Anda di halaman 1dari 48

PENGAJARAN ILMU PEMERINTAHAN

DI INDONESIA

Prof. Dr. Taliziduhu Ndraha

Pada awalnya, tulisan ini digerakkan oleh dua hal.


Pertama, pada rak buku ex-Malang yang sudah berusia limapuluh tahunan, terbuat dari kayu jati
tua, tertempel semboyan “Like Soldiers, Old Books Never Die, Kybernological Spirit Leads The
Way!” Setiap kali saya melihat tulisan itu, mata saya memandangi buku-buku tua itu satu-
persatu: berdebu, coklat, dan huruf-hurufnya sudah luntur, terhenti pada satu buku berjudul The
University Teaching of Social Science Sociology, Social Psychology and Anthropology, terbitan
UNESCO Paris, 1954. Buku itu saya beli entah di mana, di Padangsidempuan ketika saya SMA
di sana 1954-1957, atau di Medan saat KDC tahun 1958-1959. Yang jelas tertera di lembar
pertama halaman dalam, harganya Rp 26,50, terbilang duapuluhenam rupiah limapuluh sen!
Apakah ada buku serupa, minimal tulisan senada untuk Ilmu Pemerintahan?

Kedua, berdasarkan keputusan Rektor IPDN No. 423/157/IPDN Tahun 2010, tentang
Pembentukan International Journal Of Kybernology dan Pengangkatan Pengurus Masabakti
2010-2014 Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), IPDN menyelenggarakan International
Journal of Kybernology (IJoK). Dengan susah-payan, edisi pertama jurnal itu yang berfungsi
sebagai umpan untuk memancing perhatian institusi mancanegara untuk bekerjasama agar
sifatnya yang “international,” terpenuhi, terbit Juli 2010. Dalam rangka merintis jalan bagi
langkah tersebut, sekaligus persiapan bahan edisi berikutnya, pada akhir tahun itu saya
mengunjungi beberapa universitas yang mengajarkan Ilmu Pemerintahan, yaitu Universitas
Hasanuddin 13 Oktober, Universitas Gadjah Mada (UGM) tgl 18 Oktober, Universitas
Diponegoro 1 November dan Universitas Airlangga 2 November. Saya beruntung bisa bertemu
dengan fihak manajemen fakultas dan jurusan, ilmuwan dan penulis bidang pemerintahan, dan
memperoleh informasi aktual tentang pengajaran Ilmu Pemerintahan pada lembaga setempat.
Namun mengingat UGM merupakan lembaga tertua dan kiprah pengajaran Ilmu Politik dan
Pemerintahan Indonesia, buku Panduan Akademik Jurusan Ilmu Pemerintahan (Jurusan Politik
dan Pemerintahan, Department of Politics and Government Studies) FISIPOL UGM (Agustus
2009) yang dijadikan salahsatu sumber utama.
Informasi tentang Pengajaran Ilmu Pemerintahan di Indonesia adalah sebagai sebuah bangunan
(building) pemikiran yang direkonstruksi dari berbagai buahpikiran tentang pemerintahan
sebagai bahan bangunan. Bahan bangunan itu dieksplorasi di tiga sumber, baik sumber primer
atau langsung maupun sumber sekunder atau tidaklangsung, yang sejauh ini berhasil ditemukan,
yaitu :
1. Sumber dari luar Indonesia, dalam hal ini Belanda
2. Sumber di dalam negeri di luar IPDN
3. Sumber di lingkungan IPDN

1
1
BAHAN BANGUNAN DARI BELANDA:
TEMU ILMIAH 1985

Indonesia mendapat pelajaran tentang penyelenggaraan pemerintahan modern dari pemerintahan


kolonial Belanda sejak awal abad yang lalu. Berbagai program diklat di bidang itu dijalankan,
baik informal maupun formal. Yang disebut terakhir ini mulai dari program berbentuk sekolah
sampai pada perguruan tinggi berbentuk akademi, yaitu Bestuursacademie di Batavia (Jakarta),
1938 (M. Mas’ud Said, “Pengembangan Program dan Dimensi Internasional Dalam Pendidikan
Ilmu Pemerintahan,” Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan Dalam Sistem Pendidikan
dan Peranannya dalam Pembangunan Nasional (SNPIP), yang diselenggarakan tgl 21-22
Oktober 1991). Informasi tentang pengajaran Ilmu Pemerintahan dari negeri Belanda diperoleh
secara tidak langsung melalui dua events nasional yaitu Temu Ilmiah Pengkajian Ilmu
Pemerintahan (TIPIP) yang diselenggarakan pada tgl 30-31 Juli 1985, dan Seminar Nasional
tersebut di atas, dua-duanya diselenggarakan di Jakara oleh Institut Ilmu Pemerintahan.

Sebagian ringkasan laporan pelaksanaan TIPIP setebal 422 halaman itu, mulai dari butir 12
sampai dengan butir 19 dari 20 butir, dikutip sebagai berikut.

1. Temu ilmiah diselenggarakan berdasarkan anggapan bahwa dalam banyak hal,


kenegarawanan dapat dipelajari, dan bahwa salah satu disiplin ilmu utama
yang perlu dipelajari adalah Ilmu Pemerintahan. Temu ilmiah bermaksud
mengkaji berbagai aspek Ilmu Pemerintahan dalam rangka memebentuk aparat
pemerintahan Indonesia yang ahli dan berwibawa, arif dan bertaqwa kepada
Tuhan YME. Di bawah tema “Mendudukkan Ilmu Pemerintahan Sebagai Ilmu
Kenegaraan Untuk Mengakrabkan Ilmu Dengan Pembangunan Pemerintahan,”
temu ilmiah dua hari tersebut dibuka pada tgl 30 Juli 1985 bertempat di Aula
Institut Ilmu Pemerintahan, dalam rangka memaknakan Dies Natalis Institut
yang ke-18 (25 Mei 1985) dan Wisuda Sarjana Angkatan Ketigabelas (29 Juli
1985)
2. Makalah pertama berjudul “Perkembangan Konsep Ilmu Pemerintahan”
dibawakan oleh Drs R. Soemendar Soerjosoedarmo dari Universitas
Diponegoro Semarang sebagai narasumber, dengan Prof. Drs H. Soempono
Djojowadono dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Ir Sujamto dari
Itjen Dpepartemen Dalam Negeri sebagai pembahas utama. Sidang dipimpin
oleh Drs S. Moertono, MA sebagai moderator dan Dra Hj. Nurul Aini sebagai
sekretaris sidang. Keduanya dari Institut Ilmu Pemerintahan. Makalah kedua
berjudul “Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Politik,” disajikan oleh Dr Maswadi
Rauf dari Universitas Indonesia Jakarta, dengan Prof. Dr Moeljarto
Tjokrowinoto, MPA, dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Drs M.
Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan sebagai pembahas utama.
Sidang dipimpin oleh Drs Soewargono, MA , sekalu moderator, dan Drs
Trimurti Santoso sebagai sekretaris sidang. Keduanya dari Institut Ilmu
Pemerintahan. Makalah ketiga berjudul “Ilmu Pemerintahan dan Ilmu
Administrasi Negara” dibawakan oleh Drs Yossi Adiwisastra dari Universitas
Padjadjaran Bandung, dan makalah keempat berjudul “Beberapa Masalah
Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Administrasi Negara” disajikan oleh Drs
2
Karnandi Wargasasmita, MA, MSc, dari Universitas Krisnadipayana Jakarta.
Kedua makalah itu dibahas oleh Prof. Drs S. Pamudji, MPA, Drs Tjahya
Supriatna, dan Drs Lailil Kadar, ketiganya dari Institut Ilmu Pemerintahan. Drs
Ismail Husin dan Ny. Titi Suparti S. Silalahi, MS dari Institut Ilmu
Pemerintahan berturut-turut bertindak sebagai moderator dan sekretaris sidang.
Makalah kelima berjudul “Hubungan Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu
Hukum” dibawakan oleh Drs Bayu Surianingrat dari Universitas Padjadjaran
Bandung, dengan Madjloes, SH, dari Institut Ilmu Pemerintahan dan Drs
Bhenyamin Hussein, SH, selaku pembahas utama. Dua orang staf pengajar
Institut Ilmu Pemerintahan yaitu Rafiuddin Hamarung, SH, dan Drs
Soebijanto, berturut-turut bertindak sebagai moderator dan sekretaris sidang.
Makalah keenam berjudul “Penerapan dan Sistem Pendidikan Ilmu
Pemerintahan” disajikan oleh Drs H. Soemitro Maskun dan Drs Sarwoto
Kertodipuro dari Badan Diklat Departemen Dalam Negeri dengan Drs Josef
Riwu Kaho, MPA, dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Prof. Dr A.
Fauzie Ridwan, SH dari Institut Ilmu Pemerintahan sebagai pembahas utama.
Drs Koentjoro Danudarjono dan Dra Ngadisah dari Insrtitut Ilmu
Pemerintahan bertindak selaku moderator dan sekretaris sidang. Perlu
dikemukakan bahwa walaupun kedua penyaji masing-masing membuat
makalah sendiri, kedua makalah dianggap satu saja. Makalah ketujuh
berjudul “Ilmu Pemerintahan di Lingkungan Institut Ilmu Pemerintahan”
disajikan oleh Dr Taliziduhu Ndraha dari Institut Ilmu Pemerintahan, dengan
Drs E. Koswara dari Ditjen Bangda Departemen Dalam Negeri dan Drs
Koeswandi dari Badan Diklat Departemen Dalam Negeri sebagai pembahas
utama, sedangkan yang menjadi moderator dan sekretaris sidang adalah Drs
Koensoebekti dan Drs Baharuddin Tjenreng dari Institut Ilmu Pemerintahan.

3. Pada umumnya para penjaji (nara sumber) berpendapat bahwa memang ada
disiplin ilmu yang disebut Ilmu Pemerintahan. Drs Soemendar
Soerjosoedarmo dalam makalahnya mendefinisikan Ilmu Pemerintahan
sebagai
Ilmu yang mempelajari gejala penguasa resmi dalam masyarakat, yaitu
yang mempelajari kegiatan-kegiatannya dalam rangka usaha memenuhi
kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya secara menyeluruh ditinjau
dari cara-cara (metode) dan sarana (institusi) serta faktor-faktor
lingkungan, baik yang bersifat sosial dan budaya, maupun yang bersifat
fisikal, yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha-usaha
tersebut
Bertolak dari pendekatan McIver dalam The Web of Government (1953),
Soemendar berpendapat bahwa gejala penguasa resmi itu meliputi baik
lingkungan pemerintah maupun masyarakat, sehingga sasaran studi Ilmu
Pemerintahan tidak terbatas pada pemerintahan Negara saja. Dalam suatu
(organisasi) koperasi misalnya terdapat juga gejala tersebut. Berdasarkan
pertimbangan ini ia mengusulkan dapat nya disiplin Ilmu Pemerintahan
dijadikan satu fakultas tersendiri.
Prof. Soempono dalam makalahnya menjelaskan bahwa di negeri Belanda
pemerintahan diungkapkan dalam dua konsep, yaitu:
3
a. regering/regeren jika yang dimaksudkan penggunaan kekuasaan Negara
oleh yang berwenang untuk menetapkan kebijakan, mengambil
keputusan, dan mengeluarkan perintah-perintah untuk menegakkan dan
melaksanakan hal-hal itu
b. bestuur (lengkapnya openbaar bestuur) jika yang dimaksudkan adalah
usaha untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Ilmu yang mempelajari hal-hal tersebut sebagaimana harusnya di sana
disebut Bestuurskunde, sedangkan yang mempelajarinya sebagaimana
adanya disebut Bestuurswetenschap. Kumpulan berbagai bagian dari
Bestuurskunde dan Bestuurswetenschap ditambah dengan berbagai
transdisiplin seperti Hukum Pemerintahan, Politik Pemerintahan, diberi
nama Bestuurswetenschappen.
Pembahas utama kedua, Ir Sujamto, berpendapat bahwa mengingat
ruangkajian studi pemerintahan demikian luas, sebutan Ilmu-Ilmu
Pemerintahan dipandang lebih tepat. Ia juga melihat adanya kaitan erat antar
Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara dan, di
bidang fungsi “regering,” dengan Ilmu Hukum.
Pembahas lainnya adalah Prof. Soedjito Sosrodihardjo, SH, MA, dari
Universitas Gadjah Mada dan Drs Soewargono, MA, dari Institut Ilmu
Pemerintahan. Prof. Soedjito menaruh perhatian atas kaitan antara Ilmu
Pemerintahan dengan ideology Negara. Kaitan ini memberi warna normatif
pada studi pemerintahan di samping analisis sebagai produk metodologi.
Dalam makalahnya, Dr Maswadi Rauf mengungjkapkan kecenderungan
perkembangan Ilmu Pemerintahan ke dua pola:
a. Pola Universitas Gadjah Mada yang lebih bersifat teoretik dan
b. Pola Institut Ilmu Pemerintahan yang lebih bersifat praktis dan lebih luas
Jika pendapat Maswadi Rauf tersebut dikaitkan dengan informasi dari Prof.
Soempono, pola pertama menjurus pada Bestuurswetenschap, sedangkan yang
kedua Bestuurskunde. Mengenai hubungan antara Ilmu Pemerintahan dengan
Ilmu Politik, Maswadi Rauf lebih lanjut mengatakan bahwa:
a. Ilmu Pemerintahan lebih dekat pada Ilmu Politik disbanding dengan
ilmu-ilmu lainnya
b. Perbedaan antara studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada
dengan studi Ilmu Politik di Universitas Indonesia semakin kecil
Menurut Maswadi Rauf lebih lanjut, eksistensi Institut Ilmu Pemerintahan
masih dapat dipertahankan karena lembaga ini berusaha memanfaatkan Ilmu
Pemerintahan, Ilmu Politik, dan Ilmu Administrasi Negara. Jika ini
dihubungkan dengan konsep Ilmu Pemerintahan di atas, Ilmu Pemerintahan
dalam konteks Institut Ilmu Pemerintahan, adalah Bestuurswetenschappen.
Pendapat tersebut tidak disanggah oleh Prof. Dr Moeljarto Tjokrowinoto
dalam makalahnya, bahkan di sana sini diperkuat dan diperdalam. Misalnya
posisi Ilmu Pemerintahan sebagai subsistem Ilmu Politik kembali ditegaskan.
Perbedaan antara kedua disiplin itu adalah, Ilmu Pemerintahan memberi
tekanan pada fungsi keluaran system politik (rule making, rule application, dan
rule adjudication), sedangkan Ilmu Politik lebih memberi tekanan pada fungsi
masukan system politik (artikulasi politik, agregasi politik, komunikasi politik,
dan sosialisasi politik). Lebih lanjut Prof. Moeljarto berpendapat bahwa pola
4
Institut Ilmu Pemerintahan tidak perlu disamakan dengan pola Universitas
Gadjah Mada.
Pembahas utama kedua, Drs Ryaas Rasyid, melihat adanya hubungan yang
erat antara Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Politik: proses pemerintahan
adalah lanjutan proses politik, sementara Drs Soeroso, Sm.Hk, dalam
bahasannya berpendapat bahwa proses pemerintahan meliputi proses politik
dan proses administrasi. Dalam pada itu Drs Koensoebekti, juga dari Institut
Ilmu Pemerintahan, memberi tanggapan positif terhadap saran Dr Maswadi
Rauf dan Prof. Moeljarto, dan menyatakan pentingnya sistesis antara pola
teoretik Ilmu Pemerintahan model Universitas Gadjah Mada dengan pola
teoretik Ilmu Politik model Universitas Indonesia, agar pola generalistik
padat-seni model Institut Ilmu Pemerintahan dapat diimbangi dan dilengkapi
dengan kedua pola yang disebut terdahulu. Pembahas lainnya, Drs Pamudji
Rahardjo dari Departemen Dalam Negeri melihat adanya kaitan yang erat
antara Ilmu Hukum dengan Ilmu Pemerintahan.
Dalam makalah ketiga, Drs Yossi Adiwisastra menegaskan bahwa
pengetahuan (tidak diberi label ilmu) tentang pemerintahan merupakan
salahsatu bagian kajian Ilmu Politik. Penyaji cenderung menyebut
pemerintahan sebagai suatu seni. Ia berpendapat, focus yang oleh berbagai
kalangan dijadikan focus Ilmu Pemerintahan sebenarnya kajian Ilmu
Administrtasi Negara, dan oleh karena itu apa yang disebut Ilmu
Pemerintahan sesungguhnya bukanlah disiplin yang berdiri sendiri melainkan
bagian Ilmu Politik.
Makalah yang keempat yang disajikan oleh Drs Karnandi Wargasasmita,
MA, MSc, memandang Ilmu Pemerintahan sebagai Bestuurskunde tanpa
mengabaikan kemungkinan berkembangnya Bestuurswetenschap. Penyaji
menegaskan betapa pentingnya operangkat pemerintah(an) yang bersifat
nasional, kuat, yang mampu menjamin persatuan dan kesatuan politik negara
Indonesia. Aparatur sepertiitu pada tahap (kondisi) sekarang dipandang lebih
tepat jika dididik melalui perguruan ntinggi kedinasan, tanpa mengabaikan
segi teoretik kurikulumnya. Lebih lanjut penyaji yang juga menjabat sebagai
Dekan Fakultas Administrasi Negara dan Niaga Universitas Krisnadwipayana
ini berpendapat bahwa fungsi pamongpraja yang dahulu dikenal sejak zaman
Belanda masih tetap relevan untuk menjamin keutuhan jaringan
pemerintahan nasional dan hubungan antara pusat dengan daerah.
Prof. S. Pamudji dalam makalah pembahasannya tidak sependapat dengan
Drs Yossi Adiwisastra yang menyadakan bahwa focus Ilmju Pemerintahan
digeser oleh Ilmu Administrasi Negara. Pemerintahan merupakan proses
penyelenggaraan kekuasaan Negara oleh pemerintah, sedangkan Ilmu
Pemerintahan adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari gejala
pemerintahan. Ilmu Pemerintahan ini sedang berusaha melepaskan diri dari
Ilmu Politik dan mengembangkan diri menjadi mandiri. Walaupun demikian
Ilmu Pemerintahan tetap dekat dengan Ilmu Politik dan Ilmu Hukum,
sedangkan Ilmu Administrasi Negara akan memusatkan perhatiannya pada
organisasi dan manajemen untuk mencapai tujuan pemerintah. Terhadap
makalah keempat, Prof. Pamudji tidak mengemukakan sanggahan melainkan
informasi bahwa dewasa ini lembaga yang disebut pamongpraja sudah tidak
5
jelas lagi. Kedua pembahas utama berikutnya yaitu Drs Tjahya Supriatna,
MS dan Drs Lailil Kadar, mendukung Prof. Pamudji. Berbagai informasi dan
saran-saran disampaikan oleh peserta, antara lain Dr Ateng Syafruddin,SH,
R. H. Sianipar, SH, Dra Hj. Nurul Aini, dan Prof. Dr Moeljarto
Tjokrowinoto, MPA.
Dalam makalah kelima, Drs Bayu Surianingrat antara lain meletakkan
salahsatu pilar pijakan bagi Ilmu Pemerintahan. “Negara kita, ‘berbobot’
pemerintahan,” ujarnya, “banyak atau kebanyakan penyelenggaraan urusan
yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak diselenggarakan oleh
pemerintah.” Artinya, dibandingkan dengan proses politik dan proses
administratif, proses pemerintahan jauh lebih berbobot, jauh lebih berperanan.
Dalam Bab III makalahnya, penyaji mengidentifikasi hubungan antara
pemerintahan dengan hukum. Hubungan itu terlihat dalam hal:
a. Tingkahlaku pemerintah harus berdasarkan hukum
b. Pemerintah antara lain bertugas membentuk hukum
c. Pemerintahan dan hukum mempunyai ide yang sama, misalmya fungsi
regering pemerintahan guna menegakkan ketertiban dan keadilan yang
juga merupakan ide hokum
d. Hukum publik
Dalam makalah pembahasannya, Drs Bhenyamin Hussein, SH, juga
mengungkapkan eratnya kaitan antara Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu
Hukum. Seperti dikemukakan oleh pembicara sebelumnya, di negeri-negeri
Anglo-Sakson, Ilmu Kenegaraan (Staatslehre) tidak begitu terkenal; di sana
studi kenegaraan disebut dengan istilah Ilmu Politik. Lain halnya tradisi
continental (Eropah). Di sana ide Negara hukum (keadilan, ketertiban) dan
Ilmu Hukum, dan kemudian ide Negara kesejahteraan dan Ilmu Pemerintahan,
berkembang pesat. Kedua disiplin ini berkaitan melalui Hukum Publik yang
meliputi Hukum Administrasi Negara (kaitan antara Ilmu Hukum dengan
Ilmu Administrasi Negara) dan Hukum Tata Negara. Berbeda dengan Bayu
Surianingrat dan Bhenyamin Hussein, Madjloes, SH, dalam makalah
pembahasannya berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara Ilmu Hukum
dengan Ilmu Pemerintahan.
Tanggapa lainnya terhadap makalah kelima diberikan oleh Dr Ateng
Syafruddin, SH, mengenai rechtsmatigheid perbuatan pemerintah dan
doelmatigheid tindakan hukum, Drs Baharuddin Tjenreng mengenai adanya
kaitan antara kedua disiplin, dan Prof. Soempono tentang kelemahan semantik
dalam merumuskan berbagai konsep sebagai sumber kekurangmantapan
pengungkapan berbagai hal.
Dalam makalahnya berjudul Penerapan dan Sistem Pendidikan dan Latihan
Ilmu Pemerintahan, Drs Sumitro Maskun yang adalah Kepala Badan Diklat
Departemen Dalam Negeri, mengemukakan tiga system diklat Ilmu
Pemerintahan:
a. Sistem diklat akademik universiter di mana Ilmu Pemerintahan disajikan
sebagai ilmu dan seni, melalui program S-1 ke atas
b. Sistem diklat professional managerial dan teknis, praktis dan spesialistis
c. Sistem diklat dalam bentuk penataran, orientasi dan kursus
Makalah keenam ini dilengkapi dengan makalah berjudul Penerapan Ilmu
6
Pemerintahan dan Sistem Pendidikannya pada Institut Ilmu Pemerintahan dan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) yang disajikan oleh Drs
Sarwoto Kertodipuro juga dari Badan Diklat Departemen Dalam Negeri.
Dalam makalah pembahasannya, Drs Josef Riwu Kaho, MPA, memberikan
definisi pemerintahan, yaitu “suatu system berbagai macam fungsi yang
dilaksanakan atas dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara.” Definisi
ini berbeda dengan definisi makalah pertama. Pembahas utama yang juga
adalah Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM itu berpendapat,
bahwa Ilmu Pemerintahan adalah ilmu pengetahuan yang kedudukannya
sama dengan ilmu pengetahuan lainnya terutama dengan sesame Ilmu Sosial
(dan Ilmu Politik, yang sefakultas). Pada akhir makalahnya, pembahas utama
tersebut mengemukakan antara lain pertanyaan tentang tujuan pendidikan di
Institu Ilmu Pemerintahan dan APDN, hubungan antara kedua jenis lembaga
itu dan titikberat kurikulumnya:
a. Jika melalui kedua lembaga pendidikan tinggi kedinasan itu ingin
dibentuk kader yang berkeahlian akademik di bidang pemerintahan
dalam negeri, yang dimaksud keahlian akademik teoretik-konseptual
atau keahlian akademik terapan dan keterampilan?
b. Jika APDN dititikberatkan pada tujuan yang disebut kemudian dan yang
lain pada yang disebut pertama, bagaimana menjembataninya,
mengingat lulusan APDN dapat melanjutkan ke Institut?
Di samping pembahasan utama, terdapat tiga pembahasan dari peserta. Prof,
Soempono menjelaskan bahwa dinas umum (openbare dienst) sebagai lokus
Ilmu Pemerintahan tidak hanya terdapat di lingkungan Departemen Dalam
Negeri melainkan juga di lingkungan departemen lainnya yang berfungsi
melayani public atau masyarakat. Hal ini didukung oleh Drs Soemendar. Drs
Soewargono, MA, menyatakan bahwa ruanglingkup Ilmu Pemerintahan lebih
luas daripada apa yang terkandung di dalam UU 5/74 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
Dalam makalah ketujuh dan terakhir, Dr Taliziduhu Ndraha berangkat darui
sejumlah pertanyaan:
a. Mengapakah Ilmu Pemerintahan yang dinegeri asalnya dianggap identik
dengan Ilmu Administrasi Negara, di Indonesia dianggap berbeda?
b. Adakah suatu yang dapat disebut Ilmu Pemerintahan?
c. Jika ada, apakah Ilmu Pemerintahan itu?
d. Faktor apakah yang mendorong perkembangan Ilmu Pemerintahan di
Indonesia?
e. Apakah hubungan dan perbedaan antara Ilmu Pemerintahan dengan
ilmu-ilmu lainnya?
f. Sejauh dan sedalam apakah ruanglingkup Ilmu Pemerintahan itu?
Penyaji rupanya tidak bermaksud menjawab oertanyaan-pertanyaan itu satu
persatu, melainkan menjadikannya terbuka untuk didiskusikan.
Dalam makalah pembahasannya Drs E. Koswara antara lain menegaskan
bahwa tidak perlu ada keraguan terhadap Ilmu Pemerintahan. Ilmu
Pemerintahan yang diajarkan pada Institut Ilmu Pemerintahan seharusnya
yang berorientasi teoretik-konseptual dan calon kader pemerintah yang
dihasilkannya hendaklah generalist dan jangan hanya ahli di bidang
7
kedalamnegerian. Pembahas utama lainnya Drs Koeswandi mempertanyakan
berbagai hal antara lain system pemerintahan, pertumpangtindihan foci ilmu
pemerintahan dengan ilmu-ilmu lain, dan metodologi.
Tanggapan dari peserta disampaikan oleh Prof. Soempono yang berbicara
tentang berbagai inkonsistensi yang terdapat di dalam makalah, Dr Ateng
Syafruddin, SH, yang mengungkapkan pentingnya tindaklanjut Temu Ilmiah,
dan Drs Ryaas Rasyid yang mempertanyakan berbagai konsep yang dirasa
aneh, seperti kekepalaan dan sebagainya.

