Anda di halaman 1dari 123

KATA PENGANTAR

Saya selaku dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Sitem Administrasi Negara
Republik Indonesia (SANKRI) Program Studi Ilmu Administrasi Universitas Negeri
Gorontalo, mengucapakan terima kasih kepada kepada penulis saudara Yakob Noho Nani,
M.Si semoga budaya menulis bagi dosen dapat ditumbuhkan sebagai wujud tanggunjawab Tri
Dharma Perguruan Tinggi.

Buku ini sangat baik karena telah mengulas tentang ilmu Administrasi Negara secara
komprehensif dengan pendekatan analitik terhadap berbagai landasan teori sehingga beberapa
bahan sajian dalam tulisan ini telah melahirkan beberapa model dapat dijadikan leterasi
pengajaran serta menjadi untuk landasan penelitian-penelitan dalam pengembangan ilmu
administrasi negara.

Buku ini disajikan dalam delapan (8) bab yang saling berkaitan dan dilengkapi dengan
instrument dalam bentuk test tertulis untuk melengkapi pemahaman mahasiswa tentang sistem
administrasi negara.

Besar harapan kami kiranya mahasiswa dapat memahami secara mendasar isi buku ini
secara komprehensi karena beberapa materi yang disajikan adalah inti dari ilmu administrasi
itu sendiri. Oleh karena itu saya selaku dosen penanng jawab tidak dapat menyembunyikan
luapan kebahagiaan saya dan sekaligus mengucapkan kepada penulis. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi para teoritisi dan praktisi bidang adminsitrasi negara (public).

Dosen Penanggungjawab
Mata Kuliah Sistem Administrasi NKRI

Ttd

Dr. Rosman Ilato, M.Pd

1
KATA PENGANTAR

Administrasi negara adalah sistem administrasi yang diterapakan dalam menjalankan


penyelenggaraan negara, dan sebagai lokus utama dari ilmu administrasi negara. secara
filosfis negara lahir dari kesepakan-kepakatan untuk membentuk satu kesatuan kerja sama
antara unsur-unsur sehingga terbentuk negara. Pengelolaan negara tidak semudah yang
dibayangkan seperti dalam menjalankan sebuah organisasi bisnis. Meskipun substansi negara
adalah sebuah organisasi akan tetapi penyelenggaran negara sangat kompleks karena
didalamnya terdapat berbagai kepentingan yang berpotensi menimbulkan konflik dalam
penyelenggaraannya.
Adanya konflik dalam pengelolaan negara baik secara vertikal maupun horizontal
merupakan fenomena yang bersifat dinamis dalam dinamika dan interaksi keragaman budaya,
kepercayaan, adat, ekonomi dan idiologi serta berbagai kepentingan terhadap kekuasaan
dalam pengelolaan sebuah negara. Konflik ini tidak dapat dihindarkan dari kemajemukan
yang ada namu memerlukan peran administrasi mewujudkan stabilitas secara
berkesinambungan baik secara ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan.
Kepada negaralah harapan setiap warga negara dipertaruhkan demi tercapainya sebuah
tatanan kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan berkeadilan. Kepercayaan warga negara
yang dimandatkan kepada penyelenggara negara merupakan modal dasar dalam
penyelenggaraan adminsitrasi negara dalam rangka mewujudkan cita-cita dalam
pembentukannya. Oleh karana itu pengelolaan Negara harusnya disandarkan pada prinsip-
prinisp rationalitas yang dapat dipahami secara kolektif dalam keterbukaan sehingga warna
negara dengan mudah memahami tindakan dan perilaku dalam perumusan kebijakan.
Rationalitas memerlukan sebuah keterbukaan, responsibility, dan akuntabilitas tujaun
negara hakikatnya adalah sebagai tujuan bersama yang ditetapkan dalam konstitusi negara.
Dengan demikian maka rationalitas dihadirkan untuk mewujudkan efektifitas dalam
pencapaian tujuan. Disisi lain rationalitas juga dihadirkan untuk medorong penegakan nilai-
nilai etika dalam penyelenggaraan administrasi negara. Rationalitas merupakan panduan
untuk penyelenggaraan sistem administrasi negara dalam mewujudkan tatanan pemerintahn
yang baik. Oleh karena itu diperlukan norma dan asas atau prinsip-prinsip administrasi
kontemporer agar negara dapat menjalankan peran dan fungsinya secara tepat sasaran.
Oleh karena itu pendekatan structural, fungsional dan pendekatan etika dalam
memahami sistem adminsitrasi negara yang baik menjadi landasan utama dalam penulisan
buku ini secara teoritik dan secara komparatif disajikan dengan berbagai fenomena dalam
penyelenggaraan administrasi di Indonesia. Pentingnya prinsip rasionalisasi dalam ilmu
adminsitrasi negara akan disajikan fakta bahwa negara Indonesia dalam bentuk
pemerintahannya menerapkan sistem pemerintahan presidensiil dnegan bentuk negara
kesatuan yang berlandaskan pada konstitusi dan sistem demokrasi pancasila. Nilai-nilai
empiric ini yang kemudian disandingkan dengan perubahan paradigm dalam administrasi
dalam mewujudkan tujuan negara dan pelayanan public.
Prinsip-prinsip rasionalitas dan prinsip-prinsip dasar dalam perubahan paradigm telah
mendorong peran negara untuk dapat melakukan pelayanan public secara bekualitas. Akan
tetapi dalam bahasan ini tersimpul bahwa semakin baik penyelenggaraan sistem administrasi
negara maka akan semakin baik pula negara dapat mencapai tujuan dan pelayanan public itu
sendiri melalui ekologi sistem pemerintahan yang baik (Good Governance).

Dari uraian diatas secara tingkas inti bahasan buku ini adalah tentang sistem
adminsitrasi negara yang terbentuk dari sistem politik, sistem birokrasi dan sistem penegakan
hukum. Sinergitas ketiga sub sistem ini akan menentukan derajat penerapan sistem
adminsitrasi yang baik.

2
Akhirnya kami mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunya
buku ini terutama kepada Bapak Prof. Dr. Syamsu Qamar Badu, M.Pd selaku Rektor UNG,
Bapak Dr. Rosman Ilato, M.SI selaku dosen penanggungjawab mata kuliah tentang Sistem
dministrasi Negara Republik Indonsia pada program studi Ilmu Administrasi dan kepada
Bapak Imbran Hambali, S,Pd, S.E M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bapak
Rustam Tohopi, S.Pd, M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Administrasi Universitas
Negari Gorontaloo.
Dan kepada mahasiswa serta pembaca, semoga buku ini bisa bermanfaat dan untuk
pengembangan ilmu administrasi public kedepan.

Penulis, 2017

Ttd

Yakob Noho Nani M.Si

3
BAB I
RUANG LINGKUP ADMINISTRASI NEGARA

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Pada bab ini mahasiswa dapat memahami tentang pengertian sistem, batasan
tentang administrasi dan pengertian dan unsure-unsur negara. mahasiswa juga diarahkan
untuk memahami substasi administrasi negara sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari
proses kerjasama dalam rangka untuk mencapai tujuan penyelenggaraan negara.

B. Relevansi
Bab ini adalah sebuah materi pembuka sebelum mahasiswa memahami secara
mendalam tetnang substansi dari mata kuliah tentang sistem administrasi negara. Setelah
mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dasar
tetnang sistem administrasi negara agar dapat mengikuti secara seksama tentang bahasan-
bahasan pada materi-materi selanjutnya. .

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat memahami
pengertian tentang sistem, (2) pengertian tentang administrasi, (3) pengertian tentang
negara (4) dapat menyimpulkan pengertaian administrasi negara, dan (5) mahasiswa juga
diharapkan dapat memahami tentang penyelenggaraan administrasi negara sebagai
sebuah sistem.

II. Penyajian Materi


A. Pengertian Sistem
Dari segi Etimologi, kata sistem berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Systema, kata
kerjanya sunita’nai yang berarti menyebabkan berdiri bersama, dan dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan system, yang mempunyai satu pengertian yaitu sehimpunan bagian atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang
tidak terpisahkan. Pengertian sistem seperti disebut dalam Kamus Terbaru Bahasa
Indonesia ( 2008: 599), adalah merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Pengertian tentang sistem juga dikemukakan oleh Pamudji (1981: 4), sistem adalah
suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau
perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan
yang kompleks atau utuh. Sedangkan Atmosudirdjo (1973) mengemukakan bahwa
sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain
menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari
suatu usaha atau urusan.
Dalam memberikan pengertian sistem, terlihat para ahli berpendapat sama bahwa
sistem adalah ... A whole that functions as a whole by virtue of interdependence of its
parts (Sistem adalah suatu kebulatan atau totalitas yang berfungsi secara utuh, disebabkan
adanya saling ketergantungan di antara bagian-bagiannya). Jadi, sistem adalah
sekelompok komponen yang terdiri dari manusia dan/atau bukan manusia (non-human)
yang diorganisir dan diatur sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang
membentuk sistem tersebut dapat bertindak sebagai satu kesatuan dalam mencapai tujuan,
sasaran bersama atau hasil akhir.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem itu mengandung
sinkronisasi dan koordinasi dalam mewujudkan suatu aktifitas tersistem secara utuh

4
dalam proses pencapaian tujuan.
Pendapat senada dikemukakan oleh Robbins (1994), yang menyatakan bahwa
sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling
bergantung yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu kesatuan.
Dikemukakannya bahwa pada setiap sistem dibedakan atau berciri melalui dua kekuatan
yang berbeda, yaitu diferensiasi dan integrasi. Setiap sistem memiliki alur proses
integrasi yang sifatnya timbal balik. Dalam suatu sistem administrasi, integrasi akan
dapat dicapai melalui beberapa perangkat, seperti tingkat hierarki yang di koordinasi,
pengawasan langsung, aturan normatif dan kebijakan.
Untuk itu, setiap sistem membutuhkan diferensiasi dalam upaya mengidentifikasi
subsub bagian atau elemen-elemen dan integrasi untuk memastikan bahwa sistem tidak
pecah menjadi elemen-elemen yang masing-masing terpisah. Lekat dengan pengertian
sistem meskipun terdiri dari bagian-bagian atau sub- subsistem, dalam sistem
administrasi itu sendiri sebenarnya merupakan sub sistem di dalam sistem yang lebih
besar.
Secara lebih luas Lembaga Administrasi Negara (1997) mendefinisikan sistem
sebagai: “suatu totalitas yang terdiri dari subsistem-subsistem dengan atribut-atributnya
yang satu sama lain saling berkaitan, saling ketergantungan satu sama lain, saling
berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi sehingga keseluruhannya merupakan
suatu kebulatan yang utuh serta mempunyai peranan dan tujuan tertentu. Suatu sistem
merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar”.
Dalam perkembangan selanjutnya teori sistem ini telah digunakan sebagai sebuah
pendekatan untuk memahami model penerapan administrasi negara secara komprehensi.
Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Dale (1987) bahwa pendekatan sistem
merupakan cara yang komprehensif untuk menanggulangi suatu masalah, dan suatu cara
merumuskan masalah secara lebih luas serta menyeluruh untuk dapat ditangani secara
profesional. Pendekatan sistem memungkinkan prinsip pengorganisasian yang bersifat
interdisipliner dan terintegrasi serta sinergis dalam upaya memecahkan masalah yang
dihadapi sistem administrasi. Sehubungan dengan hal tersebut Riggs (1996)
mengemukakan bahwa tindakan kesisteman merupakan suatu cara pandang terhadap
realitas empiris berbagai kelompok yang mempunyai komponen bagian-bagian dalam
hubungan yang dinamis.
Jadi, dalam arti yang luas sesuatu dapat disebut sistem apabila:
1. Pada umumnya bersifat terbuka, kalau tidak terbuka ia mati atau mandek.
2. Terdiri dari berbagai unsur, elemen atau bagian terkecil.
3. Elemen-elemen, unsur-unsur atau bagian-bagian yang terbentuk saling tergantung,
pengaruh mempengaruhi, ada interaksi dan interdependensi, dalam arti antara satu
subsistem membutuhkan masukan (input) dari subsistem lain, dan keluaran (output)
dari subsistem tersebut diperlukan sebagai masukan bagi subsistem yang lain lagi
(outcomes), jadi vise- versa.
4. Setiap sistem memiliki kemampuan menyesuaikan diri (adaptation) dengan
lingkungan, melalui mekanisme umpan balik (feedback).
5. Sistem pada dasarnya mempunyai keandalan mengatur dirinya sendiri (self
regulation).
6. Setiap sistem mempunyai tujuan atau sasaran tertentu yang ingin dicapai.
7. Setiap sistem melakukan kegiatan transformasi, mengubah masukan menjadi
keluaran. Oleh karenanya, sistem berfungsi sebagai processor atau transformator.
8. Menyatu secara terpadu menjadi satu kesatuan yang utuh, menjadi suatu totalitas.
Sistem merupakan suatu kebulatan yang utuh menyeluruh (wholism). Sinergik,
interaktif, sigmatik dan bukan penjumlahan dari subsistemnya secara aritmatis.

5
9. Bersifat entropi, tidak bersifat abadi.
10. Memiliki kekuatan mengatur atau regulasi, hierarki, diferensiasi, dan equinefinality;
terbuka sekaligus berbatasan serta berinteraksi dengan lingkungannya.

B. Pengertian Administrasi
Herbert A. Simon (1978) mengemukakan “administration can be defined as the
activities of groups cooperating to accomplish common goals ” (administrasi
didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan kelompok kerja sama untuk mencapai tujuan-
tujuan bersama). Sedangkan menurut Leonard B. White, “administration can be defined
as the activities of group efforts, public or private, civil or military” ( administrasi adalah
suatu proses yang umum ada pada setiap usaha kelompok-kelompok, baik pemerintah
maupun swasta, baik sipil maupun militer, baik dalam ukuran besar maupun kecil).
Menurut Atmosudirjo administrasi (1980) merupakan fenomena sosial, yaitu
perwujudan tertentu di dalam masyarakat modern. Eksistensi administrasi berkaitan
dengan organisasi, sehingga untuk mengetahui adanya administrasi dalam masyarakat,
maka harus terlebih dulu dicari adanya suatu organisasi yang hidup.
The Liang Gie (1978) mengemukakan bahwa administrasi adalah segenap proses
rangkaian kegiatan penataan terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan oleh sekelompok
orang dalam kerja sama mencapai tujuan tertentu. Sondang P. Siagian (1980)
mengemukakan bahwa administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari
keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan
oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dari pengertiannya yang hakiki itu, dapatlah dikenali unsur-unsur atau sub-sub
sistem yang mengakibatkan terjadinya sistem administrasi tersebut, yaitu : manusia,
tujuan, tugas, kerjasama dan sarana.
1) Manusia, Administrasi adalah aktivitas kerjasama kelompok antara dua orang lebih.
Manusia dalam administrasi mencakup mereka yang menentukan dan melaksanakan
tugas pencapaian tujuan. Disatu pihak manusia menentukan tujuan, sebaliknya
rekrutmen manusia-manusianya kemudian dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai
dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
2) Tujuan, disamping dipengaruhi dan mempengaruhi manusianya, tujuan juga
menentukan tugas-tugas apa yang dilaksanakan dan bagaimana kerjasama serta apa
sarananya. Sebaliknya pencapaian tujuan akan dipengaruhi bagaimana pelaksanaan
tugas, kerjasama dan sarananya.
3) Tugas, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tujuan, manusia, kerjasama dan sarana.
4) Kerjasama, Kerjasama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tujuan, manusia, tugas
dan juga sarana-sarananya.
5) Sarana, Sarana mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tujuan, manusia, tujuan dan
kerjasama. Sarana meliputi dana, alat dan perabot kerja, tempat kerja dan lain-lain.
Sistem administrasi dengan sub-sistemnya yang hakiki tersebut dapat
divisualisasikan seperti dalam gambar 1.
gambar 1: sistem Administrasi

6
C. Pengertian Negara
Istilah Negara diterjemahkan dari kata-kata asing “Staat” (bahasa belanda dan
jerman); “state” (bahasa inggris); “Etaat” (bahasa prancis). Justru karna pertumbuhan
stelsel Negara modern dimulai di benua eropa di sekitar abad ke-17,maka sudah pada
tempatnya jika pembahasan ini dimulai dengan penyelidikan asal-usul dan pemakaian
kata-kata asing itu di benua eropa. Istilah “staat” mempunyai sejarah sendiri. istilah itu
mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa-Barat. Anggapan umum yang
diterima adalah bahwa kata “staat” (state. Etat) itu dialihkan dari kata bahasa latin
“status” atau “statum”.
Secara etimologis kata “status” itu dalam bahasa latin klassik adalah suatu istilah
yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap itu. Sejak Cicero (104-43) kata “Status” atau
“Statum” itu lazim diartikan sebagai “Standing” atau “Station” (kedudukan) dan
dihubungkan dengan kedudukakan persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan
dalam istilah “status civitatis” atau “status republicae”. Dari kata latin klassik ini
dialihkan beberapa istilah lainnya disamping istilah “state” atau “staat” seperti istilah
“estate”dalam arti “real estate” atau “personal estate” dan juga “estate” dalam arti dewan
atau perwakilan golongan sosial. dalam arti yang belakangan inilah kata “status” semula
diartikan baru dalam abad ke-16 kata itu dipertalikan dengan kata “Negara”.
Jika praktek mengalihkan kata “state” itu dari kata “status”, maka doktrin
mengenalnya untuk pertama kali dari tulisan Niccolo Machiavelli yang lazim dianggap
sebagai bapak ilmu politik modern (artinya sesudah Aristoteles). Dalam bukunya yang
termashur “The Prince”, Machiavelli memulai kalimat-kalimat pertamanya dengan:
“Semua Negara (“stati”) dan bentuk-bentuk pemerintah yang pernah ada dan yang
sekarang, menguasai manusia adalah atau republic atau kerajaan. Machiavelli-lah yang
pertama-tama memperkenalkan istilah “lo stato” itu dalam kepustakaan ilmu politik.
Munculnya istilah staat atau negara ini kemudian oleh para ahli diartikan dan
beberapa pengertian seperti oleh Kansil (1986) memberikan pengertian negara sebagai
suatu organisasi kekuasaan dari manusia-manusia (masyarakat, rakyat) dan merupakan
alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. Konsep negara sebagai
organisasi kekuasaan ini sebenarnya dikemukakan J.H.A. Logemaan (1948) dalam
bukunya yang berjudul Over De Theorie Van Een Stelling Staadreccht yang menyatakan
bahwa keberadaan negara itu bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan
kepentingan masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.
Selanjutnya pengertian yang cukup lengkap dikemukakan oleh Bierens de Hans
dalam A Hamid S Attamimi (1990), yang mengemukakan bahwa Negara adalah lembaga
manusia; manusialah yang membentuk negara. Manusia yang membentuk negara itu,
merupakan makhluk perorangan (endelwezen) dan merupakan juga makhluk social
(gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan
untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk
berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat
bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk kesatuan yang bulat dan
mewakili sebuah cita (een idee vertegenwoordigt). Sedangkan Van Apeldorn (1981)
menjelaskan pengertian negara dengan menunjuk kepada berbagai gejala yang sebagian
termasuk pada kenyataan, dan sebagian lagi menunjuk pada gejala-gejala hukum.
Dalam perspektif politik, Budiardjo (1986) mengemukakan bahwa negara adalah
organisasi kekuasaan atau integrasi dari kekuasaan politik. Ia adalah organisasi pokok
dari kekuasaan politik. Negara adalah agency atau alat dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Konsep
pengertian negara yang berasal dari Miriam Budiardjo ini jika dikaji lebih jauh, tampak

7
lebih mendekati kenyataan, apabila dilihat dari konteks terbentuknya suatu organisasi
kemasyarakatan yang disebut negara. Alasannya, terbentuknya suatu negara lebih
didasarkan oleh adanya integrasi dari kekuasaan-kekuasaan yang bersifat politik yang
terdapat di dalam masyarakat. Integrasi terjadi dalam upaya dan bertujuan untuk
menertibkan kekuasaan dalam masyarakat.
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu
bentuk kerjasama antara sekelompok orang atai sekelompok kekuasaan yang ada dalam
masyarakat yang mendiami suttu wilayah tertentu, secara bersama-sama mengakui
adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau
beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya. Dengan demikian maka negara
dibentukd dari unsure adanya sekelompok orang (warga negara), pemerintah dan
wilayah.

D. Administrsi negara sebagai sebuah sistem


Administrasi Negara secara konseptual dapat dipahami secara sempit dan juga
dapat dipahami dalam arti yang luas. Dalam arti yang sempit administrasi negara dapat
dimaknasi sebagai bentuk kerjasama oleh unsur-unsur negara dalam mewujudkan tujuan
penyelenggaraan negara. dalam pengertian yang luas administrasi negara adalah seluruh
rangkaian kegiatan yang saling berhubungan dalam menjalankan kebijakan negara untuk
mencapai tujuan bersama. sehubungan dengan pandangan tersebut Leonard D. White
(1958:1) menyebutkan bahwa dalam pengertian yang luas, administrasi negara terdiri atas
seluruh kegiatan pelaksanaan yang bertujuan untuk memenuhi atau mendukung kebijakan
negara “in broadest terms, public administration consists of all those operation having for
their purpose the fulfillment or enforcement of public policy”.
Dimock & Koenig (dalam Drs. Soewarno Handayaningrat, 1986:3), menyatakan
bahwa administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan
politiknya; dalam arti sempit adalah kegiatan departemen dalam melaksanakan
pemerintahan “Public administration is the activity of the state in the exercise of its
political powers; in a narrow sense, the activity of the executive departement in the
conduct of the government”. Sedangkan Pfiffner dan Presthus (1967:7) mendefinisikan
administrasi negara sebagai koordinasi upaya-upaya individu dan kelompok untuk
melaksanakan kebijakan negara. “Public administration may be defined as the
coordination of individual and group efforts to carry out public policy”.
Mengenai sub sistem tugas, seperti disebutkan oleh White, administrasi negara
meliputi keseluruhan kegiatan pelaksanaan dalam pencapaian tujuan tersebut, yang
mencakup semua sektor atau bidang seperti kesehatan, pertanian, pendidikan dan lain-lain
(loc.cit). Sub sistem manusia meliputi seluruh pejabat negara dan pejabat pemerintah, dan
juga masyarakat yang dilibatkan dalam pencapaian tujuan pemerintah, dengan koordinasi
yang baik dan penggunaan sarana kerja yang memadai. Sedangkan sarana mencakup
dana, gedung kantor, kendaraan, perabotan, peralatan dan lainnya. Kerjasama dilakukan
melalui berbagai mekanisme dan cara seperti penetapan kebijakan, rencana, program dan
prosedur yang harus ditaati oleh semua pihak, pertemuan/rapat, briefing dan lain
sebagainya.
Dari beberapa pandangan diatas dapat dinyatakan dimensi dari penyelenggaraan
administrasi negara antara lain : (1) adanya kerja sama, (2) adanya rangkaian kegiatan, (3)
adanya organisasi atau lembaga yang dipercayai untuk menjalankan kegiatan, (4) Adanya
tujuan bersama, (5) adanya instrument pencapaian tujuan. (6) adanya proses
pertanggunjawaban kegiatan.
Akhir-akhir ini muncul adanya sorotan dari para ahli tentang penggunaan istilah
administrasi Negara atau administrasi public. Hal ini disebabkan adanya pergeseran titik

8
tekan dari Administration of Public ke Adminsitrtion by Public. Dalam implementasinya
Administration of Public, negara ditempatkan sebagai agen tunggal dalam menjalankan
fungsi-fungsi kenegaraan atau kepemerintahan. Konsep ini menekankan fungsi
negara/pemerintahan lebih berfokus public service (pelayanan publik) atau disebut
Adminsitration for Public). Sementara Administration by Public menurut Utomo (2008:7)
berorientasi bahwa publik demand are differetianted, dalam arti fungsi negara/pemerintah
hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in
the driver set. Dimana menurut Utomo bahwa determinasi Negara/Pemerintahan tidak
lagi merupakan faktor utama atau sebagi driving forces.
Secara analisis dapat disimpulkan bahwa disatu sisi bahwa negara dilahirkan
untuk mewujudkan tujuan bersama dalam mewujudkan kepentingann umum. Akan tetapi
disisi lain bahwa negara dengan berbagai keterbatasannya maka melakukan mewujudkan
“kepentingan umum” dijalakan berdasarkan aspek tingkat pemenuhan. Sehubungan
dengan hal tersebut maka kepentingan umum dapat dikalasifikasi sebagai kepentingan
umum dengan tingkat pemenuhan yang bersifat absolute dan kepentingan umum dengan
tingkat pemenuhan yang bersifat perioritas.
Kepentingan umum yang bersifat absolute berkaitan dengan stabilitas negara baik
stabilitas territorial maupun stabilitas social. sedangkan kepentingan umum yang
pemenuhaanya berdasarkan skala perioritas adalah pada aspek yang berkaitan dengan
pelaksnaaan pembangunan dan pelayanan public. Pada kedua klasifikasi kepentingan
tersebut maka paradigma “Administration of public” dan “administration by public”,
dapat ditempatkan pada pilihan secara proporsional dalam rangka untuk mewujudkan
sebuah efektifitas.
Sehubungan dengan pendekatan efektifitas dalam pencapaian tujuan maka dapat
disimpulkan bahwa ;
(1) Untuk mewujudkan stabilitas, penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia
maka pendekatan administration of public lebih tepat dengan menempatkan proporsi
peran negara lebih besar dengan asumsi bahwa negara memiliki kekuasaan yang
bersifat monopoli dan memaksa.
(2) Untuk pemenuhan kepentingan umum dalam skala perioritas pemenuhannya maka
pendekatan “administration by public”, lebih tepat diterapkan dengan peran negara
sebagai fasilitator (driving forces) dengan asumsi bahwa asumsi bahwa masyaratakan
sendirilah yang lebih mengetahui tentang apa yang menjadi kebutuhannya.
(3) Kedua pendekatan tersebut akan menggantarkan kita pada pemahaman secara jelas
tentang peran politik dan peran birokrasi.
Bagaimana menjalankan fungsi negara dalam peran politik dan menjalankan
fungsi negara dalam peran birokrasi dalam sistem administrasi negara. Secara operasional
dapat digambarkan bahwa focus utama dari konsep “administration of public”
berorientasi pada fungsi negara dalam peran-peran yang bersifat politis yang
berhubungan dengan upaya mewujudkan stabilitas, sedangkan “adminsitrasi by public”
berhubungan dengan fungsi negara dalam peran-peran yang bersifat administrative
(birokratis) yang berhubungan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa dalam mewujudkan stabilitas, negara memiliki peran tunggal yang bersifat
monopoli dan memaksa sedangkan dalam mewujudkan stabilitas social negara
diharapkan dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator dalam pemenuhan kebutuhan
public. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Keban (2008:4), yang menekankan bahwa
Administrasi Publik sebagai administrasi of public menunjukkan pemerintah berperan
sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator, sedangkan administrasi for
public menunjukkan konteks yang lebih maju dari sebelumnya dimana pemerintaha lebih
berperan dalam mengemban misi pemberian pelayana publik (service provider),

9
dan administrasi by public merupaka suatu konsep yang sangat berorientasi kepada
pemberdayan masyarakat.
Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang
kontruksi ilmu administrasi negara maka administrasi negara harus dapat dipahami
sebagai satu kesatuan yang utuh antara peran politik dan peran birokrasi dalam
pencapaian tujuan negara. meskipun keduanya secara strukutral merupakan satu kesatuan
dalam sistem administrasi negara namun secara fungsional penyelenggaraannya tidak
boleh dilakukan saling tumpang tindih. Harus ada pemisahan tugas secara jelas sehingga
tidak terjadi intervensi dalam pelaksanaan kewenangan. Untuk memperjelas wilayah dan
kewenangan masing-maing maka diperlukan asas dan norma yang secara rational
membatasi peran antara keduanya karena dalam penyelenggaraan negara harus
didasarkan pada prinsip pelaksanaan kewenangan yang tidak tak terbatas.
Oleh karena itu dalam sistem administrasi negara memerlukan peran penegakan
etika (norma hukum) dalam membatasi ruang dan peran antara politik dan birokrasi.
sehingg dengan demikian maka sistem administrasi public secara sistem akan terbentuk
dari tiga sub sisstem yakni sistem politik, sistem birokrasi (administrasi) dan sistem etika
(penegakan hukum).
Dengan pemahaman bahwa sistem administrasi negara sebagai satu kesatuan yang
utuh maka akan menjadi jelas pendekatan administrasi of pulik pada peran politik dan
penegakan hukum dan administrasi by public pada peran birokrasi dalam pelayanan
public.
Kerancuan pemahaman terhadap sistem administrasi negara tidak hanya datang
dari kalangan administrai saja akan tetapi juga dari kalangan politisi. Hal tersebut terbukti
dengan adanya penyelenggaraan peran negara yang dijalankan dengan kekuasaan negara
dan kewenangan birokrasi yang saling tumpang tindih. Kekacauan tersebut dapat
menyebabkan kerapuhan penerapan sistem administrasi negara, yang ditandai dengan
adanya berbagai intervensi kekuasaan terhadap penyelenggaraan birokrasi. Bahwa sistem
administrasi negara yang baik adalah sistem administrasi yang dapat menjamin
pelaksanaan sistem birokrasi yang baik pula. Sistem administrasi negara yang baik adalah
sistem negara yang dapat menjamin netralitas birokrasi dalam pelaksnaaan fungsinya
secara hakiki. Bahwa birokrasi diselenggarakan dalam rangka untuk pelayanan public dan
oleh karenanya harus dijalankan secara profesional.
Peran birokrasi secara fungsional tidak terkait dengan proses politik sama sekali
karena kinerja politik memiliki proses kerja yang bersifat repsentatif sedangkan kinerja
birokrasi memiliki proses kerja yang bersifat kualitatif. Rasionalitas politik bersifat
longgal karena prinsip yang digunakan mendasarkan pada demokrasi dan persamaan hak
serta hak asasi dasar manusia sedangkan rasionalitas pada bidang birokrasi bersifat ketat
karena tidak bersifat inpersonal dan mengutamakan kualifikasi bukan persamaan hak
terhadap satu kesempatan yang sama.
Satu hal yang menarik dalam sistem penyelenggaraan administrasi di Indonesia
adalah tidak adanya lembaga Negara yang memiliki peran monopoli dalam penegakan
etika. Hal ini menyebabkan penegakan nilai-nilai etika yang bersumber dari falsafah dan
nilai-nilai budaya sebagai keperibadian bangsa semakin terdegradasi oleh arus
liberalisasi yang semakin mengglobal. Keberadaan lembaga etik dalam struktur
kelembagaan pemerintahan meskipun ada hanya sebatas sebagai alat pelengkap dalam
satu stuktur lembaga negara atau lembaga pemerintahan. Misalnya lembaga etik dalam
kelembagkan DPR, lembaga etik dalam tubuh KPK dan lain sebagainya. Dalam konsdisi
seperti itu lembaga etik yang dibentuk tidak memiliki fungsi monopoli sebagai sebuah
lembaga Negara yang independen. Sehingga kinerjanya tidak dapat diharapkan untuk
memenuhi ekspektasi kepentingan public secara substansial.

