) politik ekonomi, (6) politk kebudayaan, (7) politik
pendidikan, (8) politik pangan, (9) politik keuangan. Dalam hal ini politik diartikan
sebagai kebijakan (policy) yang pada asarnya tertuang dalam bentuk kebijakan umum,
perturan dan perundang-undangan.
Selain itu politikus dan partai politiknya berkepentingan terlibat dalam proses
pengambilan kebijakan politik atau kebijakan publik, juga terdapat orang-orang yang
berkepentingan teradap kebijakan yang akan ditetapkan oleh negara. Orang-orang
tersebut tergabung didalam kelompok agar aspirasiya lebih “didengar” dengan tujuan
supaya kebijakn publik tidka merugikannya dan kalau bisa kebijakan itu memberi
keuntungan bagi kelompoknya. Kelompok-kelompok itu dapat berkembang mnejadi
gerakan sosial (social movement).

4. Pemilihan Umum (pemilu)


Salah satu tujuan komunikasi yang snangat penting adalah memeangkan pemilihan
umum atau pemilu. Sukses tidaknya komunikasi politik yang efektif adalah diukur dari

23
jumlah suara yang diperoleh melalui pemilu yang bersih, bebas, langsung dan rahasia.
Dalam hal tersebut tidak terdapat intimidasi atau politk uang (money politics) secara
sisematis, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.
Disini terdapat tipe-tipe pemilih Dan Nimmo (2000:162-172) dalam buku Anwar
Arifin (2014:82-83) Tipe perilaku menurut Dan Nimmo ada 4 tipe dalam pemberian
suara dalam pemilihan umum yaitu :
1. Tipe Rasional adalah pemberi suara yang rasional, yang sesungguhnya merupakan
aksional diri, yaitu sikap yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara
yang turut memutuskan pemberian suara kepada warga Negara
2. Tipe Reaktif adalah pemberi suara yang memiliki ketertarikan emosional dengan
partai politik. Ikatan emosional kepada partai sebagai identifikasi partai, yaitu sebagai
sumber utama aksi diri dan pemberi suara yang reaktif.
3. Tipe Responsif adalah pemberi suara yang mudah berubah dengan mengikuti waktu,
peristiwa politik, kondisi-kondisi sesaat. Meskipun memiliki kesetiaan kepada partai,
tetapi apiliasi itu ternyata tidak mempengaruhi perilakunya dalam pemberian suara.
4. Tipe Aktif adalah pemberi suara yang terlibat aktif dalam menafsirkan personalitas,
peristiwa, isu, dan partai politik, dengan menetapkan dan menysusun maupun
menerima serangkaian pilihan yang diberikan.
Memberikan atau tidak memberikan suara dalam pemilihan umum pada dasarnya
adalah tindakan politik, yang menurut paradigma pragmatis adalah juga komunikasi
politik yang mempunyai pola dan dapat diprediksi, seperti telah dijelaskan dimuka. Dlam
paradigma pragmatis dapat disimpulkan bahwa bertindak adalah berkomunikasi. Partai
politik dalam hal ini berfungsi sebagai komunikator politik unuk menyampaikan aspirasi
dan kepentingan anggota masyarkat ata kelompok-kelompok masyarkat kepada
pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. segala aspirasi, keluhan,
tuntutan dan kegiatan masyarakat yang biasanya tidak terumuskan dalam bahasa teknis
yang dapat diterjemahkan oleh partai politik kedalam bahasa yang dapat dimengertioleh
pemerintah. Dengan demikian, sungguh-sungguh berlangsung proses komunikasi antara
keduanya.

24
Sedangkan partai politik memiliki tujuan. Tujuan partai politik adalh untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan program-program yang telah
meraka susun sesuai dengan ideologi tertentu. Partai politik bertujuan untuk mewujudkan
cita-cita nasional dari suatu bangsa yang sebagai mana tercantum dalam pembukaan
UUD republik Indonesia tahun 1945. Tujuan idealnya adalah bukan untuk kepentingan
pribadi atau golongan tertentu melainkan untuk seluruh bangsa Indonesia.
Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai
politik didirikan bukanlah untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Partai politik
juga didirikan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi yang berdasarkan
pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat didalam Negara Republik Indonesia.
Dengan adanya partai politik, kehidupan demokrasi dapat berkembang sehingga
kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dapat tercapai serta mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

C. Saluran Komunikasi Politik


Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan.
Pesan di sini bisa dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar,
maupun tindakan. Atau bisa pula dengan melakukan kombinasi lambang hingga
menghasilkan cerita, foto (still picture atau motion picture), juga pementasan drama. Alat
yang dimaksud di sini tidak hanya berbicara sebatas pada media mekanis, teknik, dan
sarana untuk saling bertukar lambang, namun manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan
sebagai saluran komunikasi. Lebih tepatnya saluran komunikasi itu adalah pengertian
bersama tentang siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan
bagaimana, sejauh mana dapat dipercaya
Dalam bagian ini akan membahas tentang penting media social terhadap komunikasi
politik yang terjdadi pada saat ini, dengan adanya media social maka pada saat pemilu
yang diadakan pada saat itu sangat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih
mengenal siapa yang akan menjadi calon yang tepat untuk menjadi pemimpin yang baik.
Persoalannya aktor politik di Indonesia masih belum menyadari bahwa dalam

25
berkomunikasi di media sosial memerlukan kemampuan tersendiri. Kemampuan di sini
tentu tidak hanya kemampuan teknis, tetapi mentalitas. Kehadiran media sosial menuntut
para pelaku politik untuk beradaptasi,.
Kebebasan informasi itu merupakan gaagasan yang modern dan mencukupi juga
kebebasan pers. Didalam hal ini pers dimaksudkan semua media massa yang melakukan
kegiatan jurnalistik dan bentuk penyiaran dan informasi kepada publik. Dalam hal itu
kebebasan pers , harus pula mencakupi kemerdekaan untuk menggunakan semua alat
komunikasi massa (surat kabar, film, radio, dan televisi). Dengan demikian, dapat
dijelaskan bahwa kebebasan itu da batasya yaiuttanggung jawab. Dalam rangkaian
kebebasan dan tanggung jawab itu, terutama dalam praktik masih didapati perbedaan
disetiap negara. Hal itu tegantng pada ideologi atau filsafat politik yang dianut oleh
masing-masing negara.
Media sosial merupakan rimba raya, dan praktis tidak ada peraturan di
dalamnya (Fitch, 2009). Apabila tantangan itu tidak dihadapi dengan bijak,
maka hasilnya aktor politik tersebut justru malah menjadi bahan cibiran di dunia maya.
Cukup marak diberitakan bagaimana Ibu Negara, Ibu Ani Yudhoyono, beberapa kali
terlibat perdebatan dan itu mengenai hal-hal yang tidak substantif dengan user lain di
Instagram. Selain itu para aktor politik tidak bisa lagi menggunakan media sosial sebagai
sarana untuk “curhat”.
Dalam banyak hal media massa diakui sebagai saluran komunikasi politik yang
berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari satu informasi politik, artinya, media
massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik
suatu masyarakat contohnya saja pemilihan umum atau pemilu. Dalam konteks inilah
media massa menjadi sangat penting untuk kepentingan komunikasi politik. Setidaknya,
media massa memiliki lima fungsi yang dapat dimanfaatkan komunikator politik untuk
mewujudkantujuannya.
Pertama, fungsi informasi. Media massa selalu menjadi sumber ini formasi dalam
berbagai tayangan atau peristiwa politik yang terjadi di berbagai belahan planet bumi
termasuk aktivitas aktor-aktor politik dengan sikap dan perilaku politik yang melekat

26
pada para aktor tersebut. Sebagai fungsi informasi media massa lebih menitik beratkan
kepada unsur-unsur berita yang berefek politik. Erich Evert dalam buku “Offentlichkeit in
der Aussen Politik” sebagaimana dikutif Harun (2006), mengemukakan unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam pemberitaan politik yaitu; publisitas, aktualitas, dan popularitas.
Fungsi kedua, fungsi partisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap unsur berita harus
mampu membangkit kan keikutsertaan masyarakat di dalam turut mendukung segala
kebijaksanaan pemerintah selama kebijaksanaan tersebut berkait dengan kepentingan
masyarakat. Fungsi ketiga, sosialisasi dan pendidikan politik.
Fungsi ini untuk meningkatkan kualitas rujukan masyarakat didalam menerima dan
mempertahankan sistem nilai atau sistem politik yang sedang berlangsung.
Kedua bentuk kegiatan ini merupakan proses belajar yang berlangsung dalam
waktu lama. Fungsi keempat, yaitu mengembangkan budaya politik yang disebut juga
fungsi politisasi. Fungsi ini merupakan fungsi penentu terhadap fungsi – fungsi lainnya,
karena fungsi budaya politik yaitu fungsi untuk membentuk pola perilaku yang memberi
warna dominan terhadap karakter suatu bangsa.
Fungsi kelima, yaitu fungsi integritas bangsa. Fungsi ini merupakan syarat mutlak
bagi kehidupan negara di dalam mencapai tujuannya. Oleh sebab itu media massa harus
mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran integralistik dalam artian bahwa media
massa harus etnis budaya, sukuisme, provinsialisme, dan pemikiranpemikiran lainke
pemikiran nasionalistik.

Menurut Gurevitch dan Blumber, kekuatan media sebagai saluran komunikasi politik
bersumber pada tiga hal yaitu
1. Struktural, akar struktural kekuatan media bersumber pada kemampuannya yang
unik untuk menyediakan khalayak bagi para politisi yang ukuran dan
komposisinya tidak akan diperoleh para politisi tersebut.
2. Psikologis, akar psikologis kekuatan media bersumber pada hubungan
kepercayaan dan keyakinan yang berhasil diperoleh media dari anggota khalayak
masing-masing

27
3. Normatif, kombinasi antara akar struktural dan psikologis tadi memungkinkan
media menempatkan diri ditengah-tengah yaitu antara politi dan khalayak.
Dalam kenyataan sistem politik Indonesia kita dapat melihat keadaan yang
sesungguhnya, fungsi politik di Indonesia masih kurang berjalan dengan baik karena
politik yang ada sekarang masih mementingkan kepentingan partai politik, yang
seharusnya partai politik merupakan suatu tempat atau sarana masyarakat untuk
menyampaikan suatu aspirasi terhadap pemerintahan , yang dimana masyarakat ikut
berpartisipasi dalam bidang politik.

Kita banyak melihat fungsi partai politik, yang alih-alih mengedepankan moral
politik dan mendudukkan diri sebagai “garda penjaga demokrasi” melalui pilihan
politiknya menjadi kekuatan oposisi, sebagai salah satu contoh partai yang selalu ingin
menjadi partai yang ingin menjadi contoh yang baik adalah Partai Demokrat , namun
kenyataanya kita dapat melihat begitu banyak terjadi kasus korupsi yang melibatkan
kader dari partai itu sendiri, dari itu semua bisa kita melihat bahwa komunikasi politik itu
masih tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan masalah atau peristiwa tersebut kita dapat melihat bahwa komunikasi
politik bukanlah sebuah proses yang sederhana , banyak substansi yang memerlukan
pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah insfrastruktur dan
suprastruktur poltik yang saling memengaruhi, dimana suprastruktur politik yang saling
memengaruhi ,dimana suprastruktur sebagai pembuat kebijakan akan mendapat tuntutan
dan masukan berupa tuntutan aspirasi dan insfrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari suprastruktur dan insfrastruktur ini dapat terlaksana
dengan baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik kea rah
perkembangan yang lebih bail. Dan mendalami pendewasaan politik dari pengalaman
mengatasi dinamika-dinamika yang pastinya selalu berkembang dalam kehidupan politik
saat ini atau yang akan datang.
Dengan adanya komunikasi politik yang baik , maka kita sangat berharap tidak ada
lagi suatu kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan suatu kerugian bagi masyarakat
Indonesia. Dalam realitas implementasi fungsi komunikasi politik dan struktur politik

28
yang menjalankannya dalam sistem politik Indonesia banyak yang berjalan tidak sesuai
contohnya adalah masa-masa yang terdapat dibawah ini adalah sebagai berikut :

i. Penyalahgunaan Penggunaan Media Komunikasi Politik


Media komunikasi atau bisa disebut dengan media massa yang merupakan saluran
komunikasi politik yang berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari satu informasi
politik. media komunikasi politik dapat berupa (surat kabar, film, radio, dan televisi)
dan yang saat ini sangat banyak digunakan adalah media massa yaitu berupa internet,
sosial media lainnya. Yang sudah sangat mudah diakses dan digunakan dimana saja dan
kapan saja. Media massa yang realitasnya dibuat untuk mempermudah pengiriman
informasi kepada penerima pesan dalam bermasyarakat, agar memperoleh dukungan dari
pendapat umum, namun malah digunakan dengan tidak benar oleh pihak-pihak yang
hanya mengambil untuk tanpa memikirkan bagaimana keadaan orang tersebut.
Penyalahgunaan penggunaan media komunikasi politik atau media massa ini sering
kali dijadikan tempat pemberian informasi terutama tentang pemilihan umum atau
pemilu, banyak sekali berita yang tidak benar (hoax) yang berusaha menjatuhkan saingan
dengan menyebarkan berita tidak benar untuk meninggikan namanya didepan umum.
Serta kesimpang siuran informasi yang disampaikan melalui media massa membuat
masyarakat menjadi terbelah yang dapat menyebabkan konflik antar warga yang
menerima pesan dan informasi tersebut.

ii. Money Politik dalam Pemilihan Umum


Pemilu yang telah diselenggarakan pada pasca reformasi adalah tiga kali
yaitu tahun 1999, 2004 dan tahun 2009. Dalam rangka mengatur jalannya Pemilu yang
jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, maka diberlakukanlah undangundang
yang mengatur mekanisme Pemilu. Adapun undang-undang yang dimaksud yaitu UU No.
3 tahun 1999 tentang Pemilu 1999, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu 2004 dan UU
No.10 tahun 2008 tentang Pemilu 2009.

29
Pemilihan umum atau pemilu yang diadakan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun
sekali ini merupakan suatu kegiatan atau dibilang pesta rakyat untuk melakukan
pemilihan calon pemimpin pemerintahan yang adil. Namun apabila dilihat realitasnya
banyak kecurangan-kecuarangan yang dilakukan pada saat akan menjelang
dilaksanakannya pemilihan umum ini, salah satunya adalah money politik atau dapat
dibilang dengan kata lain calon akan memberikan uang sebagai imbalan kepada
masyarakat dengan satu hal yang harus dilakukan bagi penerima uang tersebut, penerima
akan bersedia dan wajib memilih calon tersebut pada saat pemilihan umum.
Tidak menjadi rahasia lagi bahwa banyak calon pemimpin dalam masa sebelum
pemilu melakukan dan menggunakan hal yang tidak baik seperti Money Politic. Yang
dimana hal ini menyebabkan situasi dan iklim politik di Indonesia menjadi tidak stabil.
Politik dan uang merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan. karena dimana
aktivitas politik memerlukan uang, dan uang yang diperlukan bukan dalam jumlah yang
kecil melainkan dalam jumlah yang sangat besar dan banyak.Dalam konteks hubungan
antara Pemilu dan demokrasi biasanya para teoritis pluralisasi-klasik tentang demokrasi
menganggap partai politik memegang peranan penting. Hal ini bisa dilihat dari berbagai
macam teori tentang parpol yang menghubungkan antara jumlah parpol dengan substansi
demokrasi. Maurice Duverger membagi sistem kepartaian menjadi 3, yaitu sistem partai
tunggal, dua partai, dan banyak partai. Sistem satu partai dianggap sebagai indikator
negara yang tidak demokrasi. Sedangkan sistem banyak partai cenderung menimbulkan
konflik politik. Karena itu sistem dua partai dianggap relatif kompetitif dan demokrasi.

iii. Terjadinya perdebatan antara pendukung

Terjadinya perdebatan atau bahkan kesalahpahaman yang berlanjut hingga


menimbulkan perkelahian antara kubu pendukung dapat disebabkan oleh kesalahan dan
kecurangan informasi yang diberikan dan disebarkan keberbagai media massa dan media
sosial. Perdebatan ini dapat menyebabkan konflik yang berkelanjutan. Perdebatan ini
dapat disebabkan karena penyampaian pesan yang tidak benar yang dianggap satu pihak

30
membuat pihaknya merasa dirugikan dengan adanya berita yang tidak benar. Terutama
apabila terjadi prdebatan-perdebatan yang membahas isu-isu negatif dan sensitif.

5. Fungsi Rekrutmen Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya


A. Fungsi Pengangkatan Politik

Kekerabatan politik adalah bentuk politik patronase, dan menurut O ‟Dwyer,


patronase terjadi disebabkan pelembagaan tanpa aturan partai politik (O ‟Dwyer, 2006:
99). Jadi penelitian ini akan menganalisis tesis O ‟Dwyer tentang kapal keluarga politik
yang terjadi ketika sebuah partai politik memiliki dukungan publik yang lebih rendah,
dengan demikian mengandalkan kegiatan partai politik atau pemimpin populer.
Menimbang bahwa partai politik adalah penjaga gawang keluarga politik, studi tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam lipatan keluarga politik juga dilakukan dalam
penelitian ini. Itu analisis rekrutmen politik terdiri dari dua variabel; variabel eksternal
adalah sistem hukum, sistem elektoral dan sistem partai politik, dan variabel internal
menjadi kandidat dan organisasi partai politik. Fokus penelitian inidi organisasi partai
politik. Analisis partai politik organisasi menggunakan teori Scarrow (2005) tentang
interna demokrasi partai yang terdiri dari inklusivitas, desentralisasi dan sentralisasi dan
pelembagaan partai politik. Itu Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-
faktor di balik liputan keluarga politik di Sulawesi Selatan, partai politik organisasi, dan
alasan mengapa partai Golkar merekrutnya kandidat dari keluarga politik.

B. Mekanisme Perekrutan Politik

Proses rekrutmen politik bervariasi di setiap partai politik. Studi ini menyajikan
berbagai jenis perekrutan politik. Berbasis pada mekanismenya, Almond dan Powell
(1966: 79) membedakan proses rekrutmen politik menjadi dua mekanisme; Tutup
Mekanisme mengacu pada perekrutan orang-orang tertentu seperti teman-teman, orang-
orang dari agama, wilayah, suku atau keluarga yang sama, dan Mekanisme terbuka
mengacu pada rekrutmen yang untuk semua warga. Geddes (1996: 142-181)
membedakan empat model perekrutan politik. Pertama adalah keberpihakan di mana

31
represi politik didasarkan pada kesetiaan mereka kepada partai politik. Ini model kurang
memperhatikan kompetensi. Yang kedua adalah meritokratis dalam pendekatan di mana
perekrutan politik didasarkan pada kompetensi, pada dasarnya memilih pengusaha,
teknokrat, guru dan pekerja terampil. Ketiga adalah kompartementalisasi yang
merupakan bentuk rekrutmen politik berdasarkan pragmatis con siderations, campuran
meritokrasi dan keberpihakan. Keempat adalah kelangsungan hidup yang mendasarkan
perekrutan politik pada prinsip-prinsip re munerasi dan sumber daya, membuka
kecenderungan patronase pelamar. Keempat jenis perekrutan politik oleh Geddes
didasarkan pada karakteristik kandidat yang akan direkrut oleh pesta.

Namun, proses rekrutmen politik dan seleksi kandidat dianggap rahasia sehingga
tidak perlu menginformasikan kepada publik. Duverger (Hazan dan Rahat 2010:7)
menyatakan bahwa pemilihan kandidat adalah aksi rahasia dan pribadi,dan mengacu pada
pernyataan Howard yang mengatakan bahwa ada "itu taman rahasia "dalam pemilihan
kandidat di Inggris. Jadi, publik tidak diberitahu tentang proses, kriteria dan siapa yang
menentukan proses. Pemilihan kandidat juga dipengaruhi oleh sejarah partai bangunan.
Di Indonesia, tidak ada partai politik yang dibentuk oleh proses bottom up. Pembentukan
partai dilakukan oleh beberapa orang elit, dan kemudian diikuti oleh pengaturan
organisasi partai ke tingkat yang lebih rendah. Karena itu partai politik cenderung elitis.
Pembuatan kebijakan biasanya ditentukan oleh para elit atau kunci aktor di partai politik,
meskipun mereka memiliki mekanisme formal pembuatan kebijakan. Pendekatan elitis
ini dapat melemahkan lembaga liberalisasi politik. Jika pesta tidak berfungsi sebagai
mekanisme penyaringan, dan kuncinyaaktor dalam prosesnya dapat menjadi kandidat
yang akan memobilisasi pendukung secara langsung, seluruh proses seleksi dapat
didorong oleh para kandidat dan bukan oleh para pihak. Hasilnya bisa memperlemah
diski dan kekompakan partai, yang menyebabkan kemerosotan partai kemampuan
berfungsi sebagai stabilisasi proses politik dan pekerja keras secara efektif di parlemen
(Hazan dan Rahat 2010:9). Elitisme dalam pengambilan keputusan adalah fenomena
umum dalam organisasi birokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Michels (1984, Win
ters, 2011:11) oligarki adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di

32
tangan minoritas. Menurut Michels, the Hukum besi oligarki melekat pada setiap
organisasi. Orgaisasi membuat kemungkinan dominasi yang terpilih pemimpin.

Dalam proses inventarisasi jabatan lowong terhadap jabatan yang dianggap strategis
tersebut, muncul dari usulan dan keinginan walikota, sebagaimana yang terjadi pada
jabatan Dispenda, Bappeda, yang usulan perpin-dahannya merupakan usul dan keinginan
dari walikota (wawancara 18 pebruari 2013/KW). Selain jabatan strategis yang berkaitan
uang, pegawai dan pelayanan persuratan tersebut, camat dan lurah juga merupakan
jabatan yang mendapat perhatian yang cukup besar dari walikota, karena yang
menduduki jabatan tersebut merupakan wakil walikota di wilayah kecamatan dan
kelurahan. Sehingga usul pengangkatan PNS terhadap kedua jabatan tersebut lebih
dominan muncul dari walikota.

Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak terdapat empat pokok soal yang
mendasari hadirnya seorang pemimpin (waliy al-amr).7 Pertama, terwujudnya
kemaslahatan umum sangat tergantung pada adanya amar makruf nahi munkar. Karena
itu, menegakkannya diperintahkan agama. Pelaksanaan amar ma’ruf-nahi munkar
menghendaki adanya pemimpin, mengingat bahwa kelompok yang kecilpun diharuskan
mengangkat seorang pemimpin, sebagaimana ditegaskan hadits Nabi dalam riwayat Abu
Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Hadits ini melalui dalalah al-nash (fahwa al-
khitab, qiyas aulawi) memerintahkan pula mengangkat seorang pemimpin dalam
komunitas (masyarakat) besar. Jika dalam kelompok kecil manusia saja diperlukan
seorang pemimpin, secara logis tentu saja kelompok manusia yang lebih besar (rakyat)
lebih memerlukan seorang pemimpin untuk mengatur urusan kehidupan mereka.

Ayat ini melalui isyarah al-nash memerintahkan adanya ulil amri. Dus, mengangkat
pemimpin (uli al-amr) adalah wajib. Lebih jauh, cukup banyak hadits yang menegaskan
kewajiban taat kepada pemimpin. Dan berdasarkan isyarah al-nash, hadits-hadits tersebut
mengharuskan pula adanya pemimpin, yang dalam lingkup luas diwujudkan dalam sosok
kepala negara. Ketiga, terhadap hukum fiqh yang berkenaan dengan persoalan
kemasyarakatan, intervensi pemerintah mutlak diperlukan, demi menghindarkan

33
kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum, di samping, tentunya, agar terwujud
keseragaman amaliah umat dan terciptanya kemaslahatan umum. Karena itu, jika
pemerintah telah memilih sesuatu hukum dan menetapkannya, maka semua masyarakat
terikat dengannya dan harus mematuhinya, sejalan dengan kaidah: ‫مكح مكاحال عفري فالخال‬.
Keempat, berdasarkan hukum aqliy (rasio) adalah tepat dan sudah seharusnya
menyerahkan urusan (persoalan kemasyarakatan) kepada seorang pemimpin yang
berkuasa untuk mencegah kezaliman dan mengatasi perselisihan dalam masyarakat.
Sebab, jika tidak demikian, tentu kekacauan akan melanda umat manusia.

Dalam Bab II, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: Setelah
berlakunya berlakunya UU No 21 tahan 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi
Papua, maka seluruh pengambilan kebijakan ada ditangan peguasah dan selamah ini para
pengambil kebijakan otonomi khusus tidak berpihak pada masyarakat asli Papua.
Adapun banyak kebijakan melalahirkan oleh pemerintah dalam era otonomi khusus ini
masih banyak frolematika hukum di tanah Papua yang tak pernah kunjung habis-
habisnya.

Baru kemudian UU No 45 tahun 1999 tersebut diaktifkan kembali melalui Inpres


Nomor 1 tahun 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri setelah Provinsi Papua
diberi otonomi khusus melalui UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi
Provinsi Papua Oleh karena itu langkah-langkah politik sebagai upaya untuk sengaja
mengulur-ulur waktu melaksanakan amanah otonomi khusus mengenai pengangkatan
Dewan Perwkilan Rakyat Papua, jatah 14 kursi otonomi khusus dipolitisasi sekelompok
elit politik daerah.

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No 21 tahun 2001 disebutkan bahwa kekuasaan legislatif
Provinsi Papua dilaksankan oleh DPRP. Dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa DPRP
terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat bedasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepajang masih

34
hidup dan sesuai dengan perkembaangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang .

Berdasarkan logika hukum mestinya begitu dinyatakan UU Nomor 45 Tahun 1999


tersebut betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka UU No. 45 Tahun 1999
tersebut gugur demi hukum dan secara otomatis gugur pula realita politik yang telah ada
di dalamnya, oleh karenanya Provinsi Iran Jaya Barat selama lima tahun tidak memiliki
landasan hukum (UU) yang jelas. Propinsi ini eksis berjalan dengan berlandaskan pada
Intruksi Presiden No 1 Tahun 2003, sampai pada akhirnya melalui negosiasi yang
panjang, akhirnya Wakil Presiden Yusuf Kalla berhasil memfasilitasi pada pertemuan
para pemimin Papua dan Irian Jaya Barat untuk membicarakan status hukum Provinsi
Irian Jaya Barat di Jayapura.

C. Kenyataan dan Faktor-Faktor

Sebuah kenyataan bahwa dalam perpolitikan di Indonesia pada saat ini banyak
menimbulkan kontraversi, yang sedang menjadi fenomena hangat saat ini yang
memunculkan banyak argumen dari berbagai pihak menyebabkan pergumulan yang
sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Hal ini sangat terlihat jelas ketika banyak media
dan surat kabar melontarkan berbagai kritikan yang tajam dalam pemerintahan baik
dalam lembaga pemerintahan sampai ke kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal
yang sangat tidak diinginkan adalah ketika kepercayaan masyarakat kepada lembaga
pemerintahan menjadi suatu ancaman atau tontonan masyarakat sehingga masyarakat
menjadi bersikap apatis sehingga memungkinkan lembaga pemerintahan dimata
masyarakat berubah menjadi suatu sinetron layaknya di dunia hiburan yang membawa
pengaruh besar terhadap partisipasi politik masyarakat. Hal ini terlihat jelas ketika
lembaga pemerintahan yang saat ini sedang bermasalah antara pihak POLRI dan KPK
yang saling tuding menuding.