REGEREN---------------------BESTUREN
(MENGATUR) (MENGURUS)
| |
| |
--------dipelajari----------
|
|
sebagaimana harusnya-----sebagaimana adanya
| |
| | BAGIAN DARI
BESTUURKUNDE BESTUURSWETENSCHAP ILMU LAIN
| | |
| | |
----------------BESTUURSWETENSCHAPPEN<----------------

Gambar 1 Bahan Bangunan Pengajaran Warisan Belanda

Dari seluruh uraian di atas dapat diidentifikasi pengajaran Ilmu Pemerintahan warisan Belanda,
yang berbentuk sebuah kompleks dengan tiga bangunan yang merupakan sebuah system
(Gambar 1), yaitu Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen. Penjelasan
mengenai kompleks bangunan itu tertulis dalam sebuah dokumen bersejarah yang ditulis oleh
Prof. Drs Soewargono, MA berjudul State-Of-The-Art Ilmu Pemerintahan (1993).

2
STATE-OF-THE-ART
ILMU PEMERINTAHAN (1993)
Prof. Drs Soewargono, MA
(Sukabumi 13-10-1932 - Jakarta 31-05-1997)

Pengantar

Dewasa ini Ilmu Pemerintahan masih sering dipandang sebagai ilmu yang kurang jelas
sosoknya. Hal ini mudah difahami, oleh karena usia Ilmu Pemerintahan itu relatif masih sangat
muda. Baru pada sekitar tahun enampuluhan Ilmu Pemerintahan itu merasa mampu untuk
menjadi ilmu yang otonom, dan kemudian berupaya untuk melepaskan diri dari disiplin Ilmu
Politik. Baru pada sekitar tahun tujuhpuluhan, otonominya pada umumnya diakui di dunia ilmu
pengetahuan. (A.F.A. Korsten dan Th. A.J. Toonen, 1988).

Di negeri Belanda, Ilmu Pemerintahan itu tampil dalam tiga sosok, yaitu Ilmu Pemerintahan
(Bestuurswetenschap), Ilmu-Ilmu Pemerintahan (Bestuurswetenschappen) dan Ilmu
Pemerintahan Terapan (Bestuurskunde).

8
Sebelumnya, studi tentang gejala-gejala pemerintahan itu selalu diwadahi dalam kerangka
disiplin ilmu-ilmu yang lain, seperti Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Sosiologi ataupun ilmu-ilmu
sosial yang lain. Terutama diwadahi oleh Ilmu Politik, oleh karena dalam kenyataannya,
pemerintahan suatu negara itu memang merupakan bagian yang esensial dari suatu sistem
politik. Proses-proses pemerintahan pada awalnya memang merupakan proses-proses politik,
yaitu proses-proses yang berkaitan dengan alokasi nilai-nilai yang sifatnya mengikat. Studi
tentang gejala-gejala pemerintahan dengan demikian lalu dipandang sebagai bagian dari Ilmu
Politik. Demikian pula halnya dengan Ilmu Hukum. Ada yang mengatakan bahwa Ilmu
Pemerintahan itu pada hakekatnya merupakan Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Tata
Pemerintahan Terapan. Segala permasalahan pemerintahan dipandang akan dapat diatasi dengan
jalan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masing-masing
permasalahan itu secara tepat dan benar. Studi tentang gejala-gejala pemerintahan oleh karena
itu dipandang merupakan bagian dari studi Ilmu Hukum.

Memang harus diakui bahwa pertumbuhan awal Ilmu Pemerintahan itu didominasi oleh hasil-
hasil studi dari ilmu-ilmu sosial lain yang meneliti pula gejala-gejala pemerintahan. Van Braam
(1986) misalnya mengemukakan, bahwa Ilmu Pemerintahan itu untuk sebagian besar
mewujudkan diri dalam bentuk himpunan dari aneka jenis studi tentang gejala-gejala
pemerintahan: hasil studi dari Ilmu Hukum (dikategorikan sebagai Juridische Bestuurskunde),
hasil studi dari Ilmu Ekonomi (dikategorikan sebagai EconomischeBestuurskunde), hasil studi
dari Sosiologi (dikategorikan sebagai Sociologische Bestuurskunde) dan hasil studi dari Ilmu
Politik (dikategorikan sebagai Politicologische Bestuurskunde).

Hal seperti ini memang lazim bagi suatu ilmu yang sedang dalam proses untuk menemukan
identitasnya. Namun pada akhirnya, Ilmu Pemerintahan, yang ingin mencapai tujuan yang
berbeda dengan tujuan dari ilmu-ilmu sosial yang lain tersebut, menetapkan persyaratan-
persyaratannya sendiri. Apalagi yang ingin diteliti oleh Ilmu Pemerintahan itu adalah gejala-
gejala pemerintahan pada segenap aspeknya.

Para pakar Ilmu Politik, Ilmu Ekomoni, Sosiologi dan Ilmu Hukum, masing-masing mempunyai
pola berfikir yang saling berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini timbul karena terbawa
oleh disiplin ilmunya masing-masing. Sebaliknya Ilmu Pemerintahan ingin menyatukan dan
memanfaatkan pengetahuan yang dihasilkan oleh pelbagai ilmu sosial tersebut. Para pakar Ilmu
Pemerintahan itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh G.H. Scholten, adalah ibarat orang-
orang yang membangun jembatan karena didorong oleh keinginan untuk menghubungkan
disiplin-disiplin ilmu sosial yang berbeda-beda itu; mereka harus pula mempunyai kemampuan
untuk sebanyak mungkin menjembatani fakta-fakta di satu fihak dengan nilai-nilai di fihak lain,
dengan mempergunakan konstruksi-konstruksi yang praktis. Pada awalnya, kata Scholten lebih
lanjut, para pakar Ilmu Pemerintahan itu memang sering mengalami kesulitan karena belum
tersusunnya basis keilmuan yang jelas untuk melaksanakan tugas tersebut. Telaahan-telaahan
Ilmu Pemerintahan versi lama memang hanya mempergunakan pengetahuan-pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman, intuisi dan akal sehat. Sedangkan Ilmu Pemerintahan yang modern,
di samping tidak mengabaikan cara-cara tersebut, juga dan terutama mempergunakan hasil-hasil
dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial empirik. Untuk sementara waktu, unsur-unsur pengetahuan
dan pandangan-pandangan yang penting dari Ilmu Politik, Sosiologi, Ilmuy Ekonomi, Ilmu
Hukum, sangat dibutuhkan bagi perkembangan Ilmu Pemerintahan itu (G.H. Scholten, 1981).

9
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Pemerintahan yang modern seiring dengan semakin luas
dan intensifnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat. Seiring pula dengan
tumbuhnya birokrasi menjadi kekuasaan keempat yang secara rasional dan metodik
bertanggungjawab atas tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Permasalahan-permasalahan yang timbul dan yang menyangkut state of the art Ilmu
Pemerintahan, secara berurut akan dikemukakan dalam paragraf-paragraf berikut.

Sasaran studi Ilmu Pemerintahan

Pekerjaan memerintah, yang menjadi sasaran studi dari Ilmu Pemerintahan, merupakan
pekerjaan yang ciri utamanya adalah memberikan arah, menetapkan nilai, mengatur dan
membuat keputusan. Pekerjaan memerintah itu dapat diketemukan pada setiap jenis kehidupan
sosial, misalnya di dalam kehidupan keluarga, di dalam perusahaan, di dalam suatu organisasi
kemasyarakatan, di dalam suatu organisasi politik, di desa, di kota, di kecamatan, di kabupaten,
di provinsi dan di dalam negara.

Namun sasaran studi Ilmu Pemerintahan itu tidaklah meliputi pekerjaan memerintah yang
dilaksanakan di semua jenis kehidupan sosial tersebut. Pekerjaan memerintah yang dilaksanakan
oleh kepala keluarga di dalam suatu keluarga misalnya, atau pekerjaan memerintah yang
dilakukan oleh seorang direktur perusahaan di dalam suatu organisasi bisnis milik swasta, berada
di luar sasaran studi Ilmu Pemerintahan.

Dengan kata lain, Ilmu Pemerintahan hanyalah melakukan studi terhadap jenis kehidupan sosial
yang mempunyai sifat khusus, yaitu kehidupan sosial yang oleh Aristoteles dikategorikan
sebagai polity, yang menurut pengertian sekarang adalah negara dan bagian-bagiannya.
Kekhususan tersebut timbul, karena pekerjaan memerintah di dalam suatu polity itu memerlukan
dukungan yang berupa kekuasaan politik dari negara. Lahirlah kemudian pengertian
pemerintahan negara, pemerintahan yang berciri public, atau pemerintahan umum (openbaar
bestuur). Lahir pula pengertian pemerintah, yaitu pemegang kekuasaan politik tersebut, sering
disebut pula penguasa (the authority) sebagai penyelenggara pemerintahan umum dimaksud.

Pemerintahan umum itu dengan demikian mengelola keseluruhan masyarakat yang sangat besar
jumlahnya, yaitu apa yang pada dewasa ini dikenal sebagai kehidupan bersama yang modern.
Pada dewasa ini, semenjak seorang anak mulai sadar akan keberadaannya, maka di samping dia
mengetahui bahwa dia hidup bersama dengan orang-orang lain, secara berangsur-angsur dia
mengetahui pula tentang adanya
kekuasaan dari pemerintahan umum. Setiap orang pada waktu dilahirkan,
kelahirannya itu ditolong oleh dukun bayi, bidan atau dokter yang profesinya disahkan oleh
pemerintah. Segera setelah dia dilahirkan, orang tuanya harus mendaftarkannya di Kantor
Catatan Sipil. Demikianlah pada awalnya kehidupan seorang warga, dan demikian pula untuk
seterusnya dia akan selalu berhubungan dengan pemerintahan umum.

Pemerintah dan pemerintahan umum dengan demikian merupakan bagian dari dunia kehidupan
sosial. Dalam hubungan seseorang dengan orang lain, pemerintah membuat sedemikian banyak
10
arahan dan aturan-aturan; suatu stelsel ketentuan perundang-undangan yang sangat luas
lingkupnya dibuat oleh pemerintah, dan setiap warga diberi kesempatan pula untuk menjangkau
polisi dan peradilan, sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain secara adil dan masuk
akal. Tindakan-tindakan seperti pencurian dan pembunuhan dapat dicegah, dan mereka yang
masih berani melanggarnya akan dijatuhi hukuman. Selanjutnya pelbagai instansi pemerintah
diberi tugas untuk mengembangkan kehidupan bersama itu. Dalam hal ini pemerintah
membangun dan memelihara jaringan jalan, jembatan, pelabuhan, lapangan terbang, stasiun
kereta api, terminal bus dan lain-lain; pemerintah membantu pula penyediaan sarana perumahan,
listrik dan air bersih; membantu menyediakan dan mencarikan lapangan kerja bagi para pencari
kerja; memberikan penyuluhan di bidang pertanian, peternakan dan perikanan; mengatur ekspor
dan impor serta mengendalikan inflasi; mengendalikan harga barang-barang kebutuhan pokok
rakyat; membangun dan mengelola sekolah-sekolah negeri, mulai dari sekolah dasar sampai
universitas; memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah swasta dan lain-lain. Apabila seorang
warga pada akhirnya meninggal dunia, maka urusannya tidak hanya menjadi urusan
keluarganya, akan tetapi juga menjadi urusan pemerintah.

Terutama semenjak dilaksanakannya cita negara kesejahteraan, maka pemerintah semakin


intensif melakukan campur tangan terhadap interaksi kekuatan-kekuatan kemasyarakatan,
dengan tujuan agar setiap warga dapat terjamin kepastian hidup minimalnya. Oleh karena itu
secara berangsur-angsur, fungsi awal dari pemerintahan umum yang bersifat represif (polisi dan
peradilan), lalu bertambah dengan fungsi-fungsi lain yang bersifat melayani. Situasinya dengan
demikian menjadi sangat berbeda dibandingkan dengan situasi pada abad 19 di kebanyakan
negara-negara modern, di mana negara-negara tersebut pada umumnya menganut filsafat negara
hukum (rechtsstaat) atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat).
Sebab menurut filsafat negara hukum atau negara penjaga malam, maka perkembangan
masyarakat itu diserahkan kepada interaksi dari kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam
masyarakat itu sendiri; hanya masalah-masalah yang dipandang menimbulkan dampak sosial
yang sangat merugikan, yang kemudian dicampur-tangani oleh pemerintah.

Namun secara berangsur-angsur sikap pemerintah berubah dengan melalui intervensi yang
semakin lama semakin besar terhadap kehidupan warganya. Jumlah kontak antara warga dengan
pemerintah pun semakin lama menjadi semakin meningkat, sampai tercapai kondisi seperti pada
dewasa ini, di mana seolah-olah kehidupan warga itu sangat tergantung pada pemerintah.
Terutama di tingkat-tingkat pemerintahan di mana sebagian besar tugas pelayanan pemerintah
itu harus diselenggarakan, maka warga sangat merasakan keberadaan dan manfaat dari
pemerintahan umum.

Sesungguhnya bukan hanya warga saja yang kehidupannya menjadi semakin tergantung kepada
pemerintahan umum. Sebab di dalam lingkungan pemerintahan umum itu sendiri juga
berlangsung proses-proses yang serupa. Bagian-bagian dari suatu negara yang semula
mempunyai otonomi yang cukup besar, semakin lama menjadi semakin tergantung pada
pemerintah pusat. Fungsi-fungsi pemerintahan umum yang bersifat mengatur, memberikan arah,
menetapkan nilai dan membuat keputusan dalam rangka mengelola kehidupan publik di dalam
suatu polity itulah yang menjadi sasaran studi Ilmu Pemerintahan.

11
Perumusan (definisi) Ilmu Pemerintahan

Untuk memperoleh pengertian yang lebih terarah tentang Ilmu Pemerintahan itu, berikut ini
disampaikan perumusan-perumusan dari dua orang pakar dalam ilmu tersebut. U. Rosenthal
merumuskan Ilmu Pemerintahan itu sebagai: “ilmu yang secara otonom mempelajari bekerjanya
struktur-struktur dan proses-proses pemerintahan umum, baik bekerjanya struktur-struktur dan
proses-proses itu secara internal maupun secara eksternal.” Sedangkan pemerintahan umum
dirumuskannya sebagai: “keseluruhan struktur dan proses-proses, di dalam mana terlibat
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keputusan-keputusan yang bersifat mengikat untuk dan atas
nama kehidupan bersama” (De bestuurswetenschap is die wetenschap die zich autonoom bezig
houdt met de studie van de interne en externe werking van de structuren en processen van
openbaar bestuur. . . . Openbaar bestuur wordt gedefinieerd als het geheel van structuren en
processen, waarbinnen bindende beslissingen voor en namens de samenleving getroffen
worden).