10
Dari aspek penegakan hukum, sistem adminsitrasi kita juga masih sangat rapuh.
Hal tersebut karena lembaga-lembaga penegak hukum, baik lembaga penyidikan dan
lembaga penuntutan secara structural belum memiliki fungsi monopoli, misalnya
Lembaga Kejaksaan Agung disatu sisi sebagai lembaga negara tetapi disisi lain berada
dibawah struktur pemerintah. Sehingga pelaksanaan fungsi penuntutan berlum bersifat
otonom dan independent. Karena tidak independen sebagai satu lembaga negara maka
lebih banyak di intervensi karena kedudukannya berada dibawah struktur pemerintahan
yang bisa saja ditempati oleh kalangan politisi atau kalangan profesi. Hadirnya KPK
yang memiliki hak penyidikan dan penuntutan secara independen sebagai lembaga negara
adalah langkah maju dalam konstruksi sistem administrasi negara kita, akan tetapi
lembaga negara ini memiliki kewenangan yang terbatas yakni hanya sebatas kasus diatas
1 (satu) Milyard.
Dengan sistem penegakan hukum yang tidak memiliki independensi dan otonomi
dalam menjalankan kekuasaan negara di bidang penegakan, bagaimana sistem
administrasi negara dapat berjalan secara efektif. Kesadaran rasional kita akan semakin
mendorong pembenaran bahwa dengan sistem yang rapuh maka budaya korupsi akan
tumbuh dengan subur. Faktanya berbagai temuan korupsi oleh lembaga Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) selama ini hampir menyasar pada semua lapisan birokrasi
di negeri ini. Bisa dibayangkan kalau KPK berkewenangan melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap seluruh kasus korupsi maka akan terbongkar semua kebobrokan
sistem adminsitrsi yang kita terapkan.
Sebagai solusi dalam pelaksanaan administrasi negara yang efektif maka perlu
dilakukan kajian secara ilmiah untuk merekonstruksi kembali kerapuahan dan keusangan
suatu sistem administrasi negara. Sehubungan dengan hal tersebut dengan pendekatan
structural, fungsional dan pendekatan etika serta melandaskan secara interdisipliner
analisis sistem administrasi negara dapat direkostruksi secara konsturuktif, rasional dan
komprehenssif.
Secara konstitusi, dalam bentuk negara kesatuan dengan sistem pemerintahan
presidensiil seperti yang diterapkan di Indonesia, maka peulis merumuskan beberapa dalil
sebagai prinsip-prinsip dasar penerapan administrasi negara, beberapa dalil tersebut
adalah :
1. Pembagian kekuasaan negara kepada lembaga-lembaga negara dilakukan dalam
rangka untuk mewujudkan prinsip Check and Balances.
2. Dalam bentuk negara kesatuan pemerintahan dijalankan dengan sistem presidensiil,
presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
3. Kekuasaan negara tidak dapat di delegasikan secara hierarki karena bersifat
monopoli dan memaksa yang melekat pada “kedaulatan negara”. Sedangkan
kewenangan pemerintahan dapat didelegasi secara hierarki untuk mendekatkan
pelayanan
4. Bahwa kewenanangan negara yang dapat desentralisasi secara hierarki adalah
kewenagnan yang melekat pada presiden dalam kedudukannya sebagai kepala
pemerintahan.
5. Pendelagasian kewenangan oleh pemerintah dilakukan dengan prinsip-prinsip
desentralisasi dan otonomi secara luas dan bertanggungjawab dalam kerangka negara
kesatuan R.I
6. Desentralisasi kewenangan dilakukan untuk meningkatkan demokrasi, kreatifitas dan
daya saing daerah, kesejahteraan, pemberdayaan dan pelayanan public secara efektif
dan profesional.
Adapun beberapa asumsi dalam penerapan sistem administrasi negara dapa
dirumuskan berdasarkan pada dalil-dalil tersebut sebagai berikut :

11
1. Bahwa prinsip Chek And Balance adalah dilakukan untuk melaukan penerapan
“prinsip legal-rasionalitas ototiras dalam mewujudkan efektifitas dan
profesionalismen penyelenggaraan negara
2. Bahwa model pemerintahan dalam bentuk negara kesatuan adalah dijalankan dengan
sistem prisidensiil dalam rangka untuk mempekokoh persatuan dan kesatuan
3. Kekuasaan negara tidak dapat didelegasi karena bersifat absolute sedangkan
kewenaganan pemerintahan dapat didesentralisasikan dalam rangka untuk
pemenuhan kebutuhan public.
4. Bahwa pendelegasian kewenangan dalam pemerintahan dilakukan rangka untuk
peningkatan fungsi administrasi, fungsi pengaturan dan pelayanan public secara
efektif
5. Bahwa pendelegasian kewenangan dijalanakn dalam prinsip-prinsip birokrasi secara
rational dalam satu kesatuan penyelenggaraan administrasi negara untuk pencapaian
tujuan secara efektif dan profesional
6. Bahwa penyelenggaraan sistem administrasi secara efektif dapat diwujudkan dengan
penyelenggaraan birorkasi secara rational baik dari aspek pemberian kewenangan
maupuun mekanisme pelaksanaan kewenangan secara sinergis dan integral
Dari beberapa dalil dan asumsi dasar tersebut penulis dapat menyimpulkan konsep
tentang konsep “rationalitas” dalam konstruksi penyelenggaraan sistem administrasi
negara R.I secara satu kesatuan yang utuh, sebagai berikut :
1. Bahwa prinsip pengawasan yang dijalankan oleh lembaga negara (DPR) adalah
pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara dan terhaap
penyelenggaraan kewenangan pemerintahan dengan prinsip Check And Balance
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (Clean Governance)
2. Bahwa prinsip akuntabilitas dalam sistem administrasi negara mencakup dua hal,
yakni: (1) Akuntablitas presiden kepala negara mencakup keseluruhan aktifitas dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara, pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upaya mewujudkan stabilitas territorial. (2)
Akuntabilitas presiden sebagai kepala pemerintahan mencakup keseluruhan aktifitas
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan public dan hal-hal lain yang berkaitan
dalam mewujudkan stabilitas social dan kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan
3. Bahwa untuk menjamin stabilitas territorial maka (1) kekuasaan negara yang dibagi
kepada lembaga-lembaga negara tidak dapat didelegasikan secara hierarki karena
bersifat absolute, monopoli dan memaksa. (2) pembagian kekuasaan dilandaskan pada
prinsip check and balance yang dilandaskan pada pendekatan sistem dan pendekatan
legal-Rationality Otoritas, Legal-Rationalitas Prosedur dan legal-rationality objektiver
secara utuh dalam rangka untuk mewujudkan Clean Govermernt
4. Bahwa untuk mewujudkan stabilitas social maka (1) kewenangan pemeritanhan dapat
didesentralisasi secara hierarki berdasarkan prinsip-prinsip birorkasi yang didasarkan
pada kebutuhan yang bersifat dinamis. (2) kewenangan didesentralisasi dilakukan
dengan pendekatan sistem dengan penerapan konsep Legal-Rationalitas Otoritas,
Legal-Rationality Mekanism (prosedur) dan Legal-rationality objective secara utuh
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good Governance).
5. Bahwa oleh karena itu desentralisasi dan otonomi daerah memerlukan sistem birokrasi
rational secara utuh untuk mencapai tujuan yang efektif dan profesional.
6. Bahwa Semakin baik penerapan prinsip-prinsip legal-rationality otoritas dan legal-
rationality proccedure penyelenggaraan sistem administrasi negara, maka semakin
baik pula penerapan “sistem birokrasi” dan sistem birokrasi yang baik akan

12
melahirkan tatanan pemerintahan yang baik (Good Governace) dalam peningkatan
kualitas pelayanan yang optimal.
Dengan melandaskan pada beberapa pokok pikiran diatas dapat disimpulkan bahwa
sistem administrasi negara Republik Indonesia merupakan satu kesaturan sistem yang
utuh, yang terdiri dari tiga unsure dasar yakni sistem politik, sistem birokrasi
(administrasi) dan sistem etika (penegakan hukum).
Pendekatan sistem dalam penyelenggaraan administrsi negara mencakup tiga
pendekatan rational secara utuh yakni “legal-rationality Otoritas”, “legal rationality
procedure” dan “legal rationality objective”. Hubungan angara ketiga kompenen tersebut
akan terlihat pada aspek rasionalitasnya yang bersifat komplementer. Bahwa hanya
dengan pendekatan sistem secara komplemen (substitusi) maka penyelenggaraan sisten
administrasi negara tidak akan saling tumpang tindih antara pelaksanaan kekuasaan,
kewenangan dan pelaksnaan tugas dan peran masing-masing lembaga dan secara
fungsional akan terarah pada satu tujuan yang sama. Dengan pendekatan sistem
diharapkan mejadi jelas kawasan kewenangan masing-masing lembaga dan prosedur
pelaksanaanya berdasarkan filosofi pencapaian tujuga dalam sebuah kerja sama.
Hubungan antara sub komponen dalam sistem administrasi negara dapat digambarkan
dalam model sistem administrasi negara sebagai berikut :
Gambar 2
Model Sistem Adminsitrasi Negara

Sistem Nilai Mengutamanakan


(falsah Negara) Kepentingan Bangsa
Efektifitas
Pemerintahan

Sistem Sistem Politik Tujuan


Intrumen Politik
Adm (Negara Republik) Negara
(Undang-Undang)
Negara
Kinerja
Birokrasi

Sistem Intrumen Birokrasi


Pemerintahan (Kebijakan Publik)

Legal-rationality : “Otoritas”, “Procedure” dam “Objektif”


(pendekatan structural, fungsional dan perilaku, yakob nani-2017)

III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan system ?
2. Jelaskan pengertian administrasi ?
3. Simpulkan apa menurut pandangan saudara tentang Sistem Administrasi Negara ?
4. Jelaskan fakta empiris penyelenggaraan administrasi Negara dalam sebuah system ?

13
B. Kunci jawaban
1. Apa yang dimaksud dengan system ?
Jawab :
Sistem adalah sebagai: “suatu totalitas yang terdiri dari subsistem-subsistem
dengan atribut-atributnya yang satu sama lain saling berkaitan, saling
ketergantungan satu sama lain, saling berinteraksi dan saling pengaruh
mempengaruhi sehingga keseluruhannya merupakan suatu kebulatan yang utuh
serta mempunyai peranan dan tujuan tertentu. Suatu sistem merupakan subsistem
dari sistem yang lebih besar”.
2. Jelaskan pengertian administrasi ?
Jawab :
Administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses dalam menjalankan
kegiatan kerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama
3. Simpulkan apa menurut pandangan saudara tentang Sistem Administrasi Negara ?
Jawab :
Sistem administrasi Negara adalah keseluruhan kegiatan kerjasama dalam
penyelenggaran suatu Negara dan dijalankan dalam satu tatanan system yang
didasarkan pada landasan konstitusi, nilai-nilai dan etika penyelenggaraan
kekuasaan Negara untuk mengatur secara efektif tata kehidupan bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama.

4. Jelaskan fakta empiris penyelenggaraan administrasi Negara dalam sebuah system ?


Jawab :
Administrasi Negara sebagai sebuah system dapat dilihat dari hubungan kerja
antara lembaga kekuasaan Negara yakni lembaga legislative, eksekutif dan
yudikatif. Secara konkrit dapat misanya dalam pelaksanaan system perencanaan
pembangunan nasional. Lembaga eksekutif menjalankan fungsi untuk menetapkan
program dan angaran pembangungan, lembaga lesgislatif selain melakukan fungsi
penggaran juga melakukan pengesahan perencanaan yang diajukan oleh eksekutif
menjadi sebuah UU tentang pelaksanaan APBN sedangkan yudikatif adalah
melakukan pemeriksanaan dan pegakan hukum terhadap actor yang melakukan
penyimpangan penggunaan dana APBN. Misalnya dengan melakukan proses
hukum terhadap pelaku korupsi. Jadi jelas hubungan ketiganya menggambarkan
bahwa system administrasi Negara dilakukan dalam system penyelenggaraan
Negara dalam rangka untuk mencapai tujuan Negara yakni peningkatan
kesejahteraan rakyat.

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang

14
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Pentingnya memahami tentang system administrasi Negara secara
komprehensif sebagai modal dasar bagi mahasiswa dalam memahami hakekat
pengelolaan Negara secara normative maupun secara empiris. Hal tersebut dilakukan
karena system administrasi Negara akan menunjukan dengan model pengelolaan
kekuasaan Negara dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan cita-citas
sebuah Negara. Bahwa sistem administrasi Negara merupakan keseluruhan kegiatan
kerjasama dalam penyelenggaran suatu Negara dan dijalankan dalam satu tatanan
system yang didasarkan pada landasan konstitusi, nilai-nilai dan etika
penyelenggaraan kekuasaan Negara untuk mengatur secara efektif tata kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama.

15
Dagtar Pustaka
Atmosudirdjo, Prayudi. (1980). Dasar-dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Attamimi, Hamid, S. (1990). Peranan Keputusan Presiden Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi. Jakarta: Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Budiardjo, M. (1986). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Coralie, Bryant&Louise G. White. (1987). Manajemen Pembangunan untuk Negara
Berkembang. Jakarta: LP3ES.
Dale, E. (1967). Organization. New York: American Management Association Inc.
Keban, Yeremias, T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori
dan Isu, Penerbit Gaya Media Yogyakarta. 211
John Pffifner dan Robert V. Presthus, 1960, Public Administration, The Ronald Press
Company New York
Kansil, C.T. (1986). Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Logemann. J.H.A. (1948). Over De Theorie Van Een Stelling Staadrecht. Leiden:
Universiteit Pers Leiden.
Pamudji, S. (1983). Ekologi Administrasi Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Pfifner, John M., and Robert V. Presthus. (1960). Public Administration. Fourth Ed.
New York: The Ronald Press Company.
Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain &Aplikasi. Alih Bahasa:
Jusuf Udaya. Jakarta: Arcan.
Riggs, Fred W. Editor. (1986). Administrasi Pembangunan: Batas-batas Strategi
Pembangunan, Kebijakan dan Pembaruan Administrasi. Terjemahan: Luqman
Hakim. Jakarta: Rajawali.
Stillman II, Richard J, 1992, Public Admnistraion ( Concepts and Cases), Houghton
Miffin Company, Boston, USA
Siagian, Sondang P. (1980). FilsafatAdministrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Simon, Herbert A. et al. (1978). Public Administration. New York: Alfred A. KNOPT.
The, Liang Gie. (1978). Unsur-unsur Administrasi: Suatu Kumpulan Karangan.
Yogyakarta: Karya Kencana.
Van Apeldorn LJ. (1981). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Mustopadidjaja, AR (Editor). (2003). Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (SANKRI). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Utomo, Warsito. 2012. Administrasi Publik Baru Indonesia : Perubahan Paradigma dari
Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

BAB II
PARADIGMA ADMINSITRSI NEGARA

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Setelah mahasiswa mengikuti kuliah pada bagian bab ini mahasiswa dapat
memahami makna dan perubahan paradigm administrasi serta pergeseran nilai-nilai

16
yang mendorong terjadinya paradima administrasi. Mahasiswa lebih memahami
eksistensi administrasi negara dari asek lokus dan focus yang menjadi unsure-unsur
yang menbentuk system administrasi negara.

B. Relevansi
Bahasan dalam bab ini adalah melengkapi pembahasan pada bab pertamata
tentang ruang lingkup adaministrasi negara. paa bab ini mahasiswa akan lebih
mendalami pemahaman terntan administrasi negara dari aspek nilai-nilai yang
melandasi ilmu administrasi sebagai ilmu pengetahuan. Mahasiswa akan lebih
memahami konstruksi nilai dalam filosofi administrasi negara, dalam
perkembangannya administrasi negara telah mengalamiperubahan paradigma yang
juga menjadi sub bab dalam bahasan ini. Sehingga mahasiswa diharapkan melaui
panduan dosen pengajar dapat memahami tentang konsep dan landasaan teori dan
konsep administrasi negara secara komprehensif.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat memahami
pengertian tentang paradgima administrasi (2) mampu menjelaskan perkembangan
paradigm perpektif administrasi negara, (3) mampu menjelaskan pergeseran
paradigma perspektif pelayanan publik.

II. Penyajian
A. Pengertian Paradigma Administrasi Negara
Melakukan analisis tentang ilmu administrasi negara memerlukan pendekatan
secara komprehensif dari landasan teori secara interdisipliner. Hal tersebut disebabkan
karena administrasi negara memiliki cakupan yang cukup luas dalam proses pencapaian
tujuan penyelenggaraan negara. unsur-unsur yang membentuk negara itu sendiri bersifat
sangat dinamis dan fleksibel baik dari aspek kuantitas maupun dari aspek kualitas, nilai-
nilai yang yang melandasi penyelenggaraan administrasi public senantiasa berubah
sejalan dengan perubahan nilai-nilai social yang menuntut penyelenggaraan administrasi
negara pengelolaan negara dengan baik baik secara structural, fungsional maupun aspek
perilaku para penyelenggara negara itu sendiri dalam kerangka untuk pencapaian tujuan
negara atau efektifitas penyelenggaraan administrasi negara.
Perubahan nilai-nilai dasar dalam penataan system administrasi negara dalam
perkembagannya mendasari terbentuknya prinsip-prinsip administrasi negara sebagai
landasan atau asas dalam pencapaian tujuan kerjasama (administrasi). nilai adalah sesuatu
yang abstrak tetapi tetapi diyakini kebenaranya dan sangat berarti untuk kehidupan
manusia Menurut Chabib Thoha (…..: 61) nilai merupakan sifat yangm elekat pada
sesuatu (Sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti
(manusia yang meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi
manusia sebagai acuan tingkah laku.
Dalam hubungannya dengan administrasi negara maka nilai-nilai dalam
penyelenggaraan negara, struktur nilai tersebut paling tidak dapat digolongkan menjadi :
(1) nilai-nilai yang bersifat absolute dan mengikat setiap warga negara atau yang disebut
sebagai pandangan hidup sebuah bangsa, (2) nilai-nilai yang bersumber dari rasional
yang diyakini kebenarannya secara universal dan disepakati untuk dilegalkan dalam
sebuah kehidupan kerja sama, (3) nilai-nilai social yang diyakini kebenarannya dan
dijakan dasar dalam menetapkan pilihan-pilihan tindakan secara rasional. Dengan
demikian penggunaan nilai-nilai tersebut dilandaskan pada asas manfaat terhadap
kelangsungan kehidupan manusia.

17
Dalam perspektif perubahan nilai-nilai itulah yang menjadi landasan dalam
memahami perubahan paradigm dalam administrasi public. Paradigm adalah merupakan
cara pandang yang digunakan untuk menilai sesuatu dari aspek kemanfaatan untuk
merubah kehidupan menjadi lebih baik. “ Paradigma” merupakan kata yang berasal dari
bahasa Yunani Paradeigma, yang berarti “model, pola, atau contoh”. Secara istilah,
paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun
seseorang dalam bertindak dikehidupan sehari-hari. Mustopadidjaja (2001) mengartikan
paradigma adalah sebagai “teori dasar “ atau cara pandang fundamental, dilandasi nilai-
nilai tertentu, berisikan teori pokok, konsep, metodologi atau cara pendekatan yang dapat
dipergunakan para teoritisasi dan praktisi dalam menanggapi suatu permasalahan baik
dalam kaitan pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan permasalahan bagi
kemajuan hidup dan kehidupan manusia.
Dengan demikian maka paradigma adminsitrasi adalah merupakan cara untuk
memandang tetnang hal ikhwal terjadinya kerjasama, bagaimana menjalankan kerja sama
dan bagaimana menerapkan nilai-nilai dalam pelaksanaan kerjasama untuk mencapai
tujuan. Dengan kata lain paradigma administrasi negara merupakan suatu teori dasar atau
ontologi administrasi dengan cara pandang yang relatif fundamental dari nilai-nilai
kebenaran, konsep, dan metodologi serta pendekatan-pendekatan yang dipergunakan.
Konsep paradigma sendiri sebenarnya berasal dari ilmu-ilmu alam yang kemudian
diadopsi oleh scientists ilmu sosial guna memecahkan masalah-masalah sosial yang
semakin rumit. Administrasi negara sebagai ilmu pengetahuan juga memiliki paradigma
atau cara pandang yang dapat dibagi berdasarkan konteks waktu kemunculannya dan dari
aspek pergeseran nilai dalam setiap perubahan dalam konsteks waktu dimaksud.

B. Perubahan Paradigma Administrasi Negara


1. Perubahan paradigma berdasarkan konteks waktu
Berdasarkan konteks waktu kemunculanya paradimga adminsitrasi negara oleh
Nikolas Hendrik (1985), memaparkan Lima paradigma administrasi publik yang
dipetakan dalam upaya untuk menunjukkan bahwa gagasan administrasi publik
sebagai sesuatu yang unik, sintesis lapangan yang relatif baru. Disiplin ilmu ini
disusun sebagai suatu pencampuran dari teori organisasi, ilmu manajemen, dan
konsep kepentingan umum. Masing-masing fase dapat ditandai menurut "lokus" atau
"fokus”. Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada.
Sebuah lokus administrasi publik adalah birokrasi pemerintah, tetapi ini tidak
sepebuhnya tepat dan lokus tradisional ini sering dikaburkan. Dalam
perkembangannya lokus dari ilmu administrasi publik menjadi kepentingan publik
(public interest) dan urusan publik (public affair). Fokus adalah apa yang menjadi
pembahasan penting dalam memepelajari ilmu administrasi publik. Salah satu fokus
administrasi publik yaitu "prinsip-prinsip administrasi" tertentu, tapi, sekali lagi,
fokus disiplin ilmu ini telah berubah dengan paradigma perubahan administrasi
publik. Dalam perkembangannya fokus dari ilmu administrasi publik menjadi teori
organisasi dan ilmu manajemen.

a) Paradigma 1 : Dikotomi Politik dan Administrasi (1990-1926)


Dikotomi politik dalam administrasi menekankan pada lokus dimana
administrasi publik seharusnya diletakkan. Jelas, dalam pandangan Goodnow dan
rekan-rekannya sesama pemerhati public administration, administrasi publik harus
berpusat pada birokrasi pemerintah. Fokus bidang ini terbatas pada masalah-masalah
organisasi dan penyususnan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan
kebijakan merupakan isi dari ilmu politik. Frank J Goodnow dan Leonard D White

18
dalam bukunya Politics and Administration menyatakan dua fungsi pokok dari
pemerintah yang berbeda:
a. Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
b. Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya
“Introduction To the study of Public Administration” oleh Leonard D White yang
menyatakan dengan tegas bahwa politik seharusnya tidak ikut mencampuri
administrasi, dan administrasi negara harus bersifat studi ilimiah yang bersifat bebas
nilai. Paradigma ini muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap trikotomi ala trias
politika, dan kemudian menggantinya dengan dua fungsi yaitu politik dan
administrasi. Politik sebagai penetapan kebijaksanaan, sedangkan administrasi
sebagai pelaksanaan kebijakan.
Periode Paradigma satu, dipelopori oleh Frank J. Goodnow dan Leonard D.
White. Menurut Goodnow, Politik harus berhubungan dengan kebijaksanaan atau
berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan negara, sedangkan adminitrasi
harus berkaitan dengan pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Jadi yang menjadi dasar
pembeda antara politik dan adminitrasi adalah pemisahan kekuasaan. Lembaga
legislatif yang kemampuan interpretasinya dibantu oleh lembaga Yudikatif dalam
mengekspresikan tujuan negara dan membuat kebijaksanaan, sedangkan lembaga
eksekutif melaksanakan kebijaksanaan itu secara apolitis dan tidak memihak.
Menurut Goodnow, administrasi negara seharusnya memfokuskan diri pada
birokrasi pemerintahan sedangkan lembaga legislatif dan yudikatif jelas mempunyai
kuanta administrasi, fungsi dan tanggungjawab utamanya menetapkan pelaksanaan
tujuan negara. Hasil paradigma I memperkuat pemikiran dikotomi
politik/administrasi yang berbeda, dengan menghubungkannya dengan dikotomi
nilai/fakta yang berhubungan. Sehingga segala sesuatu yang diteliti dengan cermat
oleh para ahli administrasi negara dalam lembaga eksekutif akan memberi warna
dan legitimasi keilmiahan dan kefaktualan administrasi negara, sedangkan studi
pembuatan kebijakan publik menjadi kajian para ahli ilmu politik.

b) Paradigma 2 : Prinsip- Prinsip Administrasi (1927-1937)


Pada masa ini focus kajian adminsitrasi adalah pada “prinsip-prinsip”
manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan
lingkungan budaya. Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration
karya W F Willoughby. Pada fase ini Administrasi diwarnai oleh berbagai macam
kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri dan manajemen, berbagai bidang
inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya prinsip-prinsip
administrasi. Prinsip-prinsip tersebut menjadi Focus kajian Administrasi, sedangkan
Locus dari paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut,
dimana dalam kenyataan bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan,
lingkungan, misi atau kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian
administrasi bisa hidup dimanapun asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen klasik sangat besar. Tokoh-
tokohnya adalah : F.W taylor dan Hendry Fayol.
1) F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu; (1) perlu mengembangkan
ilmu manajemen sejati. Bahwa ntuk memperoleh kinerka terbaik; (2) perlu
dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah agar mereka bisa tanggung jawan
dengan kerjanya; (3) perlu ada pendidikan dan pengembangan pada pegawai
secara ilmiah; (4) perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan atasan (prinsip
management ilmiah Taylor)

19
2) Kemudian disempurnakan oleh Fayol (POCCC) dan Gullick dan Urwick
(Posdcorb)
Pelopor dari paradigma kedua ini adalah W.F. Willoghby yang menerbitkan
buku berjudul “Principles of Public Administration”. Pada periode inilah
administrasi mencapai puncak kejayaannya dimana para ahli administrasi negara
diterima baik oleh kalangan industri maupun kalangan pemerintah selama tahun
1930-an dan awal tahun 1940-an yang disebabkan oleh kemampuan manajerialnya.
Fokus dari bidang ini adalah keahlian dalam bentuk prinsip-prinsip administrasi
semakin luas. Meskipun demikian lokus administrasi negara berlaku dimana saja,
karena prinsip tetap prinsip dan administrasi tetap administrasi.
Luther H. Gullick dan Lyndall Urwick mengajukan tujuh prinsip administrasi
dalam anagram singkat yaitu POSDCORD yang memiliki kepanjangan dari
Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting. Pada
tahun 1938 untuk pertama kalinya aliran utama administrasi negara mendapat
tantangan konseptual yang dimulai dengan terbtinya buku karangan Chester I.
Barnard dan kemudian mempengaruhi Herbert A.Simon yang menulis kritiknya
terhadap ilmu administrasi negara.
Pada tahun 1940-an, ketidasepakatan terhadap administrasi negara ini dipacu
dari arah yang saling menguatkan. Salah satu keberatan adalah politik dan
administrasi tidak akan pernah dapat dipisahkan sedikitpun. Sementara yang lain
berpendapat bahwa prinsip-prinsip administrasi secara logis tidak konsisten. Dalam
buku yang ditulis oleh Fritz Morstein pada tahun 1946, mempertanyakan asumsi
yang mempertentangkan politik dan administrasi. Dalam bukunya terdapat 14 artikel
yang menunjukkan adanya kesadaran baru bahwa apa yang sering nampak sebagai
administrasi yang bebas nilai, sebenarnya adalah nilai yang ada dalam politik.

c) Administrasi Publik Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)


Definisi fase ketiga ini sebagian besar adalah usaha membangun kembali
hubungan antara administrasi publik dan ilmu politik. Tapi konsekuensi dari usaha
ini adalah untuk "mendefinisikan" bidang ilmu ini, setidaknya dalam hal fokus
analisis, "keahlian” esensial. Dengan demikian, tulisan-tulisan tentang administrasi
publik di tahun 1950-an berbicara tentang bidang ini sebagai "penekanan," sebuah
"daerah kepentingan, "atau bahkan sebagai" sinonim "ilmu politik. Administrasi
publik kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip-prinsip
administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkungan, jadi tidak
“value free” (bebas nilai).
Menurut Herbert Simon (The Poverb Administration) à Prinsip Managemen
ilmiah POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration
“ menurut Simon bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya
dilakukan oleh administrator publik terutama dalam decision making. Kritik Simon
ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan tentang dikotomi administrasi dan
politik. Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark (element Of Public
Administration yang kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik dan
ekonomi sebagai suatu hal yang tidak realistik dan tidak mungkin.
Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase ini yaitu timbulnya studi
perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai bagian dari administrasi
negara. Dengan adanya berbagai kritik konseptual, maka administrasi negara
melompat ke belakang dengan merta ke dalam induk disiplin ilmu politik. Sebagai
hasilnya adalah dengan diperbaharuinya kembali penentuan locus birokrasi
pemerintah tetapi kehilangan focusnya.

20
d) Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Pada tahun 1962 administrasi negara tidak lagi termasuk dalam sub bidang
ilmu politik di dalam laporan Komite Ilmu Politik sebaga disiplin Asosiasi Ilmu
Politik Amerika. Pada tahun 1967 administrasi negara tidak muncul dalam
pertemuan tahunan Asosiasi Ilmu Politik Amerika, pada tahun 1968 Waldo menulis
“banyak ilmuwan politik yang tidak memihak administrasi negara tidak tertarik, dan
bahkan bermusuhan dengan ilmu politik mereka akan segera membebaskan diri dari
masalah ini” dan menambahkan bahwa administrasi negara “tidak menyenangkan
dan warga negara kelas dua”.
Pada masa ini Administrasi publik tetap menggunakan paradigma ilmu
administrasi, dengan mengembangkan pemahaman sosial psikologi, dan analisis
sistem sebagai pelengkapnya.Sebagai sebuah paradigma, ilmu administrasi
memberikan fokus tapi tidak lokus. Menawarkan teknik yang membutuhkan keahlian
dan spesialisasi, tetapi dalam pengaturan kelembagaan bahwa keahlian yang harus
diterapkan tidak dapat didefinisikan. Sebagai Paradigma, administrasi adalah
administrasi dimana pun ia ditemukan; Fokus lebih difavoritkan daripada lokus.
Pada tahun 1956 terbit sebuah jurnal penting oleh seorang ahli administrasi
negara atas premis adanya pemisahan yang salah antara administrasi negara, niaga
dan kelembagaan. Pada pertengahan tahun 1960-an, Keith M. Henderson
menyatakan sanggahannya bahwa teori organisasi telah atau seharusnya menjadi
pusat pembahasan administrasi negara. Pada awal tahun 1960-an pengembangan
organisasi makin banyak mendapat perhatian sebagai bidang khusus ilmu
administrasi. Sebagai suatu focus, pengembangan organisasi menawarkan alternatif
ilmu politik yang menarik bagi banyak ahli administrasi negara. Pengembangan
organsiasi sebagai sebuah bidang ilmu, berakar pada psikologi sosial dan nilai
domokratisasi birokrasi baik negara maupun swasta dan swa-aktualisasi para anggota
perorangan dari organisasi. Oleh karena nilai-nilai inilah, pengembangan organisasi
dipandang menjadi bahan kajian para mahasiswa dibidang administrasi yang sangat
cocok dalam kerangka ilmu administrasi.

e) Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik (1970-Sekarang)


Kurangnya kemajuan dalam menggambarkan sebuah lokus untuk bidang ini,
atau urusan publik apa dan "resep untuk kebijakan publik " harus mencakup hal yang
relevan dengan administratior publik. Namun demikian, bidang ini tidak muncul
untuk penekanan pada keunikan faktor-faktor sosial tertentu untuk sepenuhnya
dikembangkan negara sebagai lokus yang tepat. Pilihan fenomena ini mungkin agak
sewenang-wenang pada bagian dari administratior publik, tetapi mereka berbagi
kesamaan sehingga mereka memiliki konsep lintas disiplin di universitas,
membutuhkan kapasitas sintesis intelektual, dan bersandar ke arah tema yang
mencerminkan kehidupan perkotaan, hubungan administrasi antar organisasi, dan
menghubungkan teknologi dan nilai kemanusiaan, secara singkat disebut urusan
publik.
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu
dikembangkan dalam disiplin Administrasi Negara : (1) Ahli Administrasi Negara
meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang murni (2) Satu
kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan
publik. Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu
kebijaksanaan (Policy Science) dan cara pengukuran dari hasil-hasil kebijaksanan
yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat dianggap sebagi mata rantai yang

21
menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan locusnya. Fokusnya adalah
teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun manajemen
yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan
persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).
Dalam paradigma ini terdapat sedikit kemajuan dalam menggambarkan lokus
dari bidang administrasi atau dalam menentukan apa relevansi kepentingan umum,
urusan umum, dan penentuan kebijakan umum bagi para ahli administrasi negara.
Bidang ini telah menemukan faktor-faktor sosial fundamental tertentu yang khas bagi
negara-negara terkebelakang sebagi lokusnya. Para ahli administrasi negara bebas
menentukan pilihannya atas segenap fenomena tersebut, namun ada ketentuan-
ketentuan yang harus mereka patuhi dalam menumbuhkan minat multidisipliner,
yang menuntut sintesa kapasitas intelektual dan mengarah pada tema-tema yang
mencerminkan kehidupan perkotaan, hubungan administratif antara organisasi-
organisasi negara dan swasta, dan mempertemukan sisi teknologi dan sisi
masyarakat. Para ahli administrasi negara semakin banyak memberi perhatian pada
bidang ilmu lain yang memang tak terpisahkan dari administrasi negara seperti ilmu
politik, ekonomi politik, proses pembuatan kebijakan negara serta analisanya, dan
pemerkiraan keluaran kebijakan.