Seperti banyaknya kasus calon kandidat yang bisa dikatakan kurang mampu dibidang
politik, banyaknya artis yang terjun di dunia politik untuk popularitas, politic money,

35
wakil rakyat yang semena-mena, korupsi, kolusi dan nepotisme di jajaran lembaga
pemerintahan, pengambilan kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
cenderung diperuntukkan untuk golongan-golongan tertentu dan masih banyak
permasalahan lainnya. Jika sejenak kita melihat dari serangkaian peristiwa yang terjadi,
kita dapat melihat bahwa itu semua dimulai dari bagaimana proses rekrutmen politik di
Indonesia. Mengapa dan bagaimana rekrutmen politik di Indonesia selama ini sehingga
permasalahan politik Indonesia masih terus terjadi?

Maka pembahasan Keluarga Politik dan Intra-Partai Demokrasi di Indonesia (Studi


Tentang Perekrutan Politik Partai Golkar Selama Era Reformasi di Sulawesi Selatan).
Karena dalam jurnal ini menjelaskan tentang bagaimana proses rekrutmen politik Partai
Golkar Sulawesi Selatan. Pertama, partai Golkar punya sistem standardisasi dalam proses
rekrutmen politik, yang terdiri dari penerimaan internal (PD2LT) dan eksternal
elektabilitas. Namun, implementasinya dipengaruhi oleh beberapa kepentingan dan oleh
kebutuhan dukungan publik. Kedua, Partai Golkar mensyaratkan bahwa semua kandidat
adalah kader partai karena menunjukkan kedewasaan Partai Golkar.

Meskipun itu adalah politik tertutup persyaratan rekrutmen, bukan berarti partisan
karena menurut teori Geddes, perekrutan politik beberapa kali pragmatis. Ketiga,
rekrutmen politik dalam partai Golkar bersifat eksklusif dan oligarkis di mana kebijakan
lebih ditentukan olehelite. Konsekuensi dari ini adalah perekrutan politik memberikan
lebih banyak kesempatan kepada orang-orang di sekitar elit pesta. Keempat, kandidat
yang berasal dari keluarga politik memiliki elektabilitas yang lebih besar dan memiliki
lebih banyak suara elektoral dibandingkan dengancalon keluarga non-politik karena
mereka biasanya mendapatkan mereka warisan politik dalam organisasi sosial dan politik
dan juga terlibat dalam pengelolaan partai politik.

Berbagai macam cara perekrutan kandidat dalam Partai Golkar yakni


institusionalisasi partai politik adalah penguatan politik pihak baik dalam perilaku, sikap
atau budaya. Menurut Huntington, pelembagaan adalah terkait dengan kemampuan
organisasi partai dalam beradaptasi dengan lingkungan. Adaptabilitas diukur dengan usia

36
orga nisasi partai, pergeseran frekuensi kepemimpinan, dan jumlah perubahan fungsional
dalam organisasi partai. Lebih sederhananya Scarrow menyatakan bahwa pelembagaan
adalah kompatibilitasnya menjadi sistem, proses, prosedur dan implementasi tween. Di
konteks perekrutan politik, pelembagaan adalah inter-preseted sebagai kompatibilitas
antara pelaksanaan perekrutan politik dengan aturan partai politik tentang sistem, proses
dan prosedur perekrutan politik. Panebianco memandang pelembagaan partai-partai
politik dari tingkat sistemness, yang mencakup diferensiasi dan koherensi, yang
disebutnya sebagai faktorisasi dan kemampuan partai politik untuk mengontrol sumber
daya dalam implementasi fungsi partai.

Adanya campur tangan walikota terhadap beberapa jabatan strategis dalam suatu
formasi jabatan dapat dipahami, karena walikota adalah pejabat politis yang
kemenangannya dalam Pilkada adalah berkat usungan dan dukungan dari Parpol, Tim
Sukses dan orang-orang dekatnya. Selanjutnya, walikota menyampaikan nama-nama
calon yang akan menduduki posisi strategis Eselon II, III dan IV yang menjadi Kepala
SKPD kepada BKD untuk diproses lebih lanjut. Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam
tahap penyusunan bahan sidang Baperjakat telah terjadi campur tangan walikota untuk
menyelipkan kepentingannya, walaupun pelaksanaan proses dimaksud adalah merupakan
tugas pokok dan fungsi BKD. Keterlibatan anggota partai politik dalam jaringan
pengangkatan Jabatan, sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan Kepala sekolah,
semata hanya harena karena merupakan keluarga dari salah seorang Ketua DPP Partai
Politik X. Namun Kepala Sekolah yang diangkat tersebut belum memenuhi persyaratan
untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah.

Aktor yang terlibat dalam pengangkatan jabatan yaitu Walikota, Tim Baperjakat,
kepala SKPD, dan Kepala Bidang yang terkait dengan mutasi yang ada pada Badan
Kepegawaian Daerah. Proses pengangkatan dalam jabatan struktural dimulai pada saat
adanya jabatan lowong karena ada PNS yang pensiun, pengunduran diri, dimutasi atau
diangkat jabatannya pada posisi yang lebih tinggi atau sederajat. Pelaksanaan fungsi
identifikasi jabatan dan PNS yang akan menjadi obyek mutasi, dilaksanakan oleh kepala

37
BKD yang dibantu oleh Kepala Bidang Mutasi serta berdasarkan hasil konsultasi
(masukan) dari Walikota. Walikota merupakan aktor paling berkuasa dalam
pengangkatan jabatan. Dalam hal ini ada dua kepentingan yang berhubungan langsung
dengan Walikota yaitu kepentingan politik dan kepentingan birokrasi.

6. Fungsi Artikulasi Kepentingan dan Struktur Politik yang Menjalankannya


A. Pengertian Artikulasi Kepentingan

Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan


dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatef,
agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi
dalam kebijakan pemerintah. Artikulasi kepentingan adalah fungsi menyatakan atau
menyampaikan (mengartikulasi) kepentingan konstituen (masyarakat) kepada badan-
badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama
orang lain yang memiliki kepentingan yang sama.

Salah satu yang lazim ditempuh oleh suatu masyarakat untuk dapat memenuhi
kepentingannya dengan cara mengartikulasi atau mengemukakan kepentingannya kepada
badan politik atau pemerintahan yang berwenang untuk membuat keputusan atau
kebijakan. Fungsi ini biasanya dilakukan oleh sruktur yang disebut dengan interest group
atau kelompok kepentingan. Interst group dalam menampung kepentingan masyarakat
yang diajukan kepada kelompok yang selanjutnya mereka rumuskan. Setelah dirumuskan
maka diajukan kepada badan yang berwenang lalu di proses dan dibuat alternatif
keputusan.

B. Bentuk Artikulasi Kepentingan

Bentuk artikulasi kepentingan yang paling umum di semua sistem politik adalah
pengajuan permohonan secara individual kepada anggota dewan kota (legislatif),
parlemen, pejabat pemerintahan atau dalam masyarakat tradisional kepada kepala desa
atau ketua suku. Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan
dan kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan

38
kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan kelompok yang
diwakilinya.

C. Jenis-jenis kelompok Kepentingan


Kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya,
sumber pembiayaan dan basis dukungannya. Perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap
kehidupan politik, ekonomi, dan social suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok
kepentingan juga diorganisir berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama
ataupun berdasarkan issue-issue kebijkasanaan, kelompok kepentingan yang paling kuat,
paling besar, dan secara financial paling mampu adalah kelompok yang sehari-hari dan
karier seoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan
atau tindakan pemerintah. Karena itu sebagian besar negara memiliki serikat buruh,
himpunan pengusaha, kelompok petani, dan persatuan-persatuan dokter, advokat,
insinyur dan guru.
Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang berusaha memengaruhi kebijakan
pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan public, kelompok ini berusaha
menguasai pengelolaan pemerintah secara langsung. Sepanjang sejarah, kelompok
kepentingan selalu ada beriringan dengan keberadaan negara atau pemerintahan yang
ada.

Karena keberagamannya kelompok-kelompok kepentingan ini Gabriel A. Almond


dan Bingham G. Powell dalam buku Comparative Politics Today: A World View (1992)3
yang diedit bersama, membagi kelompok kepentingan dibagi atas 4 kategori, yaitu:

1. Kelompok kepentingan Anomik


Kelompok anomik muncul secara kebetulan (incidental / temporer), bersikap
informal, muncul karna adanya isu tertentu, anggotanya muncul dan menghilang tidak
tertentu, bekerja tidak teratur. Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai organisasi,
tetapi individu-individu yang terlibat mempunyai perasaan frustasi dan ketidak puasan.
Sekalipun tidak terorganisir dengan rapi, dapat saja kelompok ini secara spontan

39
mengadakan aksi massal jika tiba-tiba timbul frustasi dan kekecewaan mengenai suatu
masalah.
Contoh : Persatuan pedagang yang akan digusur bersatu saat ingin digusur dengan
berdemo dan menghilang saat aspirasi mereka terpenuhi.

2. Kelompok kepentingan Non-Asosiasional


Suatu kelompok kepentingan yang bersifat informal, memiliki suatu lembaga atau
organisasi yang agak sedikit mapan, anggotanya berasal dari faktor keturunan dan tidak
ada unsur memilih untuk menjadi anggota. Kelompok ini tumbuh berdasarkan rasa
solidaritas pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok etnis, dan pekerjaan.
Contoh : Persatuan warga Batak di Jakarta.

3. Kelompok Kepentingan Institusional (Kelembagaan)


Kelompok yang memiliki suatu organisasi yang telah mapan, kegiatan yang teratur,
jaringan organisasi yang luas, tujuan organisasi yang luas, kepemimpinan yang terseleksi.
Kelompok-kelompok formal yang berada dalam atau bekerja sama secara erat dengan
pemerintahan seperti birokrasi dan kelompok militer.
Contoh : KOPRI,PGRI, TNI,POLRI, dll.

4. Kelompok Kepentingan Asosiasional


Kelompok yang dibentuk mewakili kepentingan kelompok yang khusus atau spesifik,
memiliki lembaga yang mapan, menggunakan tenaga professional, memiliki prosedur
yang teratur untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan, kepemimpinan yang terseleksi
dan tujuan yang bersifat khusus.
Contoh : Ikatan Dokter Indonesia, termasuk serikat perdagangan dan serikat pengusaha.

40
D. Saluran Artikulasi Kepentingan
Saluran untuk menyatakan pendapat dalam masyarakat berpengaruh besar dalam
menentukan luasnya dan efektifnya tuntutan kelompok kepentingan. Saluran-saluran
paling penting adalah sebagai berikut :
a. Demonstrasi dan tindakan kekerasan.
Demonstrasi dan tindakan kekerasan ini merupakan salah satu sarana untuk
menyatakan tuntutan/kepentingan. Sarana ini banyak dipergunakan oleh kelompok
anomik.

b. Hubungan Pribadi
Adalah salah satu sarana penyampaian kepentingan melalui media keluarga, sekolah,
hubungan kedaerahan sebagai perantara kepada elit politik.

c. Perwakilan Langsung
Sarana artikulasi dan agregasi kepentingan yang bersifat resmi, seperti, legislative,
eksekutif dan yudikatif serta lembaga resmi lainnya.

d. Saluran Formal dan Institusional lain


Sarana artikulasi yang meliputi antara lain media massa cetak, elektronik, televisi
(formal) dan partai politik (Institusional) lainnya.

E. Efektivitas Kelompok Kepentingan


Faktor penting dalam meciptakan efektivitas kelompok kepentingan adalah
kemampuan untuk mengerahkan dukungan (support), tenaga dan sumber daya
anggotanya, atau efektifitas pelaksanaan peran kelompok kepentingan sangat bergantung
pada intensitas gerakan, dukungan masyarakat terhadap isu yang dilontarkan, kekuatan
argumen dan komunikasi dalam lobby dan negosiasi, hubungan interpersonal dan
seberapa besar kemampuan mengumpulkan massa yang sebanyak-banyaknya sebagai

41
sumber kekuatan gerakan dalam melakukan tekanan sehingga memaksa pemerintah
untuk mengikuti tuntutan dari kelompok kepentingan (Duverger, 1984: 135-148).

F. Tujuan Interest Group (Kelompok Kepentingan)

Tujuan yang didirikannya lembaga Interest Group ini adalah :

a. Untuk melindungi kepentingannya dari adanya dominasi dan penyelewengan oleh


pemerintah atau Negara.
b. Untuk menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya
c. Untuk menjadi wadah pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintah dan Negara
d. Untuk menjadi wadah kajian dan analisis bagi aspek-aspek pembangunan nasional
dalam semua bidang kehidupan.

G. Sifat Interest Group (Kelompok Kepentingan)

Sifat lembaga ini antara lain adalah sebagai berikut :


a. Independen.
Artinya bahwa dalam menjalankan visi, misi, tujuan, program, sasaran dan lain-
lainnya dilakuakan secara bebas dengan tampa ada intervensi pihak lain.
b. Netral
Artinya bahwa dalam menjalankan existensinya, tidak tergantung pada pihal lain.
c. Kritis
Artinya bahwa dalam menjalankan existensinya dilakukan dengan berdasarkan pada
data, fakta dan analisis yang mendalam yang dilakukan dengan metode teknik analisis
yang sahih.

42
d. Mandiri

Artinya bahwa dalam menjalankan existensinya dilakukan dengan konsep dari, oleh
dan untuk masyarakat itu sendiri yang ditujukan bagi kesejahtraan masyarakat luas.

1. Klasifikasi Kelompok Kepentingan (Interest Group).


Menurut realitas social yang ada di Indonesia, Interest Group dapat diklasifikasi
menurut Organisasi Kemasyarakatan yang ditinjau dari aspek agama, sosial budaya,
kemasyarakatan, kepemudaan, profesi, kewanitaan, dan Kependidikan.
a. Organisasi Kemasyarakatan
Adalah organisasi yang anggotanya meliputi anggota masyarakat yang memiliki
ideology, garis perjuangan (platform) serta komitmen yang sama dalam mencapi tujuan
yang sama pula.
Jenis Organisasi ini adalah antara lain :MKGR ( Musyawarah Kekeluargaan Gotong
Royong), KOSGORO, SOKSI, dan lain-lain

b. Organisasi kemasyarakatan berdasarkan agama


Organisasi ini adalah didirikan untuk mengartikulasi kepentingan masyarakat
/komunitas agama terhadap masyarakat, bangsa dan Negara yang dapat yang berkaitan
dengan perlindungan dan kesejahtraannya. Contoh organisasi ini adalah antara lain
adalah : Nahdatul Ulama ( NU), Muhammadiyah, Parmusi, KWI, dan Parisade Hindu
dharma.

c. Organisasi kemasyarakatan berdasarkan Kepemudaan


Organisasi ini adalah didirikan untuk mengartikulasi kepentingan masyarakat
/komunitas agama terhadap masyarakat, bangsa dan Negara yang dapat yang berkaitan
dengan perlindungan dan kesejahtraannya. Contoh organisasi ini adalah antara lain
adalah : KNPI (Komite Pemuda Nasional Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia).

43
d. Organisasi berdasarkan Sosial kedaerahan
Organisasi ini adalah didirikan untuk mengartikulasi kepentingan masyarakat
/komunitas social kedaerahan guna membangun kebersamaan dan perlindungan serta
kesejahtraannya. Contoh organisasi ini adalah antara lain adalah : Paguyuban Masyarakat
asal Bima, dan Paguyuban masyarakat asal wonosobo, dll.
e. Organisasi berdasarkan Profesi
Organisasi ini adalah didirikan untuk mengartikulasi kepentingan masyarakat
/komunitas sesame profesi guna membangun kebersamaan dan perlindungan serta
kesejahtraannya. Contoh organisasi ini adalah antara lain adalah :Aliansi Jurnalistik
Indonesia ( AJI), PERHUMAS, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia (ISKI), dan Forum Rektor Indonesia (FRI), dll.

I. Implementasi Fungsi Pengajuan Kepentingan


Proses politik merupakan dinamika perjalanan politik dalam sebuah negara. Proses
politik ini tak ubahnya sebuah rotasi dalam sistem politik baik secara historis maupun
secara realita dengan perspektif pendekatan sistem . Pergantian rezim kekuasaan dan
pengambil kebijakan merupakan sebuah proses politik dalam perspektif historis. Proses
politik secara historis merupakan sebuah upaya deskriptif-obyektif beberapa kejadian dan
korelasinya dengan kejadian lainnya. Lebih lanjut diperlukan pendekatan yang integratif
untuk menjelaskan unsur-unsur yang berinteraksi dan berproses (fungsional) dalam
sistem politik.

Struktur politik bisa kita maknai sebagai komponen-komponen politik yang saling
berhubungan antara satu dengan lainnya.Secara fungsional, struktur politik merupakan
institusional relasi antara komponen-komponen yang pada akhirnya membentuk system
politik. Struktur proses politik melibatkan bagaimana fungsi artikulasi kepentingan,
agregasi, pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan oleh struktur politik.

Dari realitas implementasi fungsi pengajuan kepentingan dan struktur politik yang
menjalankannnya dalam system politik Indonesia kami mengangkat sebuah kasus yang

44
terjadi di Indonesia Pada tahun2005, yaitu dimana pada tahun 2005 yang lalu kita sering
mendengar, membaca ataupun melihat di televise maupun media sosial yang
memberitakan banyak kelompok-kelompok masyarakat dan himpunan-himpunan
mahasiswa turun kejalan untuk berdemo menentang rencana pemerintah menaikan harga
BBM yang dimana masyarakat ataupun para mahasiswa menganggap dan merasakan
bahwa kenaikan harga BBM sangat membebani rakyat kecil.

7. Fungsi Pemaduan/Aggregasi Kepentingan dan Struktur Politik yang


Menjalankannya
A. Defenisi Fungsi Pemaduan Kepentingan

Fungsi Pemaduan kepentingan disebut juga aggregasi kepentingan. Aggregasi


kepentingan oleh Almond diartikan sebagai fungsi mengubah atau mengkonversikan
tuntutan-tuntutan sampai menjadi alternatif-alternatif kebijakan umum. Jadi melalui
tahapan tertentu di dalam sistem politik, kepentingan dan tuntutan masyarakat yang telah
diartikulasi ditampung untuk di jadikan alternative-alternatif kebijaksanaan. Hal ini
mungkin terjadi pada setiap system politik tidak dapat dihindari, oleh karena betapapun
terspesialisasikan struktur-struktur politik dalam menjalankan fungsi-fungsi politiknya,
pada dasarnya mereka menjalankan banyak fungsi. Pada umumnya fungsi yang
menjalankan aggregasi kepentingan adalah birokrasi dan partai politik. Walaupun tidak
tertutup kemungkinan bagi individu-individu yang mempunyai pengaruh besar didalam
masyarakat menjalankan fungsi aggregasi kepentingan (Arifin Rahman, 2002: 75).

Pemadu kepentingan ialah proses dengan dimana berbagai aspirasi dan kepentingan
dalam masyarakat ditampung, dianalisis, dan dipadukan ke dalam berbagai alternative
kebijaksanaan umum untuk kemudian di perjuangkan dalam proses pembuatan keputusan
politik. Seperti diketahui, dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang berbeda
bahkan bertentangan, seperti aspirasi dan kepentingan para petani, nelayan, buruh,
pegawai negeri, pedagang, pengusaha, mahasiswa, militer, dan golongan agama. Untuk
menampung dan memadukan kepentingan yang berlainan bahkan bertentangan itulah
partai politik. Fungsi utama yang khas partai politik memang memadukan berbagai

45
kepentingan yang berbeda dan bertentangan tersebut, untuk kemudian
memperjuangkannya kedalam proses pembuatan keputusan (Elly M. Setiadi, 2013: 283).

Setelah kita membicarakan fungsi aggregasi kepentingan, bagaimana cara yang


ditempuh oleh struktur-struktur dalam menjalankan fungsi aggregasi kepentingan. Kita
mengenal sedikitnya tiga tipe aggregasi kepentingan yakni: “pragmatic-bargaining”,
“absolute-value oriented”, “traditionalistic”. Tipe aggregasi yang pragmatic bargaining,
terjadi sebagai proses kompromi dengan melihat silicon (situasi dan kondisi) serta
ketupat (keadaan waktu dan tempat). Tipe absolute-value oriented merupakan kebalikan
dari pragmatic bargaining, dimana dalam prosesnya tidak menolak adanya kompromi.
Dan, tipe yang terkahir, tipe traditional, proses aggregasinya mengandalkan diri pada
pola-pola masa lalu dalam mengusulkan alternative-alternatif kebijaksanaan untuk masa
yang akan datang (Arifin Rahman, 2002: 75).

B. Struktur Politik Yang Melaksanakan Fungsi Pemaduan Kepentingan dalam


Sistem Politik

Diatas telah dijelaskan bahwa, struktur yang menjelaskan fungsi pemaduan atau
aggregasi kepentingan ini adalah Partai Politik. Partai politik bertugas untuk menampung
segala tuntutan masyarakat kemudian mengajukannya kepada pemerintah yang
bertanggung jawab. Agregasi kepentingan adalah fungsi partai politik yang memadukan
semua aspirasi yang ada dalam masyarakat yang kemudian dirumuskan sebagai program
politik dan diusulkan kepada badan legislatif dan calon-calon yang diajukan untuk
jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar dengan kelompok-kelompok
kepentingan, dengan menawarkan pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok
kepentingan itu mau mendukung calon tersebut (Ellya Rosana, 2012: 145). Analisis
fungsional partai-partai politik telah memberi mereka berbagai peran yang berbeda,
tetapi, barangkali di atas segalanya, partai sering dilihat sebagai penyediaan hubungan
antara masyarakat dan negara. Partai ini menyediakan sebuah forum di mana kelompok-
kelompok akan menawar dan berkompromi dan menghasilkan platform kebijakan yang
dapat disajikan kepa da pemilih massal (Nicholas Aylott, 2002).

46
Partai politik berfungsi untuk menampung, memadukan dan menganalisis berbagai
kepentingan dari masyarakat dan kemudian diperjuangkan dalam pembuatan keputusan
publik dan kebijakan umum (Ramlan Surbakti, 1999: 151). Agregasi kepentingan
kelompok-kelompok ini terjadi di dalam partai; yaitu, kelompok dan anggotanya secara
aktif terlibat dalam kehidupan internal partai, mulai dari pembuatan kebijakan hingga
pemilihan pejabat, kampanye, dan pemenuhan fungsi sosial. Tetapi ketika Kirchheimer,
pada tahun 1960-an, menggambarkan munculnya semua pihak, tampaknya bahkan partai-
partai massa telah melampaui raison asli mereka dan sebaliknya bertindak terutama untuk
kepentingan mereka sendiri - atau lebih tepatnya dalam kepentingan individu di dalam
partai, khususnya elitnya (Nicholas Aylott, 2002).
Apakah partai-partai sosial demokrat ini telah melampaui status mereka sebelumnya
sebagai agen yang merangkum kepentingan buruh yang terorganisir di arena politik?
Apakah mereka sekarang lebih baik dipahami sebagai mesin pemilu, mirip dengan "partai
elektoral-profesional" atau "partai pemilih", mengejar kelompok-kelompok eksternal.
Asal-usul pihak-pihak pemadu kepentingan dalam kerja yang terorganisasi, hubungan
antara dua sayap dari setiap gerakan buruh, partai dan serikat pekerja, sangat dekat, dan
mereka mendapat keuntungan dari yang pertama setidaknya dalam dua cara. Pertama,
serikat pekerja menyediakan organisasi, memobilisasi kapasitas dan dukungan keuangan
yang dibutuhkan partai massa pada awal abad ke-20. Kedua, angkatan kerja Skandinavia
masih tetap berserikat. Karena mereka menikmati hubungan institusional dengan
konfederasi serikat buruh, masing-masing disebut LO, yang mengendalikan sebagian
besar pasokan tenaga kerja, kaum sosial demokrat memiliki tuas yang kuat dalam
pelaksanaan strategi ekonomi nasional (Nicholas Aylott, 2002).
Strom berpendapat bahwa semakin banyak pengambilan keputusan dalam suatu partai
terdesentralisasi, semakin besar prioritasnya dalam mengejar implementasi kebijakan
daripada memegang jabatan. Struktur-struktur yang dirancang untuk menawarkan kepada
akar rumput suatu suara yang cukup besar dalam memutuskan kebijakan suatu partai
kemungkinan akan membatasi ruang lingkup elitnya untuk mengadopsi kebijakan-
kebijakan yang optimal secara elektoral (dan dengan demikian memaksimalkan peluang

47
pemilihan mereka untuk jabatan). Perkembangan sistem partai ini dan lainnya telah
membuat arena parlementer kurang nyaman, dengan legislator median hadiah yang lebih
sulit dipahami. Sebagai tanggapan, peran pihak-pihak sebagai agregator dari kepentingan
sosio-ekonomi, sebagai hubungan antara negara dan masyarakat sipil, telah mengalami
perubahan yang signifikan. Partai-partai tampaknya telah melampaui tipe ideal
sebelumnya, di mana mereka dibentuk untuk mewakili kepentingan kelas pekerja di
ranah politik, pertama melalui pengamanan demokrasi massa, kemudian dengan rekayasa
redistribusi kekayaan (Nicholas Aylott, 2002).
Rakyat sebagai warga negara memiliki berbagai kepentingan yang diajukan untuk
dipenuhi oleh kebijakan publik. Parpol dalam proses perumusan kebijakan publik harus
dapat memerankan fungsinya menggabungkan kepentingan-kepentingan yang merupakan
tuntutan rakyat menjadi alternatifalternatif terbaik yang memenuhi aspirasi rakyat.
Menggabungkan kepentingankepentingan yang beragam yang terka- dang bertentangan
menjadi alternatifalternatif terbaik membutuhkan intelektualitas yang tinggi. Parpol yang
mampu memerankan fungsinya seperti itu akan menjadi pilihan rakyat. Sebaliknya
Parpol yang tidak mampu memerankan fungsinya akan di- tinggalkan (Itok Wicaksono:
394).

Untuk mengembangkan kebijakan dari partai politik, anggaran dasar partai akan
menyatakan bagaimana kebijakan dikembangkan dan diadopsi. Pada kasus tertentu, suatu
konferensi nasional dari para delegasi partai akan memberikan suara tentang kebijakan
partai, sehingga anggota parlemen diwajibkan untuk mematuhi kebijakan tersebut.
Bentuk lain pengembangan kebijakan adalah membiarkan seluruh anggota partai
mengajukan atau memberikan suara mengenai suatu kebijakan. Bentuk ketiga
pengembangan kebijakan dicapai dengan membiarkan kaukus partai untuk menentukan
kebijakan. Ketika pimpinan atau eksekutif partai menetapkan kebijakan tanpa adanya
masukan dari anggota parlemen partai, akan sulit bagi anggota parlemen untuk menerima
posisi partai. Hal tersebut memperbesar kemungkinan anggota parlemen memberikan
suara yang berlawanan dengan partai mereka. Sebaliknya, jika kebijakan ditetapkan oleh
kaukus partai, hal tersebut dapat memberikan kekuasaan yang terlampau besar pada

48
anggota parlemen, sehingga keseluruhan anggota partai dapat merasa dikucilkan dari
proses pengembangan kebijakan.