H.A. Brasz merumuskan Ilmu Pemerintahan itu sebagai: “ilmu yang mempelajari cara
bagaimana lembaga-lembaga pemerintahan umum itu disusun dan difungsikan, baik secara
internal maupun secara eksternal, yaitu terhadap warga negara” (De bestuurswetenschap is de
wetenschap die zich bezig houdt met de wijze waarop de openbare dienst is ingericht en
functioneerd, intern en naar buiten tegenover de burgers).

Yang menjadi sasaran studinya menurut Braasz adalah juga pemerintahan umum, yaitu
“pemerintahan sebagaimana yang menjadi kompetensi pelbagai instansi milik penguasa
(overheidsinstanties), yang di dalam kehidupan modern sekarang memainkan peranan yang
sangat penting; pemerintahan sebagai fungsi negara di dalam semua perwujudannya: negara itu
sendiri, provinsi, kotapraja, wilayah pengairan (waterschap), organisasi perusahaan milik
pemerintah dan semua lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga publik.” (U. Rosenthal,
1986; H.A. Braasz, 1978).

Dari perumusan-perumusan tersebut, dapat disimpulkan, bahwa ada dua cara pendekatan yang
dipergunakan, yaitu pendekatan fungsional yang mempelajari kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan, dan pendekatan struktural yang menelaah lembaga-lembaga dan orang-orang yang
melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Pendekatan pertama menghasilkan pemahaman
tentang memerintah, sedangkan pendekatan kedua menghasilkan pemahaman tentang
pemerintah.

Sekilas Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pemerintahan

Ilmu Pemerintahan yang berciri modern lahir buat pertama kalinya di Prusia dan Australia pada
abad ketujuhbelas. Ilmu ini dikenal dengan nama Kameralwissenschaften. Landasannya adalah
pemikiran, bahwa terdapat sekelompok ilmu yang dipandang langsung berkaitan dengan
pelaksanaan fungsi para pejabat pemerintah. Sekelompok ilmu ini perlu diidentifikasi dan
kemudian diajarkan di universitas-universitas. Dalam masa pemerintahan raja Frederik Willem I
misalnya (1713-1740), matakuliah-matakuliah Kameralistik diajarkan di Universitas Frankfurt
dan Universitas Halle. Matakuliah-matakuliah tersebut terdiri dari subyek-subyek yang
dipandang esensial bagi pengelolaan secara efisien suatu negara yang diperintah secara
sentralistik, berbudaya paternalistik dan menganut madzab ekonomi Merkantilisme. Terutama
12
meliputi apa yang sekarang ini berkembang menjadi public finance, termasuk administrasi
penerimaan dan pembelanjaan negara, Ilmu Kepolisian, Statistik, stelsel perpajakan, struktur
birokrasi dan ketatausahaannya, juga Ilmu Ekonomi dengan penekanan khusus di bidang
pertanian.
Tentu saja dilihat dengan mempergunakan ukuran-ukuran keilmuan yang modern, Kameralistik
itu baik secara empirik maupun secara metodologik belum memenuhi persyaratan-persyaratan
yang diperlukan. Namun Kameralistik, sebagai suatu sistem pemikiran dan sebagai suatu metode
untuk mendidik mereka yang ingin bekerja di lingkungan birokrasi, secara berangsur-angsur dan
hampir sepenuhnya digantikan oleh studi di bidang hukum pada akhir abad ke delapanbelas dan
awal abad ke sembilanbelas. Di Jerman dan Austria, pergeseran dari Kameralistik ke cara
pendekatan hukum itu berlangsung sedemikian cepat dan sempurna, dengan akibat bahwa
Kameralistik itu dipandang tidak perlu lagi diajarkan di universitas-universitas.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab perubahan cara pendekatan ini, menurut Carl Friedrich
adalah berkembangnya cita tentang konstitusionalisme dan legalisme yang bertujuan untuk
mengatur hubungan-hubungan antara penguasa dengan rakyat, juga untuk melindungi kebebasan
dan milik individu-individu; digantinya madzab ekonomi Merkantilisme oleh madzab ekonomi
laissez-faire; gerakan kodifikasi hukum, mula-mula di Austria, kemudian di Jerman, dan
selanjutnya di sebahagian besar Eropa pada waktu Napoleon berkuasa; tumbuhnya lembaga-
lembaga peradilan administrasi; selera pribadi para raja yang ingin mengambil hati rakyatnya;
dan faktor-faktor lain (Carl Friedrich, 1963).

Sebagai akibat perubahan tersebut, maka sebagian besar isi program pendidikan bagi mereka
yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi pemerintahan itu lalu terdiri dari
aneka studi tentang hukum, sehingga orientasinya tidak lagi tertuju kepada pengelolaan secara
efisien dari estate milik raja, melainkan tertuju kepada penerapan hukum secara tepat dan benar,
khususnya hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan rakyat. Sampai pertengahan
abad ke duapuluh, banyak negara di Eropa daratan yang sebagian besar pejabat tingginya terdiri
dari ahli-ahli ilmu hukum.

Dengan demikian, maka semenjak bagian terakhir dari abad ke delapanbelas, Kameralisme tidak
lagi berkembang di Eropa. Sebaliknya di Amerika Serikat, kurang lebih seratus tahun kemudian,
tumbuh ilmu yang sejenis dengan Kameralisme tersebut. Ilmu ini dirintis oleh orang-orang
Amerika yang pernah belajar di Jerman yang terkesan oleh hasil-hasil Kameralisme pada masa
lalu. Berbeda halnya dengan di Eropa, maka demokratisasi di Amerika Serikat sudah tidak lagi
menjadi masalah. Pelaksanaannya bahkan dipandang sudah berlebihan, sehingga menimbulkan
dampak negatif yang berupa inefisiensi di lingkungan birokrasi.

Rekruitmen untuk kantor-kantor pemerintah mempergunakan sistem spoil, dengan


mekanisme rotation of office yang dilakukan segera setelah sesuatu partai menang
dalam pemilihan umum. Sistem ini telah dilaksanakan berpuluh tahun, yaitu semenjak Andrew
Jackson terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 1828. Yang menjadi landasan
pemikiran adalah filsafat egalitarian, yang dijabarkan menjadi sistem pemerintahan oleh rakyat,
yang dilaksanakan sesuai dengan hasil pemilihan umum yang bebas. Dibentuklah kemudian
administrasi pemerintahan oleh orang-orang yang merupakan wakil-wakil rakyat. Sistem ini
dipandang akan membuka kehidupan publik bagi rakyat biasa, yang sampai tingkatan tertentu

13
selalu dikecualikan dari organisasi pemerintahan, disebabkan oleh masih berlakunya norma-
norma yang aristokratik.

Para pendukung spoils system biasanya mengacu kembali pada pidato tahunan Presiden Andrew
Jackson di muka congress pada tahun 1829, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “Hanya
dengan sistem rotasi pada kantor-kantor pemerintah sesuai dengan hasil-hasil pemilihan umum,
maka kita dapat mengamankan negara dari bahaya di mana pegawai-pegawai pemerintah
mempunyai kebiasaan melihat secara acuh tak acuh terhadap kepentingan rakyat, serta menolerir
perbuatan-perbuatan yang dapat menguntungkan diri mereka. Saya tidak dapat berpendirian lain
kecuali percaya, bahwa lebih banyak yang hilang disebabkan oleh berlama-lamanya seseorang di
dalam jabatan publik dibandingkan dengan apa yang diperoleh dari pengalaman mereka pada
umumnya. Tugas-tugas semua pegawai pemerintah itu adalah sedemikian lugas dan
sederhananya, sehingga setiap orang yang mempunyai inteligensi akan segera mempunyai
kemampuan untuk melaksanakannya” (Leonard D. White, 1954).

Spoils system tersebut ternyata kemudian menimbulkan pelbagai ekses. Terutama banyak sekali
orang yang sesungguhnya tidak mempunyai kecakapan, namun diangkat menduduki jabatan-
jabatan penting. Oleh karena itu secara berangsur-angsur timbul reaksi dari para guru besar,
penulis, pendeta, editor surat kabar, bahkan dari politisi sendiri. Mereka menghendaki reformasi.
Para pendukung sistem spoil tentu saja bertahan sekuat-kuatnya. Namun pembunuhan Presiden
Garfield oleh seorang pencari jabatan yang tidak puas pada tahun 1883, membuka jalan bagi
tersusunnya UndangUndang Pendleton (Pendleton Act) pada tahun 1883, yang mengawali merit
system, walaupun dalam skala yang masih sangat terbatas.

Penekanan utama Undang-Undang Pendleton itu, sebagaimana yang antara lain kemukakan
dalam konsideransnya, adalah: sistem merit itu merupakan langkah ke arah moral reform.
Reform kepegawaian dengan demikian dipandang bukanlah sekedar seleksi dan ujian-ujian bagi
calon pegawai, namun terutama merupakan koreksi terhadap korupsi di dalam kehidupan politik.
Oleh seorang pendukung undang-undang tersebut, sistem rotasi jabatan dikatakan “telah
menyalahgunakan kepercayaan rakyat dengan menggantikannya menjadi party spoils, yang
menghancurkan kehormatan diri pegawai, menghancurkan pula berfungsinya partai sebagai
sarana demokrasi, melacurkan pemilu sehingga menjadi perjuangan yang serakah bagi
keuntungan pribadi, dan mendegradasi watak nasional dengan cara merendahkan standar dan
suasana moral negara” (Leonard D. White, 1958).

Namun mereka yang ingin mempertahankan sistem spoil tidak pula kurang alasannya. Seorang
pendukung sistem spoil yang bernama William Martin Dickson, pada tahun 1882
mengemukakan sebagai berikut: “Dengan sistem rotasi yang masuk akal, maka setiap warga
yang mempunyai aspirasi politik dan pengalaman, serta yang sudah mencapai usia pertengahan,
akan dapat berharap untuk meningkatkan harkat keluarganya dengan kehormatan yang diberikan
oleh pemerintah dalam bentuk menduduki jabatan. Prospek ini merupakan motif untuk bekerja
baik. Ini merupakan kehormatan (peerage) yang diberikan oleh republik, tidak kepada suatu
kelas yang khusus, akan tetapi kepada setiap warga yang mengabdi kepadanya” (Leonard D.
White, 1954). Mereka selanjutnya mengemuka-kan, jika sistem merit benar-benar dilaksanakan,
maka jabatan-jabatan pemerintahan akan dikuasai dan hanya menjadi milik kelompok warga
tertentu. Alasan tentang terjadinya korupsi sebagai akibat sistem spoil tidaklah tepat, oleh karena
korupsi itu pada umumnya hanya merupakan ekses. Dengan demikian jika benar terdapat
14
penyalahgunaan dalam pelaksanaan rotasi jabatan, maka koreksinya tidaklah harus dengan
penghapusan sistem rotasi itu sendiri. Sebab penggantian pejabat-pejabat setelah
diselenggarakan pemilihan umum, bagaimanapun juga merupakan satu-satunya sistem
personalia yang sesuai dengan lembaga demokrasi.

Apabila korupsi itu bersifat inherent dalam rotation in office, maka demokrasi itu tentunya juga
korup, padahal rakyat Amerika sudah sepakat menerima demokrasi itu sebagai nilai tertinggi
yang melandasi nilai kehidupan kenegaraannya. Orang-orang yang menerima sistem merit
dengan demikian adalah anti demokrasi, merupakan orang-orang yang berusaha menggoyahkan
sendi etik yang paling utama dari negara dan masyarakat Amerika.

Dalam perdebatan yang seru tersebut, di mana mereka yang menginginkan dilaksanakannya
sistem merit berhasil dipojokkan dengan tuduhan sebagai orang-orang yang anti demokrasi,
beruntung ada seorang dewa penolong yang bernama Woodrow Wilson, seorang mahaguru
dalam Ilmu Politik. Dengan argumen-argumen ilmiahnya, Woodrow Wilson berhasil
mempertahankan pandangan, bahwa reformasi kepegawaian dengan menerapkan sistem merit,
adalah tetap sesuai dengan demokrasi sebagai nilai kebajikan sosial tertinggi di Amerika Serikat.

Woodrow Wilson menarik perbedaan antara politics dengan administration. Demokrasi sebagai
sistem politik adalah masuk lingkup politik, berkaitan dengan politik dan tidak berkaitan dengan
administrasi. Administrasi adalah ilmu, yang prinsip-prinsipnya dapat diajarkan dan diterapkan
pada setiap rezim, baik rezim yang demokratis maupun rezim-rezim yang lain. Administrasi itu
merupakan science, profession, teknik, yang secara politis adalah netral. Upaya untuk
membebaskan pegawai-pegawai pemerintah dari politik, dengan demikian bukan sikap anti
demokrasi.

Pandangan dari Woodrow Wilson ini dikemukakan pada waktu yang tepat, yaitu bersamaan
dengan terjadinya gerakan yang dinamakan scientific management movement. Juga bersamaan
dengan dikembangkannya ajaran dari Max Weber tentang the ideal type bureaucracy. Di
organisasi-organisasi pemerintah, menurut Wilson sudah perlu dilaksanakan cara pendekatan
bisnis dalam hal pengelolaannya (business-like approach to government). Sebab memang
terdapat prinsip-prinsip yang bersamaan pada setiap organisasi, sehingga organisasi-organisasi
pemerintahanpun harus dikelola secara ekonomik dan efisien, dalam rangka mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan oleh the administrative political superiors yang dipilih oleh rakyat
(Leonard D. White, 1958).

Sampai tahun-tahun 1930-1940-an, dikotomi politik dengan administrasi dari Wilson ini
merupakan doktrin di kalangan negara-negara demokrasi yang melaksanakan sistem merit.
Pemahamannya tentang administrasi sebagai suatu science, yang bebas dari Ilmu Politik dan
tidak tergantung kepada variabel-variabel kultural, dan oleh karena itu dapat diajarkan
sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, telah melahirkan sejenis Kameralistik versi Amerika, yaitu Ilmu
Administrasi Publik (Public Administration).

Karena Ilmu Administrasi itu, menurut Wilson, tidak tergantung pada variabel-variabel kultural,
maka orang tidak perlu takut untuk mengimpor sistem administrasi yang diciptakan dan
dikembangkan pada sistem budaya yang berbeda. Oleh karena itu “kita dapat memanfaatkan
administrative skills dari kerajaan Prusia dengan tidak harus mengalami sejarah politik Prusia.”
15
Ketakutan terhadap officialism yang bersifat domineering dan illiberal, menurut pendapatnya
juga tidak beralasan, selama para pegawai itu mempunyai pendidikan yang cukup dan benar-
benar memahami aspirasi-aspirasi dari masyarakatnya.
Dengan memenuhi persyaratan tersebut maka administrasi pemerintahan di Amerika Serikat
pada setiap seginya pastilah sensitif terhadap kepentingan rakyat dan terhadap public opinion.
Jadi perlu korps pegawai yang terdidik dan terlatih, berperilaku baik, mengahayati demokrasi
sebagai nilai sosial tertinggi di Amerika Serikat, mempunyai kehormatan diri sehingga mereka
akan selalu tanggap terhadap kepentingan rakyat dan mampu memecahkan permasalahan-
permasalahan rakyat itu secara profesional.

Dalam hubungannya dengan administrasi yang bebas terhadap nilai-nilai kultural itu memang
ada pendapat dari Woodrow Wilson yang bersifat mendua, karena ia juga mengemukakan
sebagai berikut: “Sebelum kita melaksanakan sistem administrasi yang kita impor dari luar,
maka terlebih dahulu kita harus meng-Amerika-kannya, baik dalam fikiran, dalam prinsip-
prinsip, maupun dalam tujuan. Kita harus terlebih dahulu memahami dan menghayati konstitusi
kita. Juga kita harus selalu waspada akan penyakit birokrasi yang sewaktu-waktu dapat
menghinggapi kita. Hal ini hanya mungkin, jika kita selalu bersyukur dan merasa bahagia karena
dapat menghirup sebanyak-banyaknya udara Amerika yang bebas. Jadi saringlah setiap sistem
asing yang kita impor sesuai dengan konstitusi kita, letakkanlah di atas hangatnya api kritisisme,
dan uapkan gas-gasnya yang asing. Dengan demikian kita akan dapat menjaga diri kita agar
tidak terjerumus dalam arbitrariness dan class spirit. Pegawai negeri (civil service) itu secara
politik bersifat netral dan selalu siap untuk melaksanakan perintah dari setiap political master
yang dipilih oleh rakyat yang berdaulat” (Richard J. Stillman, 1973).

Professional Amateurs dan Professional Generalists

Berbeda halnya dengan cara pendekatan para pemerhati pemerintahan di Eropa daratan dan di
Amerika, para pemerhati pemerintahan di Inggeris memandang pengetahuan-pengetahuan
humanities sebagai pengetahuan-pengetahuan yang paling diperlukan bagi kelas
administratifnya. Kelas administratif tersebut, semenjak lebih dari seabad yang lalu, telah
diartikulasikan sedemikian rupa sehingga hanya dapat diduduki oleh sarjana-sarjana lulusan
Oxford dan Cambridge. Titik berat pendidikan di dua universitas ini adalah ilmu-ilmu
pengetahuan klasik dan humanities. Kelas administratif di Inggeris dengan demikian terdiri dari
para gentlemen yang pengetahuannya bersifat generalis. Mereka seringkali pula diklasifikasikan
sebagai professional amateurs.

Sebaliknya di daratan Eropa, pada tahun-tahun sebelum pecahnya Perang Dunia ke II, terdapat
kecenderungan untuk memperhatikan kembali cara pendekatan Kameralistik dalam sistem
pendidikan bagi mereka yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi
pemerintahan. Dengan demikian orang kembali menganut pendapat, bahwa diperlukan
sehimpunan ilmu tertentu untuk dapat mengelola penyelenggaraan pemerintahan secara efisien
dan efektif. Ilmu-ilmu ini hendaknya diajarkan di universitas-universitas atau lembaga-lembaga
pendidikan tinggi yang lain. Mengenai isi program-program universitas tersebut dapat berbeda-
beda antara negara yang satu dengan negara yang lain; program-program tersebut tentunya juga
berkembang dari waktu ke waktu.

16
Di negeri Belanda misalnya, pada tahun 1920 diciptakan program Indologie yang dilaksanakan
oleh perserikatan dari tiga fakultas pada universitas kerajaan di Leiden, yaitu Fakultas Hukum,
Fakultas Sastra, dan Fakultas Filsafat. Program ini sangat bercorak multidisiplin, oleh karena
Fakultas Hukum di negara tersebut mengajarkan pula pelbagai ilmu pengetahuan sosial (jadi
kurikulumnya jauh lebih luas daripada pendidikan Ilmu Hukum yang diselenggarakan di
Inggeris atau Amerika Serikat). Tujuan program-program Indologie tersebut adalah untuk
mempersiapkan calon-calon pejabat pemerintah Belanda yang akan ditugaskan di Hindia
Belanda.

Berkaitan dengan dibukanya program Indologie tersebut, keluarlah keputusan pemerintah yang
mengatur pendidikan bagi para penyelenggara pemerintahan umum di Hindia Belanda.
Keputusan ini adalah Besluit op de Indische Bestuursopleiding 1922, suatu AMVB (algemeen
maatregel van bestuur) sebagaimana dimuat dalam staatsblad Hindia Belanda 1922 no. 650
(staatsblad Negeri Belanda no. 453).

Berdasarkan AMVB tersebut, maka para pejabat Binnenlands Bestuur mulai dari pangkat
Administratif Ambtenaar, Aspirant Controleur, Controleur, Gewestelijk Secretaris, Assistent
Resident, Resident sampai Gouverneur (dan kemudian juga pejabat-pejabat lain sebagaimana
yang diperinci dalam Besluit op de Bestuursorganisatie, S. 1925 no. 622) haruslah mereka yang
telah lulus ujian-ujian doktoral dari studi Indologie yang diselenggarakan oleh perserikatan dari
fakultas-fakultas tersebut di atas. Dispensasi dari ketentuan ini di negeri Belanda hanya dapat
diberikan oleh raja, sedangkan di Hindia Belanda oleh Gubernur Jenderal setelah mendengarkan
saran–saran dari Raad van Indie (Ph. Kleintjes, 1932).