2. Perubahan paradigm berdarkan pergeseran nilai


Dalam memahami teori administrasi negara secara paradigmatik, tulisan Janet V.
Denhardt dan Robert B. Denhardt yang berjudul The New Public Service: Serving,
not Steering dapat digunakan untuk mengenali perkembangan paradigma administrasi
negara klasik sampai administrasi negara kontemporer. Tulisan tersebut diterbitkan
pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2003 di New York. Sejak kemunculannya
buku ini mendapat respon yang positif dari kalangan cendikiawan administrasi negara
karena dianggap mampu memberikan perspektif alternatif dalam memandang
administrasi negara. Sebelum terbit berbentuk buku, pada tahun 2000 Denhardt dan
Denhardt sudah pernah mempublikasikan tulisan yang sama, namun dengan judul
yang berbeda yaitu, The New Public Service: Serving Rather than Steering dalam
jurnal Public Administration Review. Kemudian disusul dengan tulisan yang lain
tetapi kurang lebih dengan ide yang sama dalam International Review of Public
Administration pada tahun 2003, dengan judulThe New Public Service: An Approach
to Reform. Buku yang diterbitkan pada tahun 2003 adalah repetisi dan modifikasi
dari dua tulisan yang pernah muncul sebelumnya.
Denhardt dan Denhardt mencoba membagi paradigma administrasi Negara atas
tiga kelompok besar, yaitu paradigma The Old Public Administration (OPA), The
New Public Management (NPM) dan The New Public Service (NPS). Menurut
Denhardt dan Denhardt paradigma OPA dan NPM kurang relevan dalam mengaddres
persoalan-persoalan publik.
Dari kajian Harbani Pasolong (2007), terdapat ide pokok dalam New Public
Service (NPS) ini, yaitu: (1) Serve citizent, not customer; (2) Seek the public interest;
(3) Value citizenship over enterprenurship; (4) Think strategically, act democracally;
(5) Recognized that accountability is not simple; (6) Serve rather than steer; dan (7)
Value people, not just productivity.

a. Administrasi Publik Tradisional / Klasik (The Old Public Administration)


Dalam masa OLP ini, administrasi negara dikenal legalistik dan institusional
dengan berbagai macam aturan yang mengikat, struktur organisasi yang hirarkis yang
kurang memungkinkan adanya koordinasi dari berbagai fungsi sehingga sangat

22
sentralistik dan betapa besarnya dominasi pemerintah dalam berbagai hal termasuk
pemberian pelayanan publik. Besarnya intervensi pemerintah pada semua segmen
kehidupan masyarakat menjadikan pemerintah sebagai penguasa tunggal, dimana
peraturan atau kebijakan yang dibuat dimungkinkan untuk diambil alih secara penuh
oleh pemerintah tanpa melibatkan berbagai aktor lainnya seperti perwakilan dari
sector bisnis dan khususnya partisipasi masyarakat.
Hal ini menimbulkan dampak dengan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan
pemerintah untuk membiayai organisasi pemerintahan yang formasi birokrasinya
cenderung “gemuk” dengan bermacam fungsi yang terlalu boros dan tidak memiliki
tupoksi yang jelas. Terlebih lagi dengan masyarakat yang dihadapkan pada rantai
meja-meja pelayanan yang berbelit dan semakin menjauhkan hubungan masyarakat
dengan pemerintah, seakan-akan terjadi pembatasan yang jelas antara pemerintah dan
masyarakat, dan ini akan membuat pemerintah sulit untuk ditempuh oleh masyarakat.
Tentu saja ini memberatkan masyarakat sebagai pembayar pajak dimana hasil pajak
lebih banyak keluar untuk gaji pegawai dan pembiayaan pemerintah lainnya namun
sedikit untuk layanan terhadap publik.
Secara ringkas, Denhardt dan Denhardt menguraikan karakteristik OPA sebagai
berikut:
1. Fokus utama adalah penyediaan pelayanan publik melalui organisasi atau badan
resmi pemerintah.
2. Kebijakan publik dan administrasi negara dipahami sebagai penataan dan
implementasi kebijakan yang berfokus pada satu cara terbaik, kebijakan publik
dan administrasi negara sebagai tujuan yang bersifat politik.
3. Administrator publik memainkan peranan yang terbatas dalam perumusan
kebijakan publik dan pemerintahan; mereka hanya bertanggung-jawab
mengimplementasikan kebijakan public.
4. Pelayanan publik harus diselenggarakan oleh administrator yang bertanggung-
jawab kepada pejabat politik (elected officials) dan dengan diskresi terbatas.
5. Administrator bertanggung-jawab kepada pimpinan pejabat politik (elected
political leaders) yang telah terpilih secara demokratis.
6. Program-program publik dilaksanakan melalui organisasi yang hierarkis dengan
kontrol yang ketat oleh pimpinan organisasi.
7. Nilai pokok yang dikejar oleh organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
8. Organisasi publik melaksanakan sistem tertutup sehingga keterlibatan warga
negara dibatasi.
9. Peranan administrator publik adalah melaksanakan prinsip-prinsip Planning,
Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan Budgetting.

b. Manajemen Publik Baru (New Public Management)


Paradigma New Public Management muncul pada tahun 1980-an dan masih
berkembang sampai sekarang. Paradigma ini mencoba memperbaiki kinerja
pemerintah yang lamban dalam memberikan pelayanan publik dengan coba
memasukan prinsip atau semangat kewirausahaan seperti yang ada dalam organisasi
sector privat ke organisasi publik, memberikan sentuhan kompetisi untuk
menghasilkan efektitas, efisiensi dan produktifitas yang tinggi dalam organisasi
publik. Inti dari ajaran NPM dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemerintah diajak untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional dan
menggantikannya dengan perhatian terhadap kinerja atau hasil kerja.

23
2. Pemerintah sebaiknya melepaskan diri dari birokrasi klasik dan membuat situasi
dan kondisi organisasi, pegawai dan para pekerja lebih fleksibel.
3. Menetapkan tujuan dan target organisasi dan personel lebih jelas sehingga
memungkinkan pengukuran hasil melalui indikator yang jelas.
4. Staf senior lebih berkomitmen secara politis dengan pemerintah sehari-hari
daripada netral.
5. Fungsi pemerintah adalah memperhatikan pasar, kontrak kerja keluar, yang
berarti pemberian pelayanan tidak selamanya melalui birokrasi, melainkan bisa
diberikan oleh sektor swasta.
6. Fungsi pemerintah dikurangi melalui privatisasi.

c. Pelayanan Publik Baru (New Public Service)


New Public Service dianggap sebagai usaha kritikan terhadap paradigma Old
Public Administration dan New Public Management yang dirasa belum memberikan
dampak kesejahteraan dan malah menyebarkan ketidak-adilan dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat harusnya dianggap sebagai warga negara
dan bukannya client atau pemilih seperti dalam paradigma Old Public Administration
atau customer yang diusung oleh paradigma New Public Management.
Prinsip-prinsip atau asumsi dasar dari Pelayanan Publik Baru (New Public
Service) adalah sebagai berikut :
1. Melayani Warga Negara Bukan Pelanggan (Serves Citizens, Not Costumer) ;
melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah
(legitimate) negara bukan pelanggan.
2. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest) ; kepentingan
publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk
memenuhinya. Negara tidak boleh melempar tanggung-jawabnya kepada pihak
lain dalam memenuhi kepentingan publik.
3. Kewarganegaraan Lebih Berharga atau Bernilai dari Pada Kewirausahaan (Value
Citizenship over Entrepreneurship); kewirausahaan itu penting, tetapi warga
negara berada di atas segala-galanya.
4. Berpikir Strategis dan Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act
Democratically); pemerintah harus mampu bertindak cepat dan menggunakan
pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
5. Menyadari bahwa Akuntabilitas Tidaklah Mudah (Recognize that Accountability
Isn’t Simple); pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur
sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat.
6. Melayani dari pada Mengarahkan (Serve Rather than Steer); fungsi utama
pemerintah adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.
7. Menghargai Manusia tidak hanya sekedar Produktivitas (Value People, Not just
Productivity); kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas meskipun
bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
Meskipun secara garis besar hanya ada 3 paradigma besar dalam pelayanan
publik, namun ada beberapa akademisi yang menyatakan bahwa governance
merupakan salah satu paradigma dalam pelayanan publik. Dibalik semua urutan
paradigma tersebut,“Governance” atau sekarang lebih dikenal dengan “Good
Governance” bisa dikatakan menyempurnakan konsep-konsep sebelumnya. Jika pada
masa-masa sebelumnya kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintah lebih
didominasi oleh Negara, maka pada konsep Good Governance, partisipasi dari aktor
bisnis dan masyarakat sangat ditekankan dengan tujuan agar tercapainya kebijakan

24
pemerintahan yang dapat menyentuh semua aspek kebutuhan masyarakat baik itu
untuk sector privat maupun untuk masyarakat pada umumnya.

Pandangan Osborne dan Gaebler Dalam Teori Re-Inventing Goverment


Dalam pandangan NPM, organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah
kapal. Menurut Osborne dan Gaebler, peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya
sebagai nahkoda yang mengarahkan (Osborn, David & Gabebler, 1995) lajunya
kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut. Urusan kayuh-mengayuh diserahkan
kepada organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat dan organisasi
masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi domestikasi pemerintah. Tugas
pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah energi ekstra
untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih strategis,
misalnya persoalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan luar
negeri.
Paradigma steering rather than rowing ala NPM dikritik oleh Denhardt dan
Denhardt sebagai paradigma yang melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who
owned the boat). Seharusnya pemerintah memfokuskan usahanya untuk melayani
dan memberdayakan warga negara karena merekalah pemilik “kapal”.
Seperti halnya Osborne dan Gaebler, Denhardt dan Denhardt juga merumuskan
prinsip-prinsip NPS sebagai berikut :
a. Melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan pelanggan; melalui pajak
yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate)
negara bukan pelanggan;
b. Memenuhi kepentingan publik; kepentingan publik seringkali berbeda dan
kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara tidak boleh
melempar tanggung-jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan
publik;
c. Mengutamakan warganegara di atas kewirausahaan; kewirausahaan itu penting,
tetapi warga negara berada di atas segala-galanya;
d. Berpikir strategis dan bertindak demokratis; pemerintah harus mampu
e. bertindak cepat dan menggunakan pendekatan dialog dalam menyelesaikan
persoalan publik;
f. Menyadari komplekstitas akuntabilitas; pertanggungjawaban merupakan proses
yang sulit dan terukur sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat;
g. Melayani bukan mengarahkan; fungsi utama pemerintah adalah melayani warga
negara bukan mengarahkan;
h. Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas; kepentingan
masyarakat harus menjadi prioritas meskipun bertentangan dengan nilai-nilai
produktivitas.
III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan pengertian tentang paradigm administrasi ?

25
2. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang dikotoni administrasi public dalam
paradigm administrsi negara ?
3. Jelaskan menurut pandangan saudara perbedaan mendasar tentang perubahan
nilai pada penerapan OPA, NPM dan NPS (pelayanan public) ?

B. Kunci jawaban

1. Jelaskan pengertian tentang paradigm administrasi ?


Jawab :
Paradigma berasal dari kata yang berasal dari bahasa Yunani Paradeigma, yang
berarti “model, pola, atau contoh”. Secara istilah, paradigma merupakan
seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam
bertindak dikehidupan sehari-hari. Mustopadidjaja (2001) mengartikan paradigma
adalah sebagai “teori dasar “ atau cara pandang fundamental, dilandasi nilai-nilai
tertentu, berisikan teori pokok, konsep, metodologi atau cara pendekatan yang
dapat dipergunakan para teoritisasi dan praktisi dalam menanggapi suatu
permasalahan baik dalam kaitan pengembangan ilmu maupun dalam upaya
pemecahan permasalahan bagi kemajuan hidup dan kehidupan manusia.

2. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang dikotoni administrasi public dalam


paradigm administrsi negara ?
Jawab :
Dikotomi antara politik dan administrasi adalah sebuah paradigm administrasi
negara yang memandang adanya pemisahan peran yang jelas antara peran politik
dan peran administrasi dalam penyelenggaraan administrasi negara. hal tersebut
seperti yang dinyatakan oleh Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam
bukunya Politics and Administration menyatakan dua fungsi pokok dari
pemerintah yang berbeda:
 Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
 Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan
negara.
Selanjutnya, Leonard D White yang menyatakan dengan tegas bahwa politik
seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus
bersifat studi ilimiah yang bersifat bebas nilai hal tersebut dinayakan dalam
bukunya Introduction To the study of Public Administration.

3. Jelaskan menurut pandangan saudara perbedaan mendasar tentang perubahan nilai


pada penerapan OPA, NPM dan NPS (pelayanan public) ?
Jawab :
Perbedaan mendasar penyelengaraan administrasi public menurut pendapat saya
adalah pada beberapa aspek antara lain adalah :
- Pada aspek peran negara peran negara dalam pelaksanaan pelayanan public.
Dimana pada awalnuya negara memiliki peran tunggal dan mendominasi
seluruh aktifitas penyelenggaraan negara baik dalam aspek penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan public.
- Pada aspek pelibatan masyarakat dimana masuarakat tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan-keputusan public.
- Pada orientasi pelaksanaan, dimana masyarakat selama masa penerapan OPA
dan NPM hanya ditempatkan sebagai obyek semata-mata.

26
C. Umpan balik dan tindak lanjut
Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan
dari hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan
dan dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test
kepada mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi
tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat
pemerian skor nilai sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat
penguasaan dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan
materi pada bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan
materi dengan kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen
mengulangi kembali pada bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh
mahasiswa. Materi yang rata-rata mengalami pengulangan kembali sebaiknya
dilakukan pengujian melalui test pada ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Perubahan nilai-nilai dalam penyelenggaraan negara telah mendorong
perubahan paradigm administrasi negara. perubahan tersebut dapat dilihat dari
munculnya beberapa teori yang membawa pergeseran pelaksanaan administrasi
negara dengan pendekatan old public administration, ke pendekatan New Public
Administration (NPM) dan New Publik Service (NPS) dalam penyelenggaraan
negara. Dimana hubungan antara negara dengan masyarakat harus lebih dibangun
dalam system keharmonisan yang dapat menjamin proses pelayanan kepentingan
public sera berkualitas melalui penerapan nilai-nilai keterbukaan, profesionalisme
dan akuntabilitas. Adpun terori melandasi penguatan terhadap pelaksanaan nilai-
nilai dasar tersebut antara lain adalah teori tentang demokrasi, Good Governance
dan Reinventing Government.

Daftar Pustaka

Chabib Thoha, …….Kapita Selekta Pendidikan Islam


Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving,
not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
Mustopadidjaja, AR. 2003. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.
Jakarta: BPHK Departemen Kehakiman dan HAM.

27
Nicholas.1988.Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan .Jakarta: CV.
Rajawali.
Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1995. Mewirausahakan Birokrasi, PT Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Cetakan III. Bandung: Alfabeta.
Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan
Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan
Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama.
T. Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Public Kontemporer. cet. ke-4. Kencana : Jakarta

BAB III
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN R.I

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Pada bagian ini akan diuraikan tentang sistem politik dan eksistensi pemerintahan
dalam system administrasi negara. mahasiswa diharapkan dapat memahami peran politik
dan peran administrasi dalam penyelenggaraan kerja sama sebuah negara dalam
mencapai tujuan. Bahwa system politik seabgai bagian dari system administrasi negara.

28
B. Relevansi
Pada bagian ini akan diuraikan tentang lanjutan dari bahasan materi pada bab I
tentang administrasi public sebagai system. Bahasan dalam bab ini merupakan sub bab
dari sistem adminsitrasi negara. bahwa negara dalam eksistensi kerjasama dalam
pencapaian tujuan yang secara adminsitrasi memiliki struktur, fungsi dan perilaku yang
dilakoni oleh unsure-unsur negara itu sendiri dalam pencapaian tujuan. Negara juga
memiliki wilayah yang secara territorial telah mendapat pengakuan secara internasional
sehingga perlu dijaga dari aspek ketahanan dan kedaulatannya sebagai manivestasi dari
pelaksnaan kedaulatan rakyat yang dipercakan kepada pemerintah untuk melindungi
segala aspek yang berhubungan dengan kepentingan negara dan kepentingan public.
Pada aspek tersebut diatas mahasiswa diharapkan mampu memahami baik secara
struktur, secara fungsional dan secara perilaku bahwa lembaga-lembaga negara dan
lembaga pemerintah adalah sebagai sub system yang menjadi bagian dalam system
administrasi negara, dalam eksistensi administrasi negara sebagai administrasi negara
yang menetapkan organisasi adalah lokus dari kajianya keilmuannya sebagaimana yang
telah dipahami dalam bab II tentang paradigm administrasi negara.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat memahami
pengertian tentang politik dan system politik (2) Mahasiswa dapat memaknai peran
sistem politik dalam struktur sistem administrasi negara, (3) Mahasiswa dapat memahami
tentang eksisten birokrasid dalam sistem pemeritnahan

II. Penyajian
A. Sistem Politik
Sebelum membahas tentang system politik terlebih dahulu kita melihat tentang
beberapa pandangan tentang politik dari berbagai aspek yang antara lain seperti
dismpaikan oleh Miriam Budairdjo (2009:13) bahwa politik adalah usaha menggapai
kehidupan yang baik. Ramlan Surbakti (1999:1) menyatakan bahwa Politik adalah
interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal
dalam suatu wilayah tertentu. selanjutnya pengertian politik menurut F. Isjwara,
(1995:42) menyatakan bahwa Politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh
kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan-kekuasaan”.
Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) politik dapat diartikan sebagai aktivitas
perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-
peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat. Dengan
demikian aturan-aturan dan keputusan yang tadi ditetapkan serta dilaksanakan oleh
pemerintah ditengah keadaan sosial yag dipengaruhi oleh kemajemukan / kebhinekaan,
perbedaan kontroversi, ketegangan dan konflik oleh karena itu perlunya di tegakkan tata
tertib sehingga dapat diharapkan dengan penegakan tata tertib tersebut tidak akan terjadi
perpecahan antar masyarakat.
Bila dikaitkan dengan penertian sistem sebagai sekumpulan objek (unsur-unsur atau
bagian-bagian) yang berbeda-beda yang saling berhubungan, saling bekerja sama, dan
saling mempengaruhi satu sama lain serta terikat pada rencana yang sama untuk
mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang kompleks. Maka sistem politik dapat
diartiakan adalah keseluruhan komponen-komponen atau lembaga-lembaga yang
berfungsi di bidang penyelenggaraan fungsi negara dan fungsi-fungsi politik kekuasaan
untuk menentukan dan menjalankan kebiajakan (UU) sesuai mekanisme konstitusi yang

29
telah disepakati secara bersama untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Dalam pandangan secara demokratis, Sukarno (Ibid, : 17) menyimpulkan bahwa,
sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang
berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu
sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Mekanisme dan
system demokrasi dalam satu sistem politik berbeda antara negara yang satu dengan
negara yang lain Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan idiologi bangsa, perbedaan
budaya dan nilai-nilai keperibadian serta sejarah lahirnya suatu negara.
Dari beberapa pandangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sistem politik
adalah rangkaian komponen yang saling berhubungan satu sama lain untuk menjamin
terciptanya interaksi secara luas antar komponen dalam mekanisme pengawasan dalam
merumuskan pilihan-pilihan yang dapat dilaksanakan dan yang tidak dapat dilaksanakan
oleh kekuasaan negara dalam rangka untuk mencapai efektifitas pencapaian tujuan
negara.

B. Eksistensi poltik dalam penyelenggaraan administrasi negara


Penyelenggaraan administrsi negara pada hakekatnya dilakukan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat. Adminsitrasi negara yang seharusnya dilakukan oleh rakyat
selaku pemegang kedaulatan akan tetapi dalam prosesnya pelaksanaan kedaulatan
tersebut dipercayakan kepada lembaga negara untuk penyelenggaraannya. Pembagian
kedaulatan tersebut dijalankan melalui pembagian kekuasaan negara kepada lembaga
eksekutif, legislative dan yudikatif , dimana selaku eksekutif presiden didaulat secara
konstitusional sebagai kepala negara.
Bentuk pemerintah dengan sistem presidensiil seperti yang diterapkan di Indonesia
menempatkan presiden sebagai administrator yang memegang kekuasaan selaku kepala
negara juga sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu seluruh tanggungjawab
penyelenggaraan negara secara administrative dibawah tanggungjawab presiden. Hal
tersebut sangat sangat logis penerapannya dalam bentuk negara kesatuan karena dalam
negara kesatuan tidak ada negara didalam negara, maka keseluruhan aspek aspek
kehidupan bernegara dijalankan dibawah tanggungjawab seorang kepala negara.
Secara empiris, peran president menjalankan dua peran ganda yakni menjalankan
peran politik selaku kepala negara sekaligus menjalankan peran administrasi (birokrasi)
selaku kepala pemerintahan. Dengan demikian berdasarkan ketentuan konstitusi secara
struktur sistem presidensiil tidak menerapkan konsep tentang adanya dikotomi antara
politik dan administrasi. Seperti yang diinginkan oleh Leonard D White (1990-1926)
dalam bukunya “Introduction To the study of Public Administration”, yang menyatakan
dengan tegas bahwa politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan
administrasi negara harus bersifat studi ilimiah yang bersifat bebas nilai
Secara konseptual sistem politik merupakan sarana bagi warga negara untuk
menyalurkan aspiranya dalam mengontrol pelaksanaan kekuasaan negara. karena politik
dijalankan dalam perilaku setiap warga negara, dalam mempengaruhi pengambil
kebijakan sekaligus sebagai control terhadap perilaku penyelenggara negara. Untuk
merasionalisasi adanya pemusatan kekuasaan negara maka peran politik seorang kepala
negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat “genting dan kondisi memaksa”, agar
kekuasaan negara dijalankan secara tidak tak terbatas oleh kepala.
Oleh karena sistem pemerintahan adalah bagian dari proses politik maka sistem
politik harusnya dapat menjembatani antara kepentingan negara dan kepentingan warga
negara. Sebagai media untuk pelaksanaan partisipasi rakyat, sistem politik harus ditata

30
dalam landasan nilai-nilai demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk
dapat menjalankan partisipasinya. Sistem demokrasi adalah sub sistem dalam struktur
sistem politik dalam penyelenggaraan negara.
Selain itu, politik juga dijalankan untuk meningkatkan fungsi Chek and Balance
dalam pelaksanaan kekuasaan negara melalui pembagian kekuasaan antara lembaga
legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan pembagian kekuasaan tersebut diharapkan
pelaksanaan kekuasaan negara dapat dijalankan sesuai dengan amanah rakyat dalam
mewujudkan kesejahteraan. Akan tetapi pendekatan structural tersebut secara empiris
tersebut ternyata tidak berjalan efektif dengan berbagai indikasi adanya berbagai
penyalahgunaan kewenaganan yang dilakukan penyelenggara negara. perilaku kekuasaan
yang dijalankan dalam kekuasaan pemerintahan di masa orde lama dan orde baru yang
penuh dengan berbagai dominasi kekuasaan dengan model pemerintahan yang sentralistis
dimana kekauasaan sulit dikontrol melalui peran kelembagaan politik (legislative)
terhadap eksekutif telah mendorong perlunya untuk penataan kembali sistem dan tatanan
politik yang dijalankan selama ini.
Dampak dari tidak efektifnya sistem politik dalam mengontrol kekuasaan negara
sehingga peran dan fungsi negara menjadi tersandra oleh kepentingan-kepentingan
pribadi dan kelompok membuat pencapaian tujaun mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara konkrit menjadi hal yang luput dari perhatian secara politis. Dengan
demikian maka sistem politik memerlukan tata nilai dalam mengarahkan perilaku politik
agar tetap pada tujuan yang sebenarnya untuk memenuhi aspirasi warga negara. nilai-
nilai dan norma yang mencakup bagaimana mekanisme sistem dijalankan menjadi sangat
penting sebagai pendekatan yang melengkapi dua pendekatan sebelumnya yakni
pendekatan structural dan pendekatan fungsional dalam penataan sistem politik secara
efektif. Dengan demikian maka sistem nilai merupakan sub sisetem yang terbentuk secara
integral dalam penataan sistem politik secara komprehensif.
Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat digambarkan bahwa komponen yang
membentuk sistem politik adalah antara lain: (1) sistem demokrasi, (2) sistem
pemerintahan, (3) sistem kekuasaan, (4) sistem etika (5) sistem control. komponen-
kompenen sistem tersebut dapat digambarkan dalam model sistem politik seperti yang
tampak pada gambar 3 sebagai berikut :
Gambar 3 : Model Sistem Politik

Sistem
Demokrasi
Sistem
Pemerintahan
Sistem Sistem Tujuan
Politik Kekuasaan Negara
Sistem Kontrol

Sistem
Etika

Legal-rationality : “Otoritas”, “Procedure” dam “Objektif”


(pendekatan structural, fungsional dan perilaku, yakob nani-2017)

Sebagai sebuah sistem, peran politik negara yang dijalankan dalam konsep chek
and balance dalam rangka untuk pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan negara
dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang bersih
dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejauhmana peran sistem
politik dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara sehubuhngan dengan

31
pencapaian kesejahteraan masayarakat adalah menjadi pokok bahasan dari sub bahasan
ini.
Oleh karena administrasi negara dijalankan secara berkelanjutan sepanjang negara
masih ada maka proses penyelenggaraan administrasi negara seharusnya tidak
dipengaruhi oleh rezim pergantian kekuasaan. Dengan demikian maka penyelenggaraan
administrasi negara seharusnya tidak dipengaruhi secara pragmatis oleh kepentingan-
kepentingan dalam pelaksanaan proses politik.
Peran-peran politik yang sejatinya diarahkan untuk mewujudkan kepentingan
umum sebagaimana pandangan Miriam Budairdjo (2009:13) bahwa politik adalah usaha
menggapai kehidupan yang baik. Akan tetapi nalitik empiris justru peran-peran politik
dijalankan untuk memenuhi kepentingan pribadi dengan menjalankan pola-pola yang
bersifat transaksional melalaui proses intervensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam kosndisi seperti itu substansi dari peran politik harusnya dijalankan dalam fungsi
control terhadap kekuasaan justru kekuasaan politik secara kelembagaan digunakan untuk
menjalankan misi-misi untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu karena adanya
hubungan transaksional yang terbangun dari budaya-budaya yang bersifat kompromistis.
Dampak dari adanya pola transaksional dalam penyalahgunaan peran control
lembaga politik terhadap kekuasaan justru digunakan sebagai sarana untuk melakukan
hubungan transaksional yang dapat menyebabkan adanya penyimpangan kewenangan
yang dapat mengarah pada perbuatan “Korupsi”.
Dalam kondisi yang demikian bagaimana sistem administrasi negara dapat
meminimalisasi penyimpangan kewenangan kekuaaa politik tersebut. hal tersebut sangat
penting mengingat bahwa adanya perilaku menyimpang berupa intimidasi, intervensi
terhadap birokrasi dapat menyebabkan birokrasi tidak dapat menjalankan peran dan
fungsinya secara netral. Peran birokrasi yang berada dalam peran pemerintah menjadi
sasaran yang empuk karena birokrasi mengelolah anggaran negara. maka dengan
demikian lembaga birokrasi acapkali dijadikan sebagai -ATM Bank” (dalam tanda kutip)
bagi pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk memuluskan kepentingannya.

C. Eksistensi Birokrasi dalam Sistem Adminsitrasi Negara


Birokrasi yang dalam bahasa inggris disebut bureaucracy berasal dari dua kata yaitu
“bureau” yang artinya meja dan “cratein” berarti kekuasaan .jadi maksudnya kekuasaan
yang berada pada orang-orang yang dibelakang meja. Sedang kan menurut kamus besar
bahasa Indonesia kata “birokrasi“ artinya sistem pemerintahan yang di jalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, cara
bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang
berbelit-belit.
Menurut Pryudi Atmosudirdjo dalam Harbani Pasolong (2007: 67)
mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai tiga arti yaitu (1) birokrasi sebagai suatu
tipe organisasi tertentu, (2) birokrasi sebagai system (3)birokrasi sebagai jiwa kerja.
Menurut Weber (dalam Harbani Pasolong, 2007 : 72 ) sebagai berikut:
1) Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan,
rutinitas, dan mendefinisikan tugas dengan baik.
2) Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang
formal,dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan
yang lebih rendah berada dibawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
3) Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis
kualifikasi yang didimonstrasikan dengan pelatiah, pendidikan, atau latihan formal.