Di Partai Konservatif Kanada di jelaskan, sebuah Komite Kebijakan Nasional


mengawasi proses penyusunan kebijakan dan menyerahkan kebijakan kepada kongres
nasional untuk disetujui. Namun anggaran dasar partai juga menyatakan bahwa sebelum
kongres nasional, kaukus parlemen dan pimpinan dapat menenetapkan kebijakan interim
partai. Kaukus parlemen dan pimpinan dapat melakukan perubahan interim pada
deklarasi kebijakan partai, dengan pengesahan sementara oleh komite kebijakan nasional.
Aturan Partai Liberal Australia membuat sejumlah ketentuan tentang peran dan tanggung
jawab kaukus dan organisasi di luar badan legislatif dalam pengembangan kebijakan.
Aturan tersebut memberikan tanggung jawab tertinggi kepada partai di luar parlemen
untuk menentukan dan merevisi platform federal partai. Namun demikian, melalui
pimpinannya, fraksi dapat meminta partai untuk meninjau kembali platformnya (Norm
Kelly dan Sefakor Ashiagbor, 2011: 23).

8. Fungsi Role Making dan Struktur Politik yang Menjalankannya

Menurut Anderson (1979), teori inkremental pada pembuatan kebijakan, lebih


sederhana. Inkrementalism (menambahkan) muncul sebagai teori keputusan yang
menghindari beberapa permasalahan pada teori rasional komprehensif dan saat
bersamaan lebih deskriptif sebagai langkah nyata yang diambil oleh parapelayan publik
dalam membuat keputusan. Mengenai teori tersebut dapat disarikan sebagai berikut :

1. Menyeleksi ujuan-tujuan atau sasaran dan langkah analisis empiris diperlukan untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, yang saling terkait antara yang satu dengan yang
lainnya, dan tidak dibedakan antara yang satu dengan yang lain.
2. Pembuat keputusan mempertimbangkan hanya pada beberapa alternatif pemecahan
masalah dan hanya pilihan-pilihan yang sifatnya marginal dari kebijakan yang sudah
ada.

49
3. Pada setiap alternatif dibatasi hanya para sejumlah konskwensi penting yang
merupakan evaluasi.
4. Permasalahan yang hadapi pembuat kebijakan adalah perubahan secara kontinu,
inkrementalis memungkinkan perubahan cara dan tujuan terus menerus (bahkan tak
terhitung) yang berpengaruh agar permasalahan lebih dapat diatur.
5. Bukan merupakan satu-satunya keputusan atau solusi yang benar dari satu
permasalahan. Menghasilkan keputusan yang baik dengan berbagai analisis untuk
menemukannya dan langsung menyepakati tanpa pertimbangan apakah keputusan itu
merupakan cara yang tepat untuk mencapai sasaran.
6. Pembuatan keputusan Inkremental merupakan perbaikan yang esensial dan lebih
menyempurnakan dari ketidak-sempurnaan sosial yang nyata dari peningkatan tujuan-
tujuan sosial di masa mendatang.

Menurut R. Mayer dan Ernest Green Wood (1984). Penelitian kebijakan menaruh
perhatian pada proses mencapai pemecahan suatu masalah tertentu disamping juga
sebagai pemecahan masalahnya sendiri. Tidaklah salah untuk mengatakan bahwa
penelitian kebijakan merupakan suatu jenis penelitian ilmusosial terapan baru.

Menurut Solichin (1998) bahwa studi kebijakan diharapkan berperan sentral dalam
memberikan nuansa baru dalam kerangka dasar pemikiran yang lebih baik bagi
keputusan-keputusan kebijakan itu dibuat. Dalam kerangka pikir ini, aktivitas analis
dalam proses agenda-setting adalah aktivitas yang bersifat aktif dan purposive. Agenda-
setting adalah permasalahan menentukan prioritas bagi dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan aktor-aktor lain yang terlibat dalam perebutan prioritas agenda.
Dalam situasi seperti itu, Agenda–setting, atau bisa diterjemahkan sebagai ‘pembuatan
agenda’ bisa dimaknai sebagai proses mengarahkan kebijakan melalui jendela-jendela
kebijakan yang muncul sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi dalam proses
agenda – setting, (Kingdon, 1995, Chap.1) Sungguhpun demikian, literatur analisis
kebijakan publik mengajak kita menganalisis agenda setting secara berbeda-beda. Ada
yang membayangkan agenda setting sebagai pembuatan agenda kerja policy-
makers.(melsner) Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua
50
model kebijakan yang kiranya konstruktif untuk mengkerangkai pemikiran tentang
mekanisme pembuatan kebijakan publik: yakni model ‘kebijakan sebagai perjuangan
kepentingan masyarakat’ dan model ‘kebijakan sebagai proses social marketing’.
Keduanya akan dipaparkan sebagai berikut.

Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni:Pertama dikenal dengan
istilah policy analysis, dan kedua political public policy (Hughes, 1994: 145). Pada
pendekatan pertama, studi analisis kebi-jakan lebih terfokus pada studi pembuatan
keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan
menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sedangkan pada
pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil danoutcome dari kebijakan publik dari
pada penggunaan metode statistik, den-gan melihat interaksi politik sebagai faktor
penentu, di dalam berbagai bi-dang, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan
lingkunganPada pendekatan pertama, pendekatan kuantitatif digunakan dalam pem-
buatan keputusan.

Dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar rasional menurut


pertimbangan untung rugi. Keputusan yang diambil ada-lah keputusan yang memberikan
manfaat bersih paling optimal. Sayangnya,pendekatan matematika seperti ini kurang
realistis dalam dunia kebijakandan politik. Politik dan kebijakan terkadang kurang
rasional dalam beberapahal. Patton dan Sawicki (1986:25) menulis sebagai berikut:If the
rational model were to be followed, many rational decisions would have to be
compromised because they were not politically feasible. A rational, logical, and
technically desirable policy may not be adopted because the political system will not
accepted it. The figures don’t always speak for themselves, and good ideas do not always
win out. Analysts and decision makers are constantly faced with the conflict between
technically superior and politically feasible alternatives.

Kebijakan sebagai sebuah istilah dan berorientasi kepada ilmu sosialyang


dikembangkan Harold Lasswell dkk sebelum dan segera PD II ada-lah ilmu yang
berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin dan secara eksplisit bersifat

51
normatif. Terhadap Kebijakan yang dikembangkanoleh Lasswell ini sesungguhnya “ilmu
kebijakan” tidak terbatas oleh tujuan teoritis akan tetapi juga memiliki tujuan praktis
yang mendasar terhadap tujuannya yaitu terhadap pembuatan keputusan yang efisien.
Secara umumtekanan dari kebijakan yang dikembangkan ini secara khusus tujuan akh-
irnya adalah untuk demokrasi dimana tujuan akhirnya adalah perwujudanmartabat
manusia (nilai) baik secara teori maupun fakta. Dalam organisasi pengambilan keputusan
merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh anggota organisasi. Agar tujuan organisasi dan
tujuan individu dapat tercapai diperlukan pengambilan keputusan yang tepat. menurut
Kinicki dan Williams (2011:196), “decision making is the process of identifying and
choosing alternative courses of action”. Pernyataan ini menegaskan bahwapengambilan
keputusan merupakan sebuah proses memilih tindakan yang tepat diantara alternatif
tindakan yang ada.

Hal serupa diungkapkan Greenberg dan Baron (2008:358), “decision making as the
process of making choices from among several alternatives”. Daft (2012:238), “decision
making is the process of identifying problems and opportunities and then resolving
them”. Pengambilan keputusan selain sebagai proses mengidentifikasi masalah dan
peluang juga termasuk di dalamnya proses menemukanjalan keluar dari masalah tersebut.
Hal serupa juga diungkapkan Shani, Chandler,Coget, dan Lau (2009:293), “…is an
analytical process leading to a selection of action among alternatives option”. Dan Allen,
Plunkett dan Attner (2013:152), “… is the process of identifying problem and
opportunities, developing alternative solutions, choosing an alternative, and
implementing it.” Gomez-Mejia, Balkin, dan Cardy (2008:226), “decision making is the
process of identifying problems and opportunities and resolving them or taking advantage
of them.” Dalam proses pengambilan keputusan guna menyelesaikan permasalahan dapat
muncul peluang dan keuntungan dari permasalahan yang ada. Dari berbagai pendapat
para ahli, maka dapat disintesiskan pengambilankeputusan adalah proses memilih
beberapa tindakan dalam rangka menyelesaikan suatu masalah untuk mencapai tujuan
organisasi.

52
Makna hakiki dari kedaulatan rakyat adalah dimanifestasikannya kehendak rakyat
melalui proses yang transparan dan akuntabel khususnya dalam mengisi struktur
kekuasaan dalam lembaga-lembaga negara. Agar kedaulatan rakyat berjalan dalam
mekanisme sistem yang teratur sehingga tidak kontradiktif dengan tujuan bernegara dan
agar terpeliharanya ketertiban dan keteraturan maka konstitusi memberi rambu-rambu
pembatasan kekuasaan negara. Bahkan konstitusi memberi akses kontrol setiap cabang
kekuasaan negara terhadap cabang kekuasaan negara lainnya. Prinsip hubungan ini secara
teoritis dikenal sebagai pemisahan kekuasaan negara dalam Triac Politica yang
dikemukakan oleh John Lock maupun Montesqiue.Secara substantif telah dipahami
bahwa kedaulatan rakyat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila arti harfiahnya adalah bahwa batasan kedaulatan rakyat dalam
UUD 1945 adalah batasan sosio filosofis, tidak semata-mata pembatasan hukum
normatif. Sehingga norma dasar bernegara adalah kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila.

Hal inilah yang telah mengalami degradasi atau kemorosotan makna sebab kedaulatan
rakyat semata-mata hanya ditafsirkan sebagai kedaulatan rakyat yang dibatasi norma
hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945. Akibat langsung pemaknaan yang keliru ini
adalah dilakukannya amandemen UUD 1945 secara serampangan bahkan telah jauh dari
pemahaman konstitusi sebagai kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila. Kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum digugat padahal yang keliru adalah
penyelewengan Pancasila oleh kekuasaan orde baru. Pelanggaran terhadap suatu produk
kebijakan, bagi target group atau yang lain sering diakibatkan dengan masalah untuk rugi
yang mereka dapatkan dari suatu konsekwensi tindakan melanggar atau compliance.
Menurut Knetch, bahwa masyarakat akan melanggar jika barang lain member dampak
kesejahteraan yang menguntungkan, pada pilihan barang yang sama.

Dengan demikian mereka dengan sukarela membayar untuk memperolehnya.


Selanjutnya dikompensasikan dengan fungsi-fungsi penjualan ―trade off‖ dari justifikasi
terpenuhinya harapan .Perhitungan untung rugi “losses and gains” (Frey & Pommerchne,

53
1987), yng didasarkan pada kemampuan untuk membayar akan sangat berbahaya bagi
lingkungan alam dan sosial. Dalam perilaku mereka untuk melakukan pilihan realitasnya
terfokus pada perhitungan sejauhmana mereka mengetahui informasi dari kerugian
terhadap pelanggaran atau kepatuhannya. Biaya sosial sering terabaikan, secara kontinu
sebagai hal yang memungkinkan untuk perbaikan dalam frekwensi tuntutan para analis
kebijakan atas analisis yang baik, yang mengarah pada respon kebijakan yang lebih
rasional dan reasonable.

Rasional menurut Oliver Wendell Holmess adalah bahwa pilihan manusia didasarkan
pada pikirannya, didasarkan pada sifat atau pendapatnya. Dan akan melakukan cara tanpa
kebencian pada tindakan dan mencoba mempertahankan diri. Artinya dalam setiap
tindakan yang dilakukan penuh dengan tujuan dan perhitungan (lihat Gaenslen dalam
Rational choice theory Implikasinya,baik buruknya analisis bukan ditentukan dari
obyektivitas-nya melainkan justru dari inter-subyektivitas-nya. Bagi kalangan yang
meyakini bahwa kualitas analisis ditentukan oleh obyektivitas-nya, analisis yang ideal
dibayangkan bersifat netral dan tidak memihak.

Pembuktian secara empiris memungkinkan si analisamengatakan bahwa “itulah


kenyataan sebagaimana adanya”. Di sisi lain, kalangan yang mengedepankan
subyektivitas berpendapat sebaliknya. Bagi kalangan ini, apa yang disebut kenyataan,
pada dasarnya adalah inter-subyektivitas pemaknaan dan pemahaman di antara orang-
orang yang bersinggungan dengan realitas tersebut. Baginya, tidak ada analisis yang
netral. Analisis akan selalu bersifat value bounded.

Oleh karenanya, si analis tidak mungkin menempatkan dirinya secara adil di atas
semua kepentingan yang terlibat dalam proses kebijakan. Dengan memperlihatkan bahwa
fenomena kebijakan bisa dipotret sebagai realita yang berbeda-beda, dosen bisa
menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk melihat dan memperlakukan kebijakan
sebagai sebuah obyek analisis. Perbedaan perspektif melihat kebijakan dan kerangka
analisis kebijakan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, meskipun obyek
kebijakan yang dikaji sama. Dalam model ini, pergeseran praktek dan realita kebijakan

54
dari desain atau formula yang sudah dirumuskan merupakan hal yang paling tidak
diharapkan, meskipun bukan berarti tidak diantisipasi. Biasanya desain dan formula
kebijakan yang dibangun dengan model ini telah menyiapkan desain atau formula
contingency atau exit plan jika situasi kebijakan berkembang ke arah yang tidak
diantisipasi sebelumnya. Ini berarti, pilihan untuk melakukan analisa dengan model ini
memang menuntut seorang analis untuk benar-benar melakukan analisis
yangkomprehensif.

Biasanya, selain aturan prosedural tertulis, perilaku dan kinerja birokrasi coba
dikerangkai dalam berbagai formulir isian atau borang yang harus diisi untuk
menunjukkan proses dan hasil kerjanya.Pengisian borang tersebut juga menjadi bagian
dari prosedur kerjabirokrasi. Agar latihan ini bisa sedekat mungkin
menggambarkanrealitas proses pengambilan keputusan, dosen bisa meminta mahasiswa
untuk mengambil satu contoh kasus yang sedang hangat di publik untuk media latihan
ini. (Misal kasus Daftar Pemilih Tetap-DPT atau Bantuan Langsung Tunai-BLT).

9. Fungsi Role Application dan Struktur Politik yang Menjalankannya


A. Pengertian Pelaksanaan Peraturan Dalam Sistem Politik Indonesia
Dalam jurnal Fatkhur Rohman, Imam Hanafi, Minto Hadi (2016 : 964) mengatakan
bahwa Van Meter dan Van Horn dalam Solichin (2007, h.146), dimana keduanya
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu atau kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-
keputusan menjadi tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam
rangka melanjutkan usaha untuk mencapai perubahan yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari proses perumusan dan


penetapan kebijakan. Sehingga pelaksanaan kebijakan dapat dimaknai sebagai tindakan-
tindakan yang dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang

55
diorientasikan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan. Implikasi dari pelaksanaan kebijakan merupakan konsekuensi yang muncul
sebagai akibat dari dilaksanakannya kebijakan-kebijakan tersebut. Hasil evaluasi pada
pelaksanaan kebijakan dapat menghasilkan dampak yang diharapkan (intended) atau
dampak yang tidak diharapkan (spillover negative effect). Abdullah Ramadhani & Ali
Ramdhani ( 2017 : 4).

Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses


kebijakan publik yang menentukan apakah sebuah kebijakan itu bersentuhan dengan
kepentingan publik serta dapat diterima oleh publik. Asna Aneta (2010:55).

Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah implementasi atau penerapan suatu kebijakan


publik melalui program, aktifitas, aksi, atau tindakan dalam suatu mekanisme yang terikat
pada suatu sistem tertentu. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas konsep
umum tentang pelaksanaan kebijakan publik.

Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah sebagian besar dari aspek kebijakan yang


dibicarakan, seperti aspek kejelasan tujuan kebijakan bagi pelaksana, kesesuaian isi
kebijakan dan konsistensi isi kebijakan dengan program dan pelaksanaannya.
Pelaksanaan peraturan/ kebijakan adalah serangkaian keputusan yang menyangkut
kepentingan publik, yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah
yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang
mengarah pada tujuan tertentu. Sedangkan pelaksanaan peraturan merupakan tahapan
aktivitas/ kegiatan/ program dalam melaksanakan keputusan kebijakan yang dilakukan
oleh individu/ pejabat, kelompok pemerintah, masyarakat, dan atau swasta dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan yang akan
mempengaruhi hasil akhir suatu kebijakan.

Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah Implementasi kebijakan publik merupakan


salah satu aktivitas dalam proses kebijakan publik yang menentukan apakah sebuah
kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan publik serta dapat diterima oleh publik.

56
Pelaksanaan peraturan/kebijakan merupakan aspek terpenting dari keseluruhan proses
kebijakan. Implementasi kebijakan meru-pakan wujud nyata dari suatu kebijakan, karena
pada tahap ini suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari
kebijakan, tapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan
mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian pembuat kebijakan
tidak hanya ingin melihat kebijakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat, namun
juga ingin melihat seberapa jauh kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai
dari hal yang positif maupun negatif kepada masyarakat.

Pelaksanaan peraturan/kebijakan merupakan kebijakan yang dibuat oleh administratur


negara atau administratur publik, dengan demikian kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah, kebijakan publik adalah
kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan
orang per orang atau golongan. Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah cara atau langkah
yang dilakukan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, oleh Mazmanian dan
Sabatier (1983) disebut sebagai upaya melaksanakan keputusan.

Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-


lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang dipengaruhi oleh aktor-aktor
dan faktor-faktor bukan pemerintah. Maksud dari ungkapan ini ialah bahwa kebijakan
tidak semata-mata didominasi oleh kepentingan pemerintah, aktor-aktor diluar
pemerintah harus diperhatikan aspirasinya, dan faktor-faktor yang berpengaruh harus
dikaji sebelumnya6. Kebijakan juga merupakan serangkaian proses dari suatu
perencanaan dan perumusan oleh suatu kelompok atau lembaga/instansi pemerintah yang
berupa peraturan atau program untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Pelaksanaan
peraturan/kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
(dikutip, Riant Nugroho D,2006, 141).

Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah yang telah melalui tahap rekomendasi


merupakan prosedur yang relatif kompleks, sehingga tidak selalu ada jaminan bahwa
kebijakan tersebut akan berhasil dalam penerapannya.(dikutip, Suharno, 2013, 169).

57
Pelaksanaan peraturan/kebijakan adalah persoalan tentang bagaimana organisasi
berperilaku, atau bagaimana orang yang berperilaku dalam organisasi.(dikutip, Wayne
Parsons,2006, 484). Pelaksanaan peraturan /kebijakan adalah pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, biasanya dimasukkan dalam undang-undang tetapi dapat juga
mengambil bentuk perintah eksekutif penting atau keputusan pengadilan. Idealnya,
keputusan itu mengidentifikasi masalah yang akan dibahas, menetapkan tujuan yang akan
dikejar, dan dalam berbagai cara, 'struktur' proses implementasi.

Pelaksanaan peraturan /kebijakan merupakan kebijakan sebagai 'apa yang


berkembang antara pembentukan niat yang jelas dari pihak pemerintah untuk melakukan
sesuatu, atau berhenti melakukan sesuatu, dan dampak akhir dalam dunia tindakan.
Realitas implementasi fungsi pelaksanaan peraturan dan struktur politik yang
menjalankannya dalam sistem politik. Implementasi kebijakan publik secara
konvensional dilakukan oleh negara melalui badan-badan pemerintah. Sebab
implementasi kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya pemerintah untuk
melaksanakan salah satu tugas pokoknya, yakni memberikan pelayanan public (public
service).

Namun, pada kenyataannya implementasi kebijakan publik yang beraneka ragam,


baik dalam hal bidang, sasaran, dan bahkan kepentingan, memaksa pemerintah
menggunakan kewenangan diskresi, untuk menentukan apa yang harus dilakukan mereka
dan apa yang tidak. Implementasi kebijakan yang telah melalui tahap rekomendasi
merupakan prosedur yang relatif kompleks, sehingga tidak selalu ada jaminan bahwa
kebijakan tersebut akan berhasil dalam penerapannya. Keberhasilan implementasi
kebijakan sangat terkait dengan beberapa aspek, diantaranya ; pertimbangan para
pembuat kebijakan, komitmen dan konsistensi para pelaksana kebijakan, dan perilaku
sasaran.

Apa yang dapat disebut 'kebijakan publik', dan dengan demikian harus dilaksanakan,
adalah produk dari apa yang telah terjadi pada tahap awal proses kebijakan. Namun
demikian, isi dari kebijakan itu, dan dampaknya terhadap mereka yang terkena dampak,

58
dapat secara substansial dimodifikasi, diuraikan atau bahkan disangkal selama tahap
implementasi, seperti yang ditunjukkan Anderson. '[P]olicy dibuat ketika sedang dikelola
dan dikelola ketika sedang dibuat' (1975: 79). Namun implementasi adalah sesuatu yang
terpisah dari formasi kebijakan. Hanya sangat jarang keputusan yang mengeksekusi diri,
menyiratkan bahwa tidak ada tahap implementasi yang terpisah. Jika secara umum ada
tahap seperti itu, maka ada juga kasus yang bagus untuk analisis bagian dari proses
kebijakan tersebut. 'Banyak yang terjadi pada tahap ini mungkin tampak sekilas untuk
menjadi membosankan atau biasa-biasa saja, namun konsekuensinya untuk substansi
kebijakan mungkin cukup mendalam' (Anderson, 1975: 78–9). Dikutip dari Michael Hill
& Peter Hupe (2002 : 6).

Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang berorientasi pencapaian


tujuan maupun pemecahan masalah ataupun kombinasi dari keduanya. Implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah
pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan
merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis
dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Pelaksanaan peraturan dalam sistem
politik Indonesia, tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan peraturan/kebijakan yang
telah dibuat.

Sering sekali terjadi aturan-aturan yang telah dibuat dalam pelaksanaannya di


lapangan, melenceng dari tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut. Pada tatanan
pelaksanaan peraturan atau implementasi kebijakan, persoalan yang sama terjadi, bahkan
menjadi lebih rumit lagi karena dalam melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan
kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing.
Tidak saja dalam proses implementasi, dalam realitas ditemukan juga walaupun
kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami hambatan dalam
implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan) karena dihadapkan dengan
berbagai kesulitan atau hambatan.

59
Dalam studi kebijakan, dipahami benar bahwa bukan persoalan yang mudah untuk
melahirkan satu kebijakan bahkan untuk kebijakan pada tingkatan lokal, apalagi
kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh luas, menyangkut kelompok sasaran
serta daerah atau wilayah yang besar. Pada tatanan implementasi pun, persoalan yang
sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi karena dalam melaksanakan satu kebijakan
selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya
masing-masing. Tidak saja dalam proses implementasi, dalam realitas ditemukan juga
walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami
hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan) karena
dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau hambatan.

Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2000) dan Darwin (1999) bahwa ada
kebijakan yang mudah diimplementasikan, tetapi ada pula yang sulit diimplementasikan,
oleh Darwin (1999) ditegaskan "karena itu, salah satu hal yang penting dalam studi
implementasi adalah bagaimana mengenali tingkat kesulitan suatu kebijakan untuk
diimplementasikan, dan bagaimana agar kebijakan tersebut dapat lebih terimplementasi".
Lebih lanjut, Darwin (1999) menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menentukan tingkat
implementabilitas kebijakan publik, yaitu :

a. Sifat kepentingan yang dipengaruhi. Dalam proses implementasi satu kebijakan


publik seringkali menimbulkan konflik dari kelompok sasaran atau masyarakat,
artinya terbuka peluang munculnya kelompok tertentu diuntungkan (gainer),
sedangkan dipihak lain implementasi kebijakan tersebut justru merugikan kelompok
lain (looser) (Agus Dwiyanto, 2000). Implikasinya, masalah yang muncul kemudian
berasal dari orang-orang yang merasa dirugikan. Upaya untuk menghalang-halangi,
tindakan complain, bahkan benturan fisik bisa saja terjadi. Singkatnya, semakin besar
konflik kepentingan yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik, maka
semakin sulit pula proses implementasi nantinya, demikian pula sebaliknya.
b. Kejelasan manfaat. Dalam konteks pemerintahan yang amanah, berarti pemerintah
haruslah menyelesaikan persoalan-persoalan walaupun tidak bisa dikatakan seluruh

60
persoalan, karena keterbatasan diri pemerintah sendiri, untuk kemudian
memberdayakan masyarakat atau melalui LSM dan organisasi lainnya untuk
menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat, dimana upaya intervensi
pemerintah haruslah bermanfaat bagi masyarakat secara langsung maupun tidak
langsung. Jika dilihat dari aspek bermanfaat atau tidak, maka semakin bermanfaat
implementasi kebijakan publik, dengan sendirinya dalam proses implementasi
nantinya akan lebih mudah, dalam artian untuk waktu yang tidak begitu lama
implementasi kebijakan dilaksanakan serta mudah dalam proses implementasi,
sebaliknya bila tidak bermanfaat maka akan sulit dalam proses implementasi lebih
lanjut.
c. Perubahan perilaku yang dibutuhkan. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam
implementasi kebijakan publik adalah perubahan perilaku kelompok sasaran atau
masyarakat. Maksudnya, sebelum implementasi kebijakan kelompok sasaran atau
masyarakat melakukan sesuatu dengan pola implementasi kebijakan terdahulu. Ketika
satu kebijakan baru diimplementasikan, terjadi perubahan baik dalam finansial, cara
atau tempat dan sebagainya. Perubahan tersebut akan menimbulkan resistensi dari
kelompok sasaran. Masalahnya, lebih banyak implementasi kebijakan yang menuntut
perubahan perilaku, baik sedikit atau banyak, artinya pengambil kebijakan seharusnya
memilih alternatif kebijakan yang paling kecil menimbulkan pengaruh pada
perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Oleh Darwin (1999)
menyatakan bahwa : Dalam hal ini pengambil kebijakan perlu menghindari
pengambilan kebijakan yang menuntut perubahan perilaku terlalu jauh, dan tentunya
tidak bertentangan dengan agama, keyakinanatau pola hidup masyarakat yang sudah
turun temurun.
d. Aparat pelaksana. Aparat pelaksana atau implementor merupakan faktor lain yang
menentukan apakah satu kebijakan publik sulit atau tidak diimplementasikan.
Komitment untuk berperilaku sesuai tujuan kebijakan penting dimiliki oleh aparat
pelaksana. Oleh Darwin (1999) mengatakan bahwa dalam hal ini diperlukan
pengembangan aturan yang jelas dan sistem monitoring dan kontrol yang efektif dan

61
transparan yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya perilaku aparat yang
berlawanan dengan tujuan publik tersebut. Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan
agar lebih kritis dalam mensikapi perilaku aparat yang menyimpang, pilihan proram
merupakan upaya mengimplementasikan kebijakan in-built mekanisme yang
menjamin transparasi dan pengawasan, hal ini penting untuk mengarahkan perilaku
aparat. Selain itu, kualitas aparat dalam melaksanakan proses impementasi pun
menjadi kendala yang sering dijumpai. Terutama, menyangkut implementasi
kebijakan yang membutuhkan ketrampilan khusus. Dengan demikian memberikan
indikasi bahwa aparat pelaksana kebijakan menjadi salah satu aspek untuk menilai
sulit tidaknya implementasi kebijakan. Komitmen, kualitas dan persepsi yang baik
nantinya akan memudahkan dalam proses implementasi kebijakan dan sebaliknya.
e. Dukungan sumber daya . Suatu program akan dapat terimplementasi dengan baik jika
didukung oleh sumber daya yang memadai, dalam hal ini dapat berbentuk dana,
peralatan teknologi, dan sarana serta prasarana lainnya. Kesulitan untuk
melaksanakan satu program terkait erat dengan beberapa hal yang disebut terakhir,
bila sumber daya yang ada tidak mendukung maka implementasi program tersebut
nantinya dalam implementasi program tersebut akan menemui kesulitan. Kelima
faktor yang menentukan sulit atau tidaknya proses implementasi kebijakan publik di
atas oleh Muhadjir Darwin nampaknya diuraikan secara umum, dalam pengertian
tidak dibedakan mana aspek organisasi serta mana faktor lingkungan. Oleh Effendi
(2000) dikatakan bahwa perbedaan antara studi implementasi dengan penelitian
ilmiah biasa terletak di dalam variabel penelitian (khususnya variabel independen).
Dimana, penelitian ilmiah biasa bebas menentukan variabel independen, artinya
variabel yang secara teoritis penting, dapat dijadikan variabel independen atau
dependen sebagai obyek atau topik penelitian. Sedangkan studi implementasi, ada
keharusan dimana variabel penelitian (independen) adalah variabel yang comparable
(dapat diimplementasikan). disebabkan oleh variabel-variabel independen tersebut
digunakan untuk memperbaiki implementasi kebijakan, karenanya tidak semua

62
variabel dapat dijadikan topik untuk studi implementasi. Lebih lanjut menyatakan
bahwa ada tiga variabel independen (faktor pengaruh), yaitu :
i. Variabel kebijakan
Yang termasuk variabel kebijakan adalah kejelasan tujuan kebijakan, transmisi
(penyampaian kebijakan). Tujuan yang tidak jelas dan penyampaian kebijakan kepada
implementor menimbulkan perbedaan persepsi. Kondisi ini akan menyulitkan dalam
proses implementasi kebijakan nantinya.

ii. Variabel atau faktor organisasi


Satu kebijakan publik harus dilaksanakan melalui sebuah instrumen atau alat serta
wahana tertentu, singkatnya tidak ada kebijakan publik tanpa terkait dengan alat
tertentu. Instrumen untuk melaksanakan kebijakan publik ini dalam konteks
administrasi negara dilasanakan melalui organisasi atau organisasi publik. Organisasi
yang dimaksudkan penulis bukanlah struktur organisasi tetapi lebih pada personil
(aparat pelaksana).

iii. Variabel atau faktor lingkungan implementasi


Suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh organisasi atau sekelompok organisasi
tidak terjadi pada ruang hampa, tetapi terjadi pada lingkungan impelemtasi tertentu.
Lingkungan implementasi bisa berbentuk kondisi pendidikan masyarakat, kondisi
sosial dimana kebijakan itu diimplementasikan serta kondisi politik (Sofian
Effendi:2000).