Persyaratan bagi kelas administratif Belanda ini sifatnya lebih pragmatik dibandingkan dengan
persyaratan bagi kelas administratif di Inggeris. Mereka bukan sekedar professional amateurs
melainkan professional generalists.

Sifat Interdisiplin Ilmu Pemerintahan

Gejala pemerintahan dan permasalahan pemerintahan pada umumnya memang bersifat multi
segi. Oleh karena itu telaahan dan upaya pemecahan masalahnya memerlukan tinjauan yang
bersifat multi segi pula. Inilah yang menjadi alasan mengapa diajarkan sehimpunan ilmu tertentu
yang dipandang langsung berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dari para pejabat pemerintah. Di
samping itu memang diperlukan kearifan yang dapat dikembangkan dengan melalui
pengetahuan-pengetahuan klasikal dan humanities, serta budi pekerti yang baik (ethics) seperti
yang tercermin pada konsep gentleman dari orang Inggeris, atau konsep “kesatria” dari bangsa
kita.

Namun telaahan dan pemecahan masalah pemerintahan itu harus tetap bersifat rasional, sehingga
hampir selalu terdapat alternatif-alternatif yang berbeda-beda, masing-masing dengan pro’s dan
con’s-nya, sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing akan kondisi nyata yang dihadapi.
Kondisi nyata yang mengandung permasalahan tersebut, seperti yang telah dikemukakan,
mengandung latar belakang yang sifatnya multi segi. Pelbagai pengaruh bekerja di dalamnya,
yang berasal dari segi-segi yang sangat berbeda-beda. Segi-segi tersebut misalnya adalah:
17
a. segi historis dan tradisi;
b. segi manusia sebagai makhluk kejiwaan: di dalam pemerintahan akan selalu terkait
manusia-manusia, yang masing-masing dapat membuat reaksi dan keputusan yang
berbeda-beda, manusia yang pada dasarnya mempunyai jiwa yang bebas, oleh karena itu
perilakunya sering tidak dapat diperhitungkan serta tidak pernah dapat dipaksa untuk
mengikuti pola fikiran yang tidak dikehendakinya;
c. segi administrasi;
d. segi politik: iklim politik selalu berpengaruh terhadap pemerintahan; pelaksanaan ide-ide
dan konsep demokrasi di suatu negara misalnya, kadang-kadang berbeda dengan artian
dan perumusannya secara ilmiah; hubungan-hubungan politik di suatu negara juga
menentukan penafsiran terhadap artian kekuasaan pemerintahan, ketertiban umum,
desentralisasi, otonomi, partisipasi masyarakat dan lain-lain;
e. segi ekonomi dan finansial;
f. segi sosial dan kultural;
g. segi ekologi;
h. segi hukum;
i. segi mode; dan lain-lain.
Tinjauan terhadap gejala aneka segi yang berbeda-beda, yang hasilnya dapat saling melingkupi,
saling menguatkan ataupun saling bertentangan, akan membantu kita memahami arti dan makna
gejala tersebut. Kemampuan menelaah seperti itu dimungkinkan, oleh karena Ilmu Pemerintahan
merupakan ilmu yang berwatak interdisiplin. Ini berarti bahwa bahan-bahannya yang mungkin
meliputi bagian-bagian yang penting dari Ilmu Pemerintahan itu, berkaitan dengan disiplin ilmu-
ilmu yang lain. Ilmu Pemerintahan ibarat membentuk titik konsentrasi, yang memadukan
temuan-temuan dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Dalam rangka kepaduan tersebut,
pelbagai cara pendekatan dilakukan oleh Ilmu Pemerintahan, misalnya cara pendekatan yuridis-
administratif, cara pendekatan ilmu perilaku, cara pendekatan ekologik, cara pendekatan
pembuatan kebijaksanaan, cara pendekatan kawasan dan lain-lain.

Ilmu-Ilmu Pemerintahan

Struktur pemerintahan dan kemasyarakatan yang semakin kompleks, juga semakin besar dan
pentingnya peranan pemerintah, baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun di
negara-negara maju, menuntut keberadaan Ilmu Pemerintahan yang semakin mantap. Dengan
perkataan lain: terciptanya Ilmu Pemerintahan yang otonom, berarti ditinggalkannya paradigma
Ilmu Pemerintahan sebagai bagian dari Ilmu Hukum, dan kemudian sebagai bagian dari Ilmu
Politik, sebagaimana yang dianut oleh masyarakat ilmiah sampai sekitar tahun enampuluhan.
Dalam hubungan ini, cara pendekatan interdisiplin dipandang mengandung kelemahan-
kelemahan, oleh karena ilmu yang terbentuk masih terdiri dari unsur-unsur yang terpisah-pisah.
Jadi tidak ada landasan dan dasar-dasar pengetahuan yang sama, dan oleh karena itulah pelbagai
disiplin ilmu tersebut perlu dipertemukan dan dikumpulkan bersama. Sifat otonom Ilmu
Pemerintahan menuntut perubahan cara pendekatan, yaitu menambahkan suatu common ground
pada sifat interdisiplin tersebut. Dengan perkataan lain: Ilmu Pemerintahan merupakan ilmu
pengetahuan yang bersifat interdisiplin, namun yang mempunyai disiplin sendiri. Lahirlah apa
yang dinamakan pendekatan metadisiplin, yang mempersyaratkan adanya common ground,
landasan dan dasar-dasar pengetahuan yang sama.

18
Adapun sumbangan dari disiplin ilmu-ilmu yang lain, yang merupakan hasil spesialisasi dari
ilmu-ilmu tersebut yang meneliti gejala-gejala pemerintahan umum, setelah disesuaikan dan
diintegrasikan berdasarkan common ground dimaksud, disebut Ilmu-Ilmu Pemerintahan. Ilmu-
Ilmu Pemerintahan yang penting misalnya adalah Ilmu Keuangan Negara, Manajemen
Pemerintahan, Hukum Tata Negara dan Tatapemerintahan, Sosiologi Pemerintahan, Politikologi
Pemerintahan
(Bestuurspoliticologie) dan lain-lain.

Ilmu Pemerintahan Terapan (Bestuurskunde)

Di Eropa, semenjak studi tentang ilmu pemerintahan itu dipandang sebagai bagian dari ilmu
hukum, maka ilmu pemerintahan itu memperlihatkan corak normatif yang sangat kuat. Namun
secara berangsur-angsur terjadi pemecahan antara Ilmu Pemerintahan sebagai disiplin empirik
dengan Ilmu Pemerintahan Terapan sebagai ajaran normatif mengenai pemerintahan umum.

Ilmu Pemerintahan Terapan, yang dalam bahasa Belanda dinamakan Bestuurskunde, untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh G.A. van Poelje pada tahun 1942. Tujuannya adalah agar
penyelenggaraan pemerintahan umum itu dapat berlangsung secara efisien dan efektif.
Rosenthal, van Schendelen dan Ringeling mengemukakan, bahwa tujuan Bestuurskunde itu
adalah untuk memikirkan dan kemudian menyusun saran-saran dalam rangka memperbaiki dan
menyempurnakan pelaksanaan pemerintahan umum (Rosenthal, cs, 1987).

Istilah kunde mengandung asumsi, bahwa ilmu pengetahuan (wetenschap) yang menjadi
landasannya telah difahami, dan oleh karena itu siap untuk diterapkan. Dengan demikian
Bestuurskunde itu lebih diorientasikan kepada praktek penyelenggaraan pemerintahan. Ilmu
Pemerintahan Terapan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: Ilmu Pemerintahan Terapan
yang ortodoks dan Ilmu Pemerintahan Terapan yang modern. Yang pertama lazimnya hanya
mampu merumuskan keputusan-keputusan normatif dan perintah-perintah berdasarkan
pengalaman sendiri, intuisi atau akal sehat biasa. Yang kedua, yaitu yang modern, selalu
berupaya melandaskan diri pada fakta-fakta dan pandangan-pandangan yang dihasilkan oleh
Ilmu Pemerintahan dan Ilmu-Ilmu Pemerintahan. Namun kadang-kadang Ilmu Pemerintahan
Terapan itu juga melakukan penelitian empirik sendiri, dengan tujuan agar ilmu terapannya
dapat dilandaskan pada pengetahuan yang melampaui dunia pengalamannya sendiri yang
terbatas.

Ilmu-Ilmu Pemerintahan Sebagai Bagian Ilmu-Ilmu Kenegaraan


(Government Sciences)

Menurut J.S. van de Gevel dan P.J. van de Goor, maka dalam taksonomi ilmu-ilmu
pengetahuan pada dewasa ini terdapat Ilmu-Ilmu Kenegaraan yang terdiri dari: Ilmu-Ilmu
Pemerintahan, Sejarah Politik, Filsafat Politik, Ilmu Hukum Tatanegara, Ilmu Politik dan ajaran
Hubungan-Hubungan Internasional. Selanjutnya Ilmu-Ilmu Kenegaraan tersebut merupakan
bagian dari Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Dengan demikian, maka Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Sosial itu terdiri dari Ilmu-Ilmu Kenegaraan, Sosiologi, Psikologi, Pedagogik, Antropologi
Budaya, Ajaran Organisasi, Ekonomi dan Statistics (J.S. van de Gevel dan P.J. van de Goor,
1989)

19
Identitas Ilmu Pemerintahan

Ilmu Pemerintahan merupakan ilmu dalam arti stelsel pemikiran yang sistematik, jadi bukan
merupakan susunan dalil-dalil yang menguasai gejala-gejala pemerintahan, bukan pula
merupakan keteraturan “hukum-hukum” yang berhasil diidentifikasikan dari gejala-gejala yang
diteliti. Ilmu Pemerintahan memang bukan merupakan ilmu yang sifatnya nomothetik. (Oleh
karena itu) di dalam Ilmu Pemerintahan juga tidak dikenal teori-teori yang universal, juga tidak
dikenal standardisasi penerapan dalam rangka mencapai hasil-hasil yang diharapkan.

Braasz misalnya mengemukakan, bahwa Ilmu Pemerintahan yang empirik itu hanya sedikit
sekali mengenal ikatan-ikatan yang sifatnya teratur antara faktor-faktor nyata yang menjadi
sasaran penyelidikannya. Jadi pada umumnya keteraturan hubungan antara fakta-fakta itu
sifatnya sangat lemah, sedangkan kontinuitas dari saling hubungan tersebut sulit pula dikatakan
dengan pasti (H.A. Braasz, 1976). Sedangkan menurut ‘t Veld, obyek Ilmu Pemerintahan itu
mempunyai sifat berubah, dan hal ini menyebabkan bahwa realitas akan selalu lepas kembali
setelah berhasil ditangkap. Sebab orang-orang atau organisasi-organisasi akan selalu dapat
mengubah perilaku dan reaksi-reaksi mereka terhadap pengaruh-pengaruh pemerintah. Secara
berangsur-angsur misalnya mereka dapat melepaskan diri dari paksaan-paksaan yang tidak
sesuai dengan kehendak mereka. Mereka dapat menghindar, bersembunyi, berputar-putar,
mengemukakan kritik, mengubah perilaku dan pola-pola kelembagaannya. Sedangkan gejala-
gejala yang sama berlaku juga di fihak pemerintah: akumulasi kebijaksanaan, efektivitas
pemerintahan yang menurun, umur yang terbatas sistem-sistem pemerintahan, upaya ke arah
integrasi pada waktu terjadi peningkatan fragmentasi, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut
‘t Veld, maka bidang pemerintahan itu tidak mengenal konstanta-konstanta (R.J. in ‘t Veld,
1982).

Ilmu Pemerintahan dengan demikian tidak dapat sepenuhnya berfikir kausal seperti Ilmu-Ilmu
Pengetahuan Sosial yang lain. Sebab dalam kebanyakan hal, Ilmu Pemerintahan itu harus
berfikir secara teleologik atau final. Seperti dikemukakan oleh Hoogerwerf, maka para pakar
pelbagai Ilmu Pengetahuan Sosial yang empirik itu, dalam sebagian besar peristiwa, berfikir
dalam peristilahan sebab dan akibat mengenai fungsi-fungsi atau motif-motif yang diselidikinya
(berfikir kausal). Sebaliknya para pakar Ilmu Pemerintahan, dalam sebagian besar peristiwa,
akan berfikir dalam peristilahan tujuan-tujuan serta sarana-sarana yang diperlukan untuk
mencapainya (berfikir teleologik atau final, A. Hoogerwerf, 1972).

Hal kedua yang menyangkut identitas Ilmu Pemerintahan adalah seperti yang telah diuraikan
pada paragraf di muka, yaitu bahwa Ilmu Pemerintahan itu pada hakekatnya adalah merupakan
ilmu rangkuman. Ilmu Pemerintahan memanfaatkan Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum,
Sosiologi, Ilmu Antropologi Budaya, dan lain-lain. Ilmu Pemerintahan dengan demikian
merupakan ilmu yang sifatnya eclectic yaitu ilmu yang merangkum unsur-unsur yang terbaik
dan relevan dari ilmu-ilmu yang lain. Identitasnya dengan demikian lebih terletak pada
fungsinya. Pemerintahan merupakan institusi yang menangani aneka problema kemasyarakatan,
problema-problema mana terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Yang menjadi
tujuan adalah terlaksananya pemerintahan yang baik. Sifat ilmu pemerintahan dengan demikian
sangat terarah kepada terapan, dan oleh karena itu Bestuurskunde merupakan bagiannya yang
terpenting.

20
DAFTAR PUSTAKA

Braam, A. van. Leerboek Bestuurskunde: Muiderberg, 1986.


Braam, Geert P.A. Bestuurssociologie: Alphen aan den Rijn/Brussel, 1988.
Braasz, H.A. cs. Inleiding tot de Bestuurswetenschap: Den Haag, 1978.
Braasz, H.A. Methoden van de Bestuurskunde Driebergen, 1976.
Friedrich, Carl. The Continental Tradition of Training Administrators in Law and Jurisprudence, dimuat
dalam The Journal of Modern History, June 1939, dipetik oleh Frederick C. Mosher dalam bukunya
Democracy and the Public Services: London/Toronto, 1968
Gevel, J.S. van de; Goor, P.J. van de. Bestuur en Systeem: Leiden/Antwerpen, 1989.
Hoogerwerf, A. De Beleidstheorie, dimuat dalam buku P.B. Lehning and J.B.D. Simonis Handboek
Beleidswetenschap: Amsterdam, 1987.
Kleintjes, Ph. Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie, deel I: Amsterdam, 1932.
Korsten, A.F.A.; Toonen, Th. A.J. Bestuurskunde, Hoofdfiguren en Kernthema’s: Leiden/Antwerpen, 1988.
Lehning, Percy B; Simonis, J.B.D. (redactie). Handboek Beleidswetenschap: Amsterdam, 1987.
Mosher, Frederick C. Democracy and the Public Services: London/Toronto, 1968.
Poelje, G.A. van. Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde: Alphen aan den Rijn, 1953.
Rosenthal U.; Schendelen, M.P.C.M. van; Ringeling, H.B. Openbaar Bestuur: Alphen aan de Rijn, 1987.
Scholten, G.H. Normen, Feiten, en Mensen, dalam majalah Bestuur, November 1981.
Stillman, Richard J. Woodrow Wilson and the Study of Administration: New York, 1973.
Veld. R.J. in ‘t. Verandering en Bestuur: Nijmegen, 1982.
White, Leonard D. The Jacksonian, A Study of Administrative History: New York, 1954.
White, Leonard D. The Republican Era: New York, 1958

21
3
BAHAN BANGUNAN DALAM NEGERI
DI LUAR INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Temu Ilmiah di atas juga mewariskan bahan bangunan pengajaran Ilmu Pemerintahan dalam negeri di luar
Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang sekarang bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Seperti
telah dikemukakan di atas, jika bahan bangunan warisan Belanda mewakili aliran Eropah kontinental, bahan
bangunan lain terbentuk dari proses pemikiran (Filsafat dan Teori) politik di lingkungan Universitas Gadjah
Mada sejak medio abad yang lalu. Para pembicar a Temu Ilmiah mengidentifikasi bahan bangunan itu sebagai
a. Ilmu Pemerintahan yang terlihat dalam struktur dan proses politik
b. Ilmu Pemerintahan yang terlihat dalam struktur dan proses hukum
c. Ilmu Pemerintahan yang terlihat dalam struktur dan proses kebijakan
d. Ilmu Pemerintahan yang terlihat dalam hubungannya dengan Ilmu Administrasi
e. Ilmu Pemerintahan yang adalah bagian Ilmu Politik

--------------------------------
| PROSES POLITIK |
|--------------------------------|
| FUNGSI INPUT | FUNGSI OUTPUT |
---------------------------|----------------|---------------|
| | STRUKTUR | 1| 2|
| | SUPRA | ILMU POLITIK | CAMPURAN |
| STRUKTUR |------------|----------------|---------------|
| | STRUKTUR | 3| 4|
| | INFRA | CAMPURAN | ILMU PEM’HAN |
------------------------------------------------------------

Gambar 2 Ruang Utama Ilmu Pemerintahan


Dalam Struktur dan Proses Politik

Identifikasi Ilmu Pemerintahan dalam proses dan struktur politik diwakili oleh Prof. Moeljarto
dan Dr Maswadi Rauf. Dalam proses politik, di satu sisi Ilmu
Pemerintahan lebih terlihat dalam fungsi-fungsi output, sementara Ilmu Politik di sisi lain dalam
fungsi-fungsi input hubungan antara struktursupra dengan struktur infra system politik (Gambar
2). Jika pemerintahan dilihat dari sudut proses hukum, seperti dikemukakan oleh para
pembicara Temu Ilmiah dalam hubungannya dengan Ilmu Hukum, maka Ilmu Hukum terlihat
pada proses pembuatan hukum (seleksi nilai, input, das Sollen) dasar (konstitusi) dan organik,
sementara Ilmu Pemerintahan pada aktualisasi nilai-nilainya (aktualisasi nilai, output, das Sein),
Gambar 3.
--------------------------------
| PROSES HUKUM |
|--------------------------------|
| FUNGSI INPUT | FUNGSI OUTPUT |
---------------------------|----------------|---------------|
| | STRUKTUR | 1| 2|
| | DASAR | ILMU HUKUM | CAMPURAN |
| STRUKTUR |------------|----------------|---------------|
| | STRUKTUR | 3| 4|
| | ORGANIK | CAMPURAN | ILMU PEM’HAN |
------------------------------------------------------------

Gambar 3 Ruang Utama Ilmu Pemerintahan


Dalam Struktur dan Proses Hukum

Jika pemerintahan dilihat dari proses dan struktur kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh
pembicara di bidang diklat dan sistem pendidikan, maka terlihat bahwa jika Ilmu Politik bekerja
di hulu (policy making dan policy decision), ruangkerja Ilmu Pemerintahan terletak di hilir, pada
policy implementation, termasuk
22
--------------------------------
| PROSES KEBIJAKAN |
|--------------------------------|
| POLICY MAKING | POLICY IMPL. |
---------------------------|----------------|---------------|
| | | 1| 2|
| | PUSAT | ILMU POLITIK | CAMPURAN |
| TINGKAT |------------|----------------|---------------|
| | | 3| 4|
| | DAERAH | CAMPURAN | ILMU PEM’HAN |
------------------------------------------------------------

Gambar 4 Ruang Utama Ilmu Pemerintahan


Dalam Struktur dan Proses Kebijakan

policy evaluation dan feedback (feedforward). Model ini sekaligus menerangkan hubungan
antara pusat (pembuat kebijakan) dengan daerah (implementor kebijakan).

--------------------------------
| PROSES KENEGARAAN |
|--------------------------------|
| ORG & MANAJEMN | LINI & OP’NAL |
---------------------------|----------------|---------------|
| | | 1| 2|
| | PUSAT | ILMU ADM NEG. | CAMPURAN |
| TINGKAT |------------|----------------|---------------|
| | | 3| 4|
| | DAERAH | CAMPURAN | ILMU PEM’HAN |
------------------------------------------------------------

Gambar 5 Ruang Utama Ilmu Pemerintahan


Dalam Struktur dan Proses Kenegaraan

Bagaimana halnya dengan Ilmu Administrasi Negara? Prof. Pamudji menjawabnya dengan
membedakan fungsi organisasi dan manajemen (kelembagaan, ruangkerja Ilmu Administrasi
Negara), dengan fungsi lini kenegaraan (Ilmu Pemerintahan).