32
4) Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasrkan atas
kemampuan, yaitu pengambilan keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan
atas kualifikasi teknik ,kemampuan dan prestasi para calon.
5) Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi–sanksi diterapak secara seragam
dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan denga kepribadian
individual dan preferensi pribadi para anggota.
6) Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier dalam
organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para pegawai
mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka
kehabisan tenaga atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7) Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi, yaitu
pejabat tidak bebas menggunakan jabatan nya untuk keperluan pribadinya termasuk
keluarganya.
Pencapaian tujuan negara secara efektif tidak dapat dilakukan dengan peran-peran
politik semata-mata. Persoalan-persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan
administrasi negara dalam pencapaian tujuan dan pemenuhan berbagai kepentingan
public tidak dapat dipenuhi dnegan pendekatan politik semata-mata. Hal tersebut karena
administrasi negara memerlukan tindakan-tindakan yang membutuhkan sebuah
profesionalitas dan pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan secara rasional.
Pengelolaan negara dengan penguatan pada peran-peran politik ternyata secara
empiris tidak dapat memberikan dampak yang sifnifikan dalam memenuhi ekspektasi
public. Penyelenggaraan dengan pendekatan politik yang dijalankan selama masa orde
baru justru lebih menimbulkan berbagai persoalan karena negara mendominasi seluruh
peran dalam penyelenggaraan pembangunan sehingga membuka ruang dalam
pelaksanaan kekuasaan yang lebih bersifat monopoli dan otoriter. Sama halnya dalam
masa pemerintahan orde baru kreatifitas public tidak cukup berkembang karena dibawah
kendali system pemerintahan yang sangat sentralistik dan membuat birokrasi hanya
sebagai pembenaran patrialisme dalam peran politik pemerintah.
Pendekatan rasional ini seperti yang dikembangkan oleh Max Weber dalam teori
birokrsinnya yang melahirkan adanya prinsip-prinsip penyelenggaraan birokrasi yang
ideal. dengan pendekatan struktural maka kewenangan negara dapat dibagi kepada
lembaga-lembaga negara sebagai mana dalam konsep trias-politica untuk mewujudkan
prinsip “Chek And Balance”, proses rasionalisasi peran juga dapat dilakukan dengan
pendekatan secara fungsional dengan dengan membatasi peran politik “Kepala Negara”
pada “aspek kegentingan” yang memerlukan pengambilan keputusan secara mendesak.
Sedangkan proses rasionalisasi dengan pendekatan etika dapat dilakukan dengan
mendorong pelaksanaan peran-peran birokrasi secara “bebas nilai” agar birokrasi dapat
dijalankan sesuai dengan tanggungjawab secara maksimal dalam prinsip pembangian
tugas dan kewenangan yang jelas.
Prinsip-prinsip tersebut menyaratkan bahwa peran-peran administrasi negara secara
rasional tidak boleh berada dibawah intervensi kekuasaan politik baik secara formal
maupun secara informal. Sehingga pelaku bertanggunjawab penuh atas kekuasaan yang
dijalankannya. Dalam hal ini maka asas-asas normative menjadi sangat penting untuk
merasionalisasi peran politik dan administrasi negara. penguatan terhadap lembaga
peadilan sangat penting dan lembaga-lembaga penegakan hukum seperti KPK dalam
rangka untuk meningkatkan peran penegakan hukum secara adil dan tegas.
Peran birorkasi dalam sistem administrasi negara menurt Max Weber (1947)
memerlukan sebuah formalitas secara rasional dan profesionalisme pelaksana yang sesuai
dengan bidang tungasnya. Penegakan nilai etika dan penegakan hukum diharapkan dapat
memperkuat peran birokrasi dalam menjalankan fungsinya meningkatkan pelayanan

33
publik. Bahwa peran-peran administrasi yang dijalankan oleh lembaga pemerintahan
memerlukan mekanisme birokrasi yang dilandaskan pada norma dan etika
penyelenggaraan administrasi secara rasional.
Peran etika yang dijalankan dalam formalisasi birorkasi Weber sejatinya akan
membatasi secara fungsional antara peran-peran politik dan peran administrasi. Bahwa
eksistensi birorkasi sesungguhnya akan menjembatani antara kepentingan masyarakat dan
kepentingan negara. sebagaimana yang dikatakan oleh Hegel dalam teori birokrasinya.
Kehadiran birokrasi dalam penyelenggaraan administrasi negara memerlukan adanya
keteraturan formal yang memadai. Akan tetapi folmalisasi dalam konsep birorkasi oleh
sebagian kalangan dituding sebagai sebuah “prosedural yang berbelit-belit”, padahal
sejatinya kehadiran keteraturan birorkasi dalam sistem administrasi negara adalah
mendudukan kembali marwa administrasi negara pada konsep yang bebas nilai (netral)
Untuk mewujudkan sebuah sistem birokrasi yang ideal dalam sistem pemerintahan
presidensiil maka sesungguhnya peran politik kepala negara harusnya dijalankan untuk
menjaga netralitas birokrasi dari berbagai kepentingan yang mengeroti penyelenggaraan
administrasi (birokrasi). Karena birokrasi berada dibawah kekuasaannya maka
mewujudkan birokrasi yang netral harusnya menjadi tanggujawab utama dari seorang
kepala negara. Birokrasi sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum administrasi
negara. Lemahnaya penegakan asas, norma dan prinsip-prinsip administrasi negara dapat
menyebabkan sistem administrasi negara mengalami kerapuhan dan akan sulit untuk
mewujudkan sebuah efektifitas. Oleh karena birokrasi sesungguhnya adalah aturan main
dalam penyelenggaraan administrasi negara. maka norma-norma etika dalam
penyelenggaraan birokrasi sepatutnya dikembalikan pada marwa dasarnya yang
mencakup: keterbukaan, profesionalisme, akuntablitas dalam pencapaian tujuan.
Pendekatan nilai etika dalam penyelenggaraan administrasi negara juga akan
mepersoalkan tentang bagaimana nilai-nilai yang diterapkan dalam mekanisme
pengambilan keputusan (perumusan kebijakan public). Kebijakan publik mencakup tiga
hal dasar yakni : (1) kewenangan kelembagaan, (2) mekanisme pengabilan keputusan,
dan (3) dampak dari impelementas kebijakan tersebut.
Dari aspek kewenagnan, proses pengambilan keputusan tersebut tentunnya akan
merujuk pada hirarki peraturan dan perundang-undang yang berlaku berdasarkan
konstitusi. Sehingga berdasarkan hirarki tersebut legalitas kelembagaan yang
berwewenang juga akan terstruktur dalam kewenangan secara hierarki. Dengan demikian
maka pandangan Weber tentang hierarki kewenangan dalam birokrasi bersifat rasional.
Dengan demikian dalam sistem administrasi negara menjadi jelas siapa yang
berkewenangan untuk merumuskan kebijakan public pada tingkat hirarki peraturan yang
ada.
Proses perumuskan kebijakan public sesungguhnya memerlukan sebuah mekanisme
yang baik dengan memperhatikan dukungan public dalam pelaksanaannya. Proses atau
mekanisme yang tidak baik akan menimbulkan ruang atas terjadinya intervensi terhadap
proses penyelenggaraan administrasi pembangunan, adminsitrasi pemerintahan dan
administrasi dalam pelayanan public. Misalnya mekanisme pengambilan keputusan
dalam penetapan APBN/APBD adalah yang paling sensitive kaerena berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya, anggaran dan penetapan sasaran dalam program dan kegiatan
pembangunan.
Akan tetapi secara rasional perumusan kebijakan pembangunan tersebut harusnya
dilandaskan pada beberapa asumsi antara lain adalah : (1) bahwa penetapan program dan
pembangunan memerlukan profesionalisme secara teknogratik dalam penetapan sasaran
secara tepat dengan intervensi kebijakan berdasarkan skala pemenuhan, (2) bahwa proses
politik dalam penetapan anggaran pembangunan untuk mewujudkan Visi dan Misi kepala

34
negara dan atau kepala daerah (3) bahwa tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan
negara dan visi dan misi pemerintahan berada dibawah kepala negara yang juga adalah
kepala pemerintahan.
Akan tetapi beberapa asumsi tersebut dalam fakta empiris menimbulkan beberapa
fenomena yang berbeda dan bertentntang dengan kesadaran rasionalitas. Beberapa
fenomena dimaksud antara lain adalah : (1) Upaya teknokratik dalam penetapan
perencanaan pembagunan yang berkualitas seringkali terabaikan karean legalisasi
APBN/APBD harus dengan UU/Perda sehingga mekanisme politik akan berakhir dengan
kompromi anata legislative dan eksekutif dan dapat mempengarhi struktur perencanaan
(2) pelaksanaan program dan anggaran pembangunan pada hakekatnya dilakukan untuk
mewujudkan Visi dan Misi kepala negara/kepala daerah akan tetapi perencanannya tidak
sepenuhnya berada pada eksekutif karena harus diputuskan bersama dengan legislatif
karena fungsi anggaran yang ada padanya. (3) bahwa tanggung jawab pelaksanaan
APBN/APBD sepenuhnya berada pada kepala negara/kepala daerah akan tetapi proses
perencanaannya tidak sepenuhnya berada padanya.
Model penetapan kebijakan dengan mekanisme yang demikian tak jarang telah
menciptakan ruang-ruang intervensi terhadap peran-peran birokrasi dalam mewujudkan
Visi dan Misi dalam pencapaian kinerja dan efektifitas pembangunan. Akibatnya dapat
menimbulkan perilaku saling lempar tanggungjawab ketika penyelewenangan terhadap
anggaran terjadi.
Misalnya ketika terjadinya kasus korup terhadap dana E-KTP yang telah
menimbulkan kerugian triliunan terhadap anggaran APBN tahun anggaran 2010
(anggaran sebesar 6,9 triliun diajukan 30 Oktober 2009). Adanya sikap saling lempar
tanggungjawab antara legislative dan eksekutif pada periode tahun anggaran tersebut,
ketika kasus korupsi E-KTP tersebut mulai disidik oleh lembaga KPK. Akan sulit siapa
melakukan apa dan siapa bertantungjawab tetang apa akan sulit dilakukan dalam
mekanisme pengambilan keputusan yang ada.
Dengan demikian maka pendekatan ketiga dalam merasionalisasi peran politik dan
peran administrasi adalah pendekatan proses pencapaian tujuan. Pendekatan proses
mencakup tentang mekanisme pelaksanaan kewenangan yang harus dijalankan secara
benar dan memenuhi unsure-unsur rasionalitas. Mekanisme dimaksud beritan dengan
fungsi-fungsi manajemen yang terkait dengan proses perencanaan, penjggaraan,
pelaksanaan dan pengawasan keseluruhan kegiatan administrative sehubungan
pengambilan keputusan.
Bahwa fungsi-fungsi manajemen sangat penting dijalankan dengan baik dan benar
karena memerlukan profesionalitas dan kualifikasi pegawai yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya serta dengan strategi yang benar yakni mekanisme perencanaan, pelaksnaan
dan evaluasi pekerjaan. Pelaksanaan proses dan mekanisme kegiatan juga sangat penting
dilandaskan pada peraturan yang berlaku serta asas-asas etika yang dapat dipertanggung
jawabkan. Hukum harus dijalankan sebagai pedoman utama pada pelaksanaan tugas dan
kewenangan birokrasi karena Seorang Kepala Negara saja dapat tersandara oleh berbagai
kepentingan-kepentingan prakmatis dalam pelaksanaan kekuasaannya apalagi dengan
lembaga birorkasi yang berada dibawahnya. Tentunya akan sulit mengharapkan netralitas
birokrasi dalam budaya intervensi yang didasarkan pada aspek kekuasaan dan
kewenangan semata-mata.
Oleh karena itu maka sistem birokrasi yang efektif memerlukan sistem control
melalui peran public untuk mewujudkan keterbukaan terhadap kebijakan dan perilaku
birokrsi dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan public. Bahwa proses pelibatan
masyarakat akan berjalan secara optimal dengan adanya budaya keterbukaan birokrasi
terhadap seluruh penyediaan informasi public sesuai dengan kepentingan masyarakat

35
secara luas. Pelibatan masayrakat juga akan terdorong dengan adanya mekanisme
pengaduan masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Dengan demikian maka public akan
dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan pembangunan dan pelayanan
public.
Dari beberapa landasan pemikiran diatas maka unsur-unsur birokrasi dalam
konstruksi sistem administrasi negara dapat digambarkan seperti tampak dalam model
sistem birorkasi seperti dalam table 4 sebagai berikut ini :
Gambar 4 : Model Sistem Birokrasi

Dimensi Instrumen Egektifitas

Rasionalitas
kewenangan
Kebijakan
Rasionalitas Publik
tugas & kewjbn

Formalisasi
Sistem nilai
SOP/SPM Tujuan
BIrokrasi ADM Negara
Profesional &
Reward

Keterbukaan &
partisipasi Prosedur
pengaduan
Akuntablitas
Adminsitratif

Legal-rationality : “Otoritas”, “Procedure” dam “Objektif”


(pendekatan structural, fungsional dan perilaku, yakob nani-2017)

III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat juga
dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian setelah
mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga dapat
memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban di luar
ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa. Beberapa
sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan penertian tentang politik dan sistem politik?
2. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi sistem politik dalam sistem
adminsitrasi negara ?
3. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi sistem birokrasi dalam sisten
adminsitrasi negara ?

B. Kunci jawaban
a. Jelaskan penertian tentang politik dan sistem politik ?
Jawab :
Batasan tentang politik diartikan secara berbeda oleh para ahli antara lain
misalnya pandangan Ramlan Surbakti yang menyatakan bahwa Politik
adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan

36
dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat
yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. selanjutnya pengertian politik menurut
sedangkan menurut F. Isjwara, politik diartikan sebagai salah satu perjuangan
untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan-
kekuasaan”.Sedangkan sistem politik rangkaian komponen yang saling
berhubungan satu sama lain untuk menjamin terciptanya interaksi secara luas antar
komponen dalam mekanisme pengawasan dalam merumuskan pilihan-pilihan yang
dapat dilaksanakan dan yang tidak dapat dilaksanakan oleh kekuasaan negara dalam
rangka untuk mencapai efektifitas pencapaian tujuan negara.

b. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi sistem politik dalam sistem
adminsitrasi negara ?
Jawab :
Secara konseptual sistem politik merupakan sarana bagi warga negara untuk
menyalurkan aspiranya dalam mengontrol pelaksanaan kekuasaan negara. karena
politik dijalankan dalam perilaku setiap warga masyarakat untuk mempengaruhi
pengambil keputusan untuk menjalankan kepentingan public dan melakukan
pengawasan terhadap perilaku penyelenggara negara maka untuk merasionalisasi
adanya pemusatan kekuasaan negara oleh kepala negara agar kekuasaan dijalankan
secara tidak tak terbatas. Politik juga dijalankan untuk meningkatkan fungsi Chek
and balance dalam pelaksanaan kekuasaan negara melalui pembagian kekuasaan
antara lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan pembagian kekuasaan
tersebut diharapkan pelaksanaan kekuasaan negara dapat dijalankan sesuai dengan
amanah rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan.

c. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi sistem birokrasi dalam


sisten adminsitrasi negara ?
Jawab :
Eksistensi birokrasi dalam sistem administrasi negara adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui fungsi pelayanan public. Birokrasi juga
diperlukan untuk meningkatkan keteraturan dalam penyelenggaraan kegiatan
adminsitrasi. Selain itu birokrasi akan mendorong pencapaian efektifitas
administrasi.

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada

37
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Sistem politik dan sistem birokrasi adalah bagian dari sistem administrasi
negara. sistem politik adalah sebagai sarana bagi masyarakat untuk melakukan
interaksi antara masayrakat dengan negara, dan antar lembaga negara dan
pemerintahan mewujudkan tujuan negara. Sedangkan sistem birokrasi adalah sistem
yang dijalankan dalam kewenangan pemerintah secara rasional dalam pencapaian
tujuan-tujuan adminsitrasi dalam rangka untuk mewjudkan tujuan negara. Kedua sub
sistem tersebut memiliki persamaan dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan
administrasi negara

Daftar Pustaka

Budiardjo, M, 1986. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.


Beddy Iriawan maksudi, 2012. Sistem politik indonesia, Raja Grafindo Perkasa,
Henry, Nicholas, 1988. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan.
Teijemahan: Luciana D. Lontoh. Jakarta: Rajawali.
Mustopadidjaja, AR (Editor), 2003. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (SANKRI). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Mustopadidjaja, AR. (2003). Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.
Jakarta: BPHK Departemen Kehakiman dan HAM.
Osborn david dan plastrik peter,2000.memangkas birokrasi: lima strategi menuju
pemerintahan wirausaha, PPM: Jakarta
Pasolong Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta
Simon, Herbert A. et al, 1978. Public Administration. New York: Alfred A. KNOPT.
Surbakti, Ramlam. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo.
Thoha, Miftah, 2003. Perkembangan Ilmu Administrasi Negara (Publik). makalah. yang
disajikan dalam Seminar Perkembangan Kurikulum Administrasi Publik di
FISIP UT. Jakarta: PS. ADNE.
White, Leonard D, 1958. Introduction to The Study of Public Administration. New
York: The Macmillan Co.
Waldo, Dwight. 1982. Pengantar Studi Public Administration. Terjemahan: Slamet W.
Admosoedarmo. Jakarta: Aksara Baru.

BAB IV
SISTEM PENEGAKAN HUKUM
DAN ETIKA PENYELENGGARAAN NEGARA

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat

38
Pada bab secara bekelanjutan akan memamahi tentang rekonstruksi sistem tata
nilai dalam penyelenggaraan administrasi negara. mahasiswa juga akan memahami
pentingnya sistem nilai dalan sistem asministrasi negara dari aspek asas dan tujuan
penyelenggaraannya dalam mewujudkan akuntabilitas penyelenggaraan administrasi
negara

B. Relevansi
Bab ini adalah bagian yang integral secara konseptual dalam menjelaskan
kepada mahasiswa tentang sistem nilai dalam penyelenggaraan negara adalah
merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan administrasi negara. Dengan demikian
maka mahasiwa dapat memahami tentang strukruktur dan sisten administrasi negara
Republic Indonesia secara komprehensif.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat
memahami pengertian tentan etika penyelenggaraan negara, (2) landasan hukum
serta sumber nilai dari prinsip-prinsip administrasi negara, (3) asas dan tujuan
penegakan nilai etika penyelenggaraan negara, (4) sistem dan struktur nilai dalam
penyelenggaraan administrasi negara

II. Penyajian
A. Pengertian Etika Penyelenggaraan Negara
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah
“etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno yakni ethos dalam bentuk tunggal memiliki
arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kand penggunaan, karakter, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah
adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya
istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara sederhana “etika” dapat diartikan ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, 1953) “etika”
dijelaskan sebagai ilmua pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Jika kita melihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988)
etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti : 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.

B. Landasan dan sumber nilai etika penyelenggaraan negara


a. Landasan Idiil
b. Landasan Konstitusional (UUD 1945)
c. Landasan Operasional (UU)
d. Landasan Kebijakan Lain
Sistem administrasi Negara merupakan seprangkat prinsip-prinsip administrasi
dalam penyelenggaraan negara. prinsip-prinisp tersebut pada hakekatnya merupakan
seprangkat nilai yang melandasi bagaimana administrasi Negara itu diterapkan. Nilai-
nilai tersebut kemudian disebut sebagai etika dalam penyelenggaraan Negara. bila
penerapan nilai-nilai etika tersebut diwujukan secara berkesinambungan dalam
kehidupan penyelenggaraan Negara maka akan membentuk satu tatanan budaya dalam
penyelenggaraan administrasi Negara. Sehubugan dengan hal tersebut maka pancasila

39
sebagai falsafah dan landasan bernegara, bermasyarakat dan berbangsa adalah
merupakan sumber dari penyelenggaraaan etika bernegara. Oleh karena itu fancasila
diteapkan sebagai sumber seala suumber hukum dalam tata hukum kenegaraan kita.
Pancasila akan bermakna nyata jika dalam implementasinya berfungsi sebagai
the living ideology, sebagai ideologi yang hidup dan nyata, dengan cara sebagai
berikut.
1) Nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam tingkah laku penyelenggara dan warga
negara.
2) Menjiwai dan terefleksi dalam setiap kebijakan administrasi negara, baik dalam
interaksi politik, ekonomi, budaya dan lainnya.
3) Dilaksanakan secara murni dan konsekuen serta taat asas sehingga menjadi
culture of our own, yaitu budaya yang melekat pada perilaku kita (publik).
4) Harus dihindari praktik administrasi negara yang memperlihatkan gejala- gejala
yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti terlalu berorientasi pada
kekuasaan, orientasi materialisme yang serakah, neo feodalisme dan
primordialisme, budaya santai, ketimpangan mencolok dan rasa rendah diri
sebagai warga negara.
5) Diperlukan kepemimpinan yang berwawasan luas, mau melayani publik secara
prima sehingga dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara bertolak untuk
mewujudkan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan akselerasi
pembangunan.

C. Penegakan nilai-nilai etika dan penegakan hukum


1. Asas penegakan hukum
Setiap perundang-undangan yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau prinsip
dasar. Kata asas ialah dasar atau alas (an), sedang kata prinsip merupakan sino-nimnya
(Wojowasito, 1972:17, 227)Asas hukum merupakan fondasi suatu perundang-
undangan. Bila asas tersebut dikesampingkan, maka bangunan undang-undang dan
segenap peraturan pelaksananya akan runtuh. Sudikno Mertokusumo (1996:5-6),
memberikan pandangan asas hukum sebagai berikut : “bahwa asas hukum bukan
merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan
abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan
di belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.
Satjipto Rahardjo (1986:87)menyatakan asas hukum, bukan peraturan hukum.
Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa menge-tahui asas-asas hukum
yang ada di dalamnya. Karena asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-
peraturan hukum dan tata hukum. Beliau, selanjutnya mengibaratkan asas hukum
sebagai jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan :
1) Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan
hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan
kepada asas hukum.
2) Asas hukum karena mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan
sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakatnya.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum tak hanya mempengaruhi
hukum positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hukum itu
dapat membentuk sistem checks and balance. Dalam artian asas hukum itu sering
menunjukkan pada kaidah yang berlawanan. Hal itu menunjukkan adanya sifat saling

40
mengendalikan dan membatasi, yang akan menciptakan keseimbangan. Fuller
menyatakan bahwa dengan merujuk pada asas-asas hukum digunakan dalam menilai
ada tidaknya suatu sistem hukum.
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh
dan berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos kaedah.
Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu mengandung
nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan melahirkan
suatu peraturan selanjutnya.
Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan
hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif dari realitas.
Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan (het
recht hint antcher).
Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis mengenai asas/ prinsip
hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam penyusunan sebuah aturan,
sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo (2005: 45 – 49):
a) Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh
pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten}.
b) Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah
pembentukan hukum (Karl Larens).
c) Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga
terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu
dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi (Meuwissen)
d) Asas adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang
merupakan dasar diletakkannya tingkahlaku kemasyarakatan (King Gie dan Ten
Berg).
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar
persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian
sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu.
Asas-asas hukum (principles of legality) menurut Fuller adalah sebagai berikut :
1) Suatu sistem hukum harus mengandung per-aturan-peraturan yang dimaksud di
sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar ke-putusan- keputusan yang
bersifat ad hoc;
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu ha-rus diumumkan;
3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian
itu tidak dito-lak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman
tingkah laku; membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak
integritas peraturan yang ditujukan untuk berla-ku bagi waktu yang akan datang;
4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam ru-musan yang bisa dimengerti;
5) Suatu sistem tidak boleh mengandung pera-turan-peraturan yang bertentangan
satu sama lain;
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan;
7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga
menyebabkan orang akan kehilangan orientasi;
8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan
sehari-hari.
Segai sebuah system etika atau hukum memiliki unsure-unsur seabgai berikut : (1)
Struktur Hukum (lembaga-lemabga hukum), (2) Substansi Hukum (kaidah-kaidah
hukum dan sikap tindak hukum yang teratur) dan (3) Budaya Hukum, Budaya hukum

41
mencakup pengertian yang diberikan pada hukum oleh masya-rakat, bidang-bidang
tata hukum inter sub-sistem hukum, pengertian dasar, nilai-nilai yang berpasangan.

2. Asas dan tujuan penegakan etika penyelenggaaraan negara


Secara umum tujuan dari pelaksanaan etika penyelenggaraan yaitu untuk
mewujudkankan kehidupan penyelenggara negara yang harmonis, terjaganya
keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
menumbuhkan suasana yang menghargai keterbukaan, ketaatan, disiplin, rasa
tanggung jawab, menjunjung tinggi kejujuran, kesopanan dan kepedulian dalam
pelayanan public. Adapun fungsi penegakan etika penyelenggra negara yaitu sebagai
landasan pemerintah untuk menegakkan tatanan nilai, norma dan etika yang mendasari
dan mengendalikan sikap dan perilaku dalam penyelenggara negara
Dengan demikian maka asas-asas penyelenggaraan administrasi negara secara
konseptual sebagai prinsip-prinsip administrasi dan prinsip-prinsip penyelenggaraan
birokrasi pemerintahan. Beberapa asas-asas penyelenggaran administrasi negara yang
telah menjadi hukum positif adalah antara lain Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
Dalam pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 dimuat beberapa asas umum
penyelenggaraan negara, akan diuraikan sebagai berikut :
1) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan di dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
2) Asas tertib penyelenggaraan negara, yakni asas yang menjadi landasan dari
keteraturan, keserasian dan keseimbangan di dalam pengendalian penyelenggara
negara.
3) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, serta tidak diskriminatif mengenai
penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
5) Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketent peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas-asas yang tercantum dalam UU No. 28 Tahun 1999 tersebut pada awalnya
ditujukan untuk para penyelenggara negara secara keseluruhan, berbeda dengan asas-
asas dalam AAUPL yang sejak semula hanya ditujukan pada pemerintah dalam arti
sempit, sesuai dengan istilah ‘bestuur‘ pada algemeen beginselen van behoorlijk
bestuur, bukan regering atau overheid, yang di dalamnya mengandung arti
pemerintah dalam arti yang luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas dalam
UU No. 28 Tahun 1999 tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan dalam proses peradilan di Peradilan TUN, yakni setelah berlaku UU
No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
TUN.

42
Hukum tata administrasi mempunyai bidang yang jauh lebih luas bila
dibandingkan dengan hukum tata Negara, hukum perdata maupun hukum pidana,
tetapi letaknya berada di bawah hukum tata Negara serta diantara hukum perdata dan
hukum pidana. Sebagaiman hukum-hukum yang lainnya, hukum administrasi Negara
juga memiliki asas-asas Hukum Administrasi Negara ada 5, yaitu :
1. Asas Yuridikitas (rechtmatingheid) yaitu bahwa setiap tindakan pejabat
administrasi Negara tidak boleh melanggar hukum ( harus sesuai dengan rasa
keadilan dan kepatutan).
2. Asas Legalitas (wetmatingheid) yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi
Negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya).
Apalagi Indonesia adalah Negara hukum, maka asas legalitas adalah hal yang
paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.
3. Asas diskersi (Freis Ermessen) yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi
Negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak
bertentangan dengan legalitas. Dengan demikian, setiap pejabat administrasi
negara tidak boleh menolak mengambil keputusan bila ada seorang warga
masyarakat mengajukan permohonan dengan alasan tidak ada peraturan yang
mengaturnya. Adapun asas ini terbagi menjadi dua macam:
a) Diskresi terikat yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara
untuk mengambil keputusan, yaitu dengan menentukan pilihan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
b) Diskresi bebas yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara
untuk mengambil keputusan yaitu dengan membentuk keputusan baru, karena
tidak ditentukan (diatur) dalam peraturan perundang-undangan.
4. Asas non-diskriminatif yaitu Asas yang tidak membedakan perlakuan dalam
segala hal yang berhubungan dengan warga Negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan maupun jenis.
5. Asas upaya memaksa, untuk menjamin ketaatan penduduk kepada peraturan-
peraturan administrasi Negara.

D. Sistem Nilai (etika) dalam penyelenggaraan negara


Pentingnya penataan sistem nilai dalam penyelenggaraan administrasi negara karena
hadirnya peran birokrasi dalam peran politik dan peran administrasi negara. penataan
sistem nilai dan norma-noram dalam penyelenggaraan administrasi negara menjadi sangat
starategis dalam memberikan batasan-batasan tentang pelaksanaan peran politik, peran
administrasi dan peran birokrasi dalam penyelenggaraan administrasi negara.
Secara teoritis bila melandaskan pada konsep teori birokrasi menurut pandangan Mas
Weber maka kehadiran birokrasi sesungguhnya dilakukan untuk merasionalisasi peran
negara dalam mewujudkan tujuan negara. rasionalisasi birokrasi menghendaki secaa jelas
adanya pembagian kewenangan dan peran lembaga-lembaga negara dan unsure
profesionalitas dalam pelasksanaan peran-peran dimaksud.
Untuk mewujudkan profesionalisme dalam peningkatan efektifitas penyelenggaraan
administrasi engara maka peran dan fungsi negara harus diatur secara rasional baik secara
structural-kewenagan maupun secara fungsional dalam pelaksanaan peran dan
tanggunjawabnya. Maka untuk menentukan mekanismen dan perilaku pelaksanaan
kewenangan dalam penyelenggaraan negara dapat dijalankan secara “bebas nilai” tanpa
adanya intervensi antar peran dalam keteraturan yang jelas maka peran administrasi negara
harus dijalankan melalui mekanisme birokrasi yang dilandaskan pada norma dan etika
penyelenggaraan administrasi secara rasional.
Sebagaimana sistem penyelengaraa negara yang tersistem sebagai satu kesatuan dari

43
unsur-unsur penyelenggaraan negara akan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Penataan sistem nilai tersebut akan memaksimalkan peran dan fungsi negara dalam
menwujudkan cita-cita bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam konstitusi.
Bawha pendekatan sistem nilai dan etika merupakan perangkat hukum administrasi yang
mengatur seluruh aspek penyelenggaraan negara.
Secara strukutural konstruksi penataan nilai tersebut dapat dikategorikan berdasarkan
peran kelembagaan, misalnya etika politik yang dijalankan oleh lembaga politik, etika
birorkasi yang dijalankan oleh lemabaga pemerintahan, dan etika penegakan hukum yang
dijalankan oleh lembaga yudikatif dan etika berbangsa dan bernegara dijalankan oleh
seluruh warga negara yang kesemuanya berpedoman pada falsafah negara sebagai sumber
segala sumber hukum (etika).
Lahirnya perubahan tata nilai dari paradigm administrasi negara yang deskripsikan
tentang penataan hubungan antara masyarakat dan pemerintahan. Dalam interaksi antara
negara dan warga negara terlihat adanya pergeseran nilai dari paradigm Old Public
Administration, kemudian ke New Public Manajemen dan saat ini paradigm New public
Service (NPS.) (Denhardt, Kathryn G. 1988).
Penerapan perubahan nilai tersebut dalam administrasi negara harus tetap
dilandaskan pada dan dapat mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa yakni dalam
melestarikan nilai-nilai pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Yang dapat
dijadikan menjadi prinsip-prinsip pelaksanaan adminsitrasi negara berdasarkan bentuk
negara kesatuan dengan sistem politik demokrasi, sistem pemeritnahan presidensiil yang
berlandaskan penyelenggaraan negara berdasarkan hukum.
Secara empiris dalam penyelenggaraan administrasi Indonesia pergeseran nilai dapat
dilihat dari proses perubahan sistem politik dari demokrasi terpimpin ke model demokrasi
yang berkeaulatan rakyat. Sedangkan dalam sistem birokrasi dapat dilihat adanya
pergeseran nilai dalam tata pelaksanaan birokrasi dengan model yang sangat sentralistik ke
model desentralisasi sebagaimana UU nomor 23 tahun 2014 tentang penerapan otonomi
daerah.
Dalam kontek tersebut demokrasi didorang untuk dijalankan berdasarkan asas-asas
demokrasi yang dapat (1) menjamin kehidupan yang plurarisme, (2) menjamin hak asas,
(3) solidaritas, (4) kebebasan untuk berpendapat, (5) dan keadilan social. sementara dalam
system pemerintahan, desentralisasi didorong perubahan nilai-nilai yang lebih bersifat
rasional kerarah pencapaian tujuan bernegara yang dilandaskan pada profesionalitas,
keterbukaan dan akuntabilitas. Sebagaimana dalam penerapan nilai-nilai pemeriantahan
yang baik (Good Governance).
Perubahan nilai-nilai dasar tersebut telah melandasi lahirnya berbagai UU seperti
seperti : (1) UU nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan public, (2) UU nomor 14 tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, (3) UU nomor 23 tentang Pemerintahan
Daerah, (4) UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan lain sebagainya.
Secara garis bersar berdsarkan pokok-pokok pikiran atas maka konstruksi perubahan
tata nilai dalam penyelenggaraan administrasi negara dapat dilihat dari beberapa
pendekatan antara lain adalah : (1) filosofis lahirnya perubahan nilai falsafah (2) lembaga
penyelenggaran negara (3) perilaku penegakan hukum itu sendiri. Hubungan antar unsur
tersebut dapat digambarkan dalam model sistem hukum (penegakan etika) sebagaimana
dalam gambar 5, seabgai berikut :
Gambar 5 : Model Sistem Hukum (Etika Penyelenggaraan Negara

Faslsah
Nilai Stabilitas
UUD
Keperibadian Nasional
Agama
44 Budaya

Prinsip
Demokrasi Etika
Etika-Asas dan Prinsip Politik
Sistem
III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan pengertian tentang etika dalam penyelenggaraan administrasi Negara ?
2. Sebutkan tentang landasan dasar penyelenggaraan nilai-nilai etika
penyelenggaraan Negara ?
3. Jelaskan tentang asas dan tujuan penerapan etika dalam penyelenggaraan Negara?
4. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang sistem tata nilai dalam
penyelenggaraan administrasi negara ?
5. Sebutkan beberapa peraturan sebagai contoh dalam perubahan tata nilai
penyelenggaraan administrasi negara ?

B. Kunci jawaban
1. Jelaskan pengertian tentang etika dalam perspektif penyelenggaraan administrasi
Negara ?
Jawab :
“Etika” dapat diartikan ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama
(Poerwadarminta, 1953) “etika” dijelaskan sebagai ilmua pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988) etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti : (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan

45
dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.

2. Sebutkan tentang landasan dasar penyelenggaraan nilai-nilai etika


penyelenggaraan Negara ?
Jawab :
Landasan penyelenggaraan etika adalah landasan idiil, landasan
konstitusional, landasan operasional dan landasan kebijakan lain.