Pernyataan di atas mengasumsikan, jika satu kebijakan dilaksanakan dalam dua


lingkungan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Artinya, penerapan
kebijakan harus memperhatikan lingkungan kebijakan dimana dia diimplementasikan.
Ketiga variabel di atas, walaupun disebut sebagai variabel yang mempengaruhi
keberhasilan atau untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan, artinya untuk
mengukur sejauh mana kebijakan yang telah diimplementasikan mencapai tujuan
kebijakan. Tetapi variabel tersebut dapat dimodifikasi sebagai faktor-faktor yang

63
menghambat implementasi kebijakan, dalam pengertian faktor-faktor yang mempersulit
sehingga implementasi kebijakan tidak bisa atau belum dapat direalisasikan.

Dari pendapat di atas, ternyata 5 faktor yang disebutkan orang yang terakhir, dapat
dimasukkan ke dalam variabel yang disebutkan. Dimana, faktor kejelasan manfaat dapat
dimasukkan ke dalam variabel kebijakan, yaitu sejauh mana implementasi kebijakan
tersebut menetapkan tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat atau kelompok sasaran.
Kemudian faktor sifat kepentingan yang dipengaruhi dan perubahan perilaku yang
dibutuhkan dapat dimasukka n ke dalam variabel lingkungan implementasi. Sedangkan,
faktor aparat pelaksana dan sumber daya termasuk pada variabel organisasi
implementasi. Disamping itu, kesulitan-kesulitan lain yang menghambat
diimplementasikannya satu kebijakan, dapat pula dipengaruhi oleh orientasi atau interest
aparat atau pimpinan organisasi pemerintah daerah terhadap kebijakan yang ada. Banyak
persoalan yang harus dikerjakan, prioritas pilihan kebijakan apa yang akan
diimplementasikan tergantung pada interest serta orientasi pimpinan daerah.

Dikutip dari jurnal Mujianto Solichin (2015 : 156), mengatakan bahwa dalam
implementasi kebijakan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi suatu
kebijakan. Implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan yang diharapkan
oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Arif
Rohman menyatakan, bahwa ada 3 (tiga) faktor yang yang dapat menentukan kegagalan
dan keberhasilan dalam inplementasi kebijakan yaitu: (1) faktor yang terletak pada
rumusan kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan, menyangkut
kalimatnya jelas atau tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak,
mudah diinterpretasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan atau tidak; (2) faktor
yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang menyangkut tingkat pendidikan,
pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri,
kebiasaankebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari para pelaku pelaksana kebijakan.
Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya, bahasa, serta ideologi
kepartaian masingmasing semua itu akan sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara

64
kolektif dalam menjalankan misi implementasi kebijakan; (3) faktor yang terletak pada
sistem organisasi pelaksana, yakni menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan
masingmasing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin
organisasinya, aturan main organisasi, target masing-masing tahap yang ditetapkan,
model monitoring yang biasa dipakai, serta evaluasi yang dipilih.

Dikutip dari jurnal Fatkhur Rohman, Imam Hanafi, Minto Hadi (2016 :970),
Setiap implementasi kebijakan tentunya megandung resiko kegagalan, Hogwood dan
Gunn dalam Abdul Wahab (2008: 61-62) telah membagi pengertian kegagalan kebijakan
(policy failure) dalam dua kategori, yakni: Non-implementation (tidak bisa
terimplementasikan), artinya bahwa suatu kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai
dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaanya tidak
mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati
atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan. Unsuccessful
implementation (implemenasi tidak berhasil), artinya manakala suatu kebijaksanaan
tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal
yang ternyata tidak menguntungkan, maka kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijaksanaan yang
memiliki resiko untuk gagal tersebut disebabkan faktor-faktor berikut: pelaksanaannya
yang buruk (bad execution) dan kebijakan itu bernasib jelek (bad luck).

10. Fungsi Role Adjudication dan Struktur Politik yang Menjalankannya

A. Pengertian Penghakiman Peraturan

Fungsi adjudikasi kebijaan dilaksanakan oleh badan peradilan yang meliputi MA,
MK, Komisi Yudisial serta badan-badan kehakiman. Dalam menganalisa sitem politik
dapat digunakan beberapa aspek untuk membedakan proses yang terjadi dalam suatu
masa dengan masa yang lain agar diperoleh perbedaan yang akan lebih memudahkan kita
untuk membaca output yang terbentuk, antara lain :Penyaluran tuntutan, , Pemeliharaan

65
nilai, Kapabilitas, Gaya politik, Kepemimpinan, Partisipasi massa, Keterlibatan militer,
Aparat Negara, Stabilitas

B. Strukutur Yang Menjalankan Fungsi


1) Suprastruktur dan Infrastruktur Politik
Dalam kehidupan bersama terdapat berbagai organisasi atau lembaga yang merupakan
bagian dari persekutuan hidup manusia. Ada lembaga ekonomi seperti pasar, bank,
koperasi, perusahaan, dan sebagainya. Lembaga sosial, seperti sekolah, rumah sakit,
puskesmas, panti asuhan dan sebagainya. Di samping itu, terdapat lembaga politik yang
dibentuk oleh warga untuk memenuhi kebutuhannya di bidang politik. Lembaga politik
itu, misalnya partai politik, organisasi kemasyaratan, kelompok kepentingan, parlemen,
dan sebagainya. Lembaga politik yang akan dijelaskan pada buku ini adalah negara.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, negara adalah suatu


organisasi kekuasaan. Negara .adalah organsasi politik yang juga merupakan sebuah
lembaga politik. Namun sebagai lembaga politik di dalam kehidupan bemegara itu sendiri
terdapat banyak lembaga politik yang dapat pula disebut struktur politik. Struktur berarti
badan, organisasi atau lembaga. Dalam kehidupan politik negara banyak terdapat
lembaga politik. Secara garis besar, lembaga politik dibagi dua.

2) Suprastruktur Politik di Indonesia


Suprastruktur politik adalah badan atau lembaga-lembaga politik yang dibentuk oleh
negara untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Suprastruktur politik memiliki
pengaruh yang langsung dalam pembuatan keputusan politik negara yang berlaku umum
dan mengikat pada kehidupan bemegara. Karena ada dalam negara dan besifat resmi
maka suprastruktur politik ini dapat disebut sebagai lembaga politik formal atau mesin
politik resmi. Berdasarkan ajaran Trias Politika maka lembaga-lembaga negara tersebut
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kekuasaan.

 Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membentuk peraturan perundang-


undangan.

66
 Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan atau menyelenggarakan pemerintahan.
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mempertahankan peraturan perundang-
undangan disebut pula kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pendapat Gabriel Almond
maka lembaga lembaga negara tersebut idapat dikelompokkan ke dalam lembaga berikut
ini.

 Lembaga yang melaksanakan fungsi rule making (membuat undang-


undang/kebijakan).
 Lembaga yang melaksanakan fungsi rule application (melaksanakan undang-
undang/kebijakan).
 Lembaga yang melaksanakan fungsi rule adjusdication (meng-adili pelaksanaan
undang-undang/kebijakan)

11. Fungsi Pemeriksa Keuangan Negara dan Struktur Politik yang Menjalankannya

A. Pengertian Fungsi Pemeriksaan Keuangan Negara Dan Struktur Yang


Menjalankannya Dalam Sistem Politik Secara Umum

Menurut Alvin A. Arens, Salah Satu Bagian Dari Laporan Pemeriksaan Yang
Mengundang Banyak Pertanyaan (Kontroversial) Adalah Istilah “Menyajikan Secara
Wajar (Present Fairly). Menurut Robert Half, Seorang Konsultan International Yang
Menukis Buku Success Guide For Accountants Berpendapat Bahwa Pekerja Akuntan
Sekarang Ini Merupakan Rute Yang Baik Terhadap Suatu Karir Bisnis Yang Berhasil.
Menurut Philip Kotler, Pemasaran Adalah Analisis, Perencanaan, Implementasi, Dan
Pengendalian Atas Program Yang Dirancang Dengan Cermat Untuk Menciptakan
Pertukaran Nilai Yang Dilakukan Secara Sukarela Dengan Pasar Sasaran Demi
Tercapainya Tujuan-Tujuan Organisasi.

67
Fungsi BPK Secara Umum Adalah Untuk Memeriksa Pengelolaan Dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara Diadakan Suatu Badan Pemeriksan Keuangan Yang Bebas Dan
Mandiri. Dalam Sistem Politik Indonesia, Organisasi Yang Menjalankan Fungsi
Pemeriksaan Keuangan Negara Adalah BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan). BPK RI
Adalah Lembaga Tinggi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Yang Memiliki
Wewenang Memeriksa Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangna Negara. Menurut
UUD 1945, BPK Merupakan Lembaga Yang Bebas Dan Mandiri. Anggota BPK Dipilih
Oleh DPR Dengan Memperhatikan Pertimbangan DPD Dan Diresmikan Oleh Presiden.
Anggota BPK Sebelum Memangku Jabatannya Wajib Mengucapkan Sumpah Atau Janji
Menurut Agamanya Yang Ipandu Oleh Ketua Mahkamah Agung.

B. Fungsi Secara Khusus Pemeriksaan Keuangan Negara

Dalam Menjalankan Tugasnya, Badan Pemeriksaan Keuangan Negara Menjalankan


Fungsinya, Yaitu:

1) Perumusan Kebijakan Nasional Pengawasan Intern Terhadap Akuntabilitas Keuangan


Negara/Daerah Dan Pembangunan Nasional Meliputi Kegiatan Yang Bersifat Lintas
Sektoral, Kegiatan Kebendaharaan Umum Negara, Bedasarkan Penetapan Oleh
Menteri Keuangan Selkau Bendahara Umum Negara, Dan Kegiatan Lain Berdasarkan
Penugasan Dari Presiden.
2) Pelaksanaan Audit, Evaluasi, Pemantauan, Dan Kegiatan Pemgawasan Lainnya
Terhadap Perencanaan Pelaksanaan Dan Pertanggungjawaban Akuntanbilitas
Penerimaan Negara/Daerah Dan Akuntabilitas Pengeluaran Keuangan Negara Serta
Pembangunan Nasional Atau Kegiatan Lain Yang Seluruh Keuangannya Dibiaayai
Oleh Anggaran Negara Yang Termasuk Badan Usaha Dan Badan Lainnya Yang Ada
Di Dalamnya Sebuah Kepentingan Keunagan Atau Kepentingan Dari Pemerintah
Pusat Serta Akuntabilitas Pembiayaan Keuangan Negara/Daerah.
3) Pengawasan Intern Terhadap Pelaksanaan Perencanaan Pemanfaatan Dan
Perencanaan Aset Negara/Daerah.

68
4) Pemberian Konsultasi Terkait Dengan Manajemen Resiko Dan Tata Kelola Terhadap
Instansi Kebijakna Pemerintahan Yang Strategis.
5) Pengawasan Terhadap Perencanaan Dan Pelaksanaan Program Yang Dapat
Menghambat Perencanaan Pembangunan Atas Penyesuaian Harga Terhadap Kasus-
Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Terhadap Keuangan Negara, Audit
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Pemeberian Keterangan Ahli, Dan Upaya
Pencegahan Korupsi.

C. Struktur Pemeriksaan Pemeriksaan Keuangan Negara

Adapun Struktur Badan Pemeriksaan Keuangan Negara Adalah:

1. Sekretariat Jenderal
2. Inspektorat Utama
3. Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi Dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan
Negara
4. Direktorat Utama Pembinaan Dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan
Negara
5. Auditorat Utama Keuangan Negara I
6. Auditorat Utama Keuangan Negara II
7. Auditorat Utama Keuangan Negara III
8. Auditorat Utama Keuangan Negara IV
9. Auditorat Utama Keuangan Negara V. Perwakilan-Perwakilan BPK Di Wilayah Barat
10. Auditorat Utama Keuangan Negara VI. Perwakilan-Perwakilan BPK Di Wilayah
Timur
11. Auditorat Utama Keuangan Negara VII
12. Staff Ahli Bidang Keuangan Pemerintah Pusat
13. Staff Ahli Bidang Keuangan Pemerintah Daerah
14. Staff Ahli Bidang BUMN, BUMD Dan Kekayaan Negara/Daerah Yang Dipisahkan
Lainnya.

69
15. Staff Ahli Bidang Lingkungan Hidup Dan Pembangunan Berkelanjutan
16. Staff Ahli Bidang Investigatif
17. Kelompok Jabatan Fungsional

Realitas Pertanggung Jawaban Uang Rakyat Indonesia Yaitu: Dominasi Pendapatan


Bersumber Dari Pajak. Sumber Dan Penggunaan Uang Negara Setiap Tahunnya Dapat
Tergambarkan Dari APBN/APBD. Dalam APBN/APBD, Baik Pemerintah Pusat Maupun
Pemerintah Daerah Ditetapkan Target Jumlah Dan Sumber-Sumber Penerimaan
Negara/Daerah Dan Penerimaan Pembiayaan, Sedangkan Penggunaan Uang Negara
Tersebut Tergambarkan Pada Program-Program Atau Kegiatan Yang Akan Dilakukan
Oleh Pemerintah Dalam Anggaran Belanja Negara/Daerah Dan Pengeluaran Pembiayaan
Untuk Jangka Waktu 1 (Satu) Tahun.

Ketidakefektian Dan Ketidakefisienan Merupakan Indikasi Dari Penyimpangan,


Tidak Akuratnya Perhitungan Belanja Atau Tidak Tepatnya Penggunaan Uang Negara
Dan Belanja Pemerintah. Ketidakefektifan Berorientasi Pada Pencapaian Hasil
(Outcome), Yaitu Adanya Kegiatan Yang Tidak Memberikan Manfaat Atau Hasil Yang
Direncanakan, Serta Fungsi Pemerintahan Yang Tidak Optimal Sehingga Tujuan
Pemerintah Tidak Tercapai. Sedangkan Ketidakefisienan Merupakan Penggunaan Input
Denga Harga Dan Kuantitas Yang Lebih Tinggi Dai Standar, Kuantitas Yang Melebihi
Kebutuhan, Dan Harga Yang Lebih Mahal Dibadingkan Dengan Pengadaan Barang Atau
Jasa Serupa Pada Waktu Yang Sama. Pada Umumnya Kasus-Kasus Ketidakefektifan
Yang Terjadi Pada Lingkungan Pemerintahan Yaitu Adanya Penggunaan Anggaran
Belanja Yang Tidak Tepat Sasaran Atau Tidak Sesuai Diperuntukkan, Pemanfaatan
Barang Dan Jasa Tidak Sesuai Dengan Rencana Yang Ditetapkan Sehingga
Mempengaruhi Pencapaian Tujuan Organisasi Dan Pelayanan Kepada Masyarakat Yang
Tidak Optimal. Hal Ini Terjadi Karena Kelalaian Pejabat Yang Bertanggung Jawab Tidak
Cermat Dalam Melaksanakan Kegiatan, Tidak Mempedomani Ketentua Ynag Berlaku
Serta Lemahnya Pengawasan Dan Pengendalian Kegiatan.

70
Sementara Itu, Kasus-Kasus Ketidaksfisienan Pada Umumnya Terjadi Akibat
Pengadaan Barang Jasa Yang Melebihi Kebutuhan Atau Tidak Sesuai Dengan Standar
Dan Adanya Pemborosan Keuangan Negara Atau Kemahalan Harga Pada Saat
Penyusunan Anggaran (APBN/APBD) Penyebabnya Hampir Sama Pada Kasus-Kasus
Ketidakefektifan. Ketidakefektifan Dan Ketidakefisienan Ini Selain Berdampak Pada
Tidak Dapat Terserapnya Uang Rakyat Secara Optimal Menunjang Fungsi Pemerintahan
Dalam Melayani Masyarakat, Juga Mengakibatkan Pembangunan Nasional Tidak Sesuai
Dengan Kebutuhan Masyarakat. Sehingga Tidak Dapat Medorong Pertumbuhan
Ekonomi Untuk Mensejahterakan Rakyat. Untuk Itu, Agar Penggunaan Uang Rakyat
Dapat Dilakukan Secara Efektif Dan Efisien, Maka Pemerintah Harus Senantiasa
Membuat Perencanaan Yang Matang Sesuai Dengan Kebutuhan Penganggaran.

Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme Merupakan Suatu Hal Yang Tidak Asing Lagi Bagi
Bangsa Indonesia Hampir Setiap Hari Dan Setiap Media Massa Baik Cetak Membritakan
Tentang Kasus KKN Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara. Fenomena Ini Ternyata
Kasus Korupsi Dan Kolusi Di Indonesia Tidak Hanya Dilakukan Oleh Lembaga
Eksekutif Namun Melibatkan Pihak Lembaga Legislatif. Hal Ini Merupakan Klasifikasi
Menyimpang Karena Merupakan Perilaku Yang Menyimpang Dan Mengabaikan Etika
Serta Melanggar Aturan Hukum. Dimana Tindakan Dan Perbuatannya Hanya
Menguntungkan Diri Sendiri Dan Merugikan Orang Lain. Dalam Mewujudkan Manusia
Indonesia Seutuhnya Dan Masyarakat Indonesia Yang Adil Dan Makmur Sesuai Dengan
Tata Tertib Pancasila Dan UUD 1945.

Tidak Berfungsinya Akuntansi Secara Maksimal Dalam Pemerintahan Sehingga


Mengakibatkan Pertanggungjawaban Uang Rakyat Belum Dapat Dilakukan Secara
Maksimal. Penggunaan Uang Rakyat Yang Dipercayakan Kepada Pemerintah Sehingga
Pemerintah Belum Mampu Memberikan Informasi Yang Relevan Terhadap Penerimaan
Dan Penggunaan Uang Rakyat. Hal Ini Menyebabkan Rakyat Pun Tidak Dapat Menilai
Kinerja Pemerintah Secara Tepat.

71
12. Fungsi Kontrol Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya

Kontrol Politik adalah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan


penyimpangan dalam suatu kebijaksanaan atau dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan.
Dalam melakukan suatu kontrol atau pengawasan haruslah berdasarkan kriteria atau
norma, sehingga kegiatan itu objektif sifatnya. Melakukan suatu kegiatan kontrol atau
pengawasan tanpa suatu kriteria yang jelas, maka kontrol itu tidak akan mempunyai arah
atau ngawur. Kriteria suatu kontrol politik adalah nilai-nilai politik yang dianggap ideal
oleh masyarakat (ideologi) yang dijabarkan kedalam berbagai kebijaksanaan umum atau
peraturan perundang-undangan. Partai politik memiliki sala satu fungsi untuk melakukan
kontrol politik tersebut.

Tujuan suatu kontrol politik adalah meluruskan kebijaksanaan atau pelaksanaan


kebijaksaan yang menyimpang, dan memperbaiki keliru sehingga kebijaksanaan dan
pelaksanaan suatu kebijaksanaan sejalan dengan ideologi nasional tadi. Partai politik
dalam melakukan fungsi kontrol juga harus berdasarkan kriteria atau norma di atas, sebab
kriteria itu (ideologi) dan penjabarannya kedalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan
perudang-undangan adalh merupakan konsensus bersama dan karenanya menjadi
pegangan dan titik tolek bersama pula. Adakalanya kontrol yang dilakukan oleh suatu
partai politik terhadap suatu kebijaksanaan yang dijalamkan oleh partai itu dari
kedudukannya.hal ini disebabkan karena apa yang dikemukakan oleh partai yang
melakukan kontrol itu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen atau kelompok-
kelompok politik dalam masyarakat.

Pemilihan Kepala daerah secara langsung akan menjadi medan pembuktian bagi
partai politik untuk menunjukkan performa yang bagus untuk mendorong sifat
rasionalitas pemilih menuju budaya politik demokratis, dan semoga kelak parpol bisa
mengarahkan pemilih pada pertimbangan rasional, seperti kualifikasi track record,
kapabilitas, dan program calon kepala daerah, dan tidak lagi partai politik primordial
yang mendorong masyarakat memilih karena atas pertimbangan hubungan agama, suku,
dan kesamaan budaya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan partai politik, dalam

72
rangka penguatan peran partai politik dalam kaitannya dengan Pemilihan kepala daerah
secara langsung antara lain: Pertama, hal yang mendasar yang harus dilakukan adalah
perubahan paradigma, khususnya menyangkut peran partai politik dalam Pemilihan
kepala daerah. Partai politik harus melihat pemilihan kepala daerah secara langsung
bukan semata-mata masalah proyeksi kekuasaan; berapa jabatan kepala atau wakil kepala
daerah yang akan diperoleh; berapa dana yang akan disetor oleh kepala daerah yang
didukungnya untuk Pemilu yang akan datang.

Adalah wajar jika partai politik melakukan perhitungan tentang seberapa popular dan
seberapa besar peluang calon yang mereka dukung atau tentang berapa daerah yang
mereka targetkan untuk dimenangkan serta cara mencapainya. Akan tetapi, dengan
kembali pada latar belakang mengapa pemilihan kepala daerah secara langsung
diselenggarakan, maka partai politik seharusnya dapat melepaskan diri dari cara pandang
miopis yang menjebak dalam persoalan yang begitu pragmatis dan sempit. Kontrol
partai yang dapat menjatuhkan partai yang berkuasa ini terutama dapat ditemui dalam
sistem politik yang menggunakan sistem kabinet parlementer dalam pemerintahannya.

Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik
demokrasi untuk memperbaiki dan memperbarui dirinya. Partai politik dan pemilu Salah
satu instrumen paling penting dalam pemilu adalah dengan adanya peserta pemilu, yaitu
partai politik. Partai politiklah yang berkompetisi baik partai politik itu sendiri ataupun
anggota partai yang mencalonkan menjadi anggota legislatif ataupun menjadi presiden.
Pemilu merupakan arena bagi partai politik dalam bersaing dengan partai politik lainya
untuk mendapatkan kekuasaan yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pada tataran teoris partai politik bersaing dengan ideologi yang kemudian termanistasikan
ke dalam kebijakan partai dan selanjutnya munculah program partai. Program-program
tersebutlah yang kemudian menjadi aksi nyata yang langsung dapat diamati dalam rangka
untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

Partai politik hadir dengan menawarkan berbagai program yang diyakini akan mampu
menyelesaikan persoalan bangsa ataupun akan memperjuangkan sesuatu bagi masyarakat

73
banyak sesuai dengan ideologi yang diyakininya. Dengan hadirnya begitu banyak partai
politik tentunya membuat pemilu semakin meriah, baik itu partai lama (partai yang telah
pemilu sebelumnya) ataupun partai baru (termasuk partai pecahan partai lama).

Persaingan antar partai politik akan semakin sengit dalam mendapatkan suara, apa
lagi dengan munculnya partai baru yang tentunya mempunyai warna baru dan harapan
baru. Partai politik hadir dengan asa yang dibawa, yaitu ingin memperjuangkan atau
mewujudkan masyarakat yang didam-idamkan. Yaitu dengan menawarkan banyak
harapan, bagaimana cara mewujudukan, tipe masyakat yang mana akan menjadi basis
perjuangan; apakah petani, buruh, atau nelayan, masyarakat yang ada diperkotaan atau
pedesaan dan sebagainya. Seperti fungsi partai politik yaitu sebagai sarana rekruitmen,
bahwa rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan
seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem
politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.

Dengan hadirnya sistem pemilihan langsung baik untuk tingkat nasional ataupun di
daerah maka fungsi rekrutmen yang dilakukan partai politik semakin penting peranannya.
Penting disini adalah dari proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik maka akan
muncul caloncalon pemimpin yang memang telah teruji (kemampuan teoritis atau konsep
dan praktek) baik itu kerja-kerja organisasi ataupun dalam bermasyarakat. Partai politik
dapat dikatakan sebagai tempat mencetak kader yang dapat dijadikan calon-calon
pemimpin baik di tingkat pusat ataupun di daerah. Ketika negara kita sederhanakan
menjadi organisasi, peran pemimpin merupakan hal yang pokok, dari pemimpin iniliah
kemudian akan muncul keputusan-keputusan yang diarahkan untuk tercapai cita-cita
organisasi (negara). Kader-kader dari partai inilah yang kemudian menjadikan cerminan
dari partai politik terkait dengan ideologi, yang diharapkan kelak ketika menjadi seorang
pemimpin dapat membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan ideologi partai, tidak
bersebrangan dengan ideologi partai.