Adapun bahan bangunan pengajaran lain yang terbentuk dari proses pemikiran (Filsafat dan
Teori) politik di lingkungan Universitas Gadjah Mada sejak medio abad yang lalu diwakili oleh
dan terdapat dalam buku Panduan Akademik Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM 2009,
dan www.ip.fisipol.ugm.ac.id, sebagaimana dikutip di bawah ini.

23
4
SEJARAH JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Tulisan ini didasarkan wawancara mendalam dengan Josef Riwu Kaho pada tanggal 30 Juni
2007 sebagai satu-satunya pelaku sejarah jatuh bangunnya JPP di samping konfirmasi dokumen
dengan studi literatur. Ditulis dan diedit oleh Bayu Dardias setelah mendapatkan komentar dan
masukan dari komunitas JPP. Editing terakhir tanggal 19 Juni 2010.

Pengantar

Jurusan Politik dan Pemerintahan adalah jurusan tertua di Indonesia yang berkonsentrasi kepada
kajian tentang dinamika politik dan pemerintahan di Indonesia, yang sama tuanya dengan
sejarah bangsa ini. Cikal bakal Jurusan Politik dan Pemerintahan berasal dari kebutuhan akan
kader untuk mengisi kekosongan personel di Departemen Dalam Negeri, salah satu departemen
yang menopang struktur pemerintahan pada masa revolusi kemerdekaan. Hal ini dipengaruhi
antara lain oleh pindahnya ibukota pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta pada awal tahun
1946. Jurusan Pemerintahan waktu itu merupakan salah satu dari tiga bagian di Akademi Ilmu
Politik selain Jurusan Hubungan Internasional dan Publisiteit (komunikasi).

Sebagai Jurusan tertua, Jurusan Ilmu Pemerintahan mengalami berbagai fase pasang surut pada
masa lalu. Hal ini disebabkan oleh kondisi politik Indonesia yang masih berada dalam tahap
perintisan dan proses penemuan jati diri. Pada awalnya kuatnya tekanan dunia internasional
(baca: Belanda dan sekutunya) menjadi hambatan utama yang dihadapi Indonesia. Namun
akhirnya UGM berhasil didirikan tahun 1949, setahun setelah pemberontakan PKI di Madiun.
Hal ini dilanjutkan oleh tekanan politik dalam negeri yang bermuara pada peristiwa 30
September 1965.
Pergolakan politik turut mempengaruhi perkembangan dunia keilmuan di pendidikan tinggi.
Pada kondisi politik yang tidak menentu sebelum 1967, berpengaruh terhadap cepatnya
perubahan format pada tingkat fakultas dan jurusan. Fisipol UGM baru menemukan format tetap
pada tahun 1955. Tekanan ini menjadikan Jurusan Pemerintahan sempat berubah nama tahun
1958 dan akhirnya didirikan lagi lima tahun kemudian.

Kondisi sejarah tersebut menggambarkan tingginya daya survivalitas dan menunjukkan


pentingnya kajian pemerintahan dalam setiap pergantian rezim tanpa terkecuali. Pasang surut
yang terjadi terhadap kajian tentang ilmu pemerintahan dapat dimaknai sebagai upaya bidang
ilmu ini untuk terus mengembangkan dirinya. Dari sejak awal proses berdirinya sampai dengan
berkembang seperti saat ini, kajian ilmu pemerintahan menunjukkan arah perubahan maju yang
sangat kentara.
Tulisan ini akan mengupas sekilas tentang sejarah JIP yang berdasarkan beberapa pilihan isu
penting yaitu akademik, sistem pendidikan dan personel. Pembagian ini penting karena beberapa
alasan, pertama, perkembangan akademik menjadi ruh dari setiap kajian ilmu yang dipakai
untuk melihat tingkat perkembangannya. Kajian ilmu humaniora yang memberikan perhatian
terhadap proses interaksi masyarakat termasuk pemerintahan mengalami perkembangan yang
signifikan dari masa ke masa. Perkembangan akademik mampu menunjukkan arah kemajuan
baik dalam fase survavilitas maupun dalam masa yang normal. Kedua, sistem pendidikan
memberikan gambaran tentang proses delivery yang diberikan dalam proses pengajaran. Selain
24
itu, sistem pendidikan memuat juga metode pendidikan yang digunakan. Pengamatan terhadap
sistem pendidikan yang diterapkan dapat digunakan sebagai standar dalam melihat sejarah
jurusan. Ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap jurusan selalu mengandalkan individu-
individu civitas academica yang mumpuni untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik. Secara
lebih spesifik, Jurusan Ilmu Pemerintahan mengalami tahap bongkar pasang personel pada tahap
awal survivabilitas. Interaksi dan pola relasi personel di tengah situasi scarcity, perlu
diperhatikan secara serius.

Selain berfokus kepada tiga hal di atas, tulisan ini dibagi berdasarkan periodisasi perkembangan
jurusan bebasis fenomena penting yang terjadi di JPP. Terdapat setidaknya tiga tahapan penting
yaitu Periode Perintis (1949-1962), Gejolak Politik dan fase Perjuangan (1963-1978) dan
Tumbuh, Berkembang (1979-sekarang) dan epilog tentang perubahan nama jurusan. Tulisan ini
akan diakhiri dengan sejarah pengurus jurusan dan perkembangan personel.

Periode Perintis: 1949-1962

Pindahnya pusat pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta tahun 1946 menuntut terpenuhinya


tenaga terdidik untuk mengisi jabatan di hampir semua departemen. Tuntutan ini membuat
pemerintah mendirikan sebuah akademi yang ditujukan guna memenuhi kebutuhan tenaga
birokrasi di Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri dan Departemen Penerangan.
Institusi ini bernama Akademi Ilmu Politik (AIP) yang terdiri dari tiga jurusan yaitu Jurusan
Pemerintahan, Jurusan Hubungan Internasional dan Jurusan Publisiteit. Pada tahap ini dan
beberapa tahun kemudian, belum ada tambahan kata “ilmu” dalam penyebutan jurusan.

Sejak UGM berdiri tahun 1949, Akademi Ilmu Politik digabungkan dengan Fakultas Hukum.
Hal ini menjadikan Fakultas Hukum terdiri dari dua bagian sesuai dengan elemen yang
membentuknya yaitu menjadi Bagian Hukum dan Bagian Sosial dan Politik. Pada saat itu,
pembelajaran belum dilakukan secara sistematis dan terstruktur mengingat kondisi dan psikologi
kemerdekaan. Dilihat dari sisi keilmuan, penggabungan dengan Fakultas Hukum membuat
kajian politik didominasi oleh pendekatan legal formal.

Kembalinya ibukota Indonesia ke Jakarta menjadikan beberapa pengajar di UGM turut hijrah ke
Jakarta dan selanjutnya mendirikan Universitas Indonesia. Fakultas Hukum menjadi salah satu
fakultas yang rencananya akan dipindah ke Jakarta karena kebutuhan tenaga birokrat yang
belum terpenuhi. Namun pada akhirnya banyak pengajar yang tetap memutuskan untuk tinggal
di Yogyakarta dan membangun UGM.

Pada tahun 1951, Fakultas Hukum ditambah dengan bagian baru Ekonomi yang merubah nama
Fakultas Hukum menjadi Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (Fakultas HESP).
Pengelompokan ini dipilih berdasarkan kluster Humaniora. Fakta ini menunjukkan betapa
rapuhnya sistem pendidikan tinggi saat itu yang memaksa penggabungan bidang keilmuan
menjadi fakultas tidak terkonsolidasi menjadi semakin spesifik tetapi justru menjadi semakin
umum. Fakultas HESP memiliki Bagian yang sama dengan bidang keilmuan yang
membentuknya yaitu Bagian Hukum, Bagian Ekonomi dan Bagian Sosial dan Politik. Bagian
Sosial dan Politik terdiri dari Jurusan Pemerintahan, Hubungan Internasional dan Publisiteit.

25
Setelah berjalan selama dua tahun, terdapat penambahan jurusan baru yaitu jurusan Sosiologi
pada tahun 1953 dan Jurusan Sosiatri tahun 1955. Pada tahun yang sama, Fakultas HESP
dipecah kembali sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing yang nyata-nyata cukup sulit
digabungkan dalam satu fakultas. Fakultas HESP berubah menjadi tiga fakultas yaitu Fakultas
Hukum, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sosial dan Politik (Fakultas Sospol). Hal ini adalah
perubahan terakhir yang berada pada tingkatan Fakultas di UGM dan tetap bertahan hingga saat
ini. Oleh karena itu, usia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM memperingati Dies
Natalisnya sejak 1955.

Pada fase awal pendirian dan perkembangan UGM, setiap konsentrasi ilmu terdiri dari Jurusan
dan Seksi. Jurusan membawahi urusan administrasi pendidikan dan pengajaran, sedangkan Seksi
bertanggungjawab untuk mengembangkan ilmu yang menjadi bidang konsentrasinya, sehingga
sebutan untuk Jurusan tidak disertai kata ”ilmu”. Kata ”ilmu” disebutkan dalam Seksi. Sebagai
contoh, penyebutan untuk Pemerintahan terbagi menjadi Jurusan Pemerintahan dan Seksi Ilmu
Pemerintahan, dengan konsentrasi ilmu di Seksi Ilmu Pemerintahan. Pada tahun 1966, Seksi
ditiadakan dan diambil alih di jurusan sehingga setiap konsentrasi ilmu disebut sebagai
”jurusan” dengan menambahkan kata ”ilmu” sehingga perubahan menjadi Jurusan Ilmu
Pemerintahan. Pada tahun yang sama, sistem semester dipergunakan walaupun penilaian masih
menggunakan nilai absolut (angka). Nilai relatif (huruf) baru dipergunakan tahun 1973,
berbarengan dengan pengukuran hasil studi menggunakan sistem indeks yang dikenal dengan
Indeks Prestasi (IP).

Kembali ke tahun 1958, Jurusan Pemerintahan dan Seksi Ilmu Pemerintahan berubah namanya
menjadi Jurusan Usaha Negara dan Seksi Ilmu Usaha Negara. Pada masa tersebut, Jurusan
Pemerintahan beserta Seksi Pemerintahan tidak dikenal di UGM. Perlu dicermati bahwa pada
masa kritis tersebut yang berada di tengah kondisi politik yang serba tidak menentu, mengganti
nama jurusan dan seksi bukan persoalan yang sulit dan lebih berdasarkan pertimbangan praktis.
Jika dicermati lebih teliti, proses tidak menentu ini berlangsung ketika terjadi perombakan
kabinet dan munculnya pemberontakan-pemberontakan.

Hanya bertahan selama dua tahun, Jurusan dan Seksi Ilmu Usaha Negara berubah menjadi
Jurusan dan Seksi Ilmu Administrasi Negara pada tahun 1960. Mengikuti perkembangan praktis
yang terjadi saat itu, Jurusan Administrasi Negara dan Seksi Ilmu Administrasi negara hanya
bertahan selama tiga tahun. Pada tahun 1963, Jurusan dan Seksi Ilmu Administrasi Negara pecah
menjadi Jurusan Administrasi Negara dan Jurusan Pemerintahan serta Seksi Ilmu Administrasi
Negara dan Seksi Ilmu Pemerintahan. Dengan kata lain, Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan
sempat dibubarkan akibat pergantian nama selama lima tahun yaitu tahun 1958 sampai dengan
tahun 1963.

Pada waktu itu sampai dengan sistem Indeks Prestasi diterapkan, sistem perkuliahan tidak
menggunakan sistem semester tetapi menggunakan sistem tingkat yang bebasis pada tahun yaitu
Tingkat I (Propadeuse), Tingkat II (Kandidat), Tingkat III (Bakalorat), Tingkat IV (doktoral).
Pada setiap kelulusan tingkat, mahasiswa memperoleh penghargaan atas tingkat tahun yang
berhasil dilaluinya dengan ijasah setiap tahun. Pada setiap tahun ajaran, mahasiswa juga
diharuskan untuk melakukan pendaftaran ulang. Artinya, ada mahasiswa yang telah lulus tingkat
dua dapat berhenti beberapa tahun untuk melanjutkan ke tingkat berikutnya. Kondisi pendidikan
Indonesia yang belum berkembang seperti saat ini memungkinkan mahasiswa memperoleh
26
pekerjaan tanpa harus melampaui keseluruhan proses pendidikan, banyak diantaranya yang
hanya berhenti pada tingkat pertama. Peringkat kelulusan pada setiap tingkatan waktu itu terbagi
menjadi beberapa kategori dimulai dari yang paling buruk yaitu: Sangat Ragu-Ragu, Agak Ragu-
Ragu, Ragu-ragu, Permufakatan, Tidak Keberatan dan Sama Sekali Tidak Keberatan.

Pada tahun 1973, sistem pendidikan dirubah dan hanya mengenal dua tingkat yaitu Sarjana
Muda (BA) dan Sarjana. Untuk dapat memperoleh Sarjana Muda, mahasiswa diwajibkan
memenuhi 111 SKS, sedangkan untuk dapat menyelesaikan sarjana penuh, mahasiswa harus
menambah lagi dengan 49 SKS.

Gejolak Politik dan Fase Perjuangan: 1963-1978

Pada tahun 1963, Jurusan Pemerintahan dan Seksi Ilmu Pemerintahan mengalami tahap baru
perkembangannya. Pada fase ini yang berlangsung hingga sekarang, Jurusan dan Seksi Ilmu
Pemerintahan mengembangkan tonggak-tonggak disiplin Ilmu Pemerintahan. Pada waktu
tersebut, Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan menerima 72 orang mahasiswa baru yang diajar
oleh dosen-dosen yang beberapa diantaranya adalah Prof. Drs. Sudijono Wachid, Mariun BA,
Drs. M Arifandi Saleh, Kapten Drs. Suwarno, Drs. Harhary, Drs. Soejoto Prodjosoejoto, Drs.
Sugiyono SH, Drs. Uus Soedarsono dan Drs. Josef Riwu Kaho. Namun demikian, fase
perjuangan Jurusan Pemerintahan tampaknya belum berakhir.

Di penghujung kekuasaan Soekarno tersebut, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang
serius ditambah dengan inflasi yang menggila. Kebutuhan pokok menghilang dari pasaran.
Beberapa orang mengisahkan jaman tersebut jaman yang sangat memprihatinkan. Hanya
segelintir orang yang dapat makan nasi, sebagian besar diantaranya terpaksa makan palawija dan
umbi-umbian dengan memakai pakaian yang seadanya. Para staf pengajar tidak terkecuali
merasakan dampak krisis tersebut. Hal ini menyebabkan beberapa staf mengundurkan diri dari
Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan. Pak Suwarno kembali ke Angkatan Darat, sebagaimana
awal karier beliau. Harhary keluar dan berpindah ke Pemda Jawa Timur, Soejoto Prodjosoejoto
ke Pemda, Uus Soedarsono masuk ke Agraria, Drs. M Arifandi Saleh pindah ke Universitas
Cendrawasih dan turut membesarkan universitas tersebut di Papua.

Kesulitan yang dialami Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan masih terus berlangsung. Pada
September 1965 meletuskan pemberontakan PKI. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
merupakan salah satu fakultas di UGM yang paling banyak kehilangan staf pengajar, akibat
keterkaitan dengan PKI. Prof. Drs. Sudijono Wachid, Ketua Jurusan dan Seksi Ilmu
Pemerintahan waktu itu diduga terlibat dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang
merupakan organisasi underbow PKI. Walaupun tidak ditahan sebagai tahanan politik, beliau
dipensiunkan dini dan tidak dapat lagi mengajar di Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan.

Pada tahun 1965 seluruh perkuliahan ditunda selama satu tahun dan baru diselenggarakan
kembali pada bulan Agustus 1966. Sebelum dapat melanjutkan kuliah kembali, mahasiswa harus
melalui proses screening untuk memastikan ketidakterlibatan dalam G30S dan ketidakterlibatan
dalam PKI termasuk organisasi-organisasi yang terkait dengan PKI. Sejak tahun 1966, Dekan
Fisipol dijabat oleh seorang perwira Polisi, AKBP R Soetarjo Kepala Kepolisian di Polda DIY,
sebagai satu-satunya Polisi yang pernah tercatat menjadi Dekan Fisipol UGM.

27
Jurusan dan Seksi Ilmu Pemerintahan merupakan salah satu Jurusan yang harus menanggung
banyak beban dari adanya pergolakan politik dan situasi yang tidak menentu ini. Sejak
perkuliahan dibuka kembali dan diberlakukan sistem semester pada tahun 1967, hanya tinggal
Mariun BA yang menjabat sebagai Ketua Jurusan, Drs. Sugiono, SH yang menjabat sebagai
Ketua Seksi dan Drs. Josef Riwu Kaho sebagai staf.

Pada tahun 1967, Jurusan dan Seksi digabungkan menjadi Jurusan yang mengurusi baik
administrasi maupun akademik. Perbedaannya pada nama jurusan yang terakhir ini tetap ada
kata ilmu sehingga nama jurusan disiplin ilmu pemerintahan menjadi Jurusan Ilmu
Pemerintahan. Drs. Sugiono, SH yang kembali ke jajaran Pemerintah Daerah Provinsi DIY
sehingga menyisakan hanya Mariun BA sebagai Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Drs.
Josef Riwu Kaho sebagai Sekretaris Jurusan. Hal ini berlangsung hingga tahun 1975 ketika ada
rekruitmen baru Sodjuangan Situmorang dan Afan Gaffar. Sodjuangan Situmorang kemudian
pindah ke Departemen Dalam Negeri.

Mekanisme pengajaran di jurusan dilakukan dengan melibatkan dosen-dosen di jurusan lainnya


dan beberapa birokrat untuk mengajar mahasiswa. Ditengah kondisi yang terjepit ini, Jurusan
Ilmu Pemerintahan mampu meluluskan lulusan pertama pada tahun 1970. Lulusan pertama
Jurusan Ilmu Pemerintahan adalah Ismail Ibrahim Indra Putra yang masuk tahun 1963, setelah
JIP buka untuk yang kedua kalinya. Lulusan kedua dan ketiga masing-masing adalah Gunawan,
Raja Intan Yusuf.
Pada saat Fisipol pindah dari Pagelaran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ke Bulaksumur yang
kita tempati saat ini pada tahun 1972, praktis hanya tinggal Mariun, BA, dan Drs. Josef Riwu
Kaho yang menghuni bangunan baru tersebut secara tetap. Di samping keduanya, terdapat
dosen-dosen yang membantu jurusan secara berkala sesuai matakuliah yang diajarkan. Pada saat
itu beberapa matakuliah yang diajarkan antara lain: Pengantar Ilmu Pemerintahan, Pemerintahan
Daerah, Proses dan Teknik Perundang-undangan, Perimbangan Keuangan, Filsafat
Pemerintahan, Pemerintahan Nasional, dan Pemerintahan Desa.

Pada tahun 1978, barbarengan dengan bubarnya BPA Sospol, Jurusan Ilmu Pemerintahan
mendapatkan tiga tambahan dosen. Mereka adalah Miftah Thoha, Ibnu Syamsi dan Suhardiman
Yuwono. Pada perkembangan selanjutnya, Miftah Thoha berpindah ke jurusan Administrasi
Negara.

Tumbuh dan Berkembang 1979-sekarang

Sejak tahun 1979, dapat dikatakan Jurusan Ilmu Pemerintahan tidak lagi mengalami hambatan
dan rintangan seperti periode sebelumnya. Kesulitan yang dihadapi JIP berkaitan dengan
personel yang melanjutkan studi ke beberapa negara. Pada tahap ini, kesulitan tenaga pengajar
dilakukan dengan mekanisme memberikan ruang pada dosen-dosen dari jurusan lain atau
individu yang kompeten untuk membantu proses pengajaran. Hambatan ini terasa betul ketika
JIP baru memiliki beberapa dosen tetap yang sebagian diantaranya harus melanjutkan sekolah ke
beberapa negara. Pada tahun 1979-1982, JIP terpaksa membagi stafnya untuk belajar di luar
negeri dan beberapa diantaranya tetap melanjutkan sekolah di dalam negeri untuk tetap
mempertahankan proses belajar mengajar. Kesulitan berkaitan dengan studi luar negeri staf
belajar berlangsung hingga saat ini. Hal ini lebih dimaknai sebagai proses investasi jurusan
28
terhadap dosen pengajar yang akan memberikan ilmu dan kajian baru yang akan mewarnai
jurusan setelah kembali ke Yogyakarta.