3. Jelaskan tentang asas dan tujuan penerapan etika dalam penyelenggaraan Negara?
Jawab :
Secara umum tujuan dari pelaksanaan etika penyelenggaraan yaitu untuk
mewujudkankan kehidupan penyelenggara negara yang harmonis, terjaganya
keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
menumbuhkan suasana yang menghargai keterbukaan, ketaatan, disiplin, rasa
tanggung jawab, menjunjung tinggi kejujuran, kesopanan dan kepedulian dalam
pelayanan publik Adapun fungsi penegakan etika penyelenggra negara yaitu
sebagai landsan pemerintah untuk menegakkan tatanan nilai, norma etika yang
mendasari dan mengendalikan sikap tindak, perilaku dan ucapan penyelenggara
negara dalam menjalankan profesi pada bidang tugasnya dalam kegiatan
penyelenggaraan negara.

4. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang sistem tata nilai dalam


penyelenggaraan administrasi negara ?
Jawab :
Etika merupakan sebuah tatanan nilai dalam penyelenggaraan Negara.
Sebagai sebuah system etika mencakup seluruh dimensi dalam penyelenggaraan
administrasi Negara. Oleh karena itu etika penyelenggaraan Negara mencakup
tiga unsure pokok yakni etika penyelenggaraan kekuasaan Negara disebut sebagai
etika politik, etika penyelenggaraan pemerintahan disebut sebagai etika birokrasi
dan etika dalam pelaksanaan penegakan hukum adalah disebut sebagai etika tata
peradilan. Ketika system etika dalam penyelenggaraan Negara ini sesungguhnya
saling berkaitan satu sama lain tetapi diterapkans secara terpisah pada peran-peran
lembaga secara terpisah. Dengan demikian maka etika tidak hanya lahir dari
sebuah filosofi tentang adanya sebuah Negara melainkan etika juga dapat lahir
dari lingkup pelaksanaan tugas dalam pencapaian tujuan.

5. Sebutkan beberapa peraturan sebagai contoh dalam perubahan tata nilai


penyelenggaraan administrasi negara ?
Jawab :
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 yang kemudian di revisi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat

46
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Sistem nilai adalah tata keteraturan dalam penyelenggaraan administrasi
negara. Keteraturan tersebut mencakup pengaturan peran politik dalam
penyelenggaraan negara, peran administrasi, dan peran penegakan hukum dalam
penyelenggaraa administrasi negara secara utuh. Peran politik dapat diatur dalam etika
politik, peran birokrasi diatur dalam struktur etika birokrasi dan peran penegakan
hukum dapat diatur dalam etikan penegakan hukum.
Penerapan nilai-nilai etika dalam penyelenggaraan negara dilaukukan dalam
mewujudkan keteraturan dalam penyelenggaraan administrasi negara serta dapat
meningkatkan harmonisasi dan sinergitas antara lembaga masyarakat dan penataan
antara hubungan antara warga negara dengan pemerintah dan warga negara dengan
lembaga-lembaga negara (negara).

Daftar Isi

Bank Dunia, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas Untuk


kemajuan, World Bank Office, Oktober 2003
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.
Dabur, Elias Sumardi. 2010. Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa. Jurnal Nasional 9-
12-2010.
Handoyo, Eko Dkk. 2010. Etika Politik dan Pembangunan. Semarang: Widya Karya
Semarang.
Yeremias T Keban, 2003, Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan
Implikasinya bagi Pelayanan Publik, Bahan Ajar, Badan Diklat Depdagri
________ UU nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan public,
________ UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
________ UU nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah,
________ UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan lain sebagainya.
________ UU nomor 23 tahun 2014 tentang penerapan otonomi daerah.

BAB V
PERAN FUNGSI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat

47
Setelah memahami sistem adminsitrasi negara secara konseptual maka untuk
melengkapi pemahaman mahasiswa tentang “sistem administrasi negara R.I”, bab ini
akan memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentng tugas dan fungsi lembaga
negara dan hubungan antara lembaga negara menjalankan tugas dan fungsinya.

B. Relevansi
Bab ini akan melengkapi konsep yang secara konseptual tentang administrasi
negara dengan bahwan ini mahasiswa dapat diarahkan pada pemahanan yang bersifat
lebih empiris menyangkit peran dan fungsi negara kedalam tugas dan fungsi
lembaga-lembaga negara.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat
memahami kedudukan dan susunan lembaga-lemabga negara (2) mahasiswa dapat
memahami tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara dan (3) Hubungan antara
lembaga-lembaga negara.

II. Penyajian Materi


A. Kedudukan Dan Susunan Lembaga-Lembaga Negara
Kedudukan dan susunan lembaga-lembaga Negara sebagaimana dalam UUD 1945
dan perubahannya adalah sebgaia berikut :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2) Presiden;
3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun peran dan fungsi Negara kemudian dijabarkan kedalam peran dan fungsi
lembaga-lembaga Negara seperti yang tergambar dalam gambara 6, sebagai berikut :

Gambar 6
Peran Dan Fungsi Lembaga Negara

MPR Presiden DPR DPD BPK MA MK

Konsultatif Ekekutif- Legislatif Legislatif Audikatif Yudikatif Yudikatif


legislatif

Gambar 7
Susunan Dan Kedudukan Lemabga-Lembaga Negara

48
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Keberadaan MPR diatur berdasarkan pasal 2, pasal 3, pasal 7A, pasal 7B, pasal
8, pasal 9 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai kelembagaan MPR
secara rinci diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2003 tetap susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
a. Kedudukan
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara, dengan susunan dan keanggotaannya sebagai berikut:
 MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui
Pemilihan Umum;
 Keanggotaan MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden;
 Masa jabatan Anggota MPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada
saat Anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji;
 MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
b. Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 2003, tugasdan wewenang MPR
adalah:
1) Mengubah dan menetapkan UUD;
2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan
umum dalam sidang paripurna MPR;
3) Memutus usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan

49
penjelasan didalam sidang paripurna MPR;
4) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden, apabila Presiden berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya;
c. Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR. Sidang dan Putusan Selain
sidang yang sedikitnya dilakukan sekali dalam lima tahun di ibukota negara, MPR
juga melakukan sidang untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagaimana disebutkan dalam butir b di atas.
Sidang MPR sah apabila dihadiri :
1) Sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR
untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden;
2) Sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan
menetapkan UUD;
3) Sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari jumlah Anggota MPR untuk
selain sidang-sidang sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2.
d. Alat Kelengkapan MPR terdiri atas :
1. Pimpinan;
2. Panitia Ad Hoc, dan
3. Badan Kehormatan.
Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang atas kelengkapan MPR diatur dalam
Peraturan Tata Tertib MPR. Alat kelengkapan MPR ini disusun menurut
pengelompokkan kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas MPR.
e. Pimpinan MPR
Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2003 disebutkan bahwa Pimpinan MPR
terdiri atas seorang Ketua dan Tiga orang Wakil Ketua yang mencerminkan unsur
DPR dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna
MPR.
f. Sekretariat Jenderal MPR
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas MPR dibentuk Sekretariat
Jenderal yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan personalnya terdiri
pegawai negeri sipil. Organisasi Sekretariat Jenderal MPR harus disusun sesuai
dengan perkembangan ketatanegaraan untuk meningkatkan kualitas,
produktivitas, dan kinerja pelaksanaan fungsi dan tugas MPR. Sekretariat Jenderal
MPR dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan seorang Wakil Sekretaris
Jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul
Pimpinan MPR.

2. Presiden
Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan
Presiden adalah pasal 3, 4, 5, 6, 6A, 7, 7A, 7B, 7C, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 20, 22, 22E, 23, 23F, 24A, 24B dan 24C.
a. Kedudukan
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Presiden sebagai salah satu lembaga
negara menj alankan fungsi eksekutif dengan kedudukannya selaku Kepala
Pemerintahan dan Kepala Negara.
1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan
Selaku Kepala Pemerintahan, Presiden menjalankan dua fungsi yaitu fungsi
eksekutif dan fungsi legislative. Dalam hal menjalankan fungsi eksekutif,
Presiden :
 Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat (1) UUD

50
1945);
 Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menj alankan UU sebagaimana
mestinya (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945).
Dalam hal menjalankan fungsi legislatif, Presiden :
a) Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR (Pasal 5 ayat
(1)) dan mengajukan Rancangan Undang-Undang APBN untuk dibahas
bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2)
UUD 1945);
b) Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945);
c) Mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945);
d) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945).
2) Presiden selaku Kepala Negara
Kewenangan dan tugas Presiden selaku Kepala Negara adalah :
a) Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Udara
dan Angkatan Laut (Pasal 10 UUD 1945);
b) Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain, dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (1) UUD 1945);
c) Dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (2) UUD
1945);
d) Menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang- undang (Pasal 12);
e) Mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1)); dan dalam hal mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat (2) UUD
1945);
f) Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (pasal 13 ayat (3) UUD 1945);
g) Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1) UUD 1945);
h) Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
(Pasal 14 ayat (2) UUD 1945);
i) Memberi gelar, tandaj asa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan Undang-Undang (Pasal 15);
j) Meresmikan keanggotaan MPR, DPR dan DPD (Pasal 3, 17 dan 33 UU
No.22 Tahun 2003);
k) Menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 UU
No. 24 Tahun 2003)
l) Menetapkan Hakim Agung, yang calonnya diusulkan oleh Komisi Yudisial
kepada dan telah disetujui DPR (Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945);
m) Mengangkat dan memberhentikan Anggota Komisi Yudisial dengan
persetujuan DPR (Pasal 24 B ayat (3) UUD 1945);
n) Meresmikan Anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR atas dasar
pertimbangan DPD (Pasal 23 F ayat (1) UUD 1945).

51
b. Pembantu Presiden
1) Dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden;
2) Dalam Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, disebutkan bahwa Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara. Menteri-menteri Negara, dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan dibedakan:
a) Menteri Negara Koordinator ialah pembantu Presiden dengan tugas pokok
mengkoordinasikan, mensinkroni- sasikan penyiapan dan penyusunan
kebijaksanaan serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan
pemerintah negara;
b) Menteri Negara yang memimpin departemen (Keppres No. 102 tahun 2001)
dan biasa disebut Menteri saja;
c) Menteri Negara yang tidak memimpin departemen dengan tugas pokok
merumuskan kebijakan dan koordinasi bidang tugas tertentu dalam kegiatan
pemerintahan negara dan biasa disebut Menteri Negara;
d) Menteri Muda, adalah Menteri Negara yang tidak memimpin departemen
dan diperbantukan oleh Presiden kepada Menteri Negara lain. Dalam
Kabinet Indonesia Bersatu (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) tidak ada
Menteri Muda.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan negara, Menmud telah berganti
peran sebagai berikut :
(1) menangani bagian tertentu dari tugas Menteri yang dibantu, pada Kabinet
Pembangunan III dan IV Menmud Peningkatan Penggunaan Produksi
Dalam Negeri, Menmud Perumahan Rakyat; juga Menmud Sekretaris
Kabinet dalam Sekretariat Negara;
(2) “Wakil” Menteri dalam Kabinet Pembangunan V, seperti Menmud
Keuangan, Menmud PPN/Wakil Ketua Bappenas. Jabatan Menmud sebagai
wakil menteri terdapat pula dalam Kabinet parlementer Pemerintah RI
Yogya;
(3) Memimpin departemen pada Kabinet Kerja I zaman Orde Lama.
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang (Pasal 17 ayat (4) UUD 1945).
c. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan bahwa: Calon Presiden
dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak
pemah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6
ayat (1));
1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik, peserta Pemilihan Umum dan dipilih secara langsung
oleh rakyat (Pasal 6 A ayat (4) dan (2));
2) Pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang mendapat suara lebih
dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen
suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Propinsi di
Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (3));
3) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden dan tata cara
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-
undang (Pasal 6 ayat (2)).

52
d. Masa Jabatan dan pemberhentian dalam masa jabatan
1) Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945);
2) Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
MPR atas usul DPR baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7 A
UUD 1945);
3) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal 7 B ayat (1) UUD 1945);
4) Pendapat DPR tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
DPR (Pasal 7 B ayat (2) UUD 1945);
5) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus seadil-
adilnya dalam waktu 90 hari setelah permohonan DPR diterima (Pasal 7 B
ayat (4) UUD 1945);
6) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum termaksud dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR
mengadakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7 B ayat (5) UUD
1945);
7) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut
paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul dimaksud (Pasal 7 B ayat (6)
UUD 1945); Keputusan MPR tersebut harus diambil dalam rapat paripurna
yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden
dan/atau Wakil. Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan
dalam rapat paripurna MPR (Pasal 7 B ayat (7) UUD 1945);
8) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya (Pasal 8 ayat (1) UUD 1945);
9) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat- lambatnya dalam
waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden
dari 2 calon yang diusulkan oleh Presiden (Pasal 8 ayat (2) UUD 1945);
10) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksanaan tugas ke-Presiden-an adalah Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-
lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden-nya meraih suara terbanyak

53
pertama dan keluar dalam pemilu sebelum nya, sampai berakhir masa
jabatannya (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945).
11) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003.
e. Kesekretariatan Yang Membantu Presiden Sekretariat Negara
Berdasarkan Perpres No. 31 Tahun 2005, Sekretariat negara adalah lembaga
pemerintah yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden dan mempunyai tugas untuk memberikan dukungan teknis dan
administrasi kepada Presiden selaku Kepala Negara dan Wakil Presiden dalam
menyelenggarakan kekuasan negara. Sekretariat Negara dipimpin oleh Sekretaris
Negara.

3. Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR )


Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, pada Bab VII diatur tentang
DPR sebagaimana tersebut pada pasal-pasal 19; 20; 20 A; 21; 22; dan 22 B. Selain
itu dalam UUD 1945 dan perubahannya, terdapat pula pasal-pasal lain yang
berkaitan dengan DPR seperti dalam ketentuan pasal-pasal 2; 5; 7A; 7B; 7C; 9; 11;
13; 14; 22D; 22E; 23; 23E; 23F; 24B dan 24C. Mengenai kelembagaan DPR secara
rinci diatur dalam Undang- Undang No.22 Tahun 2003.
a. Kedudukan
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga
negara. (Pasal 24 UU No.22 Tahun 2003).
b. Tugas dan Wewenang
Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No.22 Tahun 2003, tugas dan wewenang
DPR adalah:
1) Membentuk UU yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama;
2) Membahas dan memberikan persetujuan, Peraturan Pemerintah Pengganti
UU;
3) Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan
dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
4) Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-Undang APBN
dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama;
5) Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memper- hatikan pertimbangan
DPD;
6) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, APBN,
serta Kebijakan Pemerintah;
7) Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD
terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama;
8) Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
9) Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksanaan atas pertanggung
jawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
10) Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
11) Memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;

54
12) Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk ditetapkan;
13) Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta,
menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan
dalam pemberian amnesti dan abolisi;
14) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau pembentukan Undang-Undang;
15) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat, dan
c. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam undang-
undang. Fungsi
Dalam Pasal 25 UU No.22 Tahun 2003, disebutkan bahwa DPR mempunyai
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan:
1) Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang- undang yang dibahas
dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
2) Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan APBN bersama
Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
3) Fungsi pengawasan adalah fungsi melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
d. Susunan dan Keanggotaan
Dalam pasal 16, 17 dan 18 UU No. 22 Tahun 2003 diatur susunan dan
keanggotaan DPR sebagai berikut:
1) DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih
berdasarkan hasil pemilihan umum;
2) Anggota DPR beijumlah 550 orang dan keanggotaannya diresmikan dengan
Keputusan Presiden;
3) Anggota DPR berdomisili di ibukota negara RI;
4) Masa jabatan Anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada
saat Anggota DPR yang baru mengucap-kan sumpah/janji.
e. Hak DPR, dan Hak dan Kewajiban Anggota
Sesuai pasal 27 UU No.22 Tahun 2003, DPR mempunyai hak yaitu:
1) Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
2) Hak Angket, yaitu hak DPR sebagai lembaga untuk melakukan penyelidikan
terhadap kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
3) Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan
pendapat terhadap kebij akan Pemerintah atau mengenai kej adian luar biasa
yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

55
Selain hak-hak tersebut, sesuai pasal 3D UU No.22 Tahun 2003 dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. DPR berhak meminta Pejabat Negara,
Pejabat Pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan
keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan
negara. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap Pejabat Negara, Pejabat
Pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan
DPR tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 28 dan 29 UU No.22 Tahun 2003 dinyatakan Hak
dan Kewajiban Anggota DPR sebagai berikut:
1) Setiap Anggota DPR mempunyai hak:
a) Mengajukan RUU;
b) Mengajukan pertanyaan;
c) Menyampaikan usul dan pendapat;
d) Memilih dan dipilih;
e) Membela diri;
f) Imunitas;
g) Protokoler, dan
h) Keuangan dan administrate.
2) Sedangkan kewajiban Anggota DPR adalah :
a) Mengamalkan Pancasila;
b) Melaksanakan UUD 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-
undangan;
c) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan NKRI;
e) Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f) Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
g) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan;
h) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih
dan daerah pemerintahannya;
i) Mentaati kode etik dan peraturan tata tertib DPR, dan
j) Menjaga etika dan norma hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
f. Alat Kelengkapan
Dalam pasal 98 ayat (2) UU No.22 Tahun 2003, alat kelengkapan DPR
terdiri atas:
1) Pimpinan;
2) Komisi;
3) Badan Musyawarah;
4) Badan Legislasi;
5) . Badan Urusan Rumah Tangga (BURT);
6) Badan Kerjasama Antar Parlemen;
7) Badan Kehormatan;
8) Panitia Anggaran, dan
Alat Kelengkapan lain yang diperlukan dalam Pembentukan, susunan, tugas
dan wewenang alat kelengkapan DPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Setiap Anggota DPR wajib berhimpun dalam fraksi.
g. Pimpinan DPR
Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua yang
dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR (Pasal 21 ayat

56
(1) UU No. 22 Tahun 2003). Ketua dan Wakil Ketua DPR diresmikan dengan
Keputusan DPR.
h. Sekretariat Jenderal DPR
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPR, dibentuk Sekretariat
Jenderal yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personalnya terdiri atas
Pegawai Negeri Sipil. Organisasi Sekretariat Jenderal harus disusun sesuai dengan
perkembangan ketatanegaraan untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan
kineija pelaksanaan fungsi dan tugas DPR. Sekretariat Jenderal DPR dipimpin
seorang Sekretaris Jenderal dan seorang Wakil Sekretaris Jenderal yang diangkat
dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR.
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan lembaga ini ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 22C dan Pasal
22D UUD 1945. Sedangkan mengenai susunan dan kedudukan DPD diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD dan DPRD.
a. Kedudukan
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga
negara (Pasal 40 UU NO.22 Tahun 2003).
b. Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan Pasal 42 UU No.22 Tahun 2003, tugas dan wewenang DPD adalah:
1) Mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran,
dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
2) Mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana tersebut pada butir 1
kepada DPR untuk dibahas bersama dengan DPD sebelum DPR membahas
RUU dimaksud dengan Pemerintah;
3) Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah;
4) Melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana tersebut
pada butir 3 bersama DPR dan Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I
atas undangan DPR
5) Memberikan pertimbangan secara tertulis kepada DPR atas rancangan
undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama sebelum memasuki tahapan pembahasan antara
DPR dan pemerintah;
6) Memberikan pertimbangan secara tertulis kepada DPR dalam pemilihan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
7) Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama. Hasil
pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti;
8) Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan
bahan pembuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang

57
APBN.

c. Fungsi
Dalam pasal 41 UU No.22 Tahun 2003, fungsi DPD disebutkan sebagai berikut:
1) Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
2) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
d. Susunan dan Keanggotaan
1) Pasal 32 UU No.22 Tahun 2003 menyebutkan bahwa DPD terdiri atas wakil-
wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum;
2) Mengenai keanggotaan DPD diatur dalam Pasal 33 dan 34 UU No.22 Tahun
2003 yang menyebutkan bahwa:
a) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang;
b) Jumlah seluruh Anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah Anggota DPR;
c) Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden;
d) Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang
bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia;
e) Masa jabatan Anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada
saat Anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
e. Hak DPD, dan Hak dan Kewajiban Anggota DPD
1) Hak DPD sebagaimana dinyatakan dalam pasal 48 UU No.22 Tahun 2003
adalah: Mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
uraian tugas dan wewenang DPD tersebut di atas. Hak dan Kewajiban Anggota
DPD tercantum dalam pasal 49 dan pasal 50 UU No.22 Tahun 2003. Setiap
Anggota DPD mempunyai hak:
a) Menyampaikan usul dan pendapat;
b) Memilih dan dipilih;
c) Membela diri;
d) Imunitas;
e) Protokoler;
f) Keuangan dan Administrate.
Sedangkan kewajiban Anggota DPD adalah:
a) Mengamalkan Pancasila;
b) Melaksanakan UUD 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-
undangan;
c) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara
kesatuan Republik Indonesia;
e) Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindak- lanjuti aspirasi
masyarakat dan daerah;
g) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan;
h) Memberikan pertanggung jawaban secara moral dan politis kepada pemilih
dan daerah pemilihannya;
i) Mentaati kode etik dan peraturan tata tertib DPD;
j) Menjaga etika dan moral adat istiadat yang diwakilinya.
k) Ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
uraian tugas dan wewenang DPD tersebut di atas

58
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK diatur berdasarkan pasal 23E, 23F dan 23G UUD 1945, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1973 yang dijabarkan lebih lanjut dengan SK BPK
No.11/SK/K/1993 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pemeriksa Keuangan.
a. Kedudukan
BPK adalah sebuah Lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara yang bebas dan mandiri berkedudukan
di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap Provinsi.
b. Tugas, Kewajiban, Wewenang dan Fungsi
1) BPK mempunyai tugas pokok untuk memeriksa:
a) Tanggung j awab pemerintah tentang keuangan negara;
b) Semua pelaksanaan APBN, APBD, anggaran BUMN dan anggaran BUMD
berdasarkan atas ketentuan undang-undang.
2) BPK berkewajiban untuk memberitahukan:
a) Hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya;
b) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang-undang
c) Perbuatan yang merugikan Keuangan Negara kepada Pemerintah dan
khusus persoalan pidana kepada Kepolisian/Kejaksaan.
3) Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajiban di atas, BPK berwenang untuk
meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, Badan/Instansi
Pemerintah dan Badan Swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang;
4) Untuk melaksanakan tugasnya, BPK mempunyai fungsi utama sebagai berikut:
a) Fungsi Operatif, yakni melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan atas
tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan wewenang yang ditetapkan
dalam UUD 1945;
b) Fungsi Rekomendasi, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah
tentang penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban keuangan
Negara;
c) Fungsi Yudikatif, yakni menyelenggarakan proses tuntutan perbendaharaan
terhadap bendaharawan yang salah atau alpa sehingga mengakibatkan
kerugian bagi negara dan mengikuti pelaksanaan proses ganti rugi yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap Pegawai Negeri bukan bendaharawan
yang karena perbuatan melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya
telah menimbulkan kerugian bagi negara.
c. Bentuk, Keanggotaan, Kewajiban dan Tugasnya:
1) BPK berbentuk dewan, yang selanjutnya disebut Badan;
2) Keanggotaan Badan.
a) Terdiri atas:
 seorang Ketua merangkap anggota;.
 seorang Wakil Ketua merangkap anggota;
 5 (lima) orang anggota.
b) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD
dan diresmikan oleh Presiden untuk masa jabatan 5 tahun;
c) Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota;
d) Apabila karena berakhirnya masa jabatan anggota akan terjadi kekosongan
dalam keanggotaan, maka jabatan anggota-anggota diperpanjang sampai
terselenggaranya pengangkatan atas sekurang- kurangnya 3 (tiga) orang

59
anggota;
e) Untuk menjamin kontinuitas kerja dan tanpa mengabaikan kebutuhan akan
penyegaran, maka untuk setiap penggantian keanggotaan sedapat-dapatnya
3 orang anggota lama diangkat kembali;
3) Badan berkewajiban:
a) Menetapkan kebijakan tentang pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan
negara baik jangka panjang, menengah maupun jangka pendek dan
mengendalikan pelaksanaannya;
b) Melakukan penelitian dan penganalisaan terhadap pelaksanaan peraturan
perundangan di bidang keuangan negara;
c) Menetapkan gagasan untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah
dalam hal-hal tertentu di bidang keuangan negara;
d) Melakukan tuntutan perbendaharaan berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku. Dalam hal Pemerintah melaksanakan proses tuntutan ganti
rugi, Badan memberikan pertimbangan kepada Pemerintah.
d. Alat Kelengkapan
1) Sekretariat Jenderal;
2) Auditorat Utama, sebagai Pelaksana Pengawasan dan Pemeriksaan;
3) Inspektorat Utama Perencanaan, Analisa, Evaluasi dan Pelaporan;
4) Inspektorat Utama Pengawasan Intern dan Khusus.

6. Mahkamah Agung (MA)


MA diatur berdasarkan Pasal 24, 24A, dan 25 UUD 1945. Sebagai penjabaran
pasal-pasal tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 1 UU No.5
tahun 2004 menyebutkan bahwa MA adalah salah satu perilaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 UU
No.4 Tahun 2004). Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman selain dilakukan oleh
MA juga dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah MA dalam
lingkungan pengadilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
a. Kedudukan
1) MA adalah Lembaga Negara;
2) MA adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain;
3) MA berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
b. Tugas dan Wewenang
MA bertugas dan berwenang :
1) Memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding
atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan peradilan karena:
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang baru;
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

60
bersangkutan;
2) Memutus sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
4) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU;
Menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pem- bentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
5) Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyeleng- garaan peradilan di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
6) Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya;
7) Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari semua lingkungan peradilan;
8) Memberi petunjuk, teguran mengadili antara:
a) Pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di
lingkungan peradilan lain;
b) Dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat
Banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama;
c) Dua Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan peradilan yang sama atau
antara lingkungan peradilan yang berlainan.
9) Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul
karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh Kapal Perang RI
berdasarkan peraturan yang berlaku;
10) Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi
dan rehabilitasi;
11) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah
MA;
12) Melakukan pengawasan atas Penasehat Hukum dan Notaris;
13) Memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta
maupun tidak kepada lembaga negara lain;
14) Meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada pengadilan di
semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan
kehakiman;
15) Kewenangan lainnya yang diberikan UU.
c. Fungsi
MA mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi peradilan, fungsi
pengawasan, fungsi pengaturan dan fungsi pemberian nasehat yang masing-
masing disertai dengan wewenang dan tugas tertentu.
d. Susunan Mahkamah Agung
MA terdiri dari:
1) Pimpinan yang terdiri dari:
a) Seorang Ketua;
b) Dua Wakil Ketua (Wakil Ketua Yudisial dan Wakil Ketua Non Yudisial);
c) Beberapa orang Ketua Muda.
2) Hakim Anggota. Pimpinan dan Hakim Anggota MA adalah Hakim Agung.
Jumlah Hakim Agung paling banyak 60 orang; Panitera dibantu oleh
beberapa orang Panitera Muda dan beberapa orang Panitera Pengganti;
3) Seorang Sekretaris Mahkamah Agung.

61
7. Mahkamah Konstitusi (MK)
MK diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Sebagai penjabaran
pasal-pasal tersebut diterbitkan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam pasal 24C UUD 1945 diatur hal-hal sebagai berikut :
a. Kedudukan dan Susunan Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Susunan Mahkamah Konstitusi
mempunyai 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden, yang diajukan masing-masing : 3 orang dari MA, 3 orang dari DPR, dan
3 orang dari Pengadilan.
Mahkamah Konstitusi terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi.

b. Tugas dan Wewenang


1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan
bersifat final untuk:
a) Menguji undang-undang terhadap UUD;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD;
c) Memutus pembubaran partai politik;
d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, MK dibantu oleh sebuah
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.

B. Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara


Dalam penyelenggaraan negara terjadi hubungan antar Lembaga Negara yang satu
dengan yang lain. Hubungan tersebut diatur dalam UUD 1945, UU No.22 Tahun 2003,
UU No.24 Tahun 2003, UU No.5 Tahun 2004, UU No.5 Tahun 1973, UU No.23 Tahun
1999 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
1. MPR dengan Presiden
a. Presiden dan wakil Presiden dilantik oleh MPR;
b. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan MPR atau
DPR;
c. Jika MPR dan DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah atau berjanji dihadapan Pimpinan MPR disaksikan oleh
Pimpinan MA; Apabila Wakil Presiden berhalangan, Presiden dan/atau DPR
dapat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk memilih Wakil
Presiden;
d. Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR sebelum habis masa
jabatannya, baik apabila telah terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
e. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden MPR memilih Wakil

62
Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden;
f. Presiden dan Wakil Presiden menyampaikan pengadilan dalam sidang paripurna
MPR sebelum MPR memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
g. Presiden meresmikan keanggotaan MPR dengan Keputusan Presiden.
2. MPR dengan DPR
a. Anggota DPR adalah anggota MPR yang dipilih melalui Pemilu;
b. DPR mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR
dan MPR mengadakan sidang untuk memutus usul DPR.
3. MPR dengan DPD
a. Anggota DPD adalah anggota MPR yang dipilih melalui pemilu;
b. Pimpinan MPR terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua yang
mencerminkan unsur DPD.
4. Presiden dengan DPR
a. Presiden bekerjasama dengan DPR, tetapi tidak bertanggungjawab kepada DPR
dan tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak
dapat memberhentikan Presiden;
b. DPR berkewajiban mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam menjalankan
UU;
c. Sebelum memangku jabatannya Presiden dan wakil Presiden bersumpah menurut
agama atau berjanji dengan sungguh- sungguh dihadapan MPR atau DPR;
d. DPR bersama Presiden menjalankan fungsi legislatif;
e. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain;
f. Presiden mengangkat duta dan menerima penempatan duta dari negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan DPR;
g. Presiden memberi amnesti, abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR;
h. Presiden menetapkan Hakim Agung dan meresmikan anggota BPK yang telah
diplih dan disetujui DPR dan 3 orang hakim konstitusi yang diajukan DPR serta
mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan
DPR.
5. Presiden dengan DPD
a. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya dan belanj a negara, paj ak,
pendidikan dan agama yang dilaksanakan oleh Presiden.
b. Presiden meresmikan keanggotaan DPD;
c. Pimpinan DPD berkonsultasi dengan Presiden sesuai putusan DPD.
6. Presiden dengan BPK
a. BPK memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Presiden meresmikan Anggota BPK dari calon-calon yang telah dipilih dan
disetujui oleh DPR.
7. Presiden dengan MA
a. MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum kepada Presiden, baik
diminta maupun tidak;
b. MA memberikan nasehat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk
pemberian/penolakan grasi dan rehabilitasi;
c. Hakim agung ditetapkan oleh Presiden atas cal on yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial dan telah disetujui DPR;
d. MA mengajukan tiga calon untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi oleh

63
Presiden.
8. Presiden dengan MK
a. MK memberikan putusan tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden;
b. Putusan MK mengenai perjanjian UU terhadap UUD 1945 disampaikan kepada
Presiden;
c. Putusan MK mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD disampaikan kepada Presiden;
d. Putusan MK mengenai perselisihan hasil Pemilu disampaikan kepada Presiden.
9. DPR dengan DPD
a. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang- undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
b. DPD ikut membahas rancangan undang-undang tentang hal- hal tersebut butir “a”
serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
c. DPD menyampaikan kepada DPR hasil pengawasan pelaksanaan undang-undang
yang dimaksud butir a dan b.
d. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan Anggota BPK.
10. DPR dengan BPK
Hasil pemeriksaan BPK tentang keuangan negara diserahkankepada DPR.
11. DPR dengan MA
a. MA dapat memberikan pertimbangan hukum kepada DPR, baik diminta maupun
tidak;
b. DPR memberikan persetuj uan calon untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden yang diusulkan DPR;
c. DPR mengaj ukan usulan Calon Ketua dan Wakil Ketua MA.
12. DPR dengan MK
a. DPR mengajukan tiga orang anggota Hakim Konstitusi untuk ditetapkan dengan
Keppres;
b. DPR mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan
memutus pendapatnya bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden;
c. Peraturan MK mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR.
d. Presiden menetapkan hakim konstitusi
13. BPK dengan MA
a. MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum kepada BPK, baik
diminta maupun tidak;
b. Pengambilan sumpah/j anj i keanggotaan BPK dilakukan oleh Ketua MA.
14. BPK dengan DPD
Hasil pemeriksaan BPK tentang Keuangan Negara diserahkan kepada DPD.
15. MA dengan MK
a. MA mengaj ukan tiga orang calon Anggota Hakim Konstitusi untuk ditetapkan
oleh Presiden;
b. MK memberitahukan kepada MA adanya permohonan perjanjian UU dalam
jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku

64
Registrasi Perkara Konstitusi;
c. Perjanjian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan
MA wajib dihentikan bila UU yang menjadi dasar perjanjian itu sedang dalam
proses pengujian MK sampai ada putusan MK;
d. MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 kepada MK.