Tentunya kebijakan ini tidak sebatas kebijakan pemerintah pusat melalui presiden,
tetapi juga gubernur, walikota ataupun bupatui. Seiring dengan otonomi daerah dimana

74
kemudian daerah mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangga
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dengan besarnya kewenangan
yang bergitu besar maka hal menjadi kesempatan yang bagus untuk partai politik
membuat kebijakan sebagai bentuk manifestasi ideologi partai di daerah melalui kepala
daerah. Dengan semakin banyak partai politik hal ini membawa implikasi bahwa
masyarakat semakin bingung untuk memilih partai mana yang dipercaya dapat
memperjuangkan atau mewujudkan kepentinganya.Dengan semakin banyak partai poltik
hal ini seakan menutup kemungkinan untuk salah satu partai memenangkan pemilu
secara mutlak. Sehinga dengan kondisi seperti ini maka, kemungkinan untuk melakukan
kerjasama atau koalisi dalam pemenangan calon eksekutif baik pusat maupun daerah.

Secara teoritis dalam melakukan koalisi partai politik akan melihat siapa yang akan
diajak berkoalisi? Tentunya partai politik yang sepaham (seideologi). Karena dengan
begitu maka akan lebih mudah untuk bekerjasama ketika banyak kesamaan nilai-nilai
yang terkandung dalam ideologi. Sebagai contoh partai yang berideologi Islam dengan
nilainilai Islam yang menjadi landasan kebijakan akan berkoalisi dengan partai yang
berideoligi liberal dengan nilai kebebasan yang menjadi landasan kebijakan partai,
tentunya hal ini akan sangat sulit menyamakan persepsi tentang banyak hal. Banyak hal
disini seperti; bagaimana sistem ekonomi, sosial ini akan dijalankan.

Kontrol politik juga dapat dilihat dari peran pemerintah daerah dalam pembuatan
kebijakan dapat dilihat dari peran aktor – aktor stakeholder yang berperan dalam
memformulasikan kebijakan.Dimensi partisipasi ini dapat dianggap sebagai pilihan,
mulai dari mode yang relatif pasif sampai yang aktif. Selebihnya menurut Crosby dan
Brinkerhoff (2002)tipe/jenis partisipasi dapat dibedakan atas beberapa, yakni: a]. Sharing
informasi, Arus komunikasi searah. Dilakukan agar aktor kebijakan selalu mendapatkan
informasi, menjaga transparansi dan membangun legitimasi, b]. Konsultasi, komunikasi
dua arah dan pertukaran pendapat. c]. Kolaborasi, Gabungan kegiatan dimana inisiator
mengundang kelompok lain untuk terlibat termasuk kalangan yang berwenang dan
memiliki kontrol terhadap pembuatan keputusan. d]. Kerjasama pembuatan keputusan,

75
Kolaborasi menyangkut pembagian kontrol atas pembuatan keputusan yang sangat
berguna menyangkut pengetahuan eksternal aktor, kapasitas dan pengalaman merupakan
pencapaian tujuan kebijakan, e]. Pemberdayaan, Transfer pengawasan melalui pembuatan
keputusan, sumberdaya dan aktivitas dari inisiator ke stakeholder yang lain.
Pemberdayaan mengambil tempat ketika aktor eksternal bertindak sendirian atas terhadap
kepentingannya sendiri, menangani mandat kebijakan tanpa melibatkan pemerintah.

Tujuan utama dari reformasi organisasi adalah menciptakan pemerintah daerah yang
ditata oleh peraturan yang merujuk ke karakter pemerintah dengan tipe ideal normative
dan berfokus pada restorasi „keunggulan politik‟, sehingga implementasi kebijakan
menjadi inti dari tugas pemerintah daerah. Pihak administrative dibatasi untuk. Pada
kasus media massa dalam sistem politik yang bertransisi, kebijakan pengaturan media
berada pada pilihan antara penghormatan terhadap kebebasan pers di satu sisi dan upaya
untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat pada sisi yang lain.

Dalam perspektif demokrasi, mekanisme yang ingin diwujudkan adalah pengaturan


diri berbasis nilai-nilai internal organisasi media massa yang sangat spesifik. Dalam
setting ini kondisi ideal yang ingin diwujudkan adalah internal control pada masing-
masing organisasi media, sehingga secara otonomi mereka akan memperbaiki
kelemahannya sendiri. Dalam kasus Indonesia yang sedang bertransisi dari politik
authoritarian menuju demokrasi, media massa akan berusaha mencari format yang tepat
untuk menjalankan fungsinya di masyarakat. Ketika pada awalnya kode-kode politik
begitu mendominasi praktek media massa di Indonesia, pada saat transisi, kode-kode
ekonomi masuk dan semakin mendapatkan peran pentingnya.

Garis tegas dalam mengenali kontrol yang telah ditetapkan oleh konteks politik dan
oleh tujuan ekonomi terpisah dari penahanan jangka pendek inflasi berarti bahwa kontrol
dapat diharapkan hanya memiliki efek marjinal pada kinerja harga. Upah biaya
konstruksi dan perawatan kesehatan mendukung kesimpulan yang secara signifikan
mengurangi inisiasi di kedua sektor pada kedua data pada tahun 1972 dan 1973. sektor
ditekan seperti kayu, dan mereka mungkin telah berkontribusi. Dan saat media massa

76
lebih menjalankan produksinya berdasarkan logika ekonomi, maka akumulasi kapital
akan menjadiorientasi yang paling mengemuka. Pada titik inilah, praktek-praktek bisnis
media akan diwarnai oleh konsentrasi dan komersialisasi media, dan secara bersamaan
media selalu rawan oleh pelanggaran etika media.

Dari beberapa kajian teori diatas dapat kita ketahui bahwa Kontrol politik ialah
kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu
kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintahan. Produk dari pemerintahan ada suatu kebijakan, kebijakan-kebijakan ini
yang kemudian akan menyangkut kepentingan masyarakat secara umum. Baik buruknya
kebijakan tentunya sangat bisa diperdebatkan mengingat kebijakan pemerintah tidak akan
pernah mungkin bisa memberikan kepuasan kepada semua orang. Permasalahan yang
muncul adalah kepada siapa kebijakan itu akan memberi keuntungan. Pada titik inilah
kemudian kontrol partai politik memainkan fungsinya untuk menyikapi suatu kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah terkait kelemahan yang ada dan kemana alokasi nilai-nilai
dari kebijakan itu akan diberikan. Ketika suatu kebijakan telah dibuat dan
dimplementasikanpun perang partai politik masih diperlukan untuk mengawal kebijakan
tersebut sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk apa kebijakan itu dibuat. Ketika kebijakan
itu sudah menjadi keputusan tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan seperti
yang telah direncanakan.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya kebijakan tersebut dalam
menyelesaikan masalah. Faktor pelaksana kebijakan merupakan salah satu faktor yang
sangat berpengaruh, karena dibanyak kasus banyak kebijakan itu gagal atau kurang
berhasil yang diakibatkan oleh pelaku atau oknum yang mengejar kepentingan
pribadinya.

77
B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini mengenai fungi dan struktur dalam sistem poltik Indonesia.
Berdasarkan eksplorasi peneliti, ditemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Yang pertama adalah penelitian dari Andi Setiawan yang berjudul “Muhamadiyah
sebagai kelompok kepentingan dalam politik nasional pascaorde baru tahun 1998-2010.”
Dilaksanakannya penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bahwa Muhammadiyah
selalu berhati-hati dalam menghadapi dinamika politik yang berkembang.
Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik, jatidiri Muhammadiyah adalah
gerakan keagamaan. Kiprah Muhammadiyah dalam politik lebih pada sikap
Muhammadiyah memainkan fungsi lobbying dan pendekatan-pendekatan yang lentur
yang banyak dipengaruhi budaya akomodatif sehingga tidak menimbulkan konfrontasi.
Kedua, penelitian dari Mohammad Iqbal Ahnaf yang berjudul ”Struktur Politik dan
Deradikalisasi Pendidikan Agama Bagi Anak Muda di Indonesia” bertujuan untuk
mengetahui lingkungan sekolah yang memungkinkan penetrasi dan bahkan kontrol ruang
publik oleh kelompok-keompok yang mengenalkan ideologi radikal kepada siswa jauh
lebih berpengaruh daripada kurikulim pendidikan agama yang ada. Karena itu bisa
disimpulkan bahwa tantangan lembaga pendidikan Islam dalam mempromosikan nilai
toleransi dan penghargaan terhadap keragaman agama terletak pada kemampuan otoritas
sekolah dalam mengelola lingkungan dan ruang publik sekolah yang mendorong
kebebasan dan tradisi berfiikir secara kritis. Orotoritas sekolah perlu memahami materi
dan pola-pola penyebaran faham radikal di kalangan anak muda, terutama di lingkungan
sekolah, sehingga potensi pengaruh faham radikal bisa diantisipasi secara efektif.
Penelitian ketiga dari Endang Komara yang berjudul sistem politik Indonesia pasca
reformasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh oleh
lingkungan yang berada di sekitarnya, baik yang langsung berhubungan dengan sistem
politik maupun yang tidak langsung berhubungan dengan sistem politik. Tekanan
terhadap sistem politik paling besar ditentukan oleh interaksi sistem politik dengan
lingkungan yang berada di sekitarnya. Sistem politik bukan bejana vakum dalam ruang

78
lingkup yang hampa, tetapi wadah yang dapat diisi dan bagaikan dinding berwarna putih.
Sistem politik dengan mudah mendapat pengaruh dari lingkungan yang berada di
sekitarnya. Lingkungan yang mempengaruhi sistem politik sangat terkait dengan nilai-
nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Nilai inilah yang dapat memberikan warna,
pola dan karakter sistem politik itu sendiri, baik yang dipengaruhi oleh nilai filosofis,
nilai sosiologis, dan nilai budaya yang dianut oleh suatu komunitas politik. Kedua, proses
politik internasional yang menjadi masukan bagi terciptanya perubahan sistem politik,
telah menyeret bangsa dan Negara.
Adapun perbedaan penelitian yang dilaksanakan peneliti dengan ketiga peneliti yaitu
bahwa pada penelitiaan pertama memuat sistem politik ialah berbagai macam kegiatan
dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit / kesatuan, kesatuan
tersebut bisa diartikan masyarakat / negara (Rusadi Kantaprawira, 2005: 31). Sedangkan
Gabriel A. Almound menyatakan bahwa sistem politik merupakan organisasi melalui
mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama mereka
(Gabriel Almound dalam Mohtar Ma‟oed, 2006: 23) Dewasa ini dalam mempelajari
sistem politik ada dua perwujudan pendekatan sistem, yakni: teori analisis sistem yang
dikembangkan oleh David Easton dan teori struktural fungsional yang dikembangkan
oleh Gabriel Almound.
Teori analisi sistem berasumsi bahwa setiap sistem memiliki sifat (1) terdiri dari
banyak bagian-bagian; (2) bagian-bagian saling berinteraksi dan ketergantungan; (3)
sistem itu memiliki perbatasan yang memisahkannya dari lingkungan yang terdiri dari
sistem-sistem lainnya juga (Mohtar Mas‟oed, 2006:xii) Selanjutnya Easton memberikan
definisi sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan (a) alokasi nilai-
nilai (berbentuk keputusankeputusan / kebijakan-kebijakan, (b) dialokasikan dengan
kekuasaan yang sah, (c) mengikat seluruh masyarakat. Pada penelitian kedua memuat
Bagaimana proses radikalisasi atau keterlibatan individu dalam kelompok radikal terjadi?
Banyak yang berpendapat bahwa ideologi memegang peranan penting dalam proses
radikalisasi. Ideologi- dalam pengertian doktrin tentang tujuan politik-keagamaan dan
cara mewujdukan tujuan tersebut, yang menjanjikan tatatan sosial-politik yang lebih ideal

79
dengan legitimasi keTuhanan- dianggap menjadi daya tarik utama yang memikat individu
atau kelompok untuk bergabung. Berbeda dengan asumsi ini, penelitian beberapa ilmuan
terhadap profil anggota kelompok-kelompok radikal menunjukkan ideologi semata tidak
cukup dalam mendorong radikalisasi. Lebih dari itu, pengaruh atau daya tarik ideologi
biasanya tidak muncul pada tahap awal interaksi individu dengan kelompok radikal.17
Internalisasi ideologi biasanya baru muncul belakangan ketika individu sudah masuk
dalam kelompok radikal. Indoktrinasi ideologi biasanya lebih dibutuhkan sebagai alat
justifikasi untuk melakukan kekerasan.
Dan penelitian yang terakhir memuat Sistem politik juga dipengaruhi oleh sistem
kepercayaan dan/atau agama yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam masyarakat yang
agamanya mayoritas Hindu, terutama bagi yang masih memegang teguh tradisi kasta
sebagai sebuah sistem sosial, maka sistem politik yang demokratis akan terhambat
perkembangannya. Sementara dalam ajaran agama-agama lainnya, seperti Islam, Buddha,
dan Kristen, yang tidak sistem kasta, maka sistem politik yang demokratis cenderung
tidak memiliki hambatan karena dalam ajaran agama-agama tersebut tidak membagi
masyarakat atas kelas-kelas takdir yang berbeda, walaupun ada perbedaan derajat
biasanya disebabkan oleh usahanya masing-masing. Demikian halnya, penetapan pajak
mempengaruhi sistem ekonomi. Sistem ekonomi mempengaruhi pola perilaku
masyarakat secara umum, dan pada akhirnya mempengaruhi pula terhadap sistem politik
itu sendiri.
Dengan demikian, sistem sosial dan sistem ekonomi menjadi umpan balik bagi sistem
demokrasi. Pengaruh lingkungan, selain sebagai masukan-masukan (inputs), juga akan
mendorong munculnya tuntutan-tuntutan yang secara langsung dapat ditarnsformasikan
ke dalam sistem politik. Sebaliknya, karena pengaruh lingkungan pula berbagai tuntutan
bisa mati (tidak berfungsi) sehingga tidak dapat diteruskan ke dalam sistem politik.
Selain itu, pengaruh lingkungan pada proses konversi (withinputsi) adalah ikut mewarnai
kuantitas dan kualitas keluaran atau kebijakan yang akan dihasilkan.

80
C. Kerangka Berpikir

Dibawah ini akan diuraikan fungsi-fungsi politik baik dalam rangka adaptasi dan
pelestarian system politik maupun dalam rangka proses konversi ; demikian juga
struktur-struktur yang melaksanakannya. Adapun fungsi-fungsi politik tersebut adalah
Sosialisasi Politik, pengangkatan (Rekrutmen) politik, dan control politik sebagai fungsi
pelestarian sistemn politik, Pengajuan Kepentingan atau tuntutan, Pemaduan Kepentingan
atau tuntutan menjadi alternatif tindakan, Pembuatan Peraturan (Keputusan/Kebijakan),
Pelaksanaan Peraturan (Keputusan/Kebijakan), Penghakiman Peraturan (Pemberian
Sanski atas pelanggaran terhadap peraturan, Pemeriksaan Keuangan Negara, Komunikasi
Politik, Kontrol Politik. Adapun uraian secara rinci akan dikemukakan sebagai berikut:

1. Sosialisasi Politik

Istilah sosialisasi politik diambil atau dikemukakan oleh Gabriel Almond yang
dipinjamnya dari istilah sosiologi yang berasal dari kata sosialisasi. Setiap individu
amggota masyarakat tumbuh dan dibesarkan dalam masyarakat melalui serangkaian
perintah-perintah dan larangan-larangan. Menurut Almond, sosialisasi politik merupakan
proses bagaimana kebudayaan politik dilestarikan dan diubah. Melalui pelaksanaan
fungsi ini, individu anggota masyarakat ditempatkan dan dikenalkan ke dalam
kebudayaan politik, orientasi mereka terhadap objek-objek politik dibentuk.

Sebagai dasar untuk memahami sosialisasi politik atau untuk memahami proses
politik, ada tiga hal yang perlu dijelaskan sebagai berikut.

1) Proses sosialisasi berjalan terus menerus selama kehidupan individu. Sikap-sikap


orientasi tersebut selalu disesuaikan dengan perubahan masyarakat dan diperkuat
kembali sebagaimana berlangsung melalui pengalaman sosialnya.
2) Proses sosialisasi politik pada tingkatnya yang paling umum akan memberikan
kesadaran pada masyarakat tentang berbagai rewards atau keuntungan dan
punishment (hukuman/sangsi) yang akan diterima apabila mematuhi atau melanggar.

81
3) Proses sosialisasi politik mungkin mengambil bentuk baik manifest maupun dalam
bentuk latent dalam penyampaiannya kepada individu anggota masyarakat. Proses
sosialisasi politik yang manifest (terbuka) manakala melibatkan penyampaian
informasi secara eksplisit, nilai-nilai peranan-peranan atau pesanan terhadap objek-
objek politik, termasuk terhadap input atau output. Sosialisasi politik yang laten
merupakan penanaman dan pewarisan sikap-sikap politik yang akan mempengaruhi
sikapmnya terhadap peranan-peranan dan msalah-masalah politik dalam kehidupan
politik.
2. Komunikasi Politik (Political Communication)

Fungsi pengajuan kepentingan danm pemaduan kepentingan dijalankan dengan


mengkomunikasikan kepentingan-kepentingannya kepada pembuat keputusan; fungsi
pembuatan peraturan/policy, pelaksanaan peraturan dan pengadilan juga dilakukan
dengan komunikasi. Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu ide, pesan dari
suaru sumber kepada pihak lain melalui sarana dan media tertentu. Sehubungan dengan
komunikasi politik, maka yang menyampaikan pesan, informasi tersebut adalah struktur
politik tertentu atau individu tertentu kepada struktur dan individu lain dalam system
politik. Ada 4 aspek dari fungsi komunikasi politik yaitu

a) Tipe dan pola komunikasi

Untuk menganalisis system politik adalah berguna untuk mengklasifikasi tipe struktur
dan pola komunikasi yang melaksanakan fungsi komunikasi. Untuk tujuan ini, dapat
dibedakan lima tipe struktur yakni :

i. Komunikasi face to face contexts

Peranan komunikasi tatap muka dalam system politik sukar diramalkan. Artinya,
semakin banyak digunakan komunikasi informal ataun attap muka dalam system politik
maka system politik yang bersangkutan semakin tradisional. Komunikasi dari orang
tertentu yang karena alasan tertentu mempunyai perhatian yang besar pada kejadian atau

82
peristiwa politik, yang kemudian mengkomunikasikannya kepada teman-teman, tetangga
dan sahabat lainnya atau dengan kata lain dia berperan sebagai “opinion leaders.

ii. Struktur sosial tradisional

Sistem politik yang masih tradisional dan yang sedang berkembang maka peranan
struktur sosial tradisional ini sangat penting dalam komunikasi politik. Pemimpin suku
dan dewan orang tua, pemimpin agama, dan keluarga memainkan peran yang
berpengaruh sebagai inisiator dan penerjemah informasi untuk masyarakatnya.

iii. Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan khususnya birokrasi dapat secara langsung


mengkomunikasikan pelaksanaan peraturan dan kebijakan tertentu kepada berbagai
pemegang jabatan secara efisien dan jelas. Struktur Pemerintahan yang membuat
peraturan dan kebijakan melaksanakan fungsinya dengan berkomunikasi dengan
kelompok-kelompok masyarakat, dan mengkomunikasikan untuk menyampaikan
keputusan pengadilan.

iv. Struktur Input

Struktur input adalah kelompok kepentingan (sering juga disebut sebagai kelompok
penekan) dan pemadu kepentingan/partai politik. Karena fungsinya maka struktur input
ini merupakan saluran komunikasi dan sumber informasi yang tidak pernah kering.
Struktur input diizinkan bergerak dan berfungsi secara leluasa yaitu dalam system politik
terbuka atau demokrasi. Dalam system politik tertutup dan ketat, maka struktur input ini
tidak memiliki peranan sebagai komunikator

v. Media Massa

Media massa merupakan struktur komunikasi yang special dan tersendiri, karena
fungsinya yang utama adalah komunikasi dan bukan fungsi lain. Komunikasi politik
lewat media massa tidak hanya menyampaikan informasi atau pesan dari pemerintah
kepada masyarakat tetapi juga dari masyarakat kepada pemerintah.
83
b) Differensiasi dan Autonomi Struktur Komunikasi

Struktur komunikasi yang otonom adalah komunikasi yang bebas dari dominasi dan
campur tangan baik dalam pemerintah maupun kepentingan tertentu dalam masyarakat.
Dalam system politik demokrasi atau terbuka, tingkat deferensiasi dan otonom media
massa atau struktur komunikasi pada umumnya adalah relative tinggi, karena bebas dari
control dan dominasi pemerintah dan kekuatan lain.

c) Implikasi Pola Komunikasi Pada Fungsi Politik Lainnya

Implikasi pola komunikasi terhadap beberapa fungsi politik yakni terhadap :

1. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik


2. Pengaturan/Pemaduan Kepentingan dan Komunikasi Politik
3. Pembuatan Peraturan/Kebijakan dan komunikasi Politik
4. Kapabalitas system dan komunikasi politik

84
FUNGSI DAN STRUKTUR POLITIK DALAM SISTEM POLITIK

6. PemahamanFungsi Role
1. PemahamanFungsi Making dan struktur yang
Sosialisasi Politik dan menjalankannya dalam
struktur yang sistem politik indonesia
menjalankannya dalam
sistem politik indonesia 7. PemahamanFungsi Role
Applicationdan struktur yang
menjalankannya dalam
2. PemahamanFungsi
sistem politik indonesia
Komunikasi Politik dan
struktur yang
menjalankannya dalam
sistem politik indonesia 8. PemahamanFungsi Role
Adjudicationdan struktur yang
menjalankannya dalam sistem
3. PemahamanFungsi
politik indonesia
Rekrutmen Politik dan
struktur yang
menjalankannya dalam 9. PemahamanFungsi
sistem politik indonesia Pemeriksa Keuangan Negara
dan struktur yang
menjalankannya dalam
4. PemahamanFungsi
sistem politik indonesia
Artikulasi Kepentingan dan
struktur yang 10. PemahamanFungsi
menjalankannya dalam Kontrol Poltik dan struktur
sistem politik indonesia yang menjalankannya dalam
sistem politik indonesia
5. PemahamanFungsi
Aggregasi Kepentingan dan
struktur yang
menjalankannya dalam
sistem politik indonesia

85
BAB III

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library


research), yaitu yang bahan-bahannya adalah buku-buku perpustakaan dan sumber-
sumber lainnya yang kesmuanya berbasis kepustakaan (Hadi, 1995: 3). Dengan metode
penelitian kualitatif, peneliti melakukan analisis deskriptif. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan hal tersebut langkah awal
yang ditempuh adalah mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, baru kemudian
dilakukan klasifikasi dan deskripsi.

2. Metode Penelitian

Menurut Mestika zed ( 2004:81) Teknik pengumpulan data dalam metode


kepustakaan menggunakan langkah-langkah dalam penelitiannya sebagai berikut:

1. Menentukan ide umum tentang penelitian


2. Mencari informasi yang mendukung topik seperti, buku standar dibidangnya,
ensiklopedia, abstrak penelitian, tesis, kliping koran, dan lain-lain.
3. Pertegas fokus penelitian dan organisasikan bahan
4. Mencari-temukan bahan bacaan: artikel jurnal, buku-buku, dokumen yang sudah dan
diterbitkan, manuskrip, dan lain-lain. Seperti mencari di online internet,
5. Reorganisasikan bahan bacaan dan membuat catatan penelitian
6. Review dan perkaya lagi bahan bacaan dengan membuat resensi buku, buku
bibliografi, dan biografi.
7. Reorganisasikan catatan dan mulailah menulis

86
3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian Peneliti menetukan lokasi atau tempat di Perpustakaan


Universitas Negeri Medan, Perpustakaan Daerah, dan Perpustakaan Kota Medan.

B. FOKUS PENELITIAN

Yang menjadi fokus penelitian yaitu tentang fungsi politik dan struktur politik
yang menjalankannya dalam sistem politik indonesia yaitu:

1. Fungsi Sosialisasi Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya


2. Fungsi Komunikasi Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya
3. Fungsi Rekrutmen Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya
4. Fungsi Artikulasi Kepentingan dan Struktur Politik yang Menjalankannya
5. Fungsi Aggregasi Kepentingan dan Struktur Politik yang Menjalankannya
6. Fungsi Role Making dan Struktur Politik yang Menjalankannya
7. Fungsi Role Application dan Struktur Politik yang Menjalankannya
8. Fungsi Role Adjudication dan Struktur Politik yang Menjalankannya
9. Fungsi Pemerikasaan Keuangan Negara dan Struktur Politik yang
Menjalankannya
10. Fungsi Kontrol Politik dan Struktur Politik yang Menjalankannya

C. INSTRUMEN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA


1. Jenis Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis data sekunder.
Jenis data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh
oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Dalam studi ini data sekundernya adalah buku-
buku yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari kitab maupun
buku dari sumber data primer. Dalam ini sumber data sekunder berupa tulisan-tulisan
yang sudah mencoba membahas mengenai dengan literatur-literatur yang relevan dalam
penelitian ini.

87
2. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen dalam penelitian ini adalah alat atau fasilitas seperti buku-buku dan jurnal
yang isinya berkaitan dengan pembahasan fungsi politik dan struktur politik yang
menjalankannya yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan
lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga lebih mudah diolah. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kajian
perpustakaan ( studi pustaka).

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah penelitian kepustakaan


(library resarch), yakni penelitian yang dilakukan dengan bertumpu pada data-data
kepustakaan tanpa disertai uijan empirik. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks yang
seluruh substansinya diolah secara filosofis dan teoritis.

D. TEKNIK ANALISIS DATA

Analisis data adalah kegiatan memfokuskan, mengabstrasikan, mengorganisasikan


data secara sitematis dan rasional untuk memberikan bahan jawaban terhadap penelitian.
Adapun sebagai bahan analisis dan komparatif terhadap pemikiran Suwaid adalah data
skunder, sehingga dapat dilakukan terhadapnya, baik kritik eksternal maupun internal.

Metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai metode


penelitian yang sumber-sumbernya dikumpulkan, dianalisis kemudian diinterpretasi
secara kritis kemudian disajikan secara lebih sistematik dan menambahkan penjelasan-
penjelasan yang berhubungan sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan
disimpulkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan benar
mengenai objek yang diteliti.

88
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti dengan metode


kepustakaan, peneliti menemukan bahwa terdapat 10 Fungsi Politik dalam Sistem Politik
Indonesia Dengan, Yaitu Fungsi Sosialisasi Politik, Fungsi Pengangkatan (Rekrutmen)
Politik, Fungsi Pengajuan Kepentingan (Interest Articulation), Fungsi Pemaduan
Kepentingan (Interest Aggregation), Fungsi Komunikasi Politik (Political
Communication), Fungsi Pembuatan Peraturan (Rule Making), Fungsi Pelaksanaan
Peraturan (Rule Application), Fungsi Penghakiman Peraturan (Rule Adjudication), Fungsi
Pemeriksa Keuangan, dan Kontrol Politik. Kesepuluh fungsi politik ini memiliki
struktur-struktur politik yang menjalankannya dalam sistem politik indonesia.