Pada sisi yang lain, JIP mengalami pertumbuhan keilmuan yang cukup spektakuler dalam dua
puluh tahun terakhir. Apabila pada tahap awal pendiriannya Jurusan Pemerintahan masih
menitikberatkan pendekatan legal formal yang dapat dilihat dari banyakknya staf pengajar yang
memiliki latar belakang studi hukum, perkembangan perubahan kurikulum yang semakin lama
menunjukkan arah yang lebih baik dengan beralih ke pendekatan yang lebih komprehensif untuk
mempelajari ilmu pemerintahan. Pendekatan menjadi beragam yang sebagai hasil investasi SDM
ketika bersekolah di luar negeri. Pada awalnya, perubahan kurikulum merupakan proses internal
yang terjadi di JIP dengan memaksimalkan kajian dosen yang telah menyelesaikan studi lanjut.
Artinya, perubahan kurikulum masih merupakan proses tambal sulam terhadap kurikulum yang
telah ada.

Perubahan paling signifikan sepanjang sejarah JIP dilakukan pada tahun 2006 dengan merubah
secara revolusioner matakuliah, metode dan konsentrasi keilmuan. Kurikulum yang diberi nama
Kurikulum JIP 2006 ini telah dipersiapkan selama dua tahun dengan sebuah perdebatan maraton
untuk dapat menciptakan sistem pendidikan dan pengajaran yang jauh lebih terarah dan terpola
sesuai dengan perkembangan kajian politik dan pemerintahan.

Perubahan Nama

Salah satu perubahan paling signifikan lainnya adalah perubahan nama Jurusan Ilmu
Pemerintahan menjadi Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) sesuai SK Rektor
No.53/P/SK/HT/ 2010 tanggal 4 Maret 2010. Hal ini seiring dengan perubahan UGM yang
sedang bertransformasi berkaitan dengan statusnya yang tidak lagi menjadi universitas negeri
sesuai Peraturan Pemerintah tahun 2000. Perubahan regulasi di tingkat nasional memaksa UGM,
sebagai univeristas terbesar dan terbaik di Indonesia, untuk menyesuaikan diri.

Perubahan ini seiring dengan perubahan struktural yang sangat fundamental di JPP. Saat ini JPP
terdiri dari empat bagian yang saling mengisi yaitu bagian yang mengurusi akademik terbagi
menjadi Program Sarjana S1 Politik dan Pemerintahan, Program Pascasarjana S2 yang terdiri
dari tiga konsentrasi: Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Politik Nasional dan HAM dan
Demokrasi dan Program Doktoral S3 Ilmu Politik bekerjasama dengan Jurusan Hubungan
Internasional dan Jurusan Ilmu Komunikasi. Disamping itu, JPP juga memiliki lembaga riset
yang disebut Polgov (Politics and Government). Sebelum berada dalam satu payung JPP,
program S2 dan S3 sebelumnya berada di bawah adminstasi Fakultas dan Sekolah Pascasarjana
UGM. Polgov merupakan gabungan dari Laboratorium Ilmu Pemerintahan dan Divisi Riset dan
Publikasi S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.

Pembagian dua kluster penting yaitu, pendidikan dan pengajaran serta riset didasarkan pada
kesimpulan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari riset, pun sebaliknya. Keduanya adalah
komponen yang saling mengisi dan saling menguatkan satu sama lain. Hasil penelitian lapangan
menjadi bahan penting untuk menjelaskan teori dan konsep yang diajarkan di dalam kelas, dan
teori dan konsep mampu menerjemahkan fenomena politik dan pemerintahan yang terus
berubah.

29
Kurikulum JIP FISIPOL UGM

Pengantar. Perubahan yang mendasar terjadi dalam pengelolaan tata pemerintahan di Indonesia
dan global seiring dengan arus globalisasi dan perubahan politik yang sudah berjalan dalam
beberapa tahun terakhir ini. Pengelolaan tata pemerintahan yang menekankan pada proses dan
interaksi antar actor atau dikenal dengan “governance,” tidak lagi menempatkan pemerintah
sebagai satu-satunya actor tunggal dalam mengurusi sector publik. Ada kebutuhan mendesak
juga untuk memberikan ruang bagi adanya partisipasi masyarakat dan pelibatan pelaku ekonomi
untuk mengelola tata pemerintahan yang ada secara bersama. Tentu saja semuanya mensyaratkan
adanya hubungan yang harmoni dan sinerji antara ketiga actor tersebut agar fungsi-fungsi
ketatapemerintahan (governance) tersebut bisa berjalan dengan baik.

Sebagai lembaga pendidikan tinggi terdepan dan tertua dalam kajian studi Ilmu
Politik dan Pemerintahanh di Indonesia, Jurusan Ilmu Pemerintahan (selanjutnya diisingkat JIP)
Fisipol UGM berusaha merespon perubahan yang ada. Pada tahun 2006, JIP menyusun
kurikulum yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Arah perkembangan kurikulum tersebut
ditentukan dengan memadukan antara kepentingan untuk melakukan pengembangan keilmuan
(academic vision) dan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi lulusan yang dihasilkan agar
sesuai dengan kebutuhan pasar (market signal) sehingga lulusan JIP nantinya akan terserap
dalam dunia kerja yang ada secara kompetitif.

Selain itu pengembangan kurikulum JIP tahun 2006 juga didasarkan atas keseimbangan antara
dimensi keilmuan dengan dimensi praktis; dimensi universal dengan dimensi kontekstual,
dimensi generic dan tematik , dimensi formal dan informal serta komparatif. Harapannya,
lulusan JIP akan memiliki kemampuan analisa yang kuat sekaligus keahlian manajerial dan
praktis yang mumpuni serta mampu berpikir global sekaligus sensitive dengan persoalan-
persoalan local di sekitarnya.

Pengembangan kurikulum tersebut akan ditopang dengan system pembelajaran JIP yang
menekankan pada pola pembelajaran aktif berbasis riset dan system magang. Di mana
mahasiswa akan diajak untuk berpikir rasional, sistematis, dan kritis, serta menjunjung kejujuran
dan kebenaran. Semua dikemas secara inovatif melalui upaya fasilitasi berbagai kegiatan
mahasiswa dalam wadah Laboratorium Ilmu Pemerintahan atau Pol-Gov.

Panduan kurikulum JIP ini akan diawali dengan deskripsi tentang ruang lingkup kajian
pemerintahan. Tahapan selanjutnya akan menjelaskan struktur makro kurikulum beserta uraian
jenis dan kategori mata kuliah. Berikutnya akan diuraikan lebih detail mekanisme pengambilan
MK di setiap semester. Panduan ini akan diakhiri dengan profil dosen dan asisten peneliti di JIP
Fisipol UGM.

Ruang Lingkup Studi Pemerintahan. Dalam sejarah keilmuan, istilah “ilmu pemerintahan”
(science of government atau government science) tidak pernah ditemui sebagai terminologi
maupun sebagai nama lembaga. Padahal penggunaan kata “ilmu” di depan karta pemerintahan
menimbulkan konsekuensi yang luas karena sebagai sebuah ilmu diharuskan memiliki kejelasan
paradigma,approach, dan metode. Penggunaan istilah lain yang meminjam kata ilmu seperti ilmu
pemerintahan juga menimbulkan konsekuensi yang luas pilakarena pemerintahan diposisikan
sebagai common ground yang bisa didekati dengan pendekatan yang interdisipliner.
30
Berpangkal dari hal tersebut di atas, JIP Fisipol UGM mengambil posisi untuk menempatkan
“pemerintahan” bukan sebagai ilmu melainkan sebagai salah satu studi dalam ilmu
politik. Dengan kata lain, dalam taksonomi keilmuan, studi pemerintahan ditempatkan
sebagai bagian dari ilmu politik sehingga studi pemerintahan mengadopsi pendekatan
(approaches) dan metode yang dikembangkan dalam ilmu politik.

Namun demikian, studi pemerintahan bisa dibedakan dengan studi yang lain dalam ilmu politik.
Karena bagian dari ilmu politik yang berintikan pada kajian fenomena kekuasaan maka studi
pemerintahan memusatkan perhatian untuk mengkaji fenomena kekuasaan dalam berbagai
ranah public. Pengkajian kekuasaan dalam ranah public ini sekaligus membedakan kajian
pemerintahan dengan kajian ilmu politik lainnya yang mendalami fenomena kekuasaaan dalam
ranah private. Sedangkan yang membedakan dengan studi hubungan internasional dan
administrasi Negara adalah scope of power dan domain of powers.

Oleh karena itu, secara generic, ada tiga bentuk perbedaan starting point dalam
melakukanpenelaahan fenomena kekuasaan dalam ranah public:
1. Mengawali kajian dari sisi actor yang terlibat, baik penyandang maupun
sasaran kekuasaan. Dari sisi actor, hal ini tidak identik dengan institusi formal
kekuasaan semata-mata melainkan actor-aktor non formal. Kalau dulu
kajiannya hanya pada pemerintah semata (government), maka studi
pemerintahan selanjutnya masuk dalam actor-aktor non pemerintah
2. Mengawali kajian dari sisiinteraksi-interaksi kekuasaan yang terjadi dan
proses-proses yang berlangsung. Hal ini sering disebut dengan governing.
3. Mengawali kajian dari sisi nilai atau norma yang menggerakkan proses dan
interaksi kekuasaan maupun nilai di balik pembentukan institusi/actor. Hal ini
disebut dengan governance

Ketiga perbedaan starting point itu tidak bersifat terpilahkan secara tuntas (mutually exclusive)
melainkan saling bersinggungan dalam sebuah konteks tertentu, local, nasional, dan
internasional.

Selain itu karena studi pemerintahan memfokuskan mempelajari fenomena kekuasaan, actor,
interaksi dan nilai dalam ranah public, maka pemilihan minat studi berdasarkan atas pemilahan
“ruang lingkup dari ranah public” (lihat skema, dalam hal ini Gambar 6):

31
R
A 1
N NEGARA
A
H 2
POLITIK KE-
P PARTAIAN DAN
U PERWAKILAN
B
L
I MASYARAKAT
K 3

Gambar 6 Ranah Publik: Bidang Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan


di Universitas Gadjah Mada (UGM, 2009)

1. Minat studi yang mempelajari proses pemerintahan dalam ranah Negara (state).
Tujuan dari minat studi ini adalah mempelajari pencapaian public goods. Dalam
minat studi ini dipelajari institusi formal penyelenggara kekuasaan, proses
penyelenggaraan dan nilai-normal dalam prose situ. Ciri terpenting dalam ranah
ini adalah dihasilkan kebijakan yang otoritatif oleh institusi pemerintahan
formal dan mempunyai daya paksa. Karena memfokuskan diri dalam kajian
dalam ranah Negara maka sifatnya adalah state-centric
2. Minat studi yang mempelajari proses pemerintahan dalam ranah masyarakat
(society). Tujuan dalam minat studi adalah mempelajari pencapaian collective
goods. Dalam minat studi ini dipelajari institusi non-state, proses governing
non-state, dan nilai-norma. Minat studi lebih bersifat societal-centric
3. Minat studi yang memepelajari insan antara state dan society, yakni
mempelajari proses pemerintahan dalam ranah intermediary. Fokusnya
mempelajari keterkaitan pencapaian public goods, collective goods, bahkan
private goods dalam ranah intermediary tersebut. Sehingga yang di dalamnya
dalam minat studi ini adalah tentang partai politik, pemilu, lembaga perwakilan,
media massa, dan sebagainya.

Sebuah catatan penting adalah, walaupun dipilahkan ke dalam tiga ranah, namun di setiap ranah
itu selalu dikaji melalui tiga starting point: actor/institusi, penyelenggara kekuasaan, interaksi
kekuasaan dan nilai/norma yang diberlakukan. Demikian
informasi dari buku Panduan Akademik JIP Sisipol UGM (2009).

Jika diperhatikan sungguh-sungguh, Gambar 6 di atas tidak lain dan tidak bukan adalah
bangunan Ilmu Politik jua. Seperti diketahui, bangunan Ilmu Politik pada dasarnya merupakan
sebuah system yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu struktursupra (Negara) dan
strukturinfra (rakyat, masyarakat) politik, dan hubungan timbalbalik. antara keduanya.
Hubungan itu ditegaskan melalui Gambar 6 sebagai ruang interface antara dua komponen utama
32
itu: partai politik dan perwakilan. Dalam bahasa Kajian Pemerintahan, struktursupra itu disebut
fihak pemerintah, sedangkan strukturinfra disebut yang-diperintah. Hubungan antara
keduanya disebut pemerintahan.

NEGARA
STRUKTURSUPRA
R ---------->PEMERINTAH-----------
A | proses pemerintahan |
N | dalam ranah Negara |
A | |
H | KEPARTAIAN DAN PERWAKILAN |
------>proses pemerintahan<-----
P | dalam ranah intermediary |
U | |
B | YANG-DIPERINTAH |
L | STRUKTURINFRA |
I -------RAKYAT, MASYARAKAT<------
K proses pemerintahan
dalam ranah masyarakat

Gambar 7 Bangunan Keilmuan Ilmu Politik

33
5
BAHAN BANGUNAN DI LINGKUNGAN IIP (IPDN)

Sementara JIP FISIPOL UGM maju pesat, di lingkungan APDN Malang (1957-1967) dan
Institut Ilmu Pemerintahan sejak berdirinya pada tahun 1967 sampai berubah menjadi Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2004, tidak ada matakuliah bernama Ilmu
Pemerintahan. Selama itu, sebutan Ilmu Pemerintahan sekedar nama jurusan, nama buku, judul
seminar, dan nama institut, bukan nama sebuah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge,
BOK) yang utuh, bulat, berkualitas akademik tertentu, yang digunakan untuk menjawab
tantangan perubahan zaman. Namun demikian usaha pencarian akan jati-diri seperti yang
dilakukan oleh JIP Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2006), atau sebuah BOK
Ilmu Pemerintahan yang mandiri, terus berlangsung melalui berbagai fora akademik, termasuk
Temu Ilmiah tahun 1985 dan kemudian Seminar Nasional 21-22 Oktober 1991 tersebut di atas.

Seminar Nasional 21-22 Oktober itu merupakan sebuah seminar besar. Nyaris semua peserta
dengan tekun mengikuti seminar dari awal sampai akhir hari kedua. Dalam seminar yang
diselenggarakan berdasarkan keputusan Rektor IIP tgl 20 Juli 1991 No. 107 Tahun 1991 dengan
Dr Taliziduhu Ndraha sebagai Ketua Steering Committee dan Ir Inne Juliati Purwantini, MS,
sebagai Ketua Organizing Committee, dibahas tidak kurang dari 12 makalah disajikan oleh 12
orang narasumber, 95 orang peserta utusan pusat dan daerah, dan 47 orang utusan berbagai
perguruan tinggi seluruh Indonesia, dan diliput oleh 12 media cetak nasional. Panitia juga
menyiapkan rekomendasi pentingnya Ikatan Ahli Pemerintahan Indonesia (IAPI) yang kemudian
terbentuk dengan nama Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), membentuk Tim
Formatur IAPI yang terdiri dari 7 orang, yaitu Prof Drs S. Pamudji (ilmuwan), MPA, Warsito
Rasman (pejabat daerah), MA, Drs Soewargono, MA (PTK, IIP), Dr Afan Gaffar (PTN), S.
Silalahi (pejabat pusat, DDN), MA, Drs Ibrahim Gani (alumni IIP), dan Drs M. Mas’oed Said
(PTS), di bantu oleh sebuah secretariat yang diketuai Drs Ryaas Rasyid, MA, dan menyiapkan
draft anggaran dasarnya.

Berbeda dengan Temu Ilmiah yang lebih memusatkan perhatian pada bahan bangunan Ilmu
Pemerintahan yang ada, Seminar menaruh perhatian lebih pada perkembangan dan
pengembangan Ilmu Pemerintahan ke depan. Beberapa highlights seminar diperlihatkan dalam
Tabel 1.

Seperti dikemukakan para pembicara dalam Temu Ilmiah, pengajaran Ilmu Pemerintahan di
APDN, IIP, STPDN dan IPDN, memang padat bahan-ajar, bahkan pada dua lembaga yang
disebut kemudian selain padat bahan-ajar juga padat bahan-latih dan padat bahan-asuh,
padat-kata “pemerintahan,” namun semua bahan itu seperti suku cadang atau bahan
bangunan yang diambil dari berbagai toko, dikumpulkan dan dimasukkan dalam gudang
bernama gagah di atas: APDN, IIP, STPDN, dan IPDN. Di satu sisi tidak diseleksi menurut
sebuah desain konstruksi bangunan (BOK) tertentu, dan di sisi lain tidak dipilih untuk
direkonstruksi menjadi bangunan (BOK) tertentu pula. Tidak seperti yang dilakukan dan
dicontohkan oleh JIP Fisipol UGM (Gambar 6).

Bukan hanya desain yang diperlukan. Tiap BOK harus rajin “check-up,” mengontrol
diri agar tetap pada posisi normal science. Dengan perkataan lain, Ilmu Pemerintahan

34
Tabel 1 Highlight Seminar Nasional 21-22 Oktober 1991

A. PERKEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN


-----------------------------------------------------------------------------------------
POSISI ILMU PEMERINTAHAN | KONDISI ILMU PEMERINTAHAN
--------------------------------------------|---------------------------------------------
NARASUMBER URAIAN | NARASUMBER URAIAN
--------------------------------------------|---------------------------------------------
Afan Gaffar 1 Berparadigma ganda: bagian| Juwono Sudar- Kurikulum ketinggalan zaman
Ilmu Politik dan akrab | sono
dgn Ilmu Administrasi Neg |
| Tim FISIPOL 1 Terasa asing bagi masyarakat
2 Diajarkan melalui jalur | UGM ada persepsi/anggapan bahwa
Pendidikan akademik PTN/ | Ilmu Pemerintahan hanya utk
PTS dan jalur professional| pegawai negeri bahkan Dep
Pada APDN/IIP (waktu itu) | Dalam Negeri saja
|
3 Maasih pada jenjang S-1 | 2 Lulusan bukan pemikir te-
| tapi pelaksana, bahkan robot
|
| Afan Gaffar Ilmu Pemerintahan masih dalam
| krisis identitas
|
| Yarsif Yanu- Lulusan pendidikan Ilmu Peme-
| ar, APDN Bu- rintahan tenggelam dalam ruti-
| kittinggi nisme, bukan pemikir tapi pe-
| laksana operasional
-----------------------------------------------------------------------------------------
B. PENGEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN
-----------------------------------------------------------------------------------------
NARASUMBER | URAIAN | MASALAH
-------------------|------------------------------------|--------------------------------
Juwono Sudarsono | Kurikulum harus dibaharui |
| 1 Wawasan ekonomi, keuangan, bisnis|
| 2 Manajemen Inforamasi |
| 3 Lingkungan |
| 4 Antropologi Budaya |
| |

Afan Gaffar | Peningkatan jenjang pendidikan Ilmu| Bagaimana meningkatkan kualitas


| Pemerintahan ke derajat S-2 dan S-3| bangunan pengetahuan (kajian)
| baik melalui jalur pendidikan aka- | pemerintahan (“anak”) sehingga
| demik, maupun pendidikan profesio- | setara dengan Ilmu Politik
| nal | (“induk”)?
| |
Soewargono | Pemantapan paradigma Ilmu Pemerin- |
| tahan sebagai Bestuurskunde, Bes- |
| tuurswetenschap, dan Bestuurswe- |
| tenschappen, dan serentak dengan |
| itu penyempurnaan metodologi dari |
| pendekatan interdisiplin menuju |
| metadisiplin |
| |
Moerdiono | Membentuk system keilmuan pemerin- |
(alumnus APDN Mlg)| tahan sebagai berikut: |
| |
| ILMU PENYELENGGARAAN NEGARA |
| (Ilmu Pemerintahan dlm arti luas) |
| | |
| | |
| ILMU PEMERINTAHAN |
| (DALAM ARTI SEMPIT) |
| | |
| | |
| STUDI KELEMBAGAAN KEPRESIDENAN |
| |
-----------------------------------------------------------------------------------------

35
jika perlu direkonstruksi. Ritchie Calder (dalam Science in Our Lives,1955)
menyatakan bahwa “discoveries and inventions affected your life.” Menurut teori paradigma
Thomas Kuhn (The Structure of Scientific Revolutions, 1962), ilmu pengetahuan mengalami
pasang surut sepanjang sejarah. Gerak pasang-surut itu bergantung pada kenyataan sejauh
mana ilmu yang bersangkutan mampu berfungsi dalam kondisi yang serba berubah dan
berbeda.