C. Bank Indonesia (BI)


BI sebagai Bank Sentral secara khusus semula diatur berdasarkan UU No. 11/1953,
kemudian UU No. 13/1986 dan sekarang dengan UU No.23 /1999. UU No. 23/1999
menyebutkan bahwa BI adalah Lembaga Negara. Dalam UUD 1945 Bab VIII Hal
Keuangan, Pasal 23D menyatakan bahwa Negara memiliki suatu hak sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan
UU.
1. Status dan Kedudukan
a. Status
1) BI adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Kedudukan BI sebagai Bank
Sentral RI sesuai dengan Pasal 23D UUD 1945; BI adalah lembaga negara
yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lainnya,
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU No. 23/ 1999 tersebut;
2) BI adalah suatu badan hukum.
b. Kedudukan
BI berkedudukan di Ibukota Negara RI dan dapat mempunyai kantor cabang di
dalam dan di luar negeri.
2. Tujuan dan Tugas
a. Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
b. Tugas BI adalah:
1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
3) Mengatur dan mengawasi Bank.
Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang
dimaksud dari peredaran. Dalam mengatur dan mengawasi Bank, BI menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan dan mengenakan sanksi dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Hubungan dengan Pemerintah
a. BI bertindak sebagai pemegang Kas Pemerintah.
b. Untuk dan atas nama Pemerintah, BI dapat menerima pinjaman luar negeri,
menatausahakan serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah
terhadap pihak luar negeri;
c. Pemerintah wajib meminta pendapat BI dan atau mengundangnya dalam sidang
kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang
berkaitan dengan tugas BI, atau masalah lain yang termasuk kewenangan BI;
d. Disamping wajib berkonsultasi dengan DPR, dalam hal pemerintah akan
menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu
berkonsultasi dengan BI;
e. BI dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan
Pemerintah;

65
f. BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara, kecuali di pasar
sekunder dinyatakan batal demi hukum;
g. BI dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. Dalam hal BI melanggar
ketentuan tersebut, perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah itu batal demi
hukum;
h. Informasi kepada masyarakat sebagaimana tersebut dalam angka 4 huruf a, oleh
BI disampaikan juga secara tertulis kepada Presiden;
i. *) Cadangan tujuan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus BI yang dapat
digunakan antara lain untuk penggantian atau pembayaran harta tetap dan dana
perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenang BI serta
untuk penyertaan Rapat Dewan Gubemur untuk menetapkan kebij akan Umum di
bidang moneter dapat dihadiri oleh seorang menteri atau lebih yang mewakili
Pemerintah dengan hak bicara tanpa hak suara;
j. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR. Sedangkan Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur
dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR;
k. Selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sebelum tahun anggaran, Dewan
Gubernur menyampaikan anggaran BI yang telah ditetapkan Pemerintah dan
DPR;
l. Surplus dari kegiatan BI akan dibagi sebagai berikut:
1) 30% untuk cadangan;
2) Sisanya dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan
cadangan umum mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 dimuka.
(a) sisa surplus setelah dikurangi pembagian sebagai- mana diatur di atas,
diserahkan kepada Pemerintah;
(b) Apabila modal menjadi kurang dari Rp. 2.000.000.000.000,00 (dua
triliun), Pemerintah wajib menutup kekurangannya, yang pelaksanaannya
dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPR.
4. Hubungan Internasional
BI dapat melakukan kerjasama dengan Bank Sentral lainnya, organisasi dan
lembaga internasional. Dalam hal dipersyaratkan bahwa anggota lembaga
internasional dan atau lembaga multilateral tersebut adalah negara, BI dapat
bertindak untuk dan atas nama negara RI sebagai anggota.
5. Dewan Gubernur
a. BI dipimpin oleh Dewan Gubernur, yang terdiri atas seorang Gubernur sebagai
pimpinan, seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakilnya, dan sekurang-
kurangnya 4 orang atau sebanyak-banyaknya 7 orang Deputi Gubernur.
b. Dewan Gubernur mewakili BI di dalam dan diluar pengadilan. Kewenangan
mewakili ini dilaksanakan oleh Gubernur, yang dapat menyerahkan kewenangan
tersebut kepada Deputi Gubernur Senior dan atau seorang atau beberapa orang
Deputi Gubernur, atau seorang atau beberapa orang pegawai BI, dan atau pihak
lain yang khusus ditunjuk untuk itu. Penyerahan kewenangan tersebut dapat
diberikan dengan hak substitusi.
6. Independensi
a. Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan
tugas BI sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b dimuka.
b. BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak
manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
c. Barang siapa yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI

66
sebagaimana dimaksud di atas, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 2.000.000.000,00 (2 miliar rupiah).
d. Agar independensi yang diberikan kepada BI dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab publik, kepada BI dituntut untuk transparan dan memenuhi
prinsip akuntabilitas publik dalam menetapkan kebijakan serta terbuka bagi
pengawasan oleh masyarakat.

IV. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan secara singkat tentan perbedaan tugas presiden sebagai kepala Negara
dan sebagai kepala pemerintahan ?
2. Bedakan secara singkat tentang tugas DPR, MPR dan DPD dalam
penyelenggaraan negara republic Indonesia ?
3. Bedakan perbedaan tentang peran MA, MK, dan JA dalam penegakan hukum di
Indonesia ?
4. Jelaskan secara singkat hubungan kerja kelembagaan eksekutif, legislative,
yudikatif dan audikatif dalam penyelenggaraan Negara ?

B. Kunci jawaban
1. Jelaskan secara singkat tentan perbedaan tugas presiden sebagai kepala Negara dan
sebagai kepala pemerintahan ?
Jawab :
Tugas presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan adalah pada
penggungaan kekuasaan dan kewenangan presiden sebagai lembaga negara. Sebagai
lembga Negara presiden menjalankan tugas sebagai kepala Negara sedangkan
sebagai lembaga presiden menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan yang melekat
padanya sebagai lembaga eksekutif.
 Sebagai kepala Negara misalnya preside berkuasa untuk menyatakan peran oleh
karenanya presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Presiden juga
berkuasa untuk memberikan grasi terhadap terpidana dan berkuasa untuk
menyusun UU dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU.
 Sedangkan seabgai kepala pemerintahan presiden berwewenang menjalankan roda
pemerintahan, menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan public. Presiden
bertanggungjawab dalam mewujudkan stabilitas social melalui upaya peningkatan
kesejahteraan warga Negara.

2. Bedakan secara singkat tentang tugas DPR, MPR dan DPD dalam penyelenggaraan
negara republic Indonesia ?
Jawab :
Antara MPR, DPR dan DPD ketiganya menjalankan fungsi legislasi dalam
kedudukannya sebagai lembaga tinggi Negara. Akan tetapi ketiga memliki tugas
yang berbeda, yakni :
67
 MPR bertugas untuk melantik presiden dan wakil presiden dan dapat melantik
wakil presiden menjadi presiden bila presiden dinyatakan berhenti atau meninggal
dunia. MPR juga bertugas dan dapat mengubah atau untuk mengamandemen serta
menetapkan UUD 1945.
 DPR memiliki tiga tugas pokok yakni tugas sebagai legislasi, budgeting dan
pengawasan terhaap penyelenggaraan Negara.
 DPD bertugas untuk Sesuai dengan Pasal 42 UU No.22 Tahun 2003, tugas dan
wewenang DPD adalah: (1) Mengajukan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah; (2) Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah; (4) Dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama. Hasil pengawasan tersebut disampaikan
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

3. Bedakan perbedaan tentang peran MA, MK, dan JA dalam penegakan hukum di
Indonesia ?
Jawab :
Mahkama agung menjalankan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia (Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004). Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
selain dilakukan oleh MA juga dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah
MA dalam lingkungan pengadilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Susunan
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden, yang diajukan masing-masing : 3 orang dari MA, 3
orang dari DPR, dan 3 orang dari Pengadilan. Jaksa Agung memiliki kekuasaan
penuntutan terhaap segala bentuk penyimpangan dalam pengelolaan kekuasan dan
kewenangan Negara.

4. Jelaskan secara singkat hubungan kerja kelembagaan eksekutif, legislative, yudikatif


dan audikatif dalam penyelenggaraan Negara ?
Jawab :
Hubungan kerja antara lembaga Negara dapat digambarkan dalam 4 kategori
sebagai lembaga Negara, yakni lembaga legislative, Eksekutif dan Legislatif dan
lembaga Audikatif. Lembaga legislative dijalankan oleh DPR, DPD dan Presiden
sedangkan Lembaga Eksekutif dijalankan oleh Eksekutif dan lembaga pemerintahan
yang berada dibawahnya sedangkan lembaga Yudikatif dijalankan oleh MK, MA dan
Jaksa Agung dan terakhir adalah lembaga Audikatif yang dijalankan oleh BPK.
68
Hubungan keempat lembaga tersebut saling berkaitan dan menggambarkan sebuah
system dalam penyelenggaraan Negara.

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Fungsi-fungsi negara terbagi diantara lembaga-lembaga negara menurut UUD
1945. Fungsi konstitutif dipegang oleh MPR, fungsi eksekutif oleh Presiden, fungsi
legislatif oleh DPR bersama Presiden dan DPD, fungsi auditif oleh BPK dan fungsi
yudikatif oleh MA dan MK. Lembaga-lembaga negara berdasarkan UUD 1945, terdiri
atas : MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MK dan MA. Di samping itu berdasarkan UU
No. 23/1999 BI juga berstatus sebagai lembaga negara. Mekanisme Kepemimpinan
Nasional Lima Tahun merupakan mekanisme pengambilan keputusan bangsa dalam
sistem penyelenggaraan negara yang secara garis besar meliputi kegiatan- kegiatan
seperti Pemilihan anggota-anggota legislatif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat dan penetapan/pengangkatan/peresmian anggota-anggota
lembaga- lembaga Negara

Daftar Pustaka

Lembaga Administrasi Negara RI, 2004. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik

69
Indonesia, Buku III LAN. Jakarta.
Sistem Administrasi Negara RI, 2001. Modul Prajabatan Golongan III, Lembaga Administrasi
Negara RI. Jakarta.
______Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
______Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
______Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD dan DPRD.
______Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
______Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
______Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
______Undang-undang No.24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.
______Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
______Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
______Paraturan Presiden No. 31 Tahun 2005 tentang Sekretariat Negara dan Sekretariat
Kabinet.
______Keputusan Presiden No. 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

BAB VI
OTONOMI DAERAH
DALAM SISTEM PEMERITNAHA R.I.

70
I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Pada bab ini mahasiswa akan lebih memahami tentang sistem penyelenggaraan
pemerintahan Republik Indonesia, model penerapan otonomi di negara federal dan
perbedaannya dengan penerapan di negara kesatuan. Pada bab ini juga
menggambarkan bahwa penerapan sistem otonomi dalam sistem administrasi negara
adalah dalam kerangka negara kesatuan R.I. yang dapat dilihat dalam tujuan dan
penerapan prinsip-prinsip penerapan otonmi daerah.

B. Relevansi
Bab ini adalah salah bagian bab yang melakukan kajian empiri tentang
penerapan sistem otonomi daerah dalam pemerintahan Negara kesatua R.I. relevansi
dengan bab-bab sebelumnya adalah bagian ini akan melengkapi penerapan sistem
pemeritnahan secara empiric dilakukan di Indonesia, sehingga mahasiswa tidak hanya
diboboti dengan konsep dan teoritis tetapi dapat diarahkan untuk menggambarkan
tentang sistem administrasi negara dalam perspektif penerapan sistem pemerintahan
yang secara konkrit telah dijalankan dengan sistem Otonomi Daerah.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) dapat memahami
pengertian tentang pengertian otonomi daerah, (2) Prinsip-prinsip penerapan otonomi
daerah, (3) perbedaan konsep desentralisasi dalam negara federasi dan dalam negara
kesatuan, (4) perbedaan sistem otonomi masa orde baru dan siste otonomi resim
reformasi.

II. Penyajian Materi


A. Ruang Lingkup Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian, otonomi
pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi daerah berarti
kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri
(Widarta, 2001:2). Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut
diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Otonomi daerah yang digulirkan sejak tahun 1999 memiliki pengertian
sebagaimana dalam . Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system
negara kesatua Republik Indonesia. Sedangkan menurut pendapat beberapa para ahli
seperti Benyamin Hoesein, Otonomi Daerah adalah pemerintahan oleh serta untuk
rakyat di bagian wilayah nasional Negara secara informal berada diluar pemerintah
pusat.
Charles Einsenmann (dalam Suryanto, 2008:18), menjelaskan bahwa otonomi
adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap meghormati
perundang-undangan. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan
menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan

71
nasional. Dari hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan (sub-state
arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk melaksanakan hak
mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin kesatuan, menjunjung
kewibawaan dan integrasi wilayah.
Adapun dasar hukum penerapan otonomi daerah di Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, pembagian, serta Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yangg
Berkeadilan, dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
4. UU No. 31 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
5. UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dari beberapa pemahaman diatas maka otonomi daerah sesungguhnya
diterapkan dengan tujuan :
 Peningkatan terhadap pelayanan masyarakat yang semakin lebih baik.
 Pengembangan kehidupan yang lebih demokrasi.
 Keadilan nasional.
 Pemerataan wilayah daerah.
 Pemeliharaan hubungan antara pusat dengan daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
 Menumbuhkan prakarsa serta kreativitas, meningkatkan peran serta keterlibatan
masyarakat, mengembangkan peran serta fungsi dari DPRD
Untuk mencapai tujuan diatas maka otonomi daerah diberikan secara luas dan

2. Prinsip dan Asas Penerapan Otonomi Daerah


2.1 Prinsip Penerapan Otonomi Dareah
1) Prinsip otonomi seluas-luasnya
Daerah diberikan kebebasan dalam mengurus serta mengatur berbagai urusan
pemerintahan yang mencakup kewenangan pada semua bidang pemerintahan,
kecuali kebebasan terhadap bidang politik luar negeri, agama, keamanan,
moneter, peradilan, keamanan, serta fiskal nasional.
2) Prinsip otonomi nyata
Daerah diberikan kebebasan dalam menangani berbagai urusan pemerintahan
dengan berdasarkan tugas, wewenang, serta kewajiban yang senyatanya telah
ada dan berpotensi dapat tumbuh, hidup, berkembang dan sesuai dengan potensi
yang ada dan ciri khas daerah.
3) Prinsip otonomi yang bertanggung jawab
Prinsip otonomi yang dalam sistem penyelenggaraannya harus sejalan dengan
tujuan yang ada dan maksud dari pemberian otonomi, yang pada dasarnya guna
untuk memberdayakan daerahnya masing-masing termasuk dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat.

2.2 Asas Otonomi Daerah


Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
ditegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berpedoman pada asas
umum penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas:
72
1. asas kepastian hukum;
2. asas tertib penyelenggara negara;
3. asas kepentingan umum;
4. asas keterbukaan;
5. asas proporsionalitas;
6. asas profesionalitas;
7. asas akuntabilitas;
8. asas efisiensi;
9. asas efektifitas; dan
10. asas keadilan.
Sedangakan dalam pelaksanaanya otonomi daerah juga didasarkan pada asas:
1. Asas desentralisasi
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah dan kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Asas dekosentrasi
Pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur yang dijadikan sebagai
wakil pemerintah atau perangkat pusat daerah.
3. Asas tugas pembantuan
Penugasan dari pemerintah kepada daerah serta desa dan dari daerah ke desa
guna melaksanakan berbagai tugas tertentu yang disertai dengan pembiayaan,
sarana, serta prasarana dan sumber daya manusia dengan kewajiban dalam
melaporkan pelaksanaannya dan dapat mempertanggungjawabkannya kepada
yang menugaskan tugas tersebut.

3. Konsepsi Desentralisasi Dalam Sistem Federalisme Dan Unitarianisme


3.1 Negara Serikat (Federalisme)
Praktek desentralisasi di negara federal dengan negara kesatuan tentu
berbeda. Prinsip dasar yang dianut pada sistem federalisme adalah non-
sentralisasi (Suryanto, 2008:15). Artinya bahwa pada sistem federalisme, asas
desentralisasi merupakan principal basic yang mendasari praktek penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini menyangkut asal kedaulatan dari negara tersebut. Kedaulatan
yang dimiliki oleh negara federal berasal dari negara-negara berdaulat yang
menyerahkan kewenangan sisa kepada pemerintah nasional (pusat) untuk dikelola
bagi kepentingan bersama.
Negara-negara berdaulat tersebut, bersepakat untuk menggabungkan diri
dalam satu kesatuan negara yang lebih besar sebagai pusatnya yang dikenal dengan
sebutan negara serikat. Selanjutnya, negara-negara yang berdaulat tersebut, pada
akhirnya menjadi bagian dari negara serikat, yang secara umum dikenal dengan
negara bagian. Di Amerika serikat disebut dengan “state”, di jerman disebut
dengan “lander”. Kedaulatan pada pemerintah nasional (pusat) tidak bersifat tunggal,
karena negara-negara bagian di dalam wilayah negara tersebut juga memiliki
kedaulatan ke luar meskipun terbatas.
Kewenangan dari pemerintah, nasional adalah menyangkut hal-hal yag
menjadi wewenang kesepakatan bersama untuk diurus dan dikelola oleh pusat,
seperti: politik luar negeri, moneter, pertahanan dan keamanan nasional. Sedangkan,
kewenangan lainnya menjadi wewenang pemerintah negara bagian, baik langsung
pada level negara bagian atau provinsi, maupun unit-unit lainnya sesuai dengan
kapasitas dan potensi utama dari daerah-daerah tersebut. Sehingga, banyak pakar
politik menyatakan bahwa desentralisasi yang sesungguhnya ada pada negara
federalis, karena pada sistem tersebut dijalankan desentralisasi secara penuh baik

73
politik, administratif dan fiskal. Alur mengenai arus kewenangan dalam sistem
federal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Federalisme secara konseptual menurut artikel “Positive experiences of
autonomous regions as a source of inspiration for conflict resolution in
Europe” (dalam Suryanto, Ed. 2008:16), merupakan sebuah struktur konstitusional,
dimana negara dipecah ke dalam beberapa entitas (lokal) yang terfederasi,
seperti The Cantons (Swiss) atau The Lander (Jerman dan Austria) dengan sebuah
divisi kekuasaan yang seimbang. Untuk menjamin representasi yang adil, cabang
legislatif dibagi kedalam dua kamar (Bicameral). Kamar yang pertama
mempresentasikan entitas yang terfederasi, dan yang kedua merupakan represntasi
dari negara. Swiss merupakan salah satu contoh sebagai negara yang paling
terfederalisasi di eropa. Negara ini merupakan entitas yang terfederasi yang ikut
menjadi perhatian dan tercakup dalam penciptaan dan definisi konsep negara, dimana
kekuasaan sebagai sebuah sistem, tidak didasarkan pada the federal state oleh
konstitusi yang berhubungan dengan entitas federal. Jerman dan Rusia juga memiliki
sistem dimana kekuasaan dipisahkan mejadi dua yaitu untuk negara (federal) dan
wilayah-wilayah federal.
Walaupun ditemukan perbedaan-perbedaan, yakni ketika kekuasaan federasi
dan negara federal memiliki dasar legal dalam konstitusi, namun kekuasaan otonomi
dari wilayah otonom, dapat ditransfer atau didelegasikan oleh legalistif nasional.
Intinya, otonomi secara umum diimplementasikan dalam wilayah yang mempunyai
karakteristik identitas budaya yang khusus.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, maka dapat kita kemukakan beberpa
intisari yang mencerminkan (mencirikan) Sistem Negara federal, antara lain:
a. Pemilik kedaulatan pada dasarnya ada di Negara-negara bagian. Dan berdasarkan
kesepakatan bersama dilimpahkan kepada Negara federal (sebagai pengikat
kesatuannya).
b. Terkait dengan point di atas, maka kedaulatan dalam Negara federal tidak bersifat
tunggal, karena berada di masing-masing Negara bagian.
c. Alur mengenai arus kewenangan bersifat battom-up, artinya Negara-negara
bagian yang melimpahkan sebagian kewenangan kepada Negara federal (pusat)
berdasarkan kesepakatan (biasanya pada awal pembentukannya).
d. Negara federal (pusat) hanya menjalankan sebagian (sisa) kewenangan yang
diberikan oleh Negara bagian.
e. Negara bagian tetap memiliki kewenangan ke luar meski terbatas.
f. Pada prinsipnya Negara bagian dapat membentuk struktur pemerintahannya
sendiri-sendiri sesuai dengan nilai, kultur atau sejarah yang dimilikinya, tapi pada
umumnya, struktur yang dibentuk tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya.

3.2 Negara Kesatuan (Unitarianisme)


Prinsip dasar yang dianut oleh Negara kesatuan, berbeda dengan prinsip yang
dianut oleh Negara federasi, khususnya yang berhubungan dengan masalah
kedaulatan dan kewenangan. Kedaulatan di Negara kesatuan bersifat tunggal dan
tidak dibagi kepada daerah atau unit-unit pemerintahan dibawahnya, konsep Negara
kesatuan menurut artikel “Positive experiences of autonomous regions as a source of
inspiration for conflict resolution in Europe” dikatakan bahwa, “dalam Negara
kesatuan, semua kekuasaan prinsipnya merupakan milik pemerintah pusat, tapi status
khusus diberikan pada entitas (daerah/satuan unit tertentu) yang mempunyai
tanggung jawab atas wilayah yang diberikan berdasarkan statusnya. Untuk beberapa

74
Negara, otonomi merepresentasikan suatu bentuk desentralisasi melalui
pendelegasian kewenangan” (dalam Suryanto, Ed.,2008;17).
Dalam system Negara kesatuan pemerintahan daerah, sebenarnya tidak
memiliki kedaulatan, baik ke luar maupun kedalam. Pemerintahan daerah hanya
memiliki kewenangan yang diserahkan oleh pusat, dan hanya bersifat ke dalam.
Kedaulatan dan kewenangan merupakan dua hal yang sangat berbeda, dimana
kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara, oleh
karenanya, salah satu sifatnya adalah permanen (tetap) dan tidak dapat
dibagi (indivisible). Sedangkan, kewenangan merupakan kekuasaan untuk
melaksanakan sesuatu tugas dan fungsi atas dasar pemberian atau pelimpahan atau
pendelegasian. Kewenangan tidak bersifat permanen, artinya dapat dicabut atau
ditambah, dan juga dapat dibagi sebagian atau seluruhnya. Konsepsi inilah yang
mencerminkan bahwa kedaulatan dalam Negara kesatuan bersifat tunggal, karena
tidak dapat dibagi dan hanya menjadi milik Negara, Mekanisme pendistribusian
kewenangan dari pusat kepada daerah dalam Negara kesatuan hanya sekedar
menjalankan kewenangan sisa (residu) dari pemerintah pusat dengan mekanisme
yang telah ditentukan, apakah dilimpahkan, diserahkan atau didelegasikan.
Sedangkan, pada system Federalisme, Negara bagian yang memiliki
kedaulatan ke dalam dan keluar. Hal ini disebabkan karena dalam Negara
federalisme, pemilik kedaulatan adalah Negara-negara bagian yang masing-masing
merupakan Negara berdaulat (merdeka) dan otonom. Sedangkan, Negara federal
(pusat) pada dasarnya menerima sebagian kedaulatan dan kewenangan yang
diberikan oleh Negara-negara bagian berdasarkan kesepakatan bersama dan
dituangkan dalam suatu konstitusi Negara.
Seperti yang dikatakan oleh Cohen dan Peterson (1999;19), bahwa, “ Unitary
system need not be legally decentralized, but most are trough a hicrarchy of lower-
level units that have specified geographical jurisdiction. In unitary system, the center
maintains ultimate sovereighnity over public sector task decentralized to lower-level
units “ system Negara kesatuan tidak secara hukum mendesentralisasikan, tetapi
lebih banyak melalui hirarki pada tingkatan di bawahnya yang mempunyai
spesifikasi geografik wilayah hukum. Dalam system Negara kesatuan, pusat
memelihara kedaulatan terbatas pada kegiatan-kegiatan sector public yang
didesentralisasikan kepada unit-unit pemerintahan di bawahnya (dalam Sruyanto,
Ed., 2008;17).
Beberapa ciri yang sekaligus juga mencerminkan prinsip-prinsip Negara
kesatuan, antara lain adalah:
a. Kedaulatan pada Negara kesatuan bersifat mutlak/tunggal, yaitu hanya ada pada
Negara (Pusat).
b. Alur pelimpahan/penyerahan kewenangan/urusan bersifat Top Down (dari pusat
kepada Daerah).
c. Kewenangan yang sudah dilimpahkan kepada daerah, dapat ditarik kembali
apabila dipandang perlu atau karena daerah dipandang tidak mampu menjalankan
fungsi otonominya.
d. Secara geografis, daerah merupakan bagian/wilayah dari Negara (pusat) yang
apabila dipandang perlu dapat dihapuskan/digabungkan.
e. Daerah hanya memiliki kewenangan sesuai dengan yang diterimanya dari pusat,
dan tidak memiliki kedaulatan (keluar).
Selanjutnya, perbedaan konsep desentralisasi di Negara kesatuan dengan
federal, terjadi karena masing-masing memiliki prinsip dasar yang berbeda pula.

75
Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep otonomi
(desentralisasi) yang dianut oleh Negara kesatuan dengan Negara federalism, yaitu:
a) Dalam Negara federal prinsip kedaulatannya tidak bersifat tunggal, sedangkan
Negara kesatuan bersifat tunggal.
b) Pemilik kedaulatan dalam Negara federal adalah Negara bagian (bukan pusat),
sedangkan, dalam Negara kesatuan, pemilik kedaulatannya adalah pemerintah
pusat.
c) Alur pelimpahan/penyerahan wewenang di Negara federal bersifat bottom-up,
sedangkan dalam Negara kesatuan, bersifat top down.
d) Negara federal menjalankan kewenangan sisa (residu) yang diberikan oleh Negara
bagian, sedangkan dalam Negara kesatuan, daerah yang menjalankan kewenangan
sisa (residu).

B. Desentralisasi dan Dekonsentrasi


Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu: “de”, yang berarti lepas
dan “centrum” artinya pusat.Decentrum berarti melepas dari pusat. Meski demikian,
desentralisasi tidak berarti putus sama sekali dengan pusat, tetapi hanya melepaskan
kendali (daam hal urusan/kewenangan) dari pusat. Penyerahan sebagian kewenangan
politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi.
Sehingga desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang politik dan
administrasi dari puncak hierarki oragnisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang
dibawahnya (pemerintah daerah). Dalam pemahaman masyarakat umum, istilah
desentralisasi dengan otonomi daerah sering dipertukarkan. Sesungguhnya, kedua konsep
tersebut tidak persis sama. Kebijakan otonomi hadir karena adanya kebijakan
desentralisasi. Otonomi diartikan sebagai kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah
yang bersangkutan untuk mengatur, dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal
bukan yang bersifat nasional.
Perbedaan lainnya adalah mengenal daerah otonom dengan otonomi daerah. Daerah
otonom menunjuk pada daerah/tempat (geografi) yang memiliki hak dan kewajiban untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, dinyatakan bahwa “ Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara kesatuan republik indonesia”.
Sedangkan, otonomi daerah menunjuk pada isi otonom/kebebasan masyarakat, atau
dapat pula dikatakan sebagai sistem. Dalam UU No. 32 Tahun 2004; dinyatakan bahwa, “
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
Menurut UU NO. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Desentralisasi
adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
berdasarkan Asas Otonomi. Penerapan otonomi daerah lahir dari sebuah tuntutan untuk
menyelenggarakan reformasi pada seluruh aspek penyelenggaraan administrasi Negara.
system pemerintahan yang diterapkan bersifat sentralistik pada masa orde lama dan orde
baru telah memberi ruang bagi penyelenggara Negara untuk menjalankan system
otoriterisme dengan model demokrasi terpimpin. Secara empiris system setralistik dalam
pemerintahan dan model demokrasi terpimpin dalam penyelenggaraan Negara telah
mengantarkan bangsa Indonesia pada sebuah fenomena yang telah menyebabkan krisis
ekonomi yang terjadi tahun 1997.