Berikut ini akan dijelaskan struktur politik yang menjalankan fungsi politik dalam
sistem politik indonesia yaitu:

1. Fungsi Sosialisasi Politik


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah keluarga, sekolah,
perkumpulan-perkumpula sosial, media massa, agama, kelompok kepentingan (interest
group), partai politik, dan pemerintah.

2. Fungsi Komunikasi Politik


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah informasi Face to Face
Contexts, struktur sosial tradisional, struktur pemerintahan, struktur “input” dan media
massa.

3. Fungsi Rekrutmen Politik


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini tergantung kepada jenis dan tipe
peranan politik tersebut. Untuk (anggota legislatif) ditentukan oleh rakyat pemilih.
Demikian juga jabatan presiden juga dipilih oleh rakyat. Untuk anggota dan pimpinan

89
BPK, MA, MK, KY diuji kompetensi kelayakannya (feet an proper test) oleh DPR
kemudian yang lulus uji kompetensi kelayakan akan ditentukan oleh presiden. Untuk
jabatan menteri ditentukan oleh presiden, sedangkan birokrasi dari tingkat Dirjen sampai
paling bawah ditentukan oleh atasannya sesuai dengan jenjang organisasi yang bersifat
hierarkis.

4. Fungsi Artikulasi Kepentingan


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah 1) Organisasi
Kemasyarakatan yaitu MKGR ( Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong),
KOSGORO, SOKSI, dan lain-lain, 2) Organisasi kemasyarakatan berdasarkan agama
Contoh organisasi ini adalah antara lain adalah : Nahdatul Ulama ( NU), Muhammadiyah,
Parmusi, KWI, dan Parisade Hindu dharma, 3) Organisasi kemasyarakatan berdasarkan
Kepemudaan contoh organisasi ini adalah antara adalah : KNPI (Komite Pemuda
Nasional Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam Indonesia), 4) Organisasi berdasarkan Sosial kedaerahan, contoh organisasi ini
adalah antara lain adalah : Paguyuban Masyarakat asal Bima, dan Paguyuban masyarakat
asal wonosobo, dll, 5) Organisasi berdasarkan Profesi, contoh organisasi ini adalah antara
lain adalah :Aliansi Jurnalistik Indonesia ( AJI), PERHUMAS, Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), dan Forum Rektor
Indonesia (FRI), dll.

5. Fungsi Aggregasi Kepentingan


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah partai politik, namun ada
beberapa struktur politik lain yang melaksanakan fungsi ini yaitu birokrasi, militer dan
polisi, lembaga-lembaga pengkajian masalah kemasyarakatan dan kenegaraan.

6. Fungsi Role Making


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah badan perwakilan rakyat
dan pemerintahan/birokrasi.

90
7. Fungsi Role Application
Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah birokrasi atau
pemerintahan.

8. Fungsi Role Adjudication


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah badan peradilan. Badan
peradilan beraneka macam yakni, Pengadilan Negeri di tingkat bawah (pengadilan
pertama), kemudian Pengadilan Tinggi sebagai tempat banding, dan puncak tertinggi
adalah Mahkamah Agung.

9. Fungsi Pemerikasaan Keuangan Negara


Struktur politik yang menjalankan fungsi politik ini adalah BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan).

10. Fungsi Kontrol Politik


Struktur Politik yang Menjalankan fungsi politik ini adalah dapat dikatakan
dilaksanakan oleh seluruh struktur politik dan pemeritahan, baik kontrol yang diharapkan
terhadap dirinya kedalam maupun terhadap struktur lain. Struktur yang mengadakan
kontrol terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan atau eksekutif adalah DPR, Parpol,
Pers, dan kelompok masyarakat lainnya.
Fungsi politik dan struktur politik yang menjalankan dalam sistem politik Indonesia
ini memiliki implementasinya masing-masing pada masa awal kemerdekaan, masa orde
lama, masa orde baru, dan masa reformasi. Berikut ini akan dijelaskan bagiaman
implementasi dari fungsi politik dan struktur politik yang menjalankannya dalam sistem
politik Indonesia, yaitu:

91
1. Realitas Implementasi Fungsi Sosialisasi Politik Dan Struktur Politik Yang
Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.
a. Masa Awal Kemerdekaan
Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat
menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam
mengejar keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Revolusi kemerdekaan
Indonesia mengakibatkan pendidikan mengalami keadaan cukup parah, karena baik
sarana maupun prasaranannya termasuk antara lain gedung-gedung sekolah, alat
pengajaran dan guru-guru keadaannya sangat menyedihkan. Sebagian dari gedung-
gedung sekolah dimusnahkan oleh badan-badan perjuangan dan diantaranya ada juga
yang untuk seterusnya dipakai sebagai kantor umum atau diduduki tentara. Alat pelajaran
pun banayak hilang atau rusak, sedangkan guru-guru banyak meninggalkan lapangan
pendidikan untuk memasuki dinas ketentaraan.
Pertumbuhan Partai Politik di Indonesia telah mengalami pasang surut. Kehidupan
Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi
yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana
pengertian Partai Politik secara modern. Boedi Oetomo tidak diperuntukkan untuk
merebut kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui Pemilihan
Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik.
Boedi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk
meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa. Walaupun pada waktu itu Budi Oetomo
belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan Boedi Oetomo sudah diakui para
peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern.
Partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk
mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin
dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun
1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai
tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan
Douwes Dekker yaitu Indesce Partij, yang dilatarbelakangi oleh adanya diskriminasi

92
antara kaum Indo peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya
menyebabkan timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Lalu bertekad
mendirikan perkumpulan yang radikal yang berusaha meleburkan diri dengan masyarakat
pribumi. Terutama adanya ancaman yang sama yaitu penindasan kolonial. Dua partai
inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang
sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pada masa pergerakan nasional, hampir semua partai tidak boleh berhubungan
dengan pemerintah dan massa di bawah (grass roots). Jadi yang di atas, yaitu jabatan
puncak dalam pemerintahan kolonial, tak terjangkau, ke bawah tak sampai. Tapi Partai
Politik menjadi penengah, perumus ide. Fungsi Partai Politik hanya berkisar pada fungsi
sosialisasi politik dan fungsi komunikasi politik. Pada masa pendudukan Jepang semua
Partai Politik dibubarkan. Namun, pada masa pendudukan Jepang juga membawa
perubahan penting. Pada masa Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh
menyentuh akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa
bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga
ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan
untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan,
masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik.
Jadi peran partai politik pada masa penjajahan sebagian besar hanya sebagai
penengah, dan perumus ide yang hanya berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik dan
komunikasi politik. Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,
rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun
laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan
ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan
berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya
maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik
dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada masa ini peran partai politik
adalah sebagai sarana perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melalui
cara-cara yang bersifat politis.

93
b. Masa Era Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang
menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini
ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang
seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok
partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang
termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo
Nasional.
Ketika Indonesia menganut demokrasi liberal, kabinetnya bersifat parlementer.
Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan
individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950
peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling terdapat
ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-
tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa partai
merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin
partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-
daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan meskipun pendidikannya
rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik,
saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal
ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan
kepentingan (Parpol) sendiri.
Pada keadaan seperti itulah Partai Politik tumbuh dan berkembang selama revolusi
fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum
pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang mendapatkan kursi di parlemen
hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir
semua tokoh, golongan mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan

94
kegoncangan di dalam sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung
Karno membubarkan partai-partai politik.
Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13
tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal
14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961
tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai
Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai
Islam Perti. Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena
parpol yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena
tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu
pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan
Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara
membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan
Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
Peranan partai politik pada masa ini sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat,
namun kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif. Dimana
setiap partai hanya mementingkan kepentingan partai sendiri tanpa memikirkan
kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa.

c. Masa Orde Baru


Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan
dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul
setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa
hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan
terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964,
semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru.
Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha
menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kristalisasi Parpol
Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai

95
diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi
pada politik pembangunan. Itu karena banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin
adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha
pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya
berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan
partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar
kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan
kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi
kepentingan rakyat.

d. Masa Reformasi
Setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama
masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-
partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi
politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan,
karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan
artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski
keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem
ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai
Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan
bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam
perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem
kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini
juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga
masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah
satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai

96
Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari
rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap
sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh
kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi
landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain,
diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem
Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Boleh dikatakan bahwa setelah era reformasi ini peran partai sebagai penyalur
aspirasi rakyat bisa dimaksimalkan, dapat dilihat dari partai-partai yang tumbuh dan
berkembang dengan bebas tanpa intervensi dari pihak manapun. Walaupun begitu masih
banyak yang harus dibenahi partai politik kita, diantaranya adalah masih banyaknya
korupsi, kolusi dan nepotisme di dalam organisasi partai politik saat ini.

2. Realitas Implementasi Fungsi Komunikasi Politik Dan Struktur Politik Yang


Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.

a. Komunikasi Politik Era Orde Baru


Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi
yang tinggi. Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Disinilah bulan madu
komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik pemerintahan
lama, orde lama, karena kegagalannya membendung komunis dan merebaknya
kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini di ekspresi itu
tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini
lebih dari 50 partai. Periode kedua, 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap
komunikasi politik dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai

97
dibatasi. Periode ketiga, 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan
dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Periode keempat, 1990-
1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat
perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut
keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai diimbangi
bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan kalangan kampus.
Pucak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi manakala demonstrasi pro
reformasi mulai merbak awal tahun dan berpuncak pada pengunduran diri dari Pak Harto
21 Mei 1998.

b. Komunikasi Politik Orde Reformasi


Terbukanya keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran orde baru
dalam mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu
kebebasan berkumpul dan pendapat. Salah satu fenomena yang terlihat adalah
menjamurnya partai-partai berbasiskan islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin
dan programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat, meskipun sebagian
terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasi membela rakyat, namun
kekuatan rill mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang berlangsung
sejak Mei 1999.
3. Realitas Implementasi Fungsi Rekrutmen Politik Politik Dan Struktur Politik
Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.

a. Awal Kemerdekaan

Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan
yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu
babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham,

98
ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan
melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa
indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.

Pada dasarnya, perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia pada awal
kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta dikeluarkannya
Maklumat Politik 3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh. Hatta. Isi maklumat
tersebut menekankan pentingnya kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Partai
politik harus muncul sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang
dilangsungkan pada Januari 1946.

Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode
orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah
Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang
merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih
terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan
ideoligi sosialisme komunisme.

Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai
susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep
yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi
politik otoriter. Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa
Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-
produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih
sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang
terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.

Rekrutmen politik pada masa awal kemerdekaan merupakan suatu proses pengisian
jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik termasuk didalamnya partai politik dan
administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan politik.

99
Sedangkan menurut Cholisin, rekrutmen politik adalah seleksi dan pengangkatan
seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam system politik dan
pemerintahan. Yang perlu diingat bahwa rekruitmen politik berkaitan erat dengan
masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal maupun kepemimpinan
nasional yang lebih luas. Untuk itu setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena dengan kader yang demikian, ia dapat menjadi partai yang mempunyai
kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader
yang baik, partai akan lebih mudah menentukan pemimpinnnya sendiri dan mempunyai
peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain
itu, partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan.
Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya.

Fungsi rekruitmen politik sendiri merupakan proses penyeleksian rakyat untuk


kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi,
menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
fungsi rekruitmen politik itu dapat juga disebut fungsi seleksi kepemimpinan. Seleksi
kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan secara terencana dan teratur sesuai
dengan kaidah atau norma-norma yang ada serta harapan masyarakat. Beberapa
persyaratan diperlukan untuk dapat menduduki jabatan pimpinan baik persyaratan
menyangkut aspek fisik, aspek mental spiritual, serta aspek intelektual.

b. Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara
tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali
UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS.
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut

100
yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang
dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya
senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu
bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma
ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-
realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan
secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian
muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”.
Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat
politik, yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil, berperan mengorganisir
kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai
politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi
antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai
atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Mengikuti logika demokrasi, para
pejabat politik (legislatif dan eksekutif) yang telah memperoleh mandat melalui
partisipasi politik masyarakat dalam pemilu harus mengelola sumberdaya ekonomi-
politik (kekuasaan dan kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan
responsivitas untuk masyarakat.
Dengan kalimat lain, jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat
itu bukan untuk kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan
harus dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini sangat
penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik membuktikan
bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah lingkaran oligharki yang
jauh dari masyarakat.

101
c. Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1
Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang
memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu
untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.

Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia.
Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas
PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam
program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan
apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu

1. Berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila


dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga
dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus
utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.

Pada masa Orde Baru, pembentukan partai politik yang idealnya menjadi wadah
perjuangan untuk menyalurkan kepentingan rakyat berhak mengalami distorsi. Pada
babak baru perjalanan bangsa dengan lahirnya era reformasi, terutama sejak dilaksanakan
Pemilu 1999, kehidupan demokrasi mengalami perubahan yang cukup berarti, dimana

102
partai politik mempunyai otonomi yang luas untuk menata dan mengembangkan dirinya.
Para aktivis partai politik berlomba-lomba untuk menyambut sistem demokrasi di masa
ini. Dinamika politik yang turun naik secara drastis dalam perebutan pengaruh di
masyarakat membawa bangsa ini pada euforia politik. Para ahli mengatakannya sebagai
masa transisi menuju demokrasi. Di masa transisi ini, euforia politik mendorong
terjadinya pragmatisme rekrutmen para pemimpin partai. Partai-partai berpacu untuk
mencari figur-figur alternatif yang mempunyai kemampuan unggul.

Dinamika politik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rejim Orba membawa
Indonesia ke arah reformasi politik yang lebih demokratis. Dinamika ini juga ditandai
dengan banyaknya bermunculan partai politik, salah satunya Partai Amanat Nasional
yang dikenal sebagai partai yang mengusung reformasi politik di Indonesia. Di samping
itu banyak pula bermunculan partai-partai baru baik yang berideologi sama aupun
berbeda. Ini tentunya menjadi permasalahan bagaimana partai yang berideologi sama ini
serta otomatis memiliki target basis massa yang sama dalam memenangi hati
konstituennya, belum lagi bila dibenturkan dengan banyak partai lainnya. Hal ini harus
menjadi perhatian serius dari setiap partai yang ikut berkompetisi, khususnya PAN.

d. Masa Reformasi
Sejak berkembangnya reformasi politik sehingga terciptanya revolusi partisipasi
rakyat di Indonesia, maka partai politik semakin menjadi bagian penting dari sistem
partai politik modern. Roy. C. Macridis mengatakan, tidak ada sistem partai politik yang
dapat berlangsung tanpa partai politik. Di dalam masyarakat modern partai politik
menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik. Partai Politik sebagai suatu asosiasi
politik yang mengaktifkan, memobilisasi masyarakat, mewakili kepentingan tertentu dan
melakukan pengkaderan yang kemudian melahirkan pemimpin telah menjadi suatu
keharusan. Partai Politik dengan demikian menjadi salah satu instrumen penting untuk
memobilisasi masyarakat ke dalam kekuasaan negara. Ini berarti parpol pada dasarnya
adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk menjalankan pemerintahan.

103
Perkembangan negara Indonesia yang memasuki babak baru dengan menjalani masa
transisi serta upaya demokratisasi dalam kehidupan bernegara membutuhkan sarana atau
saluran politik yang koheren dengan kebutuhan masyarakat di suatu negara. Partai politik
adalah salah satu sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi untuk
menghasilkan output kebijakan untuk kepentingan rakyat atau sebaliknya. Dalam studi
Klingemann demokratisasi sebuah negara tidak hanya bisa dilihat dari peran Partai
Politik untuk memasukkan agenda-genda kebijakan publik yang tidak hanya bermanfaat
bagi konstituen pemilihnya, melainkan juga bermanfaat bagi seluruh komponen bangsa
yang ada.
Ukuran demokratis tidaknya partai politik misalnya dapat dilihat dalam kerangka
apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang dicerminkan dalam janji-janji partai politik
terwujud dalam impelementasinya. Selain itu masih banyak parameter yang bisa
dijadikan indikator keberhasilan dan kegagalan demokrasi dalam kaitannya dengan partai
politik. Dalam kasus Indonesia misalnya, apakah fungsi-fungsi parpol seperti sosialisasi,
rekrutmen, artikulasi maupun agregasi parpol sudah dilaksanakan dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai ujung tombak demokrasi sesuai dengan eksistensinya
dan bila ini belum terwujud demokratisasi di suatu negara masih jauh dari tujuan
demokrasi yang sebenarnya.
Salah satu prasyarat dari terwujudnya demokrasi adalah adanya partai politik yang
berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik masyarakat dan sebagai
media untuk melakukan bargaining kebijakan dengan negara (pemerintah) karena itu
sebagian pihak menilai yang paling penting barangkali bukan mempersoalkan mengenai
keberadaan parpol secara fisik di suatu negara. Demi terwujudnya demokrasi dan
tersalurkannya aspirasi publik, justru yang jauh lebih penting adalah menguak kinerja dan
efektifitas fungsi parpol jelas tidak bisa dilepaskan dari berdirinya parpol itu sebagai
suatu kebutuhan politik masyarakat. Asal usul secara historis dan berbagai aspek
kesejarahan yang lain, terutama perkembangan politik di Indonesia di masa Orde Lama,
Orde Baru dan reformasi perlu mendapat sorotan agar analisis atas kinerja dan prilaku
partai politik bisa didahulukan secara menyeluruh.

104
Di Indonesia, kita melihat pertautan antara kebutuhan politik yang disalurkan melalui
partai politik masih sangat erat hubungannya dengan peta ideologisasi yang menjadi ciri
khas pluralitas masyarakat Indonesia.1[1] Peta ideologi yang salah satunya pernah
dirumuskan Herbeth Feith dengan baik dalam melakukan kategorisasi partai politik pada
tahun 1955 adalah kenyataan yang tidak terelakkan dari bangsa ini, sebagaimana
masyarakat yang terus berkembang, ideologi juga turut berkembang sejalan dengan
tuntutan perubahan yang ada dalam diri masyarakat itu sendiri.

Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai kaderisasi di partai
yang sangat lemah. Ini dikatakan sebagai persoalan penting karena sesungguhnya di
dalam partai perlu digodok calon-calon pemimpin baik lokal maupun nasional yang
memiliki visi demokrasi dan bermental jujur.
Partai Politik berproses untuk dapat berkuasa, dan dengan demikian memimpin
proses pengambilan kebijakan publik. Hal ini mengharuskan partai politik untuk
mempersiapkan calon-calon pemimpin yang diharapkan mampu mengatur jalannya
pemerintahan. Dalam proses internal partai itulah, salah satu fungsi partai politik urgen
untuk dibahas, yakni fungsi perkaderan. Proses pematangan kader untuk mampu
memimpin, baik dalam konteks pemerintahan lokal maupun nasional, itulah yang perlu
mendapat sorotan tajam, khususnya mengenai partai-partai di Indonesia. Dalam
kenyataan Indonesia pasca kemerdekaan, dapat diakatakan adanya kegagalan partai
politik dalam melahirkan kepemimpinan yang berkualitas.2[2] Pola kaderisasi yang
masih setengah hati, serampangan, dan miskin konsep seolah menjadi identitas yang tepat
bagi keseriusan pembangunan sumber daya manusia dalam sebuah partai.

105
4. Realitas Implementasi Fungsi Artikulasi Kepentingan Politik Dan Struktur
Politik Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.
a. Masa Awal Kemerdekaan
Organisasi modern pertama di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap
penjajah (tidak secara fisik) adalah Budi Utomo yang didirikan di Jakarta pada tanggal 20
Mei 1908. Pada awalnya, organisasi ini berkembang di kalangan pelajar dalam bentuk
studieclub dan organisasi pendidikan. Namun dalam perkembangan berikutnya, ia
menjadi partai politik yang didukung kaum terpelajar dan massa buruh tani.

b. Masa Orde Lama

Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai
dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden
Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama yaitu sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk
dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita
adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD
Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965. Pada masa orde lama banyak
sekali terjadi perubahan-perubahan system pemerintahan dan gejolak-gejolak serta
pemberontakan akibat dari system pemerintahan yang tidak stabil tersebut.

1) Pelaksanaan Sistem Politik Pada Masa Orde Lama


 Tahun 1945 – 1950

Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:

106
Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan
wewenang MPR. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet
parlementer.Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari
presidentil menjadi parlemen.Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien
memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai
badan legislatif.

 Tahun 1950 – 1959

Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer kabinet dengan demokrasi


liberal. Ciri-ciri demokrasi liberal Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu
gugat, Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan, Presiden berhak
membubarkan DPR, Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.

Era 1950 - 1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode
ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Dewan Konstituante diserahi
tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun
sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Akhirnya,
Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante.

 Tahun 1959 – 1968 (Demokrasi Terpimpin)

Sejarah Indonesia (1959-1968) adalah masa di mana sistem "Demokrasi Terpimpin"


sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi
dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yaitu
Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh
Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November
1956. Penyimpangan yang terjadi dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan
presiden dalam bidang Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan
intervensi di bidang yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas

107
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan
Peraturan Presiden No.14 tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat
mengenai suatu hal atau sesuatu rancangan Undang-Undang. Selain itu terjadi
penyimpangan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah
dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai Dekrit 5 Juli 1959
sebagai sumber hukum. Didirikan pula badan-badan ekstra kontitusional seperti ‘front
nasional’ yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai denga
taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai
persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Pada masa ini terjadi persaingan antara
Angkatan Darat, Presiden, dan PKI. Persaingan ini mencapai klimaks dengan meletusnya
perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI.

c. Masa Orde Baru

Orde baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa, dan negara
yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan pancasila secara murni dan konsekuen.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang
menjadi tonggak lahirnya Orde Baru. Setelah berhasil menciptakan politik dalam negeri ,
maka pemerintahan berusaha melakukan pembangunan nasional yang di relisasikan pada
pembangunan jangka panjang dan pembangunan jangka pendek. Pembangunan yang
dilakukan bertumpu pada Trilogi Pembangunan yakni Pembangunan yang dilakukan dan
hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis.

Sehari kemudian , Presiden B.J. Habiebie mengumumkan susunan Kabinet Reformasi


Pembangunan dan dilantik pada tanggal 23 Mei 1998. Di dalam kabinet baru ini ,
Presiden mengikutsertakan beberapa menteri yang berasal dari luar Golkar sebagai
anggota kabinetnya. Namun hal ini bukan berarti kabinet Presideb B.J. Habiebie dapat
begitu saja diterima, karena pemerintahan baru ini tetap dianggap sebagai kelanjutan dari

108
kekuasan Orde Baru. Sementara itu, para pendukung reformasi sendiri terbagi menjadi
dua, antara yang mendukung dan menolak pemerintahan B.J. Habiebie.

Tuntutan reformasi yang bertujuan memperbaiki keadaan berubah arah menjadi


anarki di beberapa tempat karenaadanya perbedaan penafsiran tentang arti reformsi untuk
kepentingan tertentu. Penyimpangan terhadap tujuan reformasi itu dapat dilihat pada
beberapa hal, seperti penjarahan tidak terkendali yang terjadi di berbagai tempatdan
upaya menurunkan seorang dari jabatan yang dilakukkan massa tanpa aturan yang jelas.
Penyimpangan itu juga dapat dilihat pada berkembangnya hujatan dan opini yang tidak
didasarkan pada pemikiran yang dalam, baikdidalam masyarakat mupun media massa.
Akibatnya , segala sesuatu yang dianggap baik pada massa Orde Baru segera dianggap
jelek pada massa reformasi. Pengkultsan dan penistaan dilakukan silih berganti dengan
mudah, dan kekerasan seolah-oloah telah menjadi sesuatu yang biasa.

d. Era Reformasi
Reformasi di Indonesia terjadi pada tahun 1998, dimana Mahasiswa Indonesia
melakukan Power People untuk menjatuhkan dinasti Orde Baru atau Pemerintahan
Soeharto yang sudah berlangsung selama 32 Tahun. People Power atau demo besar-
besaran ini kemudian membuahkan hasil, Presiden Soeharto yang militeristik dan diktator
kemudian mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan Sejak tanggal 21 Mei
1998.Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai tanggal Puncak Terjadinya Reformasi.

Tuntutan Reformasi

a) Penegakan supremasi hukum


b) Pemberantasan KKN (korupsi Kolusi dan Nepotisme)
c) Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya
d) Amandemen UUD 1945
e) Pencabutan dwifungsi ABRI
f) Pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.

109
Kebijakan dalam bidang politik. reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti
lima paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut: UU No. 2 Tahun 1999 tentang
partai politik; UU No. 3 Tahin 1999 tentang pemilihan umum dan UU No. 4 Tahun 1999
tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR. Kebebasan Dalam Menyampaikan Pendapat
dan Pers. Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat
kembali. Hal ini terlihat dari mumculnya partai-partai politik dari berbagaia golongan dan
ideology. Masyarakat dapat menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di
samping kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada
Pers. Reformasi dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat
Ijin Usaha Penerbitan ( SIUP ).

Pelaksanaan Pemilu. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie berhasil diselenggarakan


pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut
diikuti oleh 48 partai politik. Dalam pemerintahan B. J. Habibie juga berhasil
menyelesaikan masalah Timor Timur . B.J.Habibie mengambil kebijakan untuk
melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada
tanggal 30 Agustus 1999 dibawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut
menunjukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu
Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat
kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.

Selain dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh B.J. Habibie,


perubahan juga dilakukan dengan penyempurnaan pelaksanaan dan perbaikan peraturan-
peraturan yan tidakk demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi
dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang
mengacu kepada prinsip pemisahan kekuasaan dn tata hubungan yang jelas antara
lembaga Eksekutuf, Legislatif dan Yudikatif.

Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara


lain: Keluarnya ketetapan MPR RI No X / MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi,

110
Ketetapan No VII/MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR tentang referendum, Tap
MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN, Tap
MPR RI No XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil
presiden RI, dan Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV.

Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sejak reformasi. Sejak krisis moneter yang
melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami
kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi
kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi
masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang
cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja
untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak
perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah
PHK.

Para pekerja yang deberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga


jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pengangguran dalam jumlah
yang sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah masalah social dalam
kehidupan masyarakat. Dampak susulan dari pengangguran adalah makin maraknya
tindakan tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu hendaknya pemerintah dengan serius menangani masalah


pengangguran dengan membuka lapangan kerja yang dapat menampung para penganggur
tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah hendaknya dapat menarik kembali para
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka lapangan
kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut. Masalah pengangguran
merupakan masalah social dalam kehidupan masyarakat dan sangat peka terhadap segala
bentuk pengaruh.

Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia


mulai mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan

111
kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai
akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita
cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.