Paradigma Ilmu Administrasi Publik misalnya mengalami perubahan. Pengalaman Tennessee


Valley Authority (TVA, tahun 30an), dan pembangunan Dunia Ketiga pada tahun 50an,
mendorong enfostering bahan bangunan dan rekonstruksi Ilmu Administrasi Publik (Fred. W.
Riggs, ed. 1971 Frontiers of Development Administration, CAG of the ASPA Duke Univ. Press,
Durham). Demikian signifikannya pengalaman TVA dan relevansinya dengan pembangunan
nasional di Dunia Ketiga, sehingga perubahan itu menghasilkan body of knowledge (BOK)
Administrasi Publik baru yang dikenal sebagai Administrasi Pembangunan (Development
Administration).

Ilmu Administrasi Publik kembali mengalami perubahan paradigma, ketika Amerika Serikat
pada akhir tahun 60an berada dalam “the time of turbulence,” dan Public Administration berada
dalam “the time of revolution.” Ilmu Administrasi Publik direkonstruksi, dan terbentuklah The
New Public Administration (Frank Marini, ed. 1971 Toward A New Public Administration The
Minnowbrook Perspective Chandler Publ. Co. New York). Konstruksi Ilmu Administrasi Publik
Baru dibuat di atas anggapan dasar bahwa dikotomi Politik-Administrasi telah mati, dan bahwa
seorang Presiden haruslah seorang berkualitas politisi sekaligus seorang administrator.

Jika turbulences yang menerpa Amerika pada tahun 30an dan 60an mempengaruhi konstruksi
Ilmu Administrasi Publik, dan melahirkan dua body of knowledge (BOK) baru ilmu itu sendiri,
yaitu Development Administration dan The New Public Administration, adakah pengaruh tiga
kali turbulences (1965, 1998, dan 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005) yang dialami
Indonesia terhadap konstruksi ilmu pengetahuan yang relevan di Indonesia? Kalau ada, apa, dan
kalau tidak ada, mengapa? Jika itu diperlukan, bagaimana supaya ada? Atau pertanyaan Ritchie
Calder “How have discoveries and inventions affected your life?” dibalikkan menjadi “How
have our life affected discoveries and inventions?” Dalam hubungan ini yang dipertanyakan
adalah “How far those social, political, and natural turbulences struck Indonesia, encouraging
the reconstruction of bodies of knowledge (BOK) influencing the process of civil and public
policy making?”

Pada pertengahan tahun 60an sebuah “turbulence” politik yang oleh sementara kalangan dicatat
sebagai G30S PKI, menerjang Indonesia. Menjelang akhir tahun 90an, Indonesia kembali berada
dalam “turbulence” politik-ekonomi-sosial dahsyat yang mampu meruntuhkan sebuah rejim
kuat, namun keduanya tidak menimbulkan perubahan konstruksi dan bahan bangunan berbagai
ilmu pengetahuan yang terkait dengan “turbulences” itu. Dari Universitas Indonesia terdengar
suara melalui media cetak bahwa Ilmu Ekonomi telah mati di Indonesia, tetapi hanya sampai di
sana. Universitas Gadjah Mada sebagai “kiblat” Ilmu Pemerintahan sedikit berdesah: “cul-de-
sac,” namun konstruksi dan bahan bangunan Ilmu Pemerintahan tetap terjepit di pojok bangunan
Ilmu Politik dan Ilmu Administrasi Publik yang megah (Ref. “Kuldesak Kajian Pemerintahan,”
Jurnal Transformasi Vol. 1 No. 1 Sept. 2003, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM). Ilmu Hukum
juga menggeliat (Republika, 6 Januari 05) dan Amir Santoso, seorang pakar Ilmu Politik
36
(Kompas, 22 Januari 05) dari UI berpendapat bahwa “memerintah” itu “mengurus,” tetapi hanya
sampai di situ.

Peristiwa tanggal 26 Desember 2004 sampai awal 2005 dapat dikualifikasi sebagai “turbulence”
ketiga yang menimpa Indonesia. Dilihat dari sisi objektif, peristiwa tersebut merupakan
peristiwa alam (natural turbulence) semesta, yang berada di luar ambang batas kemampuan
umat manusia. Manusia hidup di dalamnya dan dikuasai olehnya. Peristiwa itu adalah bagian
fenomena alam yang lebih luas, termasuk wabah penyakit, serangan hama, bahaya banjir, dan
lain sebagainya. Dari sisi subjektif oleh media massa, peristiwa itu disebut bencana dengan
berbagai kualifikasi superlatif, bahkan dikaitkan dengan suatu “kelalaian,” “kesalahan” ataupun
“dosa” manusia. Bencana itu sesungguhnya dapat diantisipasi dan korbannya dapat ditekan
seminimal-minimalnya.

Dalam hubungan itu, harian Kompas tanggal 1 Januari 2005, halaman 6, menurunkan berita
berjudul “Bangsa Yang Hidup Bersama Bahaya:”
Tak ada satupun bangsa di dunia yang ditakdirkan
hidup berdampingan dengan segala macam marabahaya,
kecuali bangsa Indonesia.
Hidup di puncak gunung berapi di Sumatera, Jawa,
Bali, Lombok, Sumbawa dan Kepulauan Maluku.
Bangsa Indonesia juga ditakdirkan hidup di atas tiga
lempeng besar dunia: Lempeng Indo-Australia, Lempeng
Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Kejutan tsunami di ujung Timurlaut Sumatera Minggu
(26/12) pagi, saatnya bangsa Indonesia mulai
mengoreksi diri bagaimana “bersahabat” dengan alam
yang menyimpan kekuatan mahadahsyat.

Dari kenyataan ini sekurang-kurangnya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan. Pertama,
seperti halnya turbulence lainnya, pesan apakah yang dibawa oleh turbulence ini kepada bangsa
Indonesia? Sementara manusia berusaha menguasai alam, kekuatan alam tetap menguasai
manusia. Alam mempunyai kemauan sendiri. Peristiwanya datang pada suatu saat di suatu
tempat yang oleh manusia dipersepsi misterius dan mendadak. Bencana itu sama seperti
kematian, setiap saat pasti datang. Namun, peristiwa alam selalu menunjukkan tanda-tanda
keakanhadirannya. Tanda-tanda itu hanya dapat terbaca melalui proses pembelajaran.

Kedua, sikap apa yang harus diambil dalam menghadapi kenyataan tersebut? Sudah barang tentu
bukan sikap fatalistik, pasrah, ritualistik, tetapi sikap belajar. Semakin manusia belajar, semakin
ia mengenal hukum dan perilaku alam, semakin jelas langkah-langkah yang dapat
ditempuhnya untuk mengurangi seminimal mungkin korban bencana di masa depan.
Semakin antisipatif manusia, semakin berkurang sifat mendadaknya bencana yang datang
menimpa, dan semakin berkurang kepanikan yang ditimbulkannya.

Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya? Apakah makna pesan itu bagi
masyarakat ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, khususnya Ilmu Pemerintahan, bagi
pemerintahan, dan bagi pelaku-pelaku pemerintahan? Di satu fihak fenomena alam tersebut
harus dipelajari oleh semua disiplin ilmu pengetahuan guna mempercepat penyelamatan
37
dan pemulihan korban, dan di fihak lain, setiap disiplin ilmu harus merekonstruksi dirinya
agar berkemampuan dan berkesiapan mengantisipasi peristiwa alam dan bencana sosial di
masa depan dan hubungan timbal-baliknya dengan perilaku manusia.

Bangunan (body-of-knowledge) Ilmu Pemerintahan yang diteliti dan diajarkan melalui kedua
program itu berbeda dengan bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada lembaga-
lembaga pendidikan lain. Bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada lembaga lain
merupakan bangunan yang terbentuk dari pengamatan terhadap fenomena pemerintahan melalui
pendekatan kenegaraan (kekuasaan). Tetapi bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada
kedua program di atas, yang diberi nama Kybernologi, adalah bangunan yang terbentuk dari
pengamatan terhadap fenomena pemerintahan melalui pendekatan kemanusiaan, sesuai dengan
semangat pembaharuan dan tuntutan perubahan zaman ke depan.

Pengubahan pendekatan terhadap fenomena pemerintahan dari pendekatan kekuasaan ke


pendekatan kemanusiaan digerakkan oleh dua alasan utama. Pertama adalah kenyataan bahwa
perilaku pemerintahan yang terbentuk di bawah Ilmu Pemerintahan berpendekatan kekuasaan
terlihat semakin koruptif, dan kedua adalah pelajaran dari sejarah, bahwa konstruksi setiap
ilmu pengetahuan yang digunakan oleh suatu bangsa, baik komponen ontologikal,
epistemologikal, maupun aksiologikal, pada momentum tertentu perlu diperbaharui.
Pembaharuan konstruksi itu didorong oleh suatu peristiwa sejarah (bagi bangsa Indonesia
peristiwa tahun 1965, 1998, dan 2004/2005), atau guna mengantisipasi perubahan besar di
depan.

Dalam hubungan itu Ilmu Pemerintahan (IIP) di lingkungan Institut Ilmu Pemerintahan sejak
lama telah berusaha merekonstruksi dirinya, terutama sejak dekade terakhir, didorong oleh
berbagai “turbulence” di atas. Konstruksi Ilmu Pemerintahan yang diajarkan melalui Program
S2 dan S3 Ilmu Pemerintahan di bawah kerjasama IIP dengan UNPAD, berbeda dengan
konstruksi bahan-ajaran di perguruan tinggi lain. “Turbulences” yang berkali-kali menimpa
Indonesia berpengaruh terhadap proses pemikiran dan konstruksinya. Bangunan (body-of-
knowledge) Ilmu Pemerintahan yang diteliti dan diajarkan melalui kedua program tersebut
berbeda dengan bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan
lain. Bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada lembaga lain merupakan bangunan yang
terbentuk dari pengamatan terhadap fenomena pemerintahan melalui pendekatan kenegaraan
(kekuasaan). Tetapi bangunan Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada kedua program di atas,
yang diberi nama Kybernologi, adalah bangunan yang terbentuk dari pengamatan terhadap
fenomena pemerintahan melalui pendekatan kemanusiaan, sesuai dengan semangat
pembaharuan dan tuntutan perubahan zaman ke depan.

Konstruksi Ilmu Pemerintahan “baru” ini bermula pada manusia sebagai makhluk bergelut
dengan manusia sebagai pelanggan, konsumer, korban, dan mangsa pemerintahan, dan berakhir
pada upaya melindungi, memulihkan, dan mengembalikan manusia pada posisinya semula
sebagai makhluk ciptaan Allah, berbeda dengan konstruksi Ilmu Pemerintahan (paradigma lama,
Ilmu Untuk Memerintah) yang bermula pada negara dan berakhir pada perintah. Ilmu
Pemerintahan dengan konstruksi baru tersebut diberi nama Kybernologi, diluncurkan di IIP
pada tanggal 22 Mei 2003. Nama ini berasal dari Greek kybernān artinya mengemudi sama
seperti Inggeris to steer, dan Belanda besturen, kata asal Bestuurswetenschap. Dilihat dari sudut

38
bahasa, Kybernologi sama dengan Bestruurskunde atau Bestuurswetenschap. Dilihat dari
perspektif ini, Kybernologi adalah Ilmu Pemerintahan Baru.

6
SEJARAH KYBERNOLOGI

Lebih duaratus tahun yang lalu, van de Spiegel menyatakan bahwa Regeerkunde adalah
ilmupengetahuan yang menuntun kehidupan bersama manusia dalam usahanya mengejar
kebahagiaan sebesar-besarnya dunia dan akhirat (lahir-batin) tanpa merugikan orang lain secara
tidak sah. Lepas dari persoalan apakah bahan-ajar yang ditempatkan di dalam pengajaran Ilmu
Politik di Indonesia, Bestuurskunde atau bahan-ajar lain, juga lepas dari pertanyaan sejauh mana
bahan-ajar mempengaruhi pola perilaku peserta didik yang diajar, perilaku pemerintahan
semakin berorientasi pada kepentingan kekuasaan, ketimbang kebutuhan warga
masyarakat sebagai manusia, penduduk, konstituen, terjanji, pelanggan, korban, dan
mangsa.

Temu Ilmiah dan berbagai seminar berkesimpulan bahwa pengetahuan pemerintahan itu ada,
berkualitas ilmu, seperti yang dinyatakan oleh Bayu Surianingrat dalam Mengenal Ilmu
Pemerintahan (1980), Prof. Drs Soewargono, MA, dalam Kompendium Keberadaan Institut
Ilmu Pemerintahan (1987) dan State-of-the-Art Ilmu7 Pemerintahan (1993), dan oleh sebab itu,
suatu program magister Ilmu Pemerintahan layak dibuka, demikian Dr Afan Gaffar Ketua
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM dalam seminar Posisi di atas.

Dengan berbekal sepucuk surat dari Rektor IIP Dr M. Ryaas Rasyid, MA, pada suatu hari di
bulan April 1996, tanpa konfirmasi terlebih dahulu, saya menaiki tangga rektorat UNPAD
Bandung, menghadap Rektor UNPAD waktu itu, Prof. Dr H. Maman P. Rukmana, seorang
berperawakan sedang dan amat ramah. Dalam tempo sepuluh menit pembicaraan selesai dan
kami berjabat tangan. Pada tgl 25 Mei 1996 bertepatan dengan HUT IIP, Piagam Kerjasama
antara IIP dengan UNPAD tentang penyelenggaraan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang
Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan, ditandatangani di Jakarta, disaksikan oleh Kepala
Badan Diklat Departemen Dalam Negeri. Kerjasama itu pada tgl 25 Maret 2000 diperluas
dengan Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Pemerintahan.

39
BELANDA INDONESIA
| |
| |
1796 |
L.P. van de Spiegel |
REGEERKUNDE |
“is de Wetenschap om eene Burger- |
maatschappij te leiden, ter verk- |
rijging van het grootste Geluk, |
waar voor dezelve vatbaar is, |
zonder onwettige benadeeling van |
andere.” | |
| awal abad ke-20 dimasukkan (di-
1942 letakkan) ke dalam (di bawah)
G.A. van Poelje -----------------------> Ilmu Politik ---> perilaku pe-
BESTUURSKUNDE merintahan semakin berorientasi
| pada kepentingan kekuasaan
| |
| |
| GERAKAN PEMBAHARUAN
| ILMU PEMERINTAHAN
| 1980-2000
| |
| |
|<----ke 1796---- RENAISSANCE! <---mendorong----|
| | |
| | |
| KYBERNOLOGI STUDI (KAJIAN)
|--- 8/5/2000---> BAGIAN PEMERINTAHAN
| ILMU SOSIAL BAGIAN ILMU POLITIK
| (Mazhab Ketiga) (Mazhab Kedua, Gambar 6)
| | |
| | |
BESTUURSWETENSCHAP pemerintahan: pemerintahan:
BESTUURSWETENSCHAPPEN interaksi antar hubungan antara struktursupra
(Mazhab Pertama) tiga subkultur (pemerintah dalam arti luas)
| masyarakat dengan strukturinfra
| (yang-diperintah)
pemerintahan:
lihat Rosenthal dan Brasz
dalam Soewargono di atas

Gambar 8 Tiga Mazhab Ilmu Pemerintahan

Berdasarkan Rapat Komisi I Senat UNPAD (1996), UNPAD meletakkan Ilmu Pemerintahan
di dalam Ilmu-Ilmu Sosial, tidak di dalam Ilmu Politik. Apapun latarbelakang penempatan
atau penyebutan program Magister dan Doktor Ilmu Pemerintahan itu di dalam Ilmu-Ilmu Sosial
oleh UNPAD, hal itu sejalan dengan kerangka pemikiran van de Spiegel di atas. Maka ketika
suatu saat sekilas teringat kuliah Drs Lukas Hutabarat, guru saya di KDC Medan (angkatan V,
1958) tentang Regeerkunde yang dipelopori oleh van de Spiegel dan kemudian Bestuurskunde
oleh van Poelje, saya memekik eureka! Melalui renaissance ini saya menemukan dan
membentuk konsep Kybernologi dari bahasa Latin kybern (kybernan, Belanda besturen,
Inggris govern), pada tgl 8 Mei 2000. Dalam hubungan ini saya berhutang budi kepada rekan
saya Moh. Ernan Arno Amsari, yang memberikan saya ilham melalui salah satu sesi mata kuliah
Metodologi Ilmu Pemerintahan pada tahun 1996. Jadi dari sudut bahasa, Kybernologi adalah
Bestuurkunde dalam bahasa Latin (Greek). Rekonstruksi bangunan ilmupengetahuan
pemerintahan (body-of-knowledge, BOK) bernama Kybernologi (Science of Governance)
itu secara bertahap, terus berlangsung sampai sekarang, sebagaimana dapat dibaca dalam
buku-buku seri Kybernologi (daftar terlampir). Pohon (science tree of) Kybernologi lahir pada
tgl 23 September 2002, Mars Kybernologi tercipta tgl 19 Oktober 2002, Roda Kemudi Kapal
sebagai lambang Kybernologi dibuat tgl 17 Desember 2002, buku Kybernologi seri pertama
40
diluncurkan tgl 22 Mei 2003 oleh IIP. Komunitas Kybernologi Indonesia (KKI) dideklarasikan
di Jakarta tgl 26 Mei 2004, dan pengurus Pusat KKI periode 2004-2007 dilantik oleh Dewan
Pendiri pada tgl 8 Juli 2004. Berdasarkan Akte Notaris Rr Idayu Kartika, SH, tgl 23 Desember
2006 No.01 sebagaimana disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-
1318.HT.01.02. Tahun 2007 tgl 20 April 2007, berdiri Yayasan Kybernologi Indonesia. Kode
Etik Profesional Kybernologi ditetapkan pada tgl 11 Desember 2009 dalam Upacara HUT ke-3
YKI bertempat di Auditorium BKKBN Pusat Jakarta Timur. Pada tgl 12 Oktober 2010, didahului
dengan pernyataan perubahan nama KKI menjadi Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI),
Sekretaris Jenderal Kemendagri atas nama Menteri Dalam Negeri mengukuhkan Pengurus Pusat
MKI untuk periode 2010 sampai pada waktu yang akan ditetapkan kemudian setelah Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru, disahkan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya. Ketua Umum Pengurus Pusat MKI adalah Rektor IPDN Prof. Dr Drs H. I Nyoman
Sumaryadi, MSi.

Berdasarkan silsilah di atas, dewasa ini ada tiga mazhab Ilmu Pemerintahan. Mazhab pertama
terdapat di dunia Barat, khususnya di negeri Belanda dengan nama Bestuurswetenshap dan
Bestuurswetenschappen, akrab dengan Ilmu Administrasi Publik. Mazhab kedua adalah Ilmu
Pemerintahan sebagai bagian Ilmu-Ilmu Politik dan nama jurusan di lingkungan FISIPOL,
dengan matakuliah Kajian (Studi) Pemerintahan, dengan Universitas Gadjah Mada sebagai
kiblatnya. Mazhab ketiga adalah Ilmu Pemerintahan berBOK Kybernologi, yang juga disebut
The Science of Governance, bagian Ilmu-Ilmu Sosial.

Seperti telah dikemukakan di atas, Kerjasama antara IIP dengan UNPAD tentang
penyelenggaraan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu
Pemerintahan, pada tgl 25 Maret 2000 diperluas dengan Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial
Konsentrasi Ilmu Pemerintahan. Jelaslah, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan dalam Program
S2 dan S3 kerjasama IIP-UNPAD di atas adalah Ilmu Pemerintahan sebagai bagian Ilmu-Ilmu
Sosial, bukan bagian Ilmu-Ilmu Politik, dan diberi nama Kybernologi. Drs Lukas Hutabarat,
dosen KDC Medan (angkatan V, 1958) mengajarkan Regeerkunde yang dipelopori oleh van de
Spiegel dan kemudian Bestuurskunde oleh van Poelje. Melalui renaissance ke 1796 tersebut
(Gambar 8) ditemukan dan terbentuk konsep Kybernologi dari bahasa Latin kybern
(kybernan, Belanda besturen, Inggris govern), pada tgl 8 Mei 2000. Jadi dari sudut bahasa,
Kybernologi adalah Bestuurkunde dalam bahasa Latin (Greek). Adapun bangunan
ilmupengetahuan pemerintahan (body-of-knowledge, BOK) bernama Kybernologi (Science of
Governance) itu direkonstruksi secara bertahap, sampai sekarang, sebagaimana dapat dibaca
dalam buku-buku seri Kybernologi, khususnya Bab III Kybernologi (Se)Buah Renaissance
Pemerintahan (2010).