76
Kurang efektifinya penyelenggaraan system administrasi Negara dengan model
pemerintahan yang sangat sentralistik telah mendorong lahirnya nilai-nilai baru dalam isu
penyelenggaraan administrasi secara demokratis dan pemerataan pelaksanaan
pembangunan. Isu demokrasi diharapkan dapat mengatasi berbagai kesenjangan ekonomi
baik secara personal maupun secara kedaerahan yang terjadi lewat penerapan otonomi
daerah sebgai salah satu agenda dalam pelaksanaan reformasi sebagai tuntutan public.
Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa
dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Adanya
penyerahan kewenangan inilah yang kemudian dikenal dengan desentralisasi.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Indonesia menganut model negara kesatuan
yang menerapkan desentralisasi. Penegasan ini terlihat dalam UUD 1945 pasal 18 yang
menyebutkan bahwa: “pembagian daerah indonesia atas besar dan kecil dengan bentuk dan
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Berpijak pada hal itu, maka sepanjang kurun waktu pelaksanaan pemerintahan di
Indonesia, setiap rezim pemerintahan berupaya melaksanakan amanat itu dengan
menerapkan sistem desentralisasi disetiap masa pemerintahan. Meskipun dengan derajat
desentralisasi yang berbeda-beda. Penerapan itu diwujudkan dengan diberlakukannya UU
mengenai pemerintahan daerah dari masa ke masa, diantaranya: UU No. 1 Tahun 1945,
UU No. 22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun
1974, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014.
Dari beberapa pengertian maka desentralisasi dapat dipandang dari aspek teritorian
dan dari aspen fungsional. Desentralisasi teritorial berarti pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada wilayah di dalam Negara yang dikenal dengan otonomi daerah itu
sendiri, sedangkan. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang dari organisasi
fungsional (atau teknis) di tingkat pusat kepada unit-unit di bawahnya, yang secara
langsung berhubungan dengan operasionalisasi kegiatan secara fungsional.
Secara empiris, penerapan kedua jenis desentralisasi ini dapat berjalan secara
bersamaan dalam satu system yang sama. Misalnya: ketika pemerintah indonesia secara
konstitusional menerapkan system otonomi daerah, maka penggunaan azas desentralisasi
yang digunakan adalah azas kewilayahan untuk hal yang bersangkutan dengan
pemerintahan daerah (daerah otonom). Danm pada saat bersamaan, instansi pemerintah
(kementerian/lembaga) memberikan desentralisasi kewenangan kepada instansi-instansi
daerah untuk menjalankan urusan-urusan yang terkait tugas dan fungsinya.
Dalam konsep yang lebih luas, desentralisasi dibagi atas desentralisasi administratif,
desentralisasi fiskal dan desentralisasi politik. Desentralisasi mengacu pada “pembalikan
konsentrasi administrasi pada pemerintah pusat dan penyerahan kekuasaan ke pemerintah
lokal” (Smith 1985 : 1) atau sebagai “proses penyerahan kekuasaan politik, fiskal dan
administratif kepada unit pemerintah subnasional” (Burki et al 1993 : 3). Menurut
Dillinger (dalam Sidik, 2001), pada dasarnya ada empat jenis desentralisasi, yaitu : (1)
desentralisasi politik, (2) desentralisasi administrative, (3) desentralisasi fiscal, (4)
desentralisasi ekonomi.
Desentralisasi administrative dalam pandangan Abdullah (2005:64) menytakan
bahwa desentralisasi administratif sebagai transfer tanggung jawab untuk merencanakan,
memanajemen, menaikan dan mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan
agennya kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, perusahaan,
otoritas regional atau fungsional, NGO, atau organisasi-organisasivolunteer (dalam

77
Suryanto, Ed.:, 2008:19). Dengan demikian maka desentralisasi merupakan pelimpahan
wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan
sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung
jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen
fungsi–fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat
pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) :
a. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki dengan pemerintah pusat
b. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang
untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler
yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang
ini biasanya diatur dengan ketentuan perundangundangan. Pihak yang menerima
wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian
tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihakpemberi wewenang (sovereign-
authority).
c. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah
Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal
tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,
pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pemerintah
pusat akan memberikan atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya,
pemerintah daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan
kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber
penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari
sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional
monopoly of administrative decentralization.
Desentralisasi fiscal dalam pandangan Litvac dan Seddon (1998:3) dalam Suryanto
(Ed., 2008:19) mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal adalah transfer kewenangan di
area tanggung jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan
sendiri, ekspansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otoritas untuk meminjam
dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman.
Pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup : a.
Self-financingatau cost recoverydalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan
retribusi daerah b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa
berpartisipasidalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja. c. Transfer dari
pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) ,Dana Alokasi Khusus
(DAK), sumbangan darurat serta pinjaman daerah (sumber daya alam).
Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan
tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan
fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan
kebijakan liberalisasi ekonomi pasar.
Sedangkan desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak
kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk
mengambil keputusan publik. Desentralisasi politik mencakup transfer kekuasaan
administratif, keuangan dan politik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk menentukan bentuk pemerintahan
mereka, perwalian, kebijakan dan pelayanan (UNDP, 1999:10). Hal ini dapat mendorong
proses demokrasi melalui pemberian pengaruh kepada rakyat atau perwakilannya dalam
formulasi dan implementasi kebijakan (Litvack dan Seddon, 1998:2). Artinya,

78
desentralisasi yang banyak dijalankan di negara kesatuan lebih terbatas pada desentralisasi
administratif (dalam Suryanto, 2008:15-20).
Selain dari beberapa bentuk pemberian kewenangan diatas maka desentralisasi itu
sendiri dapat dilakukan dengan dua model yakni : (1) model simetris dan, (2) model
Asimetris. Dalam UU No. 32 tahun 2004 menunjukan bahwa pengembangan desentralisasi
di indonesia cenderung ke dalam pola yang simetris. Hal ini karena desentralisasi hanya
memberikan ruang yang sempit kepada daerah untuk melaksanakan urusan pilihan.
Sebagian besar dari urusan pemerintahan yang didesentralisasikan bersifat wajib bagi
daerah. Artinya, daerah harus mengembangkan kompetensi di luar urusan wajib sangat
sempit karena terbatasnya urusan pilihan yang tersedia bagi daerah. Pemberlakuan
desentralisasi dengan pola simetris ini dipandang oleh beberapa kalangan sudah tidak lagi
relevan. Karena desentralisasi yang harusnya didorong adalah desentralisasi asimetris
dengan memberikan urusan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan dan kompetensinya.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa desentralisasi asimetris tidak
mendapat perhatian, yaitu :pertama, persepsi yang salah tentang konsep negara kesatuan
yang sering kali dipahami secara sempit sebagai penyeragaman urusan pemerintahan yang
didesentralisasikan ke daerah. Kedua, kekhawatiran berlebihan para pembuat kebijakan
tentang ketidakmampuan daerah untuk secara bertanggungjawab memutuskan urusan yang
akan dikelola. Ketiga, keengganan pemerintah untuk bekerja keras merumuskan kembali
formula desentralisasi fiskal terkait dengan implikasi dari penerapan kebijakan
desentralisasi asimetris.
Melihat besarnya keragaman antar daerah maka pilihan kebijakan desentralisasi yang
seragam sebagaimana telah dilaksanakan selama satu dekade terakhir ini perlu ditinjau
kembali. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain adalah : pertama¸ model
desentralisasi yang seragam dalam keanekaragaman daerah yang mencolok bertentangan
dengan hukum alam dan nilai yang terkandung dalam desentralisasi itu sendiri. Dengan
menerapkan desentralisasi yang seragam, indonesia kehilangan peluang untuk
memanfaatkan secara optimal keragaman daerah untuk mendorong kemajuan daerah sesuai
dengan aspirasi, potensi, dan kapasitas daerah.
Esensi dari desentralisasi adalah memberikan peluang dan kemampuan kepada
daerah untuk merespon kondisi daerah sesuai dengan kompetensi dan aspirasi pemerintah
daerah dan pemangku kepentingannya. Ketika pembagian urusan dilakukan secara seragam
untuk semua daerah sementara keragaman antardaerah sangat tinggi maka desentralisasi
menjadi kurang bermakna. Peluang untuk membangun daerah sesuai dengan keunggulan
daerah dan kapasitasnya untuk menjawab tantangan yang dihadapinya menjadi sirna.
Kedua, desentralisasi yang seragam mengabaikan kenyataan bahwa daerah memiliki
tingkat kematangan, cakupan wilayah, potensi, dan jumlah penduduk yang berbeda-beda.
Karena itu, mereka perlu diperlakukan secara berbeda. Daerah otonom baru dengan
kematangan yang rendah cenderung memiliki kapasitas yang rendah dalam melayani
warganya. Daerah dengan wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang sedikit
mungkin tidak perlu memiliki urusan pemerintahan yang banyak. Dilihat dar skala
ekonominya, pengelolaan urusan pemerintahan tertentu oleh daerah yang seperti itu
menjadi tidak efisien. Darah yang memiliki potensi yang berbeda seharusnya
mengembangkan kompetensi yang berbeda pula. Daerah menjadi tidak dapat
memfokuskan diri terhadap apa yang menjadi keunggulan dan kompetensi yang dimiliki
perlu dikembangkannya.
Ketiga, model desentralisasi seragam yang sekarang berlaku juga mempersulit
daerah dalam pengembangan struktur birokrasi yang efisien dan aparatur yang profesional,
mengingat kompetensi dan kebutuhan yang berbeda-beda.

79
Desentralisasi asimetris, bagaimanapun, memberikan ruang kepada daerah untuk
mengembangkan kapasitas secara desentralistis. Hal ini berbeda dengan desentralisasi
simetris. Selama ini, pengembangan kapasitas daerah cenderung dilakukan secara
sentralistis dan kurang memperhatikan diversitas daerah. Pengembangan aparatur daerah
cenderung dilakukan berbasis pada pendekatan supply daripada kebutuhan daerah.
Diversitas daerah yang seharusnya dilihat sebagai kekayaan daerah dan menjadi dasar
dalam pengembangan kapasitas seringkali terabaikan. Akibatnya missmatch dalam
investasi pengembangan kapasitas tidak dapat dihindari. Implikasinya adalah kelembagaan
disfungsional dan ketidakberdayaan aparatur menjadi hal yang lumrah dijumpai dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pengembangan model desentralisasi yang asimetris perlu dipikirkan secara serius dan
seksama oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. Upaya untuk
mendorong desentralisasi asimetris dapat dilakukan melalui cara yang sederhana, yaitu
dengan membatasi urusan wajib yang diberikan kepada daerah terutama untuk pelayanan
dasar dan menjadikan sisanya sebagai urusan pilihan. Daerah otonom wajib
menyelenggarakan urusanyang menjadi kebutuhan, dasar warganya, sedangkan untuk
selebihnya terserah pada masing-masing daerah untuk mengelola urusan sesuai dengan
kompetensi dan kebutuhan daerah. Dengan cara seperti itu daerah memiliki peluang untuk
berkembang sesuai dengan kapasitas, aspirasi dan tantangan yang dihadapinya (Dwiyanto,
2011 : 273).

C. Sejarah Pelaksanaan Otonomi Daerah


1. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan
sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-
undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap,
stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.
Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat. (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan
dua administrasi pemerintahan.
Gambar 8 : Sistem Pemerintahan Masa Penjajahan Belanda

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan

80
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan
dua administrasi pemerintahan.

2. Masa Pendudukan Jepang


Ketika menjalar Perang dingin II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia
Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara
ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di
Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat,
sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
Gambar 9 : Sistem Pemerintahan Masa Penjajahan Jepang

Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.


Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat
misleading.

3. Masa Kemerdekaan
3.1 Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.

81
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak
memiliki penjelasan.
3.2 Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah
UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli
1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga
tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3.3 Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah
daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah
seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
3.4 Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan
memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur
rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah
tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa
ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan
pamong praja.
3.5 Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan
menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan
dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di
luar pengadilan.
3.6 Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi
menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya

82
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah
tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan
memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab.
3.7 Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU
No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi
rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
3.8 Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas
hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah
pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah
pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin
dipertegas dan diperjelas.

D. Pemerintahan Daerah berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014


Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa
“Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom. (Pasal 1 poin 3 UU No 23 Tahun 2014).
Selanjutnya dalam pasal (3) ditegasikan bahwa "Pemerintah Daerah adalah kepala
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom." Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah gubernur dan wakil gubernur unuk provinsi, bupati dan
wakil bupati untuk kabupaten serta walikota dan wakil walikota untuk kota. (pasal 1 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005).
Dalam penyelenggaraan otonomi di Indonesia, urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada kepala daerah, jauh lebih banyak dibandingkan dengan urusan
pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Menurut Undang-Undang

83
Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi
kewenangan pemerintah pusat ada 6 bidang yaitu:
1. politik luar negeri;
2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;
5. moneter dan fiskal nasional; dan
6. agama.
Selain keenam urusan diatas, pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan
keikutsertaan daerah atau desa, termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari
pemerintah pusat atau daerah untuk melaksanakan urusan dibidang tertentu.
1. Tugas dan Kewenangan Pemerintah Daerah
Tugas Kepala Daerah menurut ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015, Kepala Daerah mempunyai tugas diantaranya:
 Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan dan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD.
 Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
 Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan rancangan Perda tentang RJMPD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) kepada OPRO untuk dibahas
bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD (Rencana Kerja
Pemerintah Daerah).
 Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda
tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama.
 Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, serta dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
 Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Wewenang Kepala Daerah menurut ketentuan Pasal 65 ayat (2) Undang-


Undang Nomor 9 Tahun 2015, Kepala Daerah mempunyai wewenang diantaranya:
 Mengajukan rancangan Perda.
 Menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan dari DPRD.
 Menetapkan perkada dan keputusan kepala daerah.
 Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan
oleh daerah dan masyarakat.
 Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah.
Adapun tugas wakil kepala daerah Pasal 65 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015, diantaranya:
1. Membantu kepala daerah dalam hal, sebagai berikut.
 Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah.
 Mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan
temuan hasil pengawasan aparat pengawasan.

84
 Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur.
 Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan desa bagi
wakil bupati/wali kota.
2. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah.
3. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.
4. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

2. Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah


Pada saat pemerintah daerah menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan,
terutama dalam penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali hak dan kewajiban
tertentu. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam rencana kerja pemerintah
daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah
yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Hak Pemerintah Daerah
menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Kepala Daerah
mempunyai hak diantaranya:
1) mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya;
2) memilih pemimpin daerah;
3) mengelola aparatur daerah;
4) mengelola kekayaan daerah;
5) memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
6) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada didaerah;
7) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,
termasuk hak keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan dan
tunjangan lain, serta hak protokoler.
Disamping hak-hak tersebut diatas, menurut pasal 67 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 daerah juga dibebani beberapa kewajiban yaitu:
1) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) mengembangkan kehidupan demokrasi;
4) menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah;
5) menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
6) melaksanakan program strategis nasional; dan
7) menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


1.1 DPRD Provinsi
Tugas Dan Wewenang DPRD Provinsi menurut Pasal 65 UU Nomor 9 Tahun
2015 :
1) Membentuk Perda Provinsi bersama gubernur.

85
2) Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda Provinsi tentang
APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur.
3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelasanaan Perda Provinsi dan APBD
Provinsi.
4) Memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan
urituk meneruskan sisa masa jabatan.
5) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada presiden
melalui menteri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan atau
pemberhentian.
6) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah provinsi.
7) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
8) Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi.
9) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah provinsi.
10) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.

1.2 DPRD Kabupaten / Kota


Tugas Dan Wewenang DPRD Kabupaten/Kota menurut Pasal 65 UU Nomor 9
Tahun 2015 :
1) Membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota.
2) Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD
kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota.
3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD
kabupaten/kota.
4) Memilih bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dalam hal
terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan.
5) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada menteri
melalui Wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk
mendapatkan pengesahan pengangkatan atau pemberhentian.
6) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintahan daerah
kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
7) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja internasional yang dilakukan
oleh pemerintah Daerah kabupaten/kota.
8) Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
9) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
10) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang undangan.
Menurut Pasal 159 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Hak dan Kewajiban DPRD Kabupaten/Kota adalah;
1) DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a) Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada
bupati/walikota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

86
b) Hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang
diduga bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
c) Hak menyatakan pendapat adalah hak untuk menyatakan pendapat terhadap
kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
daerah kabupaten/kota disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
2) DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban:
a) Mengamalkan pancasila.
b) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
serta mentaati segala peraturan perundang-undangan.
c) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah
Daerah.
d) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e) Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah.
f) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindak-lanjuti aspirasi
masyarakat.
g) Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok,
dan golongan.
h) Memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih di
daerah pemilihannya.
i) Mentaati Kode Etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD.
j) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang
terkait.

1.3 Fungsi dan Kedudukan DPRD


Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPRD ditetapkan
dalam peraturan tata tertib DPRD berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah adalah unsur
pemerintahan daerah sebagai wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan
Pancasila. Sebagai unsur pemerintah daerah, dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya DPRD berpegang kepada prinsip-prinsip otonomi daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. DPRD sebagai badan legislatif daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah, yang dimaksud
dengan sejajar dan menjadi mitra adalah bahwa DPRD dan Pemerintah Daerah
memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang
efisien, efektif dan transparan dalam rangka memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan kesejahteraan masyarakat di
daerah. (dalam, Deddy Supriady Bratakusumah, 2004 : 232)
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan merupakan salah
satu unsur penyelenggara pemerintah daerah disamping pemerintah daerah, DPRD
memiliki tiga fungsi utama yaitu:
1) fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota ;
2) fungsi anggaran yaitu menetapkan anggaran; dan
3) fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

4. Tugas dan Wewenang Gubernur

87
Tugas dan gubernur diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut, Gubernur bertugas sebagai
kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Gubernur adalah kepala pemerintahan
yang memerintah pada daerah tingkat I atau provinsi. Sesuai dengan prinsip otonomi
daerah, maka kepala daerah memiliki tugas dan wewenang untuk mengurus
daerahnya sendiri dalam beberapa hal. Oleh karena itu, tugas dan wewenang
gubernur pada dasarnya adalah mengurus semua hal yang berkaitan dengan daerah
provinsi yang dipimpinnya. Gubernur hanya tidak bisa ikut campur dalam melakukan
kebijakan moneter maupun militer ataupun kebijakan lainnya yang menyangkut
negara. Sebagai wakil pemerintah pusat, maka gubernur bertanggung jawab kepada
presiden. Berikut ini penjelasan mengenai tugas dan wewenang gubernur.
Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah terdapat Gubernur sebagai wakil
dari pemerintah pusat dalam menjalankan tugasnya. Setelah adanya perubahan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang 23 Tahun 20014
di dalamnya mengatur juga mengenai wewenang dari Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
1.1 Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, maka gubernur berperan sebagai wakil pemerintah pusat
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota dan tugas pembantuan oleh daerah
kabupaten/kota. Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka tugas gubernur
diatur dalam Pasal 91 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut :
 mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas
Pembantuan di Daerah kabupaten/kota;
 melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
 memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
 melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD,
RPJMD, APBD,
 perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah,
pajak daerah, dan retribusi daerah;
 melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
 melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam melaksanakan tugas pembantuan oleh daerah kabupaten/kota.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang yang diatur
dalam Pasal 91 Ayat 3 UU No 23 Tahun 2014, yaitu :
 membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;
 memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-
Daerah bupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi;
 memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota
 melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

88
Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 91 ayat (1) UU Pemerintahan Derah, tugas dan wewenang gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat antara lain adalah :
 menyelaraskan perencanaan pembangunan antar-Daerah kabupaten/kota dan
antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
 mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dan antar-Daerah kabupaten/kota yang ada
di wilayahnya;
 memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas usulan DAK pada
Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
 melantik bupati/wali kota;
 memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah provinsi
kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan
pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi vertikal oleh kementerian
yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian yang ditugaskan di wilayah Daerah provinsi yang
bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan
pemerintahan absolut dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
 melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
1.2 Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Kepala Daerah
Tugas gubernur sebagai kepala daerah diatur dalam Pasal 65 ayat (1) UU
Pemerintahan Derah sebagai berikut :
 memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah berdasarkan ketentuan peraturanperundang-undangan dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
 memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
 menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan
Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta
menyusun dan menetapkan RKPD;
 menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda
tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
 mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilandan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
 melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
wewenang gubernur untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut di atas diatur
dalam Paasal 65 Ayat 2 UU No 23 Tahun 2014, sebagai berikut :
 mengajukan rancangan Perda;
 menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
 menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
 mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan
oleh Daerah dan/atau masyarakat;

89
 melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Terangkan pengertian tentang pengertian Otonomi Daerah ?
2. Jelaskan tentang prinsip-prinsip penerapan otonomi daerah?
3. Bedakan konsep otonomi dalam negara federasi dan negara kesatuan ?

B. Kunci jawaban
1. Terangkan pengertian tentang pengertian Otonomi Daerah ?
Jawab :
Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
system negara kesatua Republik Indonesia. Sedangkan menurut pendapat
beberapa para ahli seperti Benyamin Hoesein, Otonomi Daerah adalah
pemerintahan oleh serta untuk rakyat di bagian wilayah nasional Negara secara
informal berada diluar pemerintah pusat.
Charles Einsenmann (dalam Suryanto, 2008:18), menjelaskan bahwa
otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap
meghormati perundang-undangan. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara
dengan menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan
kebebasan nasional. Dari hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari
tatanan (sub-state arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk
melaksanakan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin
kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integrasi wilayah.
2. Jelaskan tentang prinsip-prinsip penerapan otonomi daerah?
Jawab :
Prinsip-prinsip otonomi adalah landasan utama dalam penyelenggaraan
desentralisasi keweanganan. Adapun prinsip-prinsipt tersebut adalah :
1) Prinsip otonomi seluas-luasnya
2) Prinsip otonomi nyata
3) Prinsip otonomi yang bertanggung jawab
3. Bedakan konsep otonomi dalam negara federasi dan negara kesatuan ?
Jawab :
Perbedaan sistem desentralisasi dalam negara federal dan negara kesatuan
a) desentralisasi dalam negara federal
1. Pemilik kedaulatan pada dasarnya ada di Negara-negara bagian. Dan
berdasarkan kesepakatan bersama dilimpahkan kepada Negara federal
(sebagai pengikat kesatuannya).
2. Terkait dengan point di atas, maka kedaulatan dalam Negara federal tidak
bersifat tunggal, karena berada di masing-masing Negara bagian.

90
3. Alur mengenai arus kewenangan bersifat battom-up, artinya Negara-
negara bagian yang melimpahkan sebagian kewenangan kepada Negara
federal (pusat) berdasarkan kesepakatan (biasanya pada awal
pembentukannya).
4. Negara federal (pusat) hanya menjalankan sebagian (sisa) kewenangan
yang diberikan oleh Negara bagian.
5. Negara bagian tetap memiliki kewenangan ke luar meski terbatas.
6. Pada prinsipnya Negara bagian dapat membentuk struktur
pemerintahannya sendiri-sendiri sesuai dengan nilai, kultur atau sejarah
yang dimilikinya, tapi pada umumnya, struktur yang dibentuk tidak jauh
berbeda satu dengan yang lainnya.

b) Desentralisasi dalam negara kesatuan


1. Kedaulatan pada Negara kesatuan bersifat mutlak/tunggal, yaitu hanya
ada pada Negara (Pusat).
2. Alur pelimpahan/penyerahan kewenangan/urusan bersifat Top
Down (dari pusat kepada Daerah).
3. Kewenangan yang sudah dilimpahkan kepada daerah, dapat ditarik
kembali apabila dipandang perlu atau karena daerah dipandang tidak
mampu menjalankan fungsi otonominya.
4. Secara geografis, daerah merupakan bagian/wilayah dari Negara (pusat)
yang apabila dipandang perlu dapat dihapuskan/digabungkan.
5. Daerah hanya memiliki kewenangan sesuai dengan yang diterimanya dari
pusat, dan tidak memiliki kedaulatan (keluar).

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Otonomi daerah adalah merupakan reformasi sistem penyelenggaraan
pemeritnahan di Indonesia. Adalam penerapan sistem administrasi negara Republik
Indonesia pemeberian kewenagnan otonomi kepada daerah adalah dalam rangka untuk
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena didalam konsep negara

91
kesatuan tidak dikenal adanya negara di dalam negara. dengan demikian maka
kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah adalah merupakan
kewenangan pemerintahan bukan kewenangan negara.

Daftar Pustaka

Abdullah, Rozali. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin. Perencanaan Pembangunan
Daerah. Jakarta. PT. Gramedia Pusaka Utama
Kaho, Josef Riwu. 2007. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Perasada.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda
Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya.Bandung: Djambatan.
Sujamto dkk. 1997. Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Syaukani dkk. 2009. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran
partai golkar. Jakarta: LASPI.
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi I Cetakan
ke-3. Jakarta: Kencana.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka
Utama.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, pembagian, serta Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yangg Berkeadilan, dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
_________UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
_________UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
_________UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
_________UU No. 33 Tahun 2004 TentangPerimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

92
BAB VII
CLEAN GOVERNMENT DAN GOOD GOVERNANCE
DALAM PERSPEKTIF SISTEM ADMINISTRASI NEGARA

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Dalam bab ini mahasiswa diarahkan pada tujuan penerapan sistem Administrasi
Negara melalui penerapan sistem pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang
baik. Dalam bab ini mahasiswa akan diarahkan pada sebuah pemahaman tentang
tujuan penerapan sistem administrasi negara berdasarkan prinsip-prinsip dasar dalam
penerapan Good Governance.

B. Relevansi
Bab ini adalah adalah akan mengarahkan pemahaman mahasiswa terhadap
tujuan penerapan Sistem Administrasi Negara setelah mahasiswa memahami tetnang
konsep Sistem Administrasi Negara secara konseptual dan komprehensi serta
penerapan Sistem Adminisrtrasi NKRI pada aspek empiris maka pada bagian ini
mahasiswa akan diarahkan pada sebuah pemahaman tetanng tujuan penerapan prinsip-
prinisp administrasi negara dalam melengkapi pemahaman mahasiswa terhadap
Sistem Administrasi Negara NKRI.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) peran
administrasi negara dari aspek fungsi-fungsi negara, (2) Pengertian tentang Clean
Government dan Good Governance, (3) Mahasiswa akan memahami penerapan
prinsip-prinsip Good Governance di Indonesia (4) Mahasiswa dapat menyimpulkan
peran Sistem Administrasi Negara dalam penerapan Good Governance

II. Penyajian Materi


A. Pengertian Clean Governance dan Good Governance
Clean government berasal dari kata bahasa Inggris yang bila diterjemahkan secara
harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “pemerintah yang bersih”. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pemerintah adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama
memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan; menjalankan
wewenang dan kekuasaan dalam mengarur kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.
Sementara itu, Riswanda Imawan (2000) berpendapat bahwa clean government
adalah satu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi
aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk
itu diperlukan (1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2) struktur
organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3) mekanisme politik
yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara, dan (4) mekanisme
saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.
Clean Government pada dasarnya menunjukkan pada penyelenggara pemerintahan
yang bersih. yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih secara
konsisten serta memiliki iktikad baik untuk membangun negara dan bangsanya dengan
tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum. Etika
administrasi publik, merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan yang
diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian untuk

93
menilai apakah tindakan administrasi publik dinilai “baik” atau “buruk”. Wujud konkret
tindakan administrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi publik (mal-
administration) adalah melakukan tindakan “korupsi, kolusi, dan nepotisme dan
sejenisnya. (dalam, Harian Republika, 4 November, Jakarta. 2000) Kepemerintahan yang
bersih (clean governance) terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam
menjalankan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya.
Dalam meningkatkan akuntabilitas pemerintahan maka pemeritahan tidak hanya
dijalankan dengan prinsip Clean Government (dijalankan oleh orang-orang yang baik)
tetapi juga pemeriantahan harus dijalankan dengan prosedur dan mekanisme yang baik.
Karena itu konsep Good Governance muncul sebagai tuntutan dalam proses pelaksnaan
pelayanan public secara konkrit. Adanya asumsi bahwa kurangnya perhatian terhadap
pemerintahan yang baik dan bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli,
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam seminar yang diadakan oleh Asian Development Bank (ADB) di Fukuoka
Jepang pada tanggal 10 Mei 1997 didapat sebuah kesimpulan, pengalaman negara-negara
di Asia Timur memperlihatkan bahwa pemerintahan yang baik dan bersih (Good and
Clean Government) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan (ADB,
1997). Pertemuan ini juga menyepakati empat elemen penting dari pemerintahan yang
baik dan bersih yaitu (1) accountability, (2) transparancy, (3) predictability, dan (4)
participation.Kesimpulan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kesadaran bahwa tanpa
keinginan mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak mungkin melakukan
pembangunan dengan baik.
Selanjutnya United Nations Development Programme (UNDP) mengemukakan
“governance is defined as the exercise of political, economic, and administrative
authority to manage a nations affairs”. Kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan
kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk memanage urusan-urusan bangsa.
Lebih lanjut UNDP menegaskan “it is the complex mechanisme, process, relationships
and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their
rights and obligations and mediate their differences”. Kepemerintahan adalah suatu
institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks melalui warga negara
(citizens) dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya,
melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-
perbedaan di antara mereka. sedangkan Lembaga Administrasi Negara
mengartikan governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaaan negara dalam
melaksanakan penyediaan public goods and services. (dalam, Ani Sri Rahayu, Pendidikan
Pancasila & Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi Aksara, 2014)
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 merumuskan arti Good
Governance ialah pemerintahan yang mengemban dan menerapkan prinsip-prinsip
profesionalitas, akuntabilitas,transparansi, demokrasi, efensiasi, efektifitas,supremasi
hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Sedangkan dalam pengertian
pemeritnahan yang baik berdasarkan Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2000,
pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi,
efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima seluruh masyarakat.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulan bahwa Clean Governance adalah
penyelenggaraan keseluruhan rangkaian kegiatan dalam pencapaian tujuan negara oleh
seluruh komponen penyelenggara negara dan pemerintahan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggungjawab sesuai dengan asas dan norma-norma hukum
yang telah ditetapkan. Sedangkan Good Governance adalah upaya untuk mewujudkan
tanggujawab pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajiban dalam keseluruhan

94
penyelenggaraan negara dalam rangka untuk mencapai tujuan pencapaian cita-cita negara
secara efetif, terbuka, profesional, adil dan akuntable.

B. Prinsip-prinsip Clean dan Good Governance


Lembaga administrasi negara (LAN) telah menyimpulkan ada sebilan aspek yang
fundamental dalam perwujudan good governance yaitu:
1. Pemerintahan yang partisipatif
Aspek mendasar dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat karena sejalan
dengan tuntutan penyelenggaraan demokriasi dalam pemeritnahan dan
penyelengaraan keterbukaan dalam sistem birokrasi. Dengan ringkas Sukardi (2000)
menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan
masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini
adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses
kelahiran sebuah politik maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan
tersebut (Dunn, 1997). Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan
pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan
masyarakat.
Tujuan utama dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan
kepentingan yang sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan
kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh.
Keterlibatan masyarakat lebihkepada pengharapan akan tertampungnya berbagai
aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrat
selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk
mengedepankan keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun
pembuatan kebijakan, serta juga sebagai pengawas kinerja pelayanan. Adapun
criteria yang perlu dipenuhi dalam pengaplikasian pendekatan partisipatif ini (Lijan
Poltak Sinambela, 2006), menyangkut :
a. Pelibatan seluruh stake holder untuk setiap arena perumusan dan penetapan
kebijakan.
b. Penguatan institusi-institusi masyarakat yang legitimate untuk menyuarakan
seluruh aspirasi yang berkembang.
c. Penciptaan proses-proses politik yang negosiatif untuk menentukan prioritas atas
collective agreement.
d. Mendorong pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran kolektif sebagai
bagian dari proses demokrasi
2. Adanya penegakan hukum secara tegas (rule of law)
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa membedakan bahwa
setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dimata hukum. Menurut
Bargir Manan (1994), supremasi hukum mengandung arti :
1) Suatu tindakan hukum hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan
aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya dapat
dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benarbenar menghendaki atau
penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang
berlaku dalam masyarakat (principlesof natural justice)
2) Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi
maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya. Asas
penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus
didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.

95
Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud Good and Clean Governance,
harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
 Supremasi hukum,
yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang
partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan
pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara
benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya
tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada
kewenangan yang dimilikinya).
 Kepastian hukum,
bahwa setiap kehidupan berbangsa bernegara diatur oleh hukum yang jelas
dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara suku ,
agama dan lainnya.
 Hukum yang responsif,
yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas,
dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
 Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif,
yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan
bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
 Independensi peradilan,
yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau
kekuatan lainnya.

3. Pemerintahan yang terbuka (transparency)


Adanya transparansi / keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui
oleh pihak yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi
badan usaha, terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut
kebebasan informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta
dan publik adalah dalam masalah transparansi sendiri.
Dalam organisasi swasta, keterbukaan informasi bukanlah suatu hal yang
menjadi harus. Banyak hal yang dirasa harus dirahasiakan dari publik dan hanya
terbuka untuk beberapa pihak. Sementara itu, organisasi publik yang bergerak atas
nama publik mengharuskan adanya keterbukaan agar dapat menilai kinerja pelayanan
yang diberikan. Dengan begini, akan terlihat bagaimana suatu system yang berjalan
dalam organisasi tersebut.
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan
diartikan sebagai berikut : “Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur,dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara”.Dari pengertian tersebut terlihat bahwa
masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang
penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat secara nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara lebih jelas peran serta
masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1)
dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang
bersih dilaksanakan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan negara;
96
b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelenggaraan negara.
Adapun asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good
and Clean Governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, Indonesia telah
terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Dalam pengelolaan
negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
 Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
 Kekayaan pejabat politik.
 Pemberian penghargaan.
 Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
 Kesehatan.
 Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
 Keamanan dan ketertiban.
 Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui
mekanisme test and proper test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga independen yang dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi
independen, seperti komisi yudisial, kepolisian dan pajak.

4. Pemerintahan yang responsif (responsive)


Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean
Governance bahwa pemerintah harus cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat, harus memehami kebutuhan masyarakat, harus proaktif mempelajari
dan menganalisa kebutuhan masyarakat. Birokrat harus dengan segera menyadari apa
yang menjadi kepentingan public (publicinterest) sehingga cepat berbenah diri.
Dalam hal ini, Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus cepat
beradaptasi dalam memberikan suatu model pelayanan. Aspek responsifitas dalam
pemberian pelayanan public dilakukan dalam kondisi dan tuntutan yang semakin
kompetitif dalam pelayanan jasa atau barang terhdap masyarakat. Hal terebut dapa
dilihat sikap pelayanan yang ditujukan oleh pengawai ketika dibandingkan antara
pelayanan di Rumah Sakin Swasta dan Rumah Sakit Pemerintah maka akan terlihat
perbedaan kualitas pelayanan dari keduanya.
Dengan demikian amaka asas berhubungan dengan etika dalam pelayanan,
yakni yakni etika individual dan sosial.
1) Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar
memiliki kriteria kapabilitas dan layolitas profesional.
2) Etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas terhadap berbagai
kebutuhan publik
5. Berorientasi pada kesepakatan (concensusorientation)
Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat. Hal ini
sejalan dengan konsep partisipatifdimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam
merumuskan secara bersama mengenai hal pelayanan publik. Cara pengambilan
keputusan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar
pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan
memiliki kekuatan memaksa terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan
keputusan tersebut.