5. Realitas Implementasi Fungsi Aggregasi Kepentingan Politik Dan Struktur


Politik Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.
a. Masa Awal Kemerdekaan

Realitas implementasi fungsi pemaduan kepentingan dan struktur yang


menjalankannya dalam sistem politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan ini adalah
bahwa fungsi pemaduan kepentingan belum berjalan dengan baik atau sangat buruk
pelaksanaannya karena struktur yang menjalankannya tumbuh di Indonesia ibarat tumbuh
jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama
lain. Pada masa ini partai politik telah menjalankan fungsinya sebagai sarana perjuangan
memepertahankan aspirasi rakyat dan mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang
bersifat politis.

b. Masa Orde Lama

Realitas implementasi fungsi pemaduan kepentingan dan struktur yang


menjalankannya dalam sistem politik Indonesia pada masa orde lama ini adalah bahwa
fungsi pemaduan kepentingan sudah mulai berjalan, namun belum berjalan begitu baik.
Dapat dilihat dari struktur yang menjalanknanya yaitu partai politik, peranan partai
politikpada masa ini sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat, namun kurang
maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif. Dimana setiap partai
hanya mementingkan kepentingan partai sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang
lebih luas yaitu kepentingan bangsa.

c. Masa Orde Baru

Realitas implementasi fungsi pemaduan kepentingan dan struktur yang


menjalankannya dalam sistem politik Indonesia pada masa orde baru ini adalah dikatakan
bahwa pada masa ini bahwa implementai fungsi pemaduan kepentingan juga belum
112
maksimal karena dikatakan struktur yang menjalankannya seperti partai politik sulit
untuk menjadi wahana menampung kepentingan rakyat karana nampak sekali bahwa
partai-partai yang ada di indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas
prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing
anggota melainkan karena kepentingan negara.

d. Masa Reformasi

Realitas implementasi fungsi pemaduan kepentingan dan struktur yang


menjalankannya dalam sistem politik Indonesia pada masa reformasi ini adalah bahwa
pada masa ini fungsi pemaduan kepentingan sudah dapat dimaksimalkan. Boleh
dikatakan bahwa di era reformasi ini peran partai sebagai pemadu atau penyalur aspirasi
rakyat bisa dimaksimalkan, dapat dilihat dari partai-partai yang tumbuh dan berkembang
dengan bebas tanpa intervensi dari pihak manapun, walupun begitu masih banyak yang
harus dibenahi partai politik kita, diantaranya adalah masih banyak korupsi, kolusi, dan
nepotisme didalam organisasi politik saat ini sehingga merugikan masyarakat dan juga
negara.

6. Realitas Implementasi Fungsi Role Making Politik Dan Struktur Politik Yang
Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.

a. Periode Pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945


Namun berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 setelah pengukuhan belum bisa
sepenuhnya dijalankan karena dari tahun 1945 sampai 1450. Pemerintah dalam kurun
waktu 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 masih dihadapkan dengan pekerjaan
untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden Moh. Hatta memberikan mandat
berupa Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Isinya memberitahukan bahwa KNIP diberi
kewenangan sebagai Badan Legislatif sampai terbentuknya sebuah badan mengurusi hal
tersebut. Inilah cikal bakal terbentuknya DPR dan MPR saat ini.

113
Pada tanggal 14 November 1945. Pemerintah pusat membangun Kabinet Semi
Parlementer yang pertama. Hal ini dibuat berdasarkan pemikiran Presiden agar
pemerintahan kedepannya bisa lebih demokratis.

b. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Pemberlakuan UUDS 1950


Tahun 1949 menjadi tahun bersejarah bagi Indonesia. Karena dalam tahun ini sistem
pemerintahan Indonesia berubah. Dalam periode antara tanggal27 Desember 1949 sampai
17 Agustus 1950. Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat atau RIS.
Periode ini memungkinkan dalam negara terdapat negara bagian yang dapat mengatur
urusan negaranya sendiri tanpa terikat dengan Pemerintah Pusat.

Setelah periode Republik Indonesia Serikat berakhir. Indonesia menganut paham


Demokratis Liberal. Di tahun ini pula dibuat Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
1950 karena kejadiannya antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Periode ini serin
terjadi pergantian yang silih berganti di dalam kabinet.

Pergantian yang tak menentu di kabinet mengakibatkan pembangunan tidak lancar.


Pertikaian sana sini. Hal yang mendasari adalah banyaknya orang yang lebih
mementingkan kepentingan partai dan golongan masing-masing. Namun Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 dijalankan dengan sistem Demokrasi Liberal. Rakyat Indonesia
menganggap bahwa sistem ini tidak cocok bagi keberlangsungan negara.

Presiden memutuskan bahwa tata negara Indonesia dengan sistem Undang-undang


Dasar Sementara 1950 sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
yang susah dibangun dengan darah dan keringat. Pemberlakuan sistem ini menurut
presiden menghambat pembangunan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Maka, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
mengenai pembubaran konstitusi dan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945 dan
menghapus Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sebagai dasar negara Indonesia.

114
c. Periode Penetapan Kembali Undang-Undang Dasar 1945
Setelah terbitnya Dekrit Presiden. Maka Undang-Undang Dasar sementara 1950
dihapus dan dikembalikannya Undang-Undang Dasar 1945 kepada dasar negara. Namun
banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Hal yang paling sering terjadi adalah Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua
MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara. Bahkan Presiden
Soekarno ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup yang bisa menjadikan Indonesia
sebagai negara dictator.

Dimasa orde baru banyak kebaikan-kebaikan yang di lakukan oleh pemerintah


diantaranya yaitu penyempurnaan anministrsi Negara pada tahun 1966 dengan di
bentuknya Team Pembantu Presiden untuk menyempurnaan Administrasi dan Aparatur
Pemerintah (Team PAAP) yang antara lain telah menghasilkan penerbitan struktur
organisasi dan pembagian tugas departemen-departemen dengan keputusan presidium
cabinet No. 75/U/11/1966 dan kemudian telah di sempurnakan lagi dengan kepres No. 44
Tahun 1974 dan 45 tahun 1974 serta UU No.5 tahun 1979.

Berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemrintah banyak tidaknya


membantu untuk perbaikan-perbaikan terhadap Negara. Contohnya saja pada MPR dan
DPR, yang saling bekerja sama membuat peraturan sehingga kepustusan dan peraturan
yang mereka buat dapat mensejahterakan rakyat.

MPR dan DPR mempunyai tugas dan wewenangnya sendiri-sendiri.seperti MPR


wewenagnya adalah membuat peraturan-peraturan yang tidak dapat di batalkan oleh
lembaga Negara lain, termasuk penetapan GBHN yang pelaksanaannya di lakukan oleh
Presiden, menyelesaikan pemilihan dan menganggkat presiden dan wakil presiden.
Sedangkan DPR Wewenang nya dalah berhak mengajukan RUU, tiap UU menghendaki
persetujuan DPR, jadi DPR dan MPR mempunyai peran penting dalam Negara.

Para Pembuata kebijakan meningkatkan program kerjanya, peraturan-peraturan dan


UU yang mereka buat harus dijalan kan sebaik-baiknya, dan tidak mementing kan

115
golongan, agar Indonesia menjadi Negara yang sejahtera, sebab Negara yang sejahtera
akan tercipta apabila pemerintah dan rakyat nya sama-sama saling kerja sama dan saling
membantu terhadap kejadian yang ada di Negara.

Dan pemerintah harus membuang sifat mereka yang suka mementingkan


golongannya. Karena kita harus sama-sama mengingat semboyan kita yaitu “ Bineka
Tunggal Ika yang artinya Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

d. Periode Reformasi

Dalam perubahan Reformasi 1998 salah satu tuntutan Mahasiswa adalah perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hal yang mendasari tuntutan ini adalah karena
masa orde baru kekuasaan tertinggi di negara di pegang oleh MPR dan bukan ditangan
rakyat. Presiden juga memiliki kekuasaan yang sangat besar ditambah banyaknya
pasalpasal yang bisa di salah tafsirkan. serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan yang diharapkan juga dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
guna menyempurnakan aturan dasar dalam tatanan kenegaraan, menjunjung kedaulatan
rakyat dan penegakan HAM, pembagian kekuasaan yang adil, dan mengharapkan
eksistensi negara sebagai negara yang demokratis dan berlandaskan hukum yang adil.

7. Realitas Implementasi Fungsi Role Application Politik Dan Struktur Politik


Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.
a. Masa Awal Kemerdekaan
UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis dalam gerak pelaksanaannya pada kurun
waktu 1945-1949, dan jelas tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena kita memang
sedang dalam masa pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan
yang baru saja diproklamirkan. Pada masa ini juga terdapat berbagai penyimpangan
konstitusional yang dapat dicatat, yaitu pertama, berubahnya fungsi Komite Nasional
Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislative dan ikut
menentukan GBHN berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober

116
1945. Kedua, berdasarkan perubahan system cabinet presidensial menjadi cabinet
parlementer. Pada 3 November 1945 atas usul BP-KNIP, pemerintah mengeluarkan suatu
Maklumat untuk pembentukan partai-partai politik agar segala aliran paham yang ada di
masyarakat ke jalan yang teratur.

a. Sistem Presidensial

Sistem pemerintahan RI menurut UUD 1945 tidak menganut system dari Negara
manapun, tetapi adalah system khas bangsa Indonesia. Di dalam system ini, kepala
pemerintahannya adalah presiden, sehingga menurut konstitusi ketatanegaraan ini,
pemerintah padaa hakikatnya adalah presiden.System ini berlangsung untuk pertma
kalinya pada 18 Agustus-14 November 1945.

b. Penyimpangan UUD 1945

Pada tanggal 11 November 1945, Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada presiden
agar system pertanggungjawaban menteri kepada parlemen dengan beberapa
pertimbangan. Dan presiden menerima usulan tersebut, sehingga pada 14 November 1945
dikeluarkannya maklumat Pemerintah, yaitu sitem pemerintahan presidensial menjadi
parlementer. Dan disinilah letak penyimpangan yang terjadi, karena Maklumat tersebut
melanggar Pasal 4 dan 17 UUD 1945, yang menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut
system pemerintahan presidensial.

b. Masa Orde Lama


Pada bulan September 1955 dan Desember 1955, diadakan pemilihan umum yang
memilih anggota DPR dan anggota Konstituante.Tugas Konsituante adalah untuk
merancang UUD sebagai pengganti UUDS 1950. Presiden dalam pidatonya pada tanggal
22 April 1959 di depan siding konstituante yang menyarankan “marilah kembali kepada
UUD 1945”.Dan, penggunaan kembali UUD 1945 ditandai dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Jadi, sejak saat itu, Undang-Undang Dasar

117
1945 berlaku lagi. Banyak terjadi penyimpangan yang mengakibatkan memburuknya
keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan ekonomi yang mencapai puncaknya
pada pemberontakan G30 S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan melalui kekuatan-
kekuatan yang melahirkan pemerintahan orde baru.

c. Masa Orde Baru


Gerakan G30 S/PKI yang didalangi oleh PKI telah menimbulkan banyak korban jiwa
serta banyak juga terjadi pelanggaran hukum dan UUD yang berlaku. Dan juga, gerakan
tersebut jelas memiliki tujuan untuk mengganti dasar falsafah Negara yaitu Pancasila
dengan dasar falsafah yang lain. Keadaan semakin memburuk, keadaan ekonomi dan
keamanan makin tidak terkendalikan. Dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa, rakyat
menyampaikan tiga tuntutan kepada Pemerintah, yang disebut juga dengan Tritura, yaitu:

 Bubarkan PKI
 Bersihkan cabinet dari unsure-unsur PKI
 Turunkan harga-harga / perbaiki ekonomi.
Lalu, dikeluarkanlah Surat Perintah 11 Maret (supersemar) oleh pemerintah yang
dianggap juga sebagai kelahiran pemerintah orde baru.Dan pengemban superemar, yaitu
Soeharto telah melaksanakan tugasnya, yaitu membubarkan PKI dan ormas-ormasnya
serta mengadakan koreksi terhadap berbagai penyimpangan dalam berbagai bidang
selama pemerintahan orde lama.

d. Masa Reformasi
Setelah berakhirnya Pemerintahan Soeharto, terbukalah kesempatan para pakar untuk
membicarakan perlunya UUD 1945 dilakukan amandemen. Beberapa pakar,
mengutamakannya perubahan UUD 1945. Laica Marzuki berpendapat, dalam menuju
Indonesia baru yang demokratis, UUD 1945 perlu diamandemen. Dalam kenyataannya,
selama 32 tahun pemerintahan orde baru memberikan kekuasaan yang maha dasyat
kepada Presiden. Sehingga, hasilnya justru lebih parah daripada yang terjadi pada masa
orde lama. Dan, menurut Prof. muchsan pasti ada sesuatu yang salah dalam UUD 1945
yang mengakibatkan kerancuan dalam kehidupan bernegara. Sehingga,
118
UUD 1945 sebagai hukum dasar Negara harus subjektif dan tidak menimbulkan celah
interpretasi yang salah. Sebagai usaha untuk mengembalikan kehidupan Negara yang
berkedaulatan rakyat yang berdasarkan UUD 1945, salah satu aspirasi yang terkandung
dalam semangat reformasi adalah melakukan amandemn terhadap UUD 1945. Dengan
disahkannya perubahan UUD 1945, berarti Indonesia telah melakukan lompatan besar,
karena bangsa Indonesia telah mempunyai UUD yang lebih sempurna dari yang
sebelumnya. Dengan pengesahan ini juga, berarti MPR telah menuntaskan reformasi
konstitusi sebagai suatu langkah demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945,
menjadi konstitusi yang demokratis.

8. Realitas Implementasi Fungsi Role Adjudication Politik Dan Struktur Politik


Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.

a. Masa demokras Liberal


Pada demokrasi liberal merupakan awal perjalanan Indonesia sebagai sebuah
Negara.Sebagaimana seperti sebuah Negara yang lain, semuanya dilampaui dengan
pembangunan ekonomi.Akan tetapi Soekarno lebih suka memilih berperang daripada
mengurus urusan ekonomi.Penyaluran tuntutan dalam pembuatan kebijakan pun tinggi,
tetapi banyak yang belum memadai karena pendidikan asyarakat yang masih rendahPartai
politik pun ada banyak sebagai wadah untuk menyalurkan tuntutan agar dibuat kebijakan,
tetapi tuntutan ini banyak juga yang belum terpenuhi.
Pada saat ini Indonesia menggunakan sistem kabinet parlementer, sehingga kestabilan
pun jaug dari yang diharapkan.Sering sekli terjadi pergantian kabinet sehingga kebijakan
tidak dapat dijalankan secara maksimal.Ada beberapa kebijakan di bidang ekonmi yang
dibuat, akan tetapi tidak berjalan maksimal, seperti sistem ekonomo Ali-Baba pada saat
kabinet Ali Sastroamijoyo.
Kebijakan sistem ekomoni Ali-Baba yang diprakasai Mr.Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusahacina dan pengusaha pribumi.Pengusaha non-
Pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha ribumi, dan pemerinntah

119
menyediakan kredit dari rakyat, input nya pun sangat demokratis, akan tetapi sistem yang
ada belum memadai.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari
pemerintah.Feedback yang diberikan oleh masyarakat pun tidak memadai untuk
dilaksanaka karena terlalu cepatnya perganitan kabimet dan setiap kabinet yang ada
mempunyai tujuan utama yang berbeda pula.Alhasil feedback nya tidak dapat diapresiasi
oleh pemerintah.

b. Masa demokrasi Terpimpin


Pada demokrasi terpimpin yang saat ini juga dipimpin oleh presiden yang ada pada
masa demokrasi liberal yaitu Soekarno.Pada masa demokrasi terpimpin pembuatan
kebijakan sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah.Soekarno dalam posisi ini
memainka peran penting dalam setiap pembuatan kebijakan.
Input dan feedback dari masyarakat dibatasi karena adanya nasakom.Partai politik
dibatasi dan tidak sebanyak pada masa demokrasi liberal.Semua diatur
pemerintah.Dengan sistem ini diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam social, politik, ekonomi
Salah satu bentuk kebijakan yang dibuat adalah kebijakan mercusuar, dimana
Indonesia membangun banyak mercusuar di daerah terluar Indonesia guna melawan
Malaysia dimana pada saat itu sedang terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Walaupun Indonesia dn Malaysia tidak mungkin terjadi peperangan, akan tetapi
Soekarno ingin menunjujjan kekuatan pada dunia tentang kehebatan Indonesia.Kebijakan
ini bersumber dari Soekarno tidak ada feedback karena sistem yang dipakai saat itu
adalah sistem demokrasi terpimpin.Partisipasi yang rendah ditambah dengan asas naskom
membuat sistem politik menjadi stabil dan dapat dikendalikan oleh pemerintah.Alhasil
masyarakat sangat sedikit diibatkan dalam pembuatan kebijakan, sehingga output yang
dibuat tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

120
c. Masa Orde baru
Pada masa orde baru ini kepemimpinan Soeharto yang begitu otoriter mempunyai
banyak peranan dalam proses pemnuatan dan pelaksanaan kebijakan. Dimulai dari proses
input yang terjadi dimana penyaluran tuntutan yang dapat dilakukan melalui partai
politikpun dibatasi, agar rakyat dibuat selalu menerima kebijakan yang ada.

Selain dengan fusi partai, pemerintah dalam menciptakan kestabilan politik melakukan
asas tunggal dan floating mass, dimana rakyat tidak boleh ikut berpolitik. Pembuatan
kebijakannya pun dipegang oleh Soeharto/eksekutif. Lembaga legislatif yang dipilih oleh
rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat juga telah dikuasai dan dipegang kendalinya
oleh eksekutif. Partisipasi yang berasal dari rakyat untuk melakukan feedback pun sangat
rendah. Barang siapa yang ingin menjadi aparat pemerintah juga harus taat kepada
Golkar. Sehingga birokrasi dalam hal ini yang menjalankan kebijakan tidak berjalan
netral dan selalu ada intervensi dari eksekutif.

Pada masa ini tentara mengambil banyak sekali peran dalam pemerintahan dengan
dwifungsi ABRI. Semua aspek kehidupan selalu melibatkan ABRI daik di tingkat lokal
maupun nasional. Banyak sekali kebijakan yang tidak berjalan seimbang karena input
yang dibatasi kemudian semua peran input diambil alih oleh eksekutif.

Dapat kita ambil contoh kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat adalah
kebijakan penyeragaman. Dimana dapat kita ketahui negara Indonesia adalah negara
yang plural, akan tetapi dianggap sama melalui asas tunggal. Input nya tidak ada, akan
tetapi bisa muncul sebuah kebijakan. Kebijakan ini sepenuhnya berasal dari eksekutif
agar lebih mudah mengendalikan pemerintahan.

Berdalih sebagai salah satu bentuk pembangunan, akan tetapi kebijakan ini pada
pelaksanannya tidak berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Feedback nya pun tak
ada karena partisipasi masyarakat dibatasi dan masyarakat dipaksa menerima kebijakan
yang ada. Bahkan pada masa ini efek yang ditimbulkan dari kebijakn yang diambil masih
dapat kita rasakan sampai sekarang, seperti utang luar negeri yang banyak karena dipakai

121
untuk subsidi berbagai kebutuhan masyarakat dimana dalam prosesnya juga tidak berasal
dari input dan output yang seimbang.

d. Masa Reformasi
Pada masa Reformasi telah terjadi banyak perubahan dari segi sisitem politik yang
berjalan, dimana sudah tak ada otoritarianisme dalam pemerintahan, para aparatur negara
loyal kepada negara, bukan pada pemerintah sebagaimana terjadi pada masa orde baru.
Dalam pembuatan kebijakannya pun telah melibatkan input dari masyarakat.

Sebagaimana kita tahu penyaluran tuntutan dari masyarakat sangat tinggi, terbukti dari
munculnya berbagai macam partai politik sebagai sarana untuk melakukan input
kebijakan yang kemudian akan di artikulasikan dalam sistem sosial politik di Indonesia,
akan tetapi pada masa ini partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk membuat input
kebijakan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kalangan elite dan kalangan
masyarakat bawah.

Kalangan elite banyak memegang peranan penting dalam pembuatan kebijakan,


sehingga pada pelaksanaannya pun para elite akan lebih mudah mencapai keinginannya
yang diwujudkan dalam kebijakan, sebaliknya masyarakat bawah yang sangat banyak
jumlahnya dan sering melakukan input kebijakan yang dilakukan dengan ekstra
parlementer seakan tidak digubris keinginannya. Pada masa ini penerapan kebijakan dan
penghakiman kebijakan yang dilakukan oleh masyarakat agar menjadi feedback sehingga
muncul sebuah kebijakan baru banyak yang dikendalikan oleh kalangan elite saja karena
gaya politik pada masa reformasi bersifat pragmatis.

Walaupun masyarakat juga telah mempunyai wakil di dalam lembaga legislatif. Akan
tetapi wakil ini berasal dari berbagai latar belakang yang juga mewakili berbagai
kelompok kepentingan, sehingga banayk terjadi pro dan kontra dalam setiap kebijakan
yang dianut. Seperti yang dapat kita ambil contoh yaitu kebijakan tentang subsidi BBM.

Naiknya harga BBM tak luput dari beragam penilaian. Mulai dari aksi demonstrasi
menolak kenaikannya sampai kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga BBM tak

122
mungkin lagi kita tolak atau tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena harga
minyak dunia sementara melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara
(subsidi) atas sebagian besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi,
yakni orang-orang kaya.

Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya harga BBM yang
diwakili secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis buruh yang memang
secara nyata paling rentan terancam dengan kebijakan tersebut. Kelompok kedua adalah
mereka yang mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok yang mendukung ini dapat
dibagi dua, kelompok yang melihatnya sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi
negara (anti subsidi) dan kelompok yang secara langsung dan tak langsung justru
diuntungkan dengan naiknya harga BBM.

Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan, yakni bagaimana


seharusnya BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik kepentingan di dalam
parlemen Indonesia (DPR). Antara partai politik yang mendukung dan tidak mendukung
naiknya harga BBM. Proses politik yang terjadi, pada awalnya, demikian alot dan keras.
Partai-partai politik yang anti kenaikan BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk
tetap sejalan dengan sebagian masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM.

Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya harga BBM di
DPR, kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi. Kebijakan itu dengan
sendirinya menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi meski demikian, ada
sebuah kebijakan yang juga lahir di samping kebijakan naiknya harga BBM, yakni
kebijakan kompensasi (bantuan langsung tunai / BLT) bagi masyarakat kecil yang
terimbas dengan keluarnya kebijakan menaikkan BBM.

Pada tataran feed-back atau umpan balik, jelaslah bahwa hingga saat ini, sebagian
masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang
ada. Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu menjadi penopang
ekonomi masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi ternyata, yang

123
mendapatkan BLT tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut pemerintah
mereka-mereka inilah yang seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT ternyata tetap
disalahgunakan oleh aparat pemerintah di tingkatan bawah. Akibat yang terjadi kemudian
adalah terjadinya pemiskinan secara terstruktur oleh negara terhadap masyarakatnya.

9. Realitas Implementasi Fungsi Pemeriksaan Keuangan Negara Politik Dan


Struktur Politik Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.
a. Pada Masa Kemerdekaan

Imperveksitas Atau Ketidaksempurnaan Hukum Keuangan Negara Pada Masa


Kemerdekaan Telah Mengesampingkan Esensi Kemandirian Badan Hukum Dan
Otonomi Dan Otonomi Daerah. Hal Ini Disebabkan Semua Keuangan Dalam APBD Dan
BUMN Disebut Sebagai Keuangan Negara. Padahal Sangat Jelas Dan Nyata Dari Sudut
Sistem Maupun Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Pengelolaan Dan
Pertanggungjawaban Keuangan Tersebut Berbeda Dengan APBN Sebagai Keuangan
Negara.

Gagasan Pengawasan/Pemeriksaan Yang Berjenjang Menempatkan BPK Sebagai


Lembaga Tinggi Negara Yang Memeriksa Tanggung Jawab Keuangan Negara,
Kewenangannya Dalam Menguji Hasil Pengawasan/Pemeriksaan BPKP Sebagai
Lembaga Pengawasan/Pemeriksaan Internal Pemerintah Menjadi Terbuka. Jangkauan
Kendali BPK RI Atau Hasil Pengawasan/Pemeriksaan BPKP Akan Optimal Karena
Kedudukan BPKP Yang Berada Di Pusan Pemerintahan. Dengan Demikian,
Kemungkinan Terjadinya Penyimpngan Atas Laporan Keuangan Akan Segera Diatasi.

a) Pada Masa Orde Lama

Masa Ini Ditandai Dengan Adanya Persaigan Toga Kutub, Yaitu Masa Soekaro
(Presiden RI) Yang Didukung Oleh Partai-Partai Berhaluan Yang Dimotori Oleh TNI
AD. Saat Itu, Partai Politik Memiliki Posisi Tawar Yang Lemah Sehingga Kurang
Menunjukkan Aset Yang Berarti Dalam Pencaturan Poltik Di Indonesia. Puncak Periode

124
Ini Adalah Terjadinya Pemberontakan G-30S PKI Tanggal 30 September 1965. Pada
Masa Ini Indikator Pemerintahan Adalah;

1) Partai-Partai Politik Sangat Lemah, Kekuatan Politik Ditandai Dengan Adanya Tarik
Tambang Antara Presiden, Angkatan Darat Dan PKI.
2) Kedudukan Badan Eksekutif Yang Dipimpin Oleh Presiden Sangat Kuat, Presiden
Merangkap Sebagai Ketua DPA Yang Dalam Praktiknya Menjadi Pembuat Dan
Selektor Produk Legislatif.
3) Kebebasan Pers Sangat Terkekang, Bahkan Terjadi Suatu Tindakan Antipers Yang
Jumlah Nya Sangat Spektakuler.

Karena Adanya Indikator-Indikator Diatas, Pemeriksaan Keuangan Negara Indonesia


Tidak Berjalan Sesuai Yang Diharapkan. Pemerintah Maupun Pejabat Dapat Melakukan
Tindakan Yang Menyimpang Dari UU Tanpa Diketahui Oleh Masyarakat. Karna Tidak
Adanya Pers Yang Akan Memberikan Informasi Pada Masyarakat.

b. Pada Masa Orde Baru

Pada Masa Ini, Perkembangan Sistem Politik Ditetapkan Sesuai Dengan Yang
Dikehendaki UUD 1945 Sbelum Terjadi Amandeen Yaitu: DPR Merupakan Lembaga
Tinggi Negara Yang Bertugas Menetapkan UU, Menetapkan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara Dan Memberikan Persetujuan Kepada Prsiden Atas Pernyataan Perang,
Membuat Perdamaian Dan Perjanjian Dengan Negara Lain. Pada Masa Ini, Tepatnya
Tahun 1998 Terjadi Adanya Krisis Moneter Dimana Keuangan Negara Menurun Drastis
Sehingga Perekonomian Masyarakat Pun Rendah. Hal Ini Terjadi Karena Lemahnya
Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan Negara Terhadap Perekonomian Dan
Pemerintah Negara. Krisis Moneter Ini Terjadi Sebagai Salah Satu Dampak Dari
Lemahnya Pengawasan Keuangan Negara.