Dengan demikian, sejauh ini terdapat tiga mazhab


1. Mazhab pertama bernama Bestuurskunde, Bestuurswetenschap dan
Bestuurswetenschappen dengan BOK yang akrab dengan ilmu-ilmu lain seperti
Ilmu Administrasi Publik
2. Mazhab kedua bernama Kajian Pemerintahan di dalam BOK Ilmu Politik
3. Mazhab ketiga dengan BOK bernama Kybernologi yang akrab dengan Ilmu-
Ilmu Sosial

41
Persoalannya sekarang ialah, mazhab yang mana yang dipilih yang pembelajarannya
diprogramkan menjadi program pembelajaran Ilmupengetahuan Pemerintahan di IPDN?
Berdasarkan pertimbangan:
1. Diperlukan Ilmu Pemerintahan dengan BOK Kybernologi sebagai kekuatan
akademik berorientasi manusia dan lingkungannya, pengimbang dan referensi
bagi Ilmu Pemerintahan dengan BOK Ilmu-Ilmu Politik berorientasi
kekuasaan
2. Kybernologi telah teruji sebagai BOK berderajat akademik Magister (sejak
1996) dan Doktor (sejak 2000) di bidang Ilmu-Ilmu Sosial
3. Kybernologi adalah produk akademik yang diluncurkan oleh IIP (sekarang
IPDN) pada tgl 22 Mei 2003)
4. Pada tgl 12 Oktober 2010, didahului dengan pernyataan perubahan nama KKI
menjadi Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI), Sekretaris Jenderal
Kemendagri atas nama Menteri Dalam Negeri mengukuhkan Pengurus Pusat
Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI) untuk periode 2010 sampai pada
waktu yang akan ditetapkan kemudian
5. Direktur Program Pascasarjana IPDN Prof. Dr Tjahya Supriatna, SU dalam
makalah institusional Seminar Program Pengembangan Program Studi Doktor
Ilmu Pemerintahan dan Profesi Kepamongprajaan Pascasarjana IPDN tgl 29
Desember 2010, di Jakarta, mencantumkan Ilmu Pemerintahan (Kybernologi)
sebagai bahan-ajaran
maka tiada pilihan lain, Ilmupengetahuan Pemerintahan yang dijadikan bahan
pembelajaran pada IPDN adalah Ilmupengetahuan Pemerintahan dengan BOK
Kybernologi.

Persoalan selanjutnya ialah, BOK Kybernologi yang hendak dijadikan pegangan bagi usaha
mengidentifikasi mata kurikulum yang dibutuhkan oleh IPDN agar kinerja lulusannya
berkualitas good (good governance) seperti apa? Bagaimanakah BOK yang disebut
Kybernologi itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, diuraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan pemerintahan, baru kemudian Ilmu Pemerintahan berBOK Kybernologi.

Dengan pendekatan metadisiplin tertentu (yang kemudian merupakan bagian Metodologi Ilmu
Pemerintahan) terlihat bahwa setiap masyarakat adalah sebuah satuan kultur. Ia digerakkan
oleh tiga subkultur, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan
subkultur sosial (SKS). SKS berkualitas tiga, konstituen, terjanji, dan pelanggan. Interaksi
antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance). Di mana ada masyarakat, di situ
terdapat pemerintahan. Pemerintah hanya salah satu di antara tiga pemeran atau pelaku
pemerintahan (Gambar 9). Pelaku lainnya adalah pelaku ekonomi dan masyarakat pelanggan.
Fenomena masyarakat dan pemerintahan merupakan objek materia bagi semua cabang
ilmupengetahuan sosial, termasuk Kybernologi, sementara sisi manusia pada fenomena itu
merupakan objek forma Kybernologi, yang membedakannya dengan cabang-cabang ilmu
pengetahuan lainnya (Lihat Bab I Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010). Pemerintahan
(governance) didefinisikan sebagai proses interaksi antar tiga subkultur masyarakat untuk
mencapai kemajuan hidup berkelanjutan (Gambar 9). Proses interaksi itu terdiri dari enam
rute yang bergerak terus-menerus. Tanpa salah satu rute itu, pemerintahan tidak terjadi.
Keseluruhan rute itu menunjukkan kualitas pemerintahan dengan enam rute sebagai dimensi-

42
dimensinya. Perlu dikemukakan bahwa urut-urutan rute itu tergantung, bisa dimulai dari mana
saja.

--------------------------------------------------------------------------------
| |
| kebijakan,janji vote,trust,hope monev kinerja |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | |
| | 2 | | hormatan | | 5 | |
| SUMBER- | | 1 | DPD | |
| SUMBER | | DPR MEWAKILI | |
| | | | MEWAKILI FIHAK TERJANJI | |
| | | | KONSTITUEN DAN PELANGGAN | |
| berva- | | | | | |
| riasi | | PEMILU | |
| | | | |
| | | | |
| SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR |
| EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------|
| (SKE), PEMAIN (SKK), WASIT (SKS), PENONTON (SKK) |
| | | | |
| | | | |
| pemba- | | | | | |
| ngunan | | | | | |
| | | | | | | |
| | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| 3 nilai jawaban |
| 4 6 |
| |
-----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 9 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS


Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan

Bisa dari pembentukan nilai oleh SKE, dan bisa juga dari pembentukan SKK oleh SKS.
Kualitas Pemerintahan. Jika dimulai dari pembentukan SKK oleh SKS, maka urutan dimensi-
dimensi kualitas pemerintahan, sekaligus ruang-kajian Kybernologi adalah:
1. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu
2. Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan
sumber-sumber
3. Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan
4. Redistribusi nilai kepada SKS oleh SKK (penepatan janji)
5. Monev kinerja SKK oleh SKS
6. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (dari sini kembali ke rute 1)

Pemerintahan (governance) berlangsung untuk membuahkan kinerja pemerintahan,


yang dapat disingkat dan disederhanakan yaitu kehidupan masyarakat yang maju
dan berkelanjutan. Kinerja pemerintahan disebut berkualitas good, jika kehidupan
masyarakat berkelanjutan itu menunjukkan kemajuan yang konsisten, dan sebaliknya bad, jika
menunjukkan gerak melambat (melemah) ketimbang masyarakat yang lain, maju-mundur atau
timbul-tenggelam. Governance yang kinerjanya berkualitas good, disebut good governance.
Kybernologi dapat juga disebut The Science of Governance.

Sistem pemerintahan meliputi enam komponen tersebut, satu dengan yang lain berinteraksi
terus-menerus. Interaksi antar tiga subkultur itu (pemerintahan, governance) menghasilkan
43
kinerja. Jika kinerja interaksi itu ternyata good, maka governance disebut good
governance. Kinerja governance bergantung pada lima faktor:
1. Keselarasan yaitu tingkat ketepatan waktu dan arah tiga subkultur pada tujuan
bersama jangka panjang, sehingga keberhasilan yang satu tidak merusak tetapi
sebaliknya mendukung keberhasilan yang lainnya
2. Keseimbangan yaitu tingkat bargaining power dan keluasan pengambilan
kesempatan berperan yang relatif sama antar tiga subkultur pada suatu saat,
mengingat hukum rantai yang menyatakan bahwa kekuatan sebuah rantai
sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah
3. Keserasian yaitu tingkat empati (empathicability, ethicality) sikap dan
harmoni kinerja tiga subkultur yang berbeda-beda, pada suatu saat
4. Dinamika yaitu tingkat kekuatan, kecepatan dan ketepatan perubahan
(adaptabilitas) hubungan antar subkultur dari kondisi heterostasis ke
homeostasis dan sebaliknya/selanjutnya
5. Keberlanjutan (kelestarian, kesinambungan, keterusberlangsungan),
yaitu tingkat kelancaran proses jangka panjang interaksi antar tiga subkultur
sesuai dengan norma (standar) yang (telah) disepakati bersama sejak awal,
oleh rezim lima tahunan yang berbeda-beda, sebagaimana terlihat pada tiga
subkultur satu dibanding dengan yang lain, dan kondisi interaksi antar tiga
subkultur tersebut menurut rute sebagaimana ditunjukkan oleh angka 1 sd 6
pada Gambar 9. Keberlanjutan yang dimaksud tidak harus oleh rezim yang
sama, sebab justru perubahan lingkungan yang cepat bahkan mendadak
menuntut perubahan rezim!

Dilihat dari Teori Governance, daerah otonom adalah daerah yang kinerja governance-nya
ternyata good. Di antara lima faktor governance di atas, sustainability yang terpenting dan
menjaganya paling rumit, terlebih karena sejauh ini budaya politik Indonesia tidak
mendukungnya. Persoalannya sekarang ialah, bagaimana membangun dan menjaga
keberlanjutan governance?
Mengingat pelayanan kepada manusia adalah pelayanan jangka panjang, maka di antara 5
variabel itu keberlanjutanlah yang terpenting. Keberlanjutan dalam hubungan itu pada gilirannya
bergantung pada:

--KESELARASAN---- BHINNEKA
| | |
|--KESEIMBANGAN---| |
TEORI | | |
-->SIS- >|--KESERASIAN-----|------------>GOVERNANCE--------------->DAERAH OTONOM-------
| TEM | | | | |
| |--DINAMIKA-------| | | |
| | | ----------------------------- dimensi |
| --KEBERLANJUTAN-- | | | | | | 1 MASYARAKAT HUKUM |
| | | | | | | 2 UNIT EKONOMI PUBLIK |
| 1 2 3 4 5 6 3 LINGKUNGAN BUDAYA |
| | | | | | | 4 LEBENSRAUM |
| | | | | | | 5 SUBSISTEM NASIONAL |
| ----------------------------- | |
| | naik-turun |
| | maju-mundur |
| kinerja bernilai good atau bad timbul-tenggelam |
| |
| |
----------------------FEEDBACK<-----------------------EVALUASI<------------------------

Gambar 10 Kerangka Pemikiran Good Governance

1. Pengelolaan feedback proses pemerintahan, sehingga terbentuk sistem yang


44
maju dan keberkelanjutan
2. Pengelolaan konsekuensi politik pembangunan jangka panjang

Evaluasi kinerja governance tidak seperti evaluasi politik yang berorientasi kepentingan rezim
dan masajabatan lima tahunan, melainkan berorientasi pada pencapaian tujuan jangka panjang
20 tahunan sesuai dengan UU 25/04 tentang SPPN dan 17/07 tentang RPJP. Pencapaian tujuan
pembangunan jangka panjang 20 tahun (goal) terdiri dari (20 : 5) = 4 babak (rezim, tiap rezim
mempunyai strategi yang mungkin berbeda) = 4 strategi. Jadi tingkat goodness-nya kinerja
governance bergantung pada ethicality dan strategicality rezim lima tahunan.

Melalui tindakan etik itulah keluar kinerja etik pemerintahan yang pada gilirannya harus
dipertanggungjawabkan oleh fihak penjanji kepada fihak terjanji (pertanggungjawaban etik).
Dalam masyarakat civil (cerdas, madani, dan responsif), pertanggungjawaban etik didahului
dengan pertanyaan fihak terjanji yang wajib dijawab oleh fihak penjanji dengan jawaban yang
benar sehingga dapat difahami, diterima, dan disetujui oleh fihak terjanji. Bilamana jawaban
fihak penjanji dapat disetujui oleh fihak terjanji, maka kinerja penjanji disebut good, dan jika
tidak (Bel. wanprestatie), penjanji wajib menanggung sanksinya yaitu mosi tidak percaya dari
fihak pelanggan (terjanji) dengan segala konsekuensinya. Tetapi masyarakat yang masih
sederhana, pasrah, putusasa, berkesadaran politik rendah dan lemah, tidak berani atau tidak tau
cara beraspirasi, sehingga akhirnya jika tidak diam ibarat api dalam sekam, atau tenang tapi
berbuaya, melakukan tindakan-tindakan negatif yang berbahaya. Sebelum atau begitu situasi
seperti itu terjadi, pemerintah tidak boleh menunggu sampai masyarakat pelanggan yang
bertanya atau marah, melainkan dengan empati yang tinggi cepat mengantisipasi, mendahului,
mengeksplorasi dan mengamatinya. Komunikasi pemerintahan sedemikian itu menunjukkan
daya conducting pemerintahan yang tinggi, salah satu mata-nilai kepamongprajaan utama.
Ilmu yang mempelajari fenomena pemerintahan yang diuraikan di atas dengan menggunakan
metodologi tertentu, itulah yang disebut Ilmu Pemerintahan berBOK Kybernologi dengan
tiga sisi yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Axiologi (selanjutnya lihat Kybernologi dan
Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010), GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan,
2010, dan Kybernologi (Se)Buah Renaissance Pemerintahan, 2010).

Berpegangan pada definisi pemerintahan (Gambar 9) dan definisi Ilmu Pemerintahan di atas,
terdapat enam ruang penelitian dan pembelajaran dengan menggunakan Metodologi Ilmu
Pemerintahan, seperti terlihat pada Tabel 2. Enam ruang itu membentuk sistem kurikulum.
Sistem kurikulum terlihat dari beberapa perspektif.
1. Perspektif strata (stratum 1, 2 atau 3
2. Perspektif jenis pendidikan (akademik, diploma, professional)
3. Perspektif struktur
a. Struktursupra kurikulum (Filsafat Ilmu, Metodologi, Teori Sistem, dan
Kybernologi)
b. Core Curriculum, lihat Tabel 2
c. Strukturinfra kurikulum (muatan lokal dan muatan pendukung)
4. Perspektif institusi
a. Kurikulum universitas/institut
b. Kurikulum fakultas/sekolah tinggi
c. Kurikulum jurusan/prodi
5. Perspektif menurut kompetensi kurikulum (membangun dayapikir, profesi,
45
keterampilan atau job, budipekerti, dan lain-lain)
6. Perspektif waktu (klasifikasi kurikulum menurut urutan per semester
berdasarkan kaitan antar matakurikulum yang bersangkutan, mana yang
didahulukan dan mana yang kemudian)
7. Perspektif bobot (SKS)
8. Perspektif status (wajib atau pilihan)
9. Perspektif perubahan lingkungan
10. Uji dan pembaharuan kurikulum

Tabel 2 Enam Ruang Kebutuhan Kurikula IPDN

-----------------------------------------------------------------------------------------
RUANG-AJAR KONSENTRASI LINTAS KONSENTRASI CORE CURRICULUM
-----------------------------------------------------------------------------------------
1 2 3 4
-----------------------------------------------------------------------------------------

1. Pembentukan SKK oleh SOSIOLOGI PE- SOSIOLOGI POLITIK SOSIOLOGI


SKS mis. pemilu/pemi- MERINTAHAN SOSIOLOGI POLI-
lukada (kontrol SKS TIK PEMERINTAHAN
terhdp SKK di hulu)

2. Penjanjian oleh SKK POLITIK PEME- POLITIK SOSIAL ILMU POLITIK


dalam bentuk kebijak- RINTAHAN
an utk mengendalikan
sumber-daya dan
sumber-bencana

3. Pembentukan nilai MANAJEMEN PE- MANAJEMEN POLITIK ILMU EKONOMI


oleh SKE, di dalamnya MERINTAHAN EKONOMI POLITIK
termasuk pembangunan, POLITIK EKONOMI
dan peran SKK di
dalamnya

4. Redistribusi nilai POLITIK PE- SOSIOLOGI POLITIK ILMU POLITIK


oleh SKK kepada SKS MERINTAHAN MANAJEMEN PEME-
(penepatan janji, RINTAHAN
kontrol SKS terhadap
SKK di tengah, jika
tidak menepati janji,
SKK dinilai
wanprestatie)

5. Monev kinerja SKK SOSIOLOGI PE- MANAJEMEN PEME- SOSIOLOGI


oleh SKS MERINTAHAN RINTAHAN

6. Pertanggungjawaban MANAJEMEN PE- SOSIOLOGI PEME- MANAJEMEN


SKK kepada SKS MERINTAHAN RINTAHAN
(kontrol SKS terha- SOSIOLOGI POLITIK
dap SKK di hilir, POLITIK SOSIAL
dari sini hasilnya
kembali ke rute 1,
pembentukan SKK
oleh SKS, Gambar 9)

--------------------------------------------------------------------------------

Jika ruang pembelajaran itu dilembagakan (lihat Bab V Kybernologi (Se)Buah Renaissance
Pemerintahan 2010), maka IPDN terdiri dari 3 fakultas dengan berbagai jurusan (departments)
atau prodi, seperti Tabel 3.

46
Tabel 3 Tiga Fakultas IPDN

--------------------------------------------------------------------------------
KOMPONEN PEMERINTAHAN FAKULTAS
--------------------------------------------------------------------------------

1. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, SOSIOLOGI PEMERINTAHAN


mis. pemilu/pemilukada (control SKS terhadap
SKK di hulu)

2. Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, POLITIK PEMERINTAHAN


untuk mengendalikan sumber-sumber dengan
seadil-adilnya

3. Pembentukan nilai oleh SKE, di dalamnya MANAJEMEN PEMERINTAHAN


termasuk pembangunan

4. Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS POLITIK PEMERINTAHAN


(penepatan janji, kontrol SKS terhadap SKK
di tengah, jika tidak menepati janji,
SKK dinilai wanprestatie)

5. Monev kinerja SKK oleh SKS SOSIOLOGI PEMERINTAHAN

6. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


(kontrol SKS terhadap SKK di hilir,
dari sini hasilnya kembali ke rute 1,
pembentukan SKK oleh SKS, Gambar 1).

--------------------------------------------------------------------------------

Tabel 3 memperlihatkan dua fakultas yang telah ada di lingkungan IPDN, yaitu Fakultas Politik
Pemerintahan (FPP) dan Fakultas Manajemen Pemerintahan (FMP), dan satu fakultas
usulan. FPP mengungkapkan kaitan antara Kybernologi dengan Ilmu Politik, antara manusia
dengan kekuasaan, sedangkan FMP mempelajari hubungan Kybernologi dengan Ilmu Ekonomi.
Sejak awal, Ilmu Ekonomi jauh lebih akrab dengan Bestuurskunde ketimbang Ilmu Politik,
sebab dua-duanya berangkat dari kebutuhan manusia. Bedanya kemudian ialah, Kybernologi
mempelajari pemenuhan hak dan kebutuhan manusia melalui peran Negara, sementara Ilmu
Ekonomi melalui pasar, kendatipun kemudian antara keduanya terjadi proses dekat-mendekati.
Belajar dari Ilmu Ekonomi, Negara sebagai provider produk-produk yang dibutuhkan oleh
warga masyarakat, baik berupa layanan civil maupun layanan publik, harus mengenal benar-
benar siapa pelanggan dan apa kebutuhan pelanggannya. Bahkan lebih daripada itu, Negara
sebagai fihak penjanji, wajib menepati janjinya kepada warga masyarakat sebagai fihak
terjanji, agar fihak terjanji tidak menjadi korban dan mangsa. Untuk itulah Fakultas Sosiologi
Pemerintahan (FSP) perlu dibuka. Selain itu pembukaan FSP merupakan terobosan agar IPDN
mempelajari governance secara komprehensif, utuh, dan bulat, pada semua derajat
akademiknya, dan dengan demikian lulusannya berkompeten menyelenggarakan pemerintahan
pada semua sisi dan komponennya. Terbitnya tiga buku berturut-turut karya Prof. Dr Drs
H. I Nyoman Sumaryadi, MSi, Prof. Dr Khasan Effendy, MEd, dan Drs JRG Djopari, MA,
tiga orang ilmuwan IPDN, tentang Sosiologi Pemerintahan, merupakan isyarat bahwa saat
pembukaan FSP tersebut sudah tiba.

47
2001110905SDGHalle
2101110803SDGHalle

48

Anda mungkin juga menyukai