Pada Masa Orde Baru Tidak Ada Transparansi Fiskal. Objek Pemeriksaan BPK
Hingga Dibatasi Pada (Mencakup) Sisi Pengeluaran APBN Saja. Pada Awaktu Itu Disisi
Penerimaan APBN, Anggaran Non Bujeter, BUMN/BUMD Maupun Yayasan Yang

125
Menggunakan Fasilitas Dari Negara Bukan Merupakan Objek Pemeriksaan BPK. Dilain
Pihak, Pengalaman Kita Dari Rangkaian Krisis, Mulai Dari Krisis Pertamina Tahun 1975,
Krisis PT. Bank Duta Dan PT. Bank Bukopin Pada Era 1980 An Hingga Krisis Keuangan
Dan Perekonoian Tahun 1997-1998, Menggambarkan Bahwa Kerugian Semua Anggaran
Dan Bujeter, BUMN/BUMD, Serta Yayasan-Yayasan Yang Terkait Tentang Kedinasan
Itu Telah Menjadi Kontingen Lialibities Keuangan Negara Yang Membebani Rakyat
Banyak. Utang Pemerintah Yang Membumbung Tinggi, Setelah Krisis Ekonomi Tahun
19997-1998, Terutama Bersumber Dari Pengambilalihan Hutang- Hutang Diluara APBN
Resmi Itu.

c. Masa Pemeirntahan Reformasi

Dalam Kaitan Perubahan Ketatanegaraan Kita Yang Sangat Mendasar Telah


Mengundangkan Tiga Paket Keuangan Negara Yitu: UUD No. 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, UUD No. 1 Tahun2004 Tentang Prebendaharaan Negara Dan UU No.
15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara. Adanya UUD 1945 Maupun Ketiga Paket UU Menuntut Amandemen Atau
Perubahan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang BPK. Sementara Menunggu Amandemen UU
BPK Tersebut Ketiga UU Keuangan Negara Melakukan Pemeriksaan Guna Membantu
DPR Dan DPRD. UUD Dan Ketiga Rangkaian UU Keuangan Negara Tahun 2004-2004
Memberikan Kewenagan Kepada BPK Untuk Memeriksa Setiap Pengelolaan Suatu
Perkembangan Keuangan Negara. Seperti Dewasa Ini Keuangan Negara Di Indonesia
Dikelola Oleh APBN, APBD, Anggaran Dan Bujetter, Termasuk Bank-Bank Miliki
Negara Ataupun Yayasan.

Rangkaian UU Yang Membatasi Gerak BPK Dan Engurangi Hak Bujet Lembaga
Perwakilan Rakyat Antara Lain UU Yang Megatur Tentang Pengawsaan Pasar Modal,
BUMN, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak. Pada Hal Dalam Hal Ini BUMN Pemerintah
Masih Memiliki Golden Share. Kasus Skandal Lie Fiktif Di Bank BNI 2003 Juga
Menggambarkan Bahwa Kerugian Dari Skandal Yang Memalukan Tersebut, Baik Secara
Langsung Maupun Tidak Langsung, Telah Dialihkan Menjadi Beban Rakyat. Sementara

126
Itu Tidak Satu Pun Dari Pengurus Bank Tersebut Yang Sudah Diproses Secara Hukum
Dan Masuk Penjara. Sebagaiman Yang Diamanatkan Oleh UU Perbankan.

Peranan BPK Dalam Rangka Membantu DPR Dan DPRD Dalam Menggunakan Hak
Bujet Nya Pada Sisi Penerimaan Negara Mencakup Penerimaan Pajak Dan Bea Cukai.
Deawasa Ini, Kurang Lebih Sepertiga Dari APBN Pemerintah. Pusat Telah Diserahkan
Kepada Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah. Utamanya Para
Konglomerat Hitam, Sisanya Adalah Pengeluaran Pemerintah Anggoota Pusat Untuk
Membayar Gaji Pegawai Negeri Dan Menjalankan Roda Pemerintahan, Termasuk Untuk
Pengeluaran Angkatan Bersenjata. Struktur Hutang Pemerintah Setelah Tahun 1997
Telah Berubah Secara Mendasar, Dimana Porsi Hutang Dalam Negeri Maupun Hutang
Komersil Di Pasar Hutang Komersial Menjadi Semakin Bertambah Besar. Tadinya
Hutang Pemerintah Hanya Berupa Hutang Luar Negri Dari Sumber Resmi Dengan Syarat
Lunak Dan Berjangka Penjang. Berbeda Dengan Masa Orde Lama, Beban Hutang Dalam
Negeri Pemerintah Tidak Mungkin Dikurangi Melalui Inflasi Karena Hutang Obligasi
Negara Dewasa Ini Sensitif Terhadap Tingkat Laju Inflasi Maupun Tingkat Suku Bunga
Serta Terhadap Gejolak Kurs Devisa.

10. Realitas Implementasi Fungsi Kontrol Politik Negara Politik Dan Struktur
Politik Yang Menjalankannya Dalam Sistem Politik Indonesia.

a. Masa Awal Kemerdekaan


Indonesia dalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Hal itu berarti bahwa
kedaulatan berada ditangan rakyat dan sepenuhnya dijalankan oleh MPR, Indonesia
menganut sistem pemrintahan presidensil artinya presiden berkedudukan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan. UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang
mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggaraan negara, kewenangan, tugas,
dan hubungan antara lembaga-lembaga negara, UUD 1945 juga mengatur hak dan
kewajiban warga negara. Lembaga Eksekutif terdiri atas presiden dan menjalankan
tugasnya yang dibantu oleh seorang wakil presiden serta kabinet.

127
b. Masa Orde Lama
Kontrol politik yang dilakukan pada masa orde lama dapat kita lihat dalam
kepustakaan ilmu politik, khusus sistem politik fungsi sosialisasi, rekrutmen, kontrol,
artikulasi, agregasi, dan komunikasi politik yang sering dikategorikan sebagai fungsi
politik. Sedangkan struktur-struktur yang dilaksanakn disebut sebagai infrastruktur
politik.

c. Masa Orde Baru


Rezim Orde Baru merupakan rezim yang sangat menonjolkan kekuasaaan negara
yang sentralistik. Negara tampil sebagai satu-satunya kekuatan yang tidak dapat
ditandingi oleh kelompok masyarakat manapun juga. Negara menikmati otonominya
berhadapan dengan masyarakat yang pada gilirannya sering memaksakan
kepentingannya. Jaringan negara terutama lembaga-lembaga eksekutif, telah berkembang
menjadi alat-alat efektif dalam mengelola dan menangani mobilisasi untuk mendukung
kebijakan yang dikeluarkan oleh negara (Hikam, 1997: 135). Lebih dari itu negara juga
berhasil mengontrol masyarakat dengan berbagai kebijakan dan perundangan-undangan
serta proses pembentukan tatanan politik, yang secara keseluruhan amat berdampak
negatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Salah satu kontrol politik itu dilakukan dengan
menjadikan aparatur pemerintah/birokrasi sebagai penopang kekuasaan pemerintah. Pada
masa itu, birokrasi cenderung dijadikan sebagai mesin politik pada proses pemilihan
umum.

Organisasi birokrasi yaitu Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI)


dijadikan bagian dari salah satu jalur di dalam Golkar, yaitu jalur B yang berguna untuk
memperkuat dukungan pegawai negeri dalam setiap pemilihan umum. Pegawai negeri
diharuskan untuk hanya menyalurkan aspirasi politik mereka melalui Golkar dengan
memberlakukan kebijakan monoloyalitas. Selain itu, pejabat birokrasi direkrut menjadi
pengurus politik dan dijadikan bagian dari faksi dalam Golkar di parlemen. Kontrol
politik rezim Orde Baru yang begitu kuat, akhirnya berakhir ketika gelombang
demontrasi mahasiswa secara massif terjadi dan menuntut mundurnya Presiden Suharto.

128
Lengsernya Soeharto pada 1998 menandai akhir dari rezim Orde Baru dan dimulainya era
reformasi.

Dalam rangka merespon reformasi politik , dalam konteks birokrasi, perangkat


peraturan perundangan di revisi untuk menyesuaikan dengan keadaan zaman. Pada masa
Megawati Soekarno Putri misalnya, dengan menetapkan UU No 32 tahun 2004 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini merupakan dasar utama
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. UU ini juga mengatur penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakilnya (Gubernur, Bupati, dan Walikota) untuk dipilih
secara langsung oleh rakyat. Dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur relasi
pejabat dan PNS dalam Pilkada, dimana terdapat larangan bagi pejabat untuk melibatkan
PNS dalam politik praktis maupun larangan bagi PNS untuk terlibat dalam kegiatan
politik praktis.

Ketentuan bagi PNS untuk bersikap netral juga diatur dalam Undang-Undang No.43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian . Dalam Pasal 3, ayat 2 disebutkan
bahwa pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta
tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

d. Masa Reformasi
Kontrol politik pada masa reformasi tampaknya belum begitu melembaga dalam
masyarakat karena adanya anggapan yang keliru seakan-akan dikritik/dikontrol berarti
pribadi faktor yang bersangkutan yang dihina misalnya saat berdemonstrasi membawa
kerbau dengan bertuliskan SiBuYa. Sesungguhnya ini merupakan cerminan budaya
politik yang mementingkan cara daripada tujuan dan isinya. Artinya walaupun tujuan dan
isinya baik tetapi kalau cara penyampaian kritik dan kontrol tersebut kurang pantas maka
tujuan dan isi yang baik itu tidak ada artinya sama sekali.

Contoh kontrol politik yang dilakukan pemerintah adalah pengawasan terhadap


pelaksaan pemilu. Selanjutnya, dengan disahkannya UU No 32 Tahun 2004 itu, maka
pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung. Dampak Pilkada langsung ini

129
tentu saja membawa perubahan terhadap relasi birokrasi dengan politik , khususnya
netralitas birokrasi terhadap politik. Di beberapa daerah penyelenggaraan Pikada telah
membawa pengaruh bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis berupa dukungan
politik kepada calon tertentu. Kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan kepala
daerah langsung (Pilkada Langsung) harus hati-hati dalam mengambil kebijakan
termasuk dalam membentuk “kabinet”-nya. Sebab, kabinet yang diisi oleh para pejabat
birokrasi pemerintah inilah yang akan mendukung dan melaksanakan kebijakan-
kebijakan politis serta sebagai saluran politik kepala daerah sampai ke bawah.

Realitas menunjukkan dalam beberapa pilkada yang berlangsung , marak terjadi


politisasi birokrasi seperti dalam pilkada Tangerang Selatan 2010 yang harus diulang
berdasarkan keputusan MK karena terbukti keterlibatan birokrasi, aksi penolakan kepala
kelurahan terhadap Nur Mahmudi Ismail ketika

terpilih dalam Pilkada Depok 2015, Keberpihaka pns terhadap calon dalam pilkada
Gubernur di Sulawesi Selatan 2009, dan dibanyak pilkada-pilkada lain di daerah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada persoalan dalam reformasi birokrasi yang
dicanangkan awal reformasi yang menghendaki birokrasi menjadi modern, dan netral.

Berdasarkan realitas di atas, khususnya Kontrol Politik adalah kegiatan untuk


menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam suatu kebijaksanaan atau
dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan. Dalam melakukan suatu kontrol atau
pengawasan haruslah berdasarkan kriteria atau norma, sehingga kegiatan itu objektif
sifatnya. Melakukan suatu kegiatan kontrol atau pengawasan tanpa suatu kriteria yang
jelas, maka kontrol itu tidak akan mempunyai arah atau ngawur. Kriteria suatu kontrol
politik adalah nilai-nilai politik yang dianggap ideal oleh masyarakat (ideologi) yang
dijabarkan kedalam berbagai kebijaksanaan umum atau peraturan perundang-undangan.
Partai politik memiliki sala satu fungsi untuk melakukan kontrol politik tersebut. Tujuan
suatu kontrol politik adalah meluruskan kebijaksanaan atau pelaksanaan kebijaksaan
yang menyimpang, dan memperbaiki keliru sehingga kebijaksanaan dan pelaksanaan
suatu kebijaksanaan sejalan dengan ideologi nasional tadi.

130
Adapun solusi yang kelompok penulis berikan khususnya mengatasi kontrol politik
adalah dengan partai politik dalam melakukan fungsi kontrol juga harus berdasarkan
kriteria atau norma di atas, sebab kriteria itu (ideologi) dan penjabarannya kedalam
berbagai kebijaksanaan dan peraturan perudang-undangan adalh merupakan konsensus
bersama dan karenanya menjadi pegangan dan titik tolek bersama pula. Adakalanya
kontrol yang dilakukan oleh suatu partai politik terhadap suatu kebijaksanaan yang
dijalamkan oleh partai itu dari kedudukannya.hal ini disebabkan karena apa yang
dikemukakan oleh partai yang melakukan kontrol itu mendapatkan dukungan mayoritas
di parlemen atau kelompok-kelompok politik dalam masyarakat.

Kontrol partai yang dapat menjatuhkan partai yang berkuasa ini terutama dapat
ditemui dalam sistem politik yang menggubkan sistem kabinet parlementer dalam
pemerintahannya. Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam
sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbarui dirinya. Solusi
selanjutnya menurut kelompok kami khusus untuk mengatasi Etika birokrasi ialah
hendaknya harus didasarkan pada nilai-nilai akuntabel, responsif, bebas KKN, netral,
tidak diskriminatif, dan profesional harus menjadi coorporate cultur birokrasi. Visi ini
harus jelas sampai kepada seluruh jajaran birokrasi dari pusat sampai daerah. Pola
pembinaan yang terintegratif mulai dari proses rekrutmen sampai pelatihan dan
pengembangan sumber daya harus menjamin terciptanya coorporate cultur tersebut.

Yang terakhir menurut kami untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan
adanya kontrol politik adalah hendaknya segala kebijakan dan perilaku-perilaku yang
dilakukan aktor politik menyimpang dari kesepakatan bersama dapat diluruskan dan
diperbaiki.

131
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menguraikan makalah tentang Fungsi Politik dan Struktur Politik ynag
Menjalankannya dalam Sistem Politik Indonesia dalam masa pemerintahan Indonesia,
yang dimulai dari awal kemerdekaan Indonesia, masa orde lama, masa orde baru, masa
reformasi hingga masa sekarang. Para peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:

Struktur politik oleh tokoh politik yang dipimpin oleh Presiden pada masanya kabinet
gotong royong. Dimana anggota kabinet dianggap sebagai anggota keluarga yang rukun.
Fungsi politik adalah pemenuhan tugas dan tujuan struktur politik. Jadi, suatu struktur
politik dapat dikatakan berfungsi apabila sebagian atau seluruh tugasnya terlaksana dan
tujuannya tercapai. Oleh karena itu, struktur politik masyarakat atau rakyat, suasana
kehidupan politik masyarakat, sektor politik masyarakat, dan suprastruktur politik, yaitu
struktur politik pemerintahan, suasana pemerintahan, sektor politik pemerintahan.

B. Saran
1. Kepada aktor-aktor politik, agar memenuhi tugas dan tujuan dalam menjalankan
fungsi politik, suprastruktur dan infrastruktur politik.
2. Pelaksanaan fungsi politik dan struktur politik di Indonesia, harus melibatkan negara
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar dalam menjalankannya
berkesinambungan untuk kemajuan sistem politik yang ada di Indonesia.

132
DAFTAR PUSTAKA

Akib, Haedar. 2010, Implementasi Kebijkan:Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Vol


1 Nomor 1 Jurnal Administrasi Publik.

Alvaro, R.A. 2017. Analisis Daya Sang Pengangkatan Politik. Jurnal Budget. Vol. 2
No.2.

Andi Charil Ichsan, dkk. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pelaksanaan Model
Desa Konservasi Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Vol. 4, No. 1. 2017

Aneta, Asna. 2010, Implementasi Kebijakan Program Kebijakan program


Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Di Kota Gorontalo.
Volume 1 Nomor 1 Jurnal Administrasi Publik.

Anshari, Faridhian. 2013. Komunikasi Politik di Era Media Sosial. Volume 8, Nomor 1.
Jurnal Komunikasi.

Anwar, Muhammad. 2015. Strategi Komunikasi Politik Partai Keadilan Sejahtera Dalam
Meningkatkan Elektabilitas Pada Pilkada 2015. Volume 3, Nomor 3. E-Journal
Ilmu Komunikasi.

Aylott, Nicholas. 2002. From People’s Movements to Electoral Machines?


Interest Aggregation and the Social Democratic Parties of Scandinavia.
Sweden : Keele European Parties Research Unit (KEPRU).

Bakry Aminuddin. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. 2010. Jurnal


MEDTEK. Makassar

Banks Jeffrey s, weingst R Barry : The Political Control Of Bureauuracies under


Asymmetric Information, 1922

133
Barata Atep, Trihartanto Bambang. 2005. Perbendaharaan dan Pemeriksaan
Keuangan Negara/Daerah. Jakarta. PT Gramedia.

Berry, Jeff rey M. , Kent E. Portney, Robin Liss, Jessica Simoncelli, dan Lisa Berger.
2006. Power and Interest Groups in City Politics (Kekuatan Dan Kelompok
Kepentingan Di Kota Politik). Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat:
RAPPAPORT (Institute for Greater Boston Kennedy School of
Government, Harvard University).

Brants, Kees and Voltmer, Katrin. 2011. Political Communication in Postmodern


Democracy Challenging the Primacy of Politics. Inggris : Palgrave Macmillan.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budiman, Rusli.2013. Kebijakan Publik. Hakim Publishing. Bandung

Cargo, M. & DeGroff, A. 2009, Policy Implementation: Implications for Evaluation.


Vol 124 Nomor 313 Jurnal New Directions For Evaluation

Colchester , Marcus Chao, 2012 Sophie Beragam Jalur Menuju Keadilanm


Pluralisme Hukum Dan Hak-Hak Masyarakat Adat Di Asia Tenggara,
Epistema Institute.

Darono Agung. 2014. Penerapan E Audit Dalam Pemeriksaan Keuangan Negara


Tinjauan Dualitas Teknologi, Yogyakarta.

Dekker, Henk. 2013. Hanbook Political Socialization Theory and Reserch. Colchester:
Library Of Congress Control

Dhakhiri, Hanif, TB Massa Djafar. 2015. Struktur Politik Partai Kebangkitan


Bangsa. Jurnal Politik Vol. 11 No. 01. 1 6 0 1. Universitas Nasional,
Jakarta.

134
Djuyandi, Yusa. 2014. Efektivitas Sosialisasi Politik Pemilihan Umum Legislatif Tahun
Oleh Komisi Pemilihan Umum. Jurnal Humaniora

Djamin, Zulkarnain. 1993. Perekonoman Indonesia. Jakarta. Fakultas Ekonomi UI.

Farisi AL, Leli Salman. 2007.Partai Politik Dan Demokrasi; Masihkah Partai Politik
Sebagai Pilar Utama dalam Demokratisasi Pemerintahan Indonesia?

Fauzi, Muzni.2013. Membongkar Trik Penyimpangan Penggunaan Keuangan


Negara. Banjarmasin.

Firnas M, Ardian. Politik Dan Birokrasi Masalah Netralitas Birokrasi Di Indonesia Era
Reformasi, 2016

G. Palmer, Tom. 2013. Politik dan Kebebasan. Washington Post: Brown University

Gede, Sandiasa. 2016. Kebijakan Publik. FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja.
Singaraja.

Ghazali, A. M. 2001. Mekanisme Pengangkatan dan Pemberentian Kepala Negara


Laubar. Vol. 2 No. 1.

Guilbaud, G. Th. Theories of the General Interest, and the Logical Problem of
Aggregation, Vol. 4, No. 1. 2008

Hanafi,Iman. 2011, Implementasi Kebijakan Pelayanan Adminstrasi Kependudukan


Terpada (Studi Pada Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil). Volume 1
Nomor. 5 Jurnal Adminstrasi Publik.

Hasan Bisri Mashur: Kontrol Politik Birokrasi Dalam Kebijakan Publik, 2017

Hill, Michael dan Peter Hupe. 2002. Implementing Public Policy. London : SAGE
Publications.

135
Howard , Jessica Oswald , Bruce CSC 2002 The Rule Of Law On Peace operations a
‘challenges of peace operations’ project conference.

Ilahi, Kurnia Benni. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara Melalui


Kerjasama. Jurnal Universitas Andalas.

Iskandar, Dian. 2016. Keberadaan Partai Politik Yang Tidak Diketahui Menelusuri
Fungsi Partai Politik Di Indonesia Pasca Soeharto. Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan, Vol 2, No. 1.

Keduman, M. 2011. Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat PAPUA dari


Jatah Otsus setelah Berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus. Paskalis Kosay, Vol. 11 No. 1.

Kelly, Norm dan Ashiagbor Sefakor. 2011. Partai Politik Dan Demokrasi Dalam
Perspektif Teoritis Dan Praktis. Washington DC: National Democratic
Institute

Kenterelidou, Clio. 2005. Public Political communication and Media The Case of
contemporary Greece.

K.H.Firdaus A.N.1999. Dosa-Dosa Polltik Orde Lama Dan Orde Baru Yang Tidak
Boleh Berulang Lagidi Era Reformasi PUSTAKA Al-KAUTSAR

Kosters, H.Marvin. 1975. Controls and Inflation. Washington, D.C: American


Enterprise Institute for Public Policy Research.

Kundumuya, Antonius. Dampak Agregasi Kepentingan Politik Terhadap Kinerja


Lembaga Legislatif Pasca Pemilu 2009 Di Kabupaten Merauke Propinsi Papua.

Manurung, Nanda Hambali,dan Tri Joko. 2012. Peran Sosialisasi Politik Dalam
Perolehan Suara Partai. Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah.

136
Masyrofah. 2013. Arah Perubahan Sistem Pemilu Dalam Undang-Undang Politik Pasca
Reformasi (Usulan Perubahan Sistem Pemilu Dalam Undang-Undang Politik
Pasca Reformasi). Volume. I Nomor. 2. Jurnal Cita Hukum.

McGarry, Aidan. 2008. JEMIE 7 (2008) 1 by European Centre for Minority Issues.

Mulasari , Laila Kebijakan Formulasi Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Di Dunia


Maya Dalam Perspektif Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro.

Musliyandi. Kelompok Kepentingan Dalam Proses Politik Pemerintahan Di Daerah


Studi Kasus Persatuan Guru Republik Indonesia Kota Pekanbaru ( Periode 2008
– 2013 ).

Nivada, Aryos. 2013. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; Transisi Politik Aceh.
Yogyakarta: Ombak.

Novie Indrawati, Sagita. 2016. Strategi Gerakan Kelompok Kepentingan Dalam


Pengawasan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Jurnal Wacana Politik. Universitas Padjadjaran.

Nugroho D, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara Negara Berkembang. Jakarta
: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Nurahman, Muklas. Dkk. 2013. Persepsi Pemilih Pemula Terhadap Atribut


Sosialisasi Politik Dalam Pemilu.

Nurhalinah, dan Syamsul Bahri. 2016. Relasi Aktor dalam Proses Pengangkatan PNS
dalam Jabatan Struktural di Kota Makassar. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Vol.9
No.1.

137
Odoemelam Bright, Uche dan Aisien, Ebiuwa. 2013. Political Socialization And
Nation Building: The Case Of Nigeria. European Scientific Journal

Parsons, Wayne. 2006. Public Policy (Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan). Jakarta : Kencana.

Pramodito Agung, Darsono. 2014. Pengaruh Pemeriksaan Kualitas Oleh Aparat


Pengawas Internal Pemerintah(APIP) Terhadap Level Of Reliance
Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan Kepada APIP.

Prasetya Iman Yudhi. 2011. Pergeseran peran ideology dalam partai politik.

Purwaningsih, T. & Subekti Singka, V. 2017. Political Family and Intra-Party


Democracy in Indonesia (A Study on the Political Recruitment of the Golkar
Party During the Reform Era in South Sulawesi. Studi Pemerintahan. Vol. 8. No
1.

Purwo, Santoso. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Research Center For Politics and
Government. Yogyakarta.

Puspitaningrum, Dewi Nita. 2012. Peran Surat Kabar sebagai Agen Sosialisasi
Politik Masyarakat Dusun Paraksari Pakembinangun Pakem Sleman
Yogyakarta. Junal Citizensip

Putra, Kharisma. Pengaturan Upaya Hukum Dan Eksekusi Putusan Badan


Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk)

Putri Pratama, Maslekah. 2016. Peran Komisi Pemilihan Umum Dalam


Sosialisasi Pemilu sebagai upaya Untuk Meningkatkan Partisipasi Politik
Masyarakat Pada Pemilu Presiden 2014 di Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu
Komunikasi

138
Qori Pebrial, Ilham. dkk. Analisis Pemangku Kepentingan dan Jaringan Sosial
Menuju Pengelolaan Multipihak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Vol.
21, No. 2. 2016

Rahman, Arifin. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC

Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC.

Rahman H.I, A. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ramdhani Ali. 2017, Konsep Umum Pelaksanaan Kebijakan Publik Vol 11 Nomor
01 Jurnal Publik.

Riswandi. 2014. Komunikasi Politik. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Rosana, Ellya. 2012. Partai Politik Dan Pembangunan Politik. Jurnal TAPIs Vol.8
No.1.

Rush, Michael & Althoff, Phillip. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada
Setiadi, M. Elly, Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.

Sirajuddin, Ilham Arief.2014. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam


Pelayanan Publik Dasar Bidang Sosial di Kota Makassar. Volume 4 Nomor
1 Jurnal Adminstrasi Publik.

Soepangat, Edi Haposan Lumaban Gaol.1991. Pengantar Ilmu Keuangan Negara.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Solichin, Mujianto, 2015. Implementasi Kebijakan Pendidikan dan Peran Birokrasi,


Volume Nomor 2 Jurnal Studi Islam.

Suharno. 2013. Dasar Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta : Ombak.

139
Suharti, Bangun. 2014. Sosialisasi Politik Dan Komunikasi Politik Anggota
Dewan Dalam Memberikan Pendidikan Politik Dan Menjaring Aspirasi
Masyarakat (Studi Pada Dprd Kota Bandar Lampung Dari Partai
Demokrat Masa Bakti 2009-2014). Jurnal Sosiologi.

Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

Suwarno. 2014. Televisi Sebagai Saluran Komunikasi Politik


dan Wujud Kekuasaan Media. Volume. 14 Nomor 3. Jurnal Pengembangan
Humaniora.

Tabroni, Roni. 2012 .Etika Komunikasi Politik Dalam Ruang Media Massa. Volume 10,
Nomor 2. Jurnal Ilmu Komunikasi

Taufiqurokhman. 2014. KEBIJAKAN PUBLIK. Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik
Universitas Moestopo Beragama Pers. Jakarta.

Tri Bawono , Bambang fakultas Hukum Unissula Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Upaya Penanggulangan Malpraktik Profesi Medis.

Wahyuni Hermin indah: Politik media dalam transisi politik dari control Negara menuju
self regulation Mechani, 2017

Wibowo , Ari Tinjauan Politik Hukum Pidana Terhadap Kebijakan Kriminalisasi


Delik Kesusilaan Dalam Uu Pornografi , Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.

Wibowo, Wahyu. 2008. Komunikasi Politik Sebagai Keniscayaan Etis. Volume 4,


Nomor 1. Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan.

140
Wicaksono, Itok. Peran Partai Politik Dalam Partisipasi Dan Aspirasi Politik Di
Tingkat Pemerintahan Desa (The Role Of Political Parties In Participation
And Political Aspiration In The Village Government Level).

Widjaja, Drs. Amin Tunggal.1994. Auditing Suatu Pengantar. Jakarta:PT Rineka Cipta.

Wiryawan ,I Wayan, Rudy ,Dewa Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum,


Universitas Udayana Gde Penyelesaian Secara Hukum Perjanjian Kredit Pada
Lembaga Perbankan Apabila Pihak Debitur Meninggal

Yuliono, Anton. Kepercayaan Masyarakat Pada Partai Politik, Vol. 11, No. 1. 2013.

141

Anda mungkin juga menyukai