97
6. Kesetaraan (equity)
Asas kesetaraan adalah kesamaan dalam perlakuan dalam pelayanan pelayanan
publik. Asas inimengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah bersikap dan
berperilaku adil dalam halpelayanan publik tanpa membedakan suku, jenis,
keyakinan, jenis kelamin, dan kelas social.
7. Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan
bagaimana dalam mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat).
Dalam bentuk pelayanan publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan
melayani masyarakat seefektif mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang
sebenarnya bisa diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya. Meskipun efektifitas
memiliki dimensi yang cukup luas tetapi efektiftas yang dimaksudkan dalam hal ini
lebiha pada pencapaian tujuan organsiasi secara efcktif dan pemberian pelayanan
public se-efisien mungkin dengan tidak mengurangi kualitas pemberian layanan.
8. Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat public terhadap
masyarakat yang memberinya wewenang untuk mengurusi kepentingan mereka.
Setiap pejabat public dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan,
perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Elwood
(Mardiasmo,2002) menyatakan bahwa ada empat dimensi akuntabilitas yang harus
dipenuhi dalam organisasi sektor publik, yang juga termasuk birokrasi, yakni :
 Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum
 (accountabilityforprobityandlegality)
 Akuntabilitas Proses (processaccountability)
 Akuntabilitas Program (program accountability)
 ·Akuntabilitas Kebijakan (policyaccountability)
9. Visi strategis (strategic vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good And
Clean Governance. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini,
harus diperhitungkan akibatnya untuk sepuluh atau duapuluh tahun ke
depan. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh
kedepan. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi
yang diusung agar terciptanya keselarasan dan integritas dalam pembangunan,
dengan memperhatikan latar belakang sejarah, kondisi sosial, dan budaya
masyarakat.

C. Penyelenmggaran Good Governance di Indonesia


Pelaksanaan Good Governan di Indonesia ditandai dengan pelsaknaan reforamsi
yang digulirkan sejak tuntuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998. Adanya
tuntutan masyarakat untuk melakukan reformasi pada segala sector karena adanya
berbagai ketimpangan dan kesenjangan baik secara kedaerah maupn secara personal
ekonomi. Munculnya krisis ekonomi dan krisis multi dimensional dalam berbagai aspek
kehidupan menimbulkan tuntutan terhadap perubahan-peruabahan mendasar baik dalam
aspek demokrasi, peran politik kelembagaan, struktur ekonomi, social budaya,
penegakan hukum dan peran TNI dan Polri dan pertahanan keamanan.
Kata reformasi dalam bahasa Inggris reform, yang berarti memperbaiki atau
memperbaharui. Reformation berarti, perubahan ke arah perbaikan sesuatu yang baru.
Perubahan ini dapat meliputi segala hal, berupa sistem, mekanisme, aturan, kebijakan,

98
tingkah laku, kebiasaan, cara-cara, atau praktik yang selama ini dinilai tidak baik dan
diubah menjadi baik.
Untuk menjalan program reformasi nasional sebagaimana amanat Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2010 maka beberapa upaya perioritas terkait dengan
penyelenggaraan prinsip-prinsip pokok Good and Clean Governance, setidaknya dapat
dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni :
1) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, dan DPRD).
Dalam rangka peningkatan fungsi sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain
melakukan check and balances, lembaga legislatif harus pula mampu menyerap dan
mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2) Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa berdasarkan prinsip goodandcleangovernance peningkatan profesionalitas
aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan, karena
aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan
dalam penegakan hukum dan keadilan.
3) Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur
negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayan rakyat) harus dibarengi
dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan
pelayanan birokrasi secara cepat, efektif dan berkualitas.
4) Penguatan partisipasi Masyarakat Madani ( civilsociety). Peningkatan partisipasi
masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam merealisasikan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada
dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.
5) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip cleanandgoodgovernance, kebijakan otonomi daerah
dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang
menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.
Sedangkan ketentuan Clean Government sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat
(2) dan ayat (7) UU No. 28 tahun 1999 adalah penyelenggara negara yang :
1) Menaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang bersih.
2) Bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
3) Bebas dari perbuatan tercela lainnya.
4) Menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum.
Sehubugnan dengan hal tersebut diatur pula dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 1999 pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 tentang penyelenggara
negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, disebutkan bahwa
penyelenggara negara adalah:
a) Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif
b) Pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif
c) Pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif
d) Pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu penyelenggaraan reformasi dibidang pemerintahan juga dilakukan
dengan penerapan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan
pemberiah hak otonomi kepada daerah.

99
D. Peran Sistem Dalam Adminsitrasi Negara
Penerapan Clean dan Good Governance di Indonesia bukalah hal yang baru.
Adanya penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang berjudul “Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”. Kemudian secara
kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian tentang Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan dan
Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989 (Lotulung, 1994). Buku dan
hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine penyelenggaraan pemerintahan yang
baik di Indonesia.
Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai
sejak tahun 1970-an tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktek
penyelenggaran negara. Hal ini terjadi karena doctrine AAUPB tidak mempunyai
kekuatan hukum yang memaksa.Oleh karena itu para pelanggarnya tidak dapat dikenakan
sanksi hukum.
Keinginan menjadi Good and Clean Governance ke dalam norma hukum baru
dimulai setelah kita mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan
rezim otoriter Orde Baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya
Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian diikuti dengan pemberlakuan
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang
diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP No.
65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No.
66/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota
Komisi Pemeriksa, PP No. 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan PP No. 68/1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Peyelenggaraan Negara.
Meskipun telah dirumuskan dalam berbagai peaturan perundang-undangan namun
peerapan prinsip-prinsip Good Governance di Indonesia masih belum dapat menunjukan
keberhasilan yang cukup berarti. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya berbagai
penyimpangan kekuasaan dan terjadinya berbagai kasus korupsi dalam oleh hampir
seluruh lembaga negara dan lembaga pemerintahan baik pemerintah pusat maupun
pemerinah daeran. Penyelenggaraan pemerintahan yang baii memerlukan komitmen dan
pelibatan seluruh komponen bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh UNDP yang
menyebutkan adanya tiga unsure dalam siste pemerintahan yang baik, ktiga unsur
tersebut adalah : (a) The State, (2) The Private Sector, (3) Civil Society Organizations

Administrasi negara sebagai sebuah system harus terkonstruksi dalam satu


ekologi yang menginginkan pencapaian tujuan secara bersama-sama. Meskipun berbagai
kepentingan yang mewarnasi sebuah system tetapi harus satu dalam pelaskanaan nilai
falsafah dasar bernegara secara mantap dalam penyelenggaraan kelangsungan negara.
adanya keberagaman ekologi yang diikat dalam satu visi dan misi yang sama akan
menjasdi sebuah kekuatan yang besar untuk dukungan terhadap tatanan penyelenggaraan
system adminsitrasi negara. Sistem yang baik adalah sebuah tatanan system dapat
menjamin pencapaian tujuan dari penyelenggaraan system tersebut secara efektif dan
maksimal. untuk mencapai tujuan secara efektif maka sistem yang baik harus memiliki :
(1) tujuan yang jelas, (2) landasan nilai kerja sama kuat, (3) struktur system yang
memadai (4) sumberdaya yang tersedia, (5) perilaku yang konsisten (6) instrument yang
tepat (7) sasaran yang tepat. Sehubungan dengan beberapa indikator diatas maka sebuah
sistem diharapakan dapat menjadi sebuah sarana untuk memobilisasi pencapaian tujuan
secara efektif. Bahwa sistem administrasi negara terkait dengan bagaimana mewujudkan

100
system administrasi negara yang baik untuk menjamin terwujudkan sebuah ekologi
pemerintahan yang bersiah (Clean Government) dan pemerintahan yang baik (Good
Governance).
Clean Government dan Good Governance memiliki batasan yang berbeda tetapi
keduanya adalah merupakan out put dari penerapan sebuah system dalam administrasi
negara. keduanya tidak dapat diwujudkan secara parsial karena terkait dengan nilai-nilai
dan keyakinan yang dibangun sebagai landasan kerja sama baik dalam konstitusi ataupun
dalam doktrin atau budaya penyelenggaraan negara. Oleh karena itu baik clean
Government maupun Good Governance adalah sebuah kondisi yang dapat dirasakan
sebagai iklim kerja pada suatu kelembagaan. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good
Governance akan membentuk budaya birokrasi dengan iklim kerja yang kondusif.
Bagaimana membiasaan penerapan nilai-nilai Good Govercance kedalam
penyelenggaraan pemerintahan tidak lepas dari perasn administrsasi negara sebagai
sebuah sistem. Karena pelaskanaan prinsip-prinsip tersebut tidak dapat dijalankan secara
parsial harus memerlukan komintkmen bersama dalam penyelenggaraannya, baik dari
lembaga eksekutif, lembaga legislative dan lembaga yudikatif.
Terwujudnya Clean Government sangat terkait dengan kualitas sistem politik dan
kualitas sistem pemilu. Sitem pemilu yang berkualitas akan menghasikan perilau yang
berkualitas pula, demikian pula sebaliknya. Fenomena adanya money politic merupakan
salah satu gambaran yang dapat mempengaruhi kualitas sistem demokrasi. Pemimpin
yang dilahirkan dari proses politik yang penuh dengan money politik cenderung akan
memenhui hasrat politiknya untuk mengembalikan keseluruhan biaya politiknya.
Bagaimana dengan kualitas pejabat seperti ini akan diharapkan dapat mewujudkan
prinsip-prinip Good Governance dalalam penyelenggaraan birorkasi. Demikian juga dari
aspek penegakan hukum diperlukan komitmen yang kuat dan tanpa ada intervensi untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik secara kolektif. Hubungan Sistem administrasi
negara dengan sistem hukum (nilai-etika), sistem politik dan sistem pemeritnah
(birorkasi) terhadap tingkat pelaksanaan pemerintahan yang baik dapat digambarkan
dalam model sebagaimana tampak pada gambar 10 berikut ini.
Gambar 10 : Model Hubungan Sistem Adminsitrasi dengan Good
Governance

Sistem Nilai Iklam dan Budaya


(falsah Negara) Organisasi

Sistem
Adm Sistem Politik Clean
Negara (Negara Republik) Goverment

Sistem Good
Pemerintahan Governance

Legal-rationality : “Otoritas”, “Procedure” dam “Objektif”


(pendekatan structural, fungsional dan perilaku, yakob nani-2017)

101
III. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan pengertian Clean Government dan Good Governance ?
2. Sebutkan tetang prinsip-prinsip penerapan Good Governance ?
3. Sebutkan beberapa upaya penerapan sistem administrasi NKRI berdasarkan
Prinsip-Prinsip Good Governace ?
4. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang peran dan fungsi Sistem
Administrasi Negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik ?

B. Kunci jawaban
1. Jelaskan pengertian Clean Government dan Good Governance ?
jawab
Pengertian Clean Governance adalah penyelenggaraan keseluruhan
rangkaian kegiatan dalam pencapaian tujuan negara oleh seluruh komponen
penyelenggara negara dan pemerintahan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggungjawab sesuai dengan asas dan norma-norma
hukum yang telah ditetapkan. Sedangkan Good Governance adalah upaya untuk
mewujudkan tanggujawab pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajiban
dalam keseluruhan penyelenggaraan negara dalam rangka untuk mencapai tujuan
pencapaian cita-cita negara secara efetif, terbuka, profesional, adil dan akuntable.

2. Sebutkan tetang prinsip-prinsip penerapan Good Governance ?


Jawab :
Adapun prinsip-prinsip pemeritnahan yang baik menurut Lembaga
administrasi negara (LAN) adalah pemerintahan yang :
(1) partisipatif,
(2) Adanya penegakan hukum secara tegas
(3) Transparansi (transparency)
(4) Pemerintahan yang responsif (responsive)
(5) Berorientasi pada kesepakatan (concensusorientation)
(6) Kesetaraan (equity)
(7) Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
(8) Akuntabilitas (accountability)
(9) Visi strategis (strategic vision)

3. Sebutkan beberapa upaya penerapan sistem administrasi NKRI berdasarkan


Prinsip-Prinsip Good Governace ?
Jawab
Untuk menjalan program reformasi nasional sebagaimana amanat Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2010 maka beberapa upaya perioritas terkait dengan
penyelenggaraan prinsip-prinsip pokok Good and Clean Governance, setidaknya
dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni :

102
 Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, dan
DPRD). Dalam rangka peningkatan fungsi sebagai pengontrol jalannya
pemerintahan. Selain melakukan check and balances, lembaga legislatif harus
pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam
bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat
kepada lembaga eksekutif.
 Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa berdasarkan prinsip goodandcleangovernance peningkatan
profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan
mutlak dilakukan, karena aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif
merupakan pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.
 Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma
aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayan rakyat)
harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran
birokrasi pemerintah. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut
dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif dan
berkualitas.
 Penguatan partisipasi Masyarakat Madani ( civilsociety). Peningkatan
partisipasi masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam merealisasikan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Peran aktif masyarakat dalam proses
kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.
 Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip cleanandgoodgovernance, kebijakan otonomi
daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model
pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

4. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang peran dan fungsi Sistem


Administrasi Negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik ?
Jawab :
Administrasi negara sebagai sebuah system harus terkonstruksi dalam satu
ekologi yang menginginkan pencapaian tujuan secara bersama-sama. Meskipun
berbagai kepentingan yang mewarnasi sebuah system tetapi harus satu dalam
pelaskanaan nilai falsafah dasar bernegara secara mantap dalam penyelenggaraan
kelangsungan negara. adanya keberagaman ekologi yang diikat dalam satu visi
dan misi yang sama akan menjasdi sebuah kekuatan yang besar untuk dukungan
terhadap tatanan penyelenggaraan system adminsitrasi negara. Sistem yang baik
adalah sebuah tatanan system dapat menjamin pencapaian tujuan dari
penyelenggaraan system tersebut secara efektif dan maksimal. untuk mencapai
tujuan secara efektif maka sistem yang baik harus memiliki : (1) tujuan yang jelas,
(2) landasan nilai kerja sama kuat, (3) struktur system yang memadai (4)
sumberdaya yang tersedia, (5) perilaku yang konsisten (6) instrument yang tepat
(7) sasaran yang tepat. Sehubungan dengan beberapa indikator diatas maka
sebuah sistem diharapakan dapat menjadi sebuah sarana untuk memobilisasi
pencapaian tujuan secara efektif. Bahwa sistem administrasi negara terkait dengan
bagaimana mewujudkan system administrasi negara yang baik untuk menjamin
terwujudkan sebuah ekologi pemerintahan yang bersiah (Clean Government) dan
pemerintahan yang baik (Good Governance).

103
C. Umpan balik dan tindak lanjut
Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman
Peran sistem dalam penerapan adminsitrasi negara harus benar-benar dapat
mewujudkan penyelenggaraan negara secara efektif. Sistem administrasi negara harus
dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip Clean and Good Governance dalam
penyelenggaraan negara. Bahwa sisetem yang baik adalah sebuah tatanan system
dapat menjamin pencapaian tujuan dari penyelenggaraan system tersebut secara efektif
dan maksimal. Sistem diharapakan dapat menjadi menjadi sebuah sarana atau
instrumen penyelenggaraan administrasi yang efektif

Daftar Isi

Asian Development Bank, 1997. Governance : Promoting Sound Development


Management, ADB.
Agus Dwiyanto, 2005 Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Gadjah Mada University Press.
Ani Sri Rahayu, 2014. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi
Aksara.
Dunn, William N., 1994. Public Policy Analysis, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Hadimulyo, 2000. Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4
November, Jakarta.
Sinambela, Lijan Poltak,dkk.2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta : PT Bumi
Aksara.
_______UU No. 28 tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
________UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Infoprmasi Publik
________UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
________Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
_______Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan PNS

104
BAB VIII
STABILITAS NASIONAL,
KEADILAN SOSIAL DAN PELAYANAN PUBLIK

I. Pendahuluan
A. Deskripsi singkat
Pada bahasan ini mahasiswa akan memahami penerapan sistem administrasi
negara dari aspek pendekatan pencapaian tujuan sebagai kelanjutan dari bab 7 yakni
terwujudnya stabilitas negara melalui penguaran peran politik negara, terwujudnya
stabilitas sosisal budaya yang berkeadilan melalui penguatan lembaga penegak
hukum dan lembaga peradilan serta peningkatan pelayanan publik memalui
penguatan sistem birokrasi dadalam satu sistem besar tentang sistem adminsitrasi
negara Republik Indonesia.

B. Relevansi
Bahsan ini adalah bab terakhir yang menyajikan tentang stabilits nasional,
keadilan sosial dan pelayanan publik. Ketia sub pokok bahasan tersebut
menggambarkan keterkaitan antara peran politik, peran administrasi dan peran etika
dalam penyelenggaraan negara. Ketiga sub pokok bahasan tersebut adalah
merupakan sub sistem yang digambarkan dalam bab-bab sebelumnya dan pada
bagian ini akan lebih dimantapkan pengetahuan mahasiswa dalam mewujudkan
tujuan pennyelenggaraan sistem administrasi negara dalam rangka untuk mencapai
efektifitas dan pencapaian tujuan negara yakni tetntang tercibtanya stabilitas,
terwujudnya keadilan sosial dan meningkatnya pelayanan publik berdasarkan nilai
dan prinsip-prinsip paradigma administrasi negara.

C. Kompetensi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan : (1) Eksistensi dasar
dari penyelenggaraan sistem administrasi negara terhadap pencapauan tujuan negara
(2) pengertian tentang kepentingan negara dan kepentingan publik dalam perspektif
kepentingan umum (3) mahasiswa dapat memahami hubungan antara
penyelenggaraan pembangunan, stabilitas dan keadilan sosial (4) memahami
pengertian, dimensi dan indkator pelayanan publik

II. Penyajian
A. Perbedaan kepentingan nasional dan kepentingan publik
Dalam beberapa istilah tentang dokrin penyelenggaraan negara kita sering
mendengar bahwa penyelenggara harus mementingkan kepentingan negara diatas
kepentingan kepentingan pribadi atau golongan, disi lain dalam beberapa undang-udang
kita melihat adanya istilah tentang kepentingan umum seperti dalam UU tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Beberapa isilah ini menarik bagi penulis untuk dikemukakan diawal dalam bahasan
ini tentang pengertian kepentingan negara dan kepentingan publik dari aspek itilah
tentang “kepentingan umum”. Kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 adalah kepentingan bangsa, Negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun,
dalam peraturan tersebut, pengertian dari kepentingan umum masih menimbulkan banyak
penafsiran dalam masyarakat. Huybers (1982:286) memberikan pengertian bahwa
kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki

105
ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut semua sarana public bagi berjalannya kehidupan
yang beradab.
Dalam Inpres no 9 tahun 1973 ditegaskan bahwa kepentingan umum diartikan
sebagai kegiatan yang menyangkut 4 macam kepentingan yaitu: (1) Kepentingan bangsa
dan Negara, (2) Masyarakat luas, (3) Kepentingan bersama, (4) Kepentingan
pembangunan. Sama halnya juga dengan keppres no 55/1993 telah memberikan
klarifikasi dan definisi yang tegas mengenai kepentingan umum yaitu : (1) Kepentingan
seluruh masyarakat, (2) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah,
(3) Tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional, dalam Perpres no 36 tahun 2005 jo Perpres no 65 tahun 2006
disebutkan bahwa yang dimaksud denghan kepentingan umum adalah kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 5 perpres no 65 tahun 2006
bahwa untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaiman dimaksud dalam pasal 2 yang selanjutnya dimiliki oleh pemerintah atau
pemerintah daerah meliputi:
1) Jalan umum,jalan tol,rel kereta api(diatas tanah,diruang atas tanah,ataupun diruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih,saluran pembuangan air dan sanitas
2) Waduk,bendungan,bending,irigasi,dan bangunan pengairan lainnya
3) Pelabuhan,Bandar udara,stasiun kereta api dan terminal
4) Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulan banjir,lahar dan lain-lain
bencana
5) Tempat pembuangan ssampah
6) Cagar alam dan cagar budaya
7) Pembangkit,transmisi,distribusi tenaga listrik
Dari beberapa pandangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepentingan
umum dapat dikategorikan kedalam dua aspek yakni pertama adalah kepentingan umum
yang pemenuhannya bersifat mutlak dan kedua, kepentingan umum yang pemenuhannya
berdasarkan skala mendesak (perioritas) bersifat fleksibel dan kondisiononal (dinamis).
Tidak ada batasan atau karakteristik yang jelas mengenai kriteria pembangunan
untuk kepentingan umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
akibatnya pemerintah seringkali dibenturkan pada dua kepentingan yang berbeda yaitu
kepentingan umum dan kepentingan pemerintah itu sendiri. Meskipun dalam draft
Rancangan anggaran belanja negara (RAPBN) disebutkan jika pemerintah lebih condong
kepeada kepentingan umum, namun dalam realitanya kepentingan pemerintah yang lebih
di kedepankan.
Kepentingan pemerintah, yaitu tuntutan perorangan atau kelompok suatu organisasi
pemerintah. Kepentingan pemerintah pada mulanya merupakan upaya pejabat pemerintah
dalam mensejahterakan dirinya atau menunjang hidupnya dan keluarganya. Seperti
misalnya adalah pengadaan mobil-mobil dinas, pengadaan rumah-rumah dinas dan juga
kenaikan gaji pejabat (Renumerasi) dan lain sebagainya.
Administrasi Negara harus melayani masyarakat sedemikian rupa sehingga
memperkuat integritas dan proses-proses yang berlangsung dalam suatu masyarakat
demokratis. Prinsip mendasar ini sekurang-kurangnya mengandung tiga implikasi bagi
kinerja dalam jajaran pemerintahan terutama jika yang dibahas adalah tanggungjawab
utama aparat-aparat pemerintah. Implikasi tersebut adalah (a) bahwa setiap warga Negara
harus dilayani secara sama dan tidak memihak (b) bahwa itu semua harus dicapai dengan
menghormati dan berlandaskan pada lembaga perwakilan (c) bahwa administrasi internal
didalam lembaga-lembaga pemerintahharus konsisten dengan cara layanan tersebut.
Kepentingan umum menjadi landasan yang kokoh bagi perilaku administrasi
Negara karena sesungguhnya kepentingan inlah yang merupakan sarana terbaik untuk

106
menjaga eksistensi Negara. Apabila nilai-nilai yang menyangkut kepentingan umum
sudah ditinggalkan dan kepentingan pribadi yang ditonjolkan, fiksi, sengketa, dan
pergolakan tidak akan dapat dihindari. Jelaslah bahwa legitimasi tindakan aparat-aparat
public akan memperoleh tempat yang baik apabila mereka mengacu kepada kepentingan
umum.
Kecuali itu, konsep ideal tentang kepentingan umum hanya akan terwujud bila
setiap aparat publik memiliki wawasan pelayanan umum (sense of public service).
Wawasan ini akan menempatkan seorang pejabat atau pegawai pemerintah sebagai abdi
negara dan sekaligus abdi masyarakat. Kekuasaan dan kedudukan tidak lagi menjadi
tujuan yang dikejar-kejar oleh para pejabat. Kekuasaan dan kedudukan diraih semata-
mata untuk memperoleh kesempatan yang luas dalam mengabdikan diri pada kepentingan
masyarakat atau kesejahteraan rakyat. Dari sinilah para pejabat dapat melaksanakan
amanah dan berbuat kebajikan bagi sesama manusia.
Setelah membahas argumentasi yang mendasari norma kepentingan umum,
pertanyaan yang harus kita jawab adalah bagaimana kaidah dan praktik pelaksanaan
kepentingan umum di Indonesia. Dalam paham demokrasi di negara-negara Eropa Barat
dan Amerika, kepentingan individu sangat dihargai di atas kepentingan umum atau
kepentingan negara. Negara sekadar berfungsi sebagai regulator atau bertugas menengahi
sengketa antara individu yang sate dengan individu yang lain. Namun paham negara
hukum yang bersumber pada Pancasila meletakkan kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat secara seimbang. Negara tidak berfungsi secara pasif tetapi harus
secara aktif mengusahakan ketertiban umum dan sekaligus menunjang kesejahteraan
masyarakat.
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang terdapat dalam Pancasila
merupakan penegasan mendasar bahwa aparatur pemerintahan mengemban tugas penting
berkenaan dengan kesejahteraan dan kepentingan umum. Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 (vide alinea IV) beserta batang tubuhnya (Pasal 33 dan 34) juga telah
mengga- riskan bahwa segenap aparat pemerintah harus melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum. Indonesia adalah negara
kesejahteraan (welfare state) sehingga dengan sendirinya penyelenggaraan kepentingan
umum merupakan asas utama bagi pemerintahan di Indonesia.Jelaslah bahwa induk
peraturan perundang-undangan di Indonesia telah secara implisit menegaskan
keutamaan kepentingan umum sebagai landasan etis bagi penyelenggaraan administrasi
pemerintahan. Hal yang menjadi persoalan adalah bahwa para pejabat pemerintah
seringkali memiliki persepsi yang berlain-lainan dalam melihat cakupan kepentingan
umum itu sendiri. Karena terkait dengan kepentingan negara maka kepentingan umum
jua adalah meupakan “kepentingan nasional” karena menjadi sasaran dalam pencapaian
tujuan negara
Secara spesifik kepentingan Nasional adalah merupakan konsep yang paling
dikenal luas di kalangan para mahasiswa pada studi hubungan internasional dan politik
internasional baik itu pengamat aliran tradisional atau saintifik. Hal ini terjadi selama
Negara bangsa (Nation State) masih merupkan aktor yang utama dalam hubungan
internasional. Semua ahli agaknya sepakat bahwa determinan utama yang menggerakkan
Negara-negara menjalankan hubungan internasional (international relation) adalah
kepentingan nasionalnya. (dalam Drs T May rudy,2002 : 60)
Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan
berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri negara itu sendiri. Nilai-nilai
kebangsaan, sejarah, dan letak geografis menjadi ciri khusus yang mempengaruhi
penilaian atas konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Kedua, kepentingan nasional
bukan merupakan upaya untuk mengejar tujuan-tujuan yang abstrak, seperti perdamaian

107
yang adil atau definisi hukum lainnya. Sebaliknya,ia mengacu kepada upaya
perlindungan dari segenap potensi nasional terhadap ancaman eksternal maupun upaya
konkrit yang ditujukan guna meningkatan kesejahteraan warga negara. Ketiga, konsepsi
ini pada dasarnya bukan merupakan pertanyaan yang berkisar kepada tujuan, melainkan
lebih kepada masalah cara dan metode yang tepat bagi penyelenggaran hubungan
internasional dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara efektif.
Sementara itu Donald E Nuechterlin (Ibid., Hal 62) yang menyebutkan klasifikasi
kepentingan nasional menjadi 4 jenis yaitu: (1) Kepentingan Pertahanan, (2) Kepentingan
Ekonomi, (3) Kepentingan Tata Internasional, (4) Kepentingan Idiologi selanjutnya
berkaitan dengan idiologi tersebut KJ Holsti (dalam KJ Holsti,1 981)
mengindentifikasikan kepentingan nasional kedalam 3 hal yaitu:
1. Core Values
Dianggap paling vital bagi negara dan menyangkut eksistensi negara
2. Middle –Range Objectives
Kebutuhan memperbaiki derajat perekonomian
3. Long-Range Objectives
Sesuatu yang bersifat ideal misalnya keinginan mewujudkan perdamaian dan
ketertiban dunia.
Sedang disisi lain Dadelford dan Lincoln ( 1962 ) berpendapat bahwa kepentingan
nasional suatu bangsa meliputi : (1) kepentingan keamanan nasional, (2)kepentingan
pengembangan ekonomi, (3) kepentingan peningkatan kekuatan nasional, (4) kepentingan
prestise nasional
Dalam kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil
keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh
bagi masyarakat dalam negerinya. Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun
kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan
masyarakat jadi terbatas, sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi
kontrol dari sebuah negara. (Robert Jackson dan Georg Sorensen. : 89)
Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat
dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial-
budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga
negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat
pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari
kepentingan nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional
sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya.
Dengan demikian, kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk
menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. (dalam Sitepu: 163)
Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
“Bahwa hubungan antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang
dimiliki tiap negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage)
tersebut membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk
menunjang pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional” (dalam Charles. P.
Kindlerberger : 21)
Dalam kepentingan nasional, terdapat pembedaan yang mendasar yakni;
kepentingan nasional yang bersifat vital atau esensial juga kepentingan nasional yang
bersifat non-vital atau sekunder. Kepentingan nasional yang bersifat vital biasanya
berkaitan dengan kelangungan hidup negara tersebut serta nilai-nilai inti (core values)
yang menjadi identitas kebijakan luar negerinya. Sedangkan kepentingan nasional non-
vital atau sekunder tidak berhubungan secara langsung dengan eksistensi negara itu

108
namun tetap diperjuangkan melalui kebijakan luar negeri. (dalam Aleksius Jemadu : 67-
69)
Dari semua pendapat para ahli tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
kepentingan nasional itu berpusat pada perlindungan diri ( Self preservation ) sebuah
bangsa yang pemenuhannya bersifat absolute karena berkaitan dengan kedaulatan dan
stabilitas sebuah negara. karena bersifat absolute tersebut maka tingkat pemenuhan
kepentingan umum dari aspek ini berfiat mendesak.
Pada aspek yang lain ada kepentingan umum dalam beberapa kajian pelayanan
publik lebih dikenal sebagai kepentingan publik. Antara kepentingan negara dan
kepentingan publik ini pula yang mengaburkan tentang adnya administrasi negara dan
administrasi publik. Oleh karena itu dalam pembahasan ini perlu di-clear-kan dari aspek
bentuk dan sifat pemenuhannya.
Dengan melandaskan pada beberapa teori tentang kepentingan umum misalnya (1)
teori tentang keamanan, (2) teori tentang kesejahteraan, (3) teori tentang efisiensi dan (4)
teori tentang kemakmuran bersama. Maka tugas dan tujuan pemerintah tidak hanya
tercapainya suatu “stabilitas dan ketertiban masyarakat”, meskipun sifatnya bersifat
absolut akan tetapi negara mempunyai fungsi lain dalam mewujudkan kesejahteraan
warga negara.
Dengan demikian maka kepentingan umum dapat dikategorikan berdasarkan pada :
(1) aspek pertuntukannya dan (2) aspek pemenuhannya. Dari aspek peruntukannya
kepentingan umum mencakup (a) kepentingan bangsa dan Negara, (b) kepentingan
bersama dari rakyat dan (c) kepentingan pembangunan. Sedangkan dari aspek
pemenuhannya kepentingan umum dapat dikatorikan berdasarkan pada aspek
pemenuhan, yang meliputi ; (a) pemenuhan secara absolut yang mencakup stabilitas dan
keamanan, (c) pemenuhan yang didasarkan pada skala perioritas yang mencakup
pelayanan publik..
Adanya UU Nomor 30 Tahun 2003 Pasal 49. (1) Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikankedinasan dialokasikan minimal. 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan UU Nomor 36 Tahun Tahun 2009 pasal
(171) yang menyatakan bahwa besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan
minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar
gaji. Kedua UU ini sebagai bukti bahwa pemenuhan kebutuhan publik tersebut
didasarkan pada skala perioritas dari aspek pemenuhannya.
Kepentingan publik secara lebih luas, biasanya muncul dari kelompok kepentingan,
pada aspek ini maka kepentingan dapat diartikan seabgai tuntutan perorangan atau
kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan
yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Dari aspek lain
kepentingan publik juga dapat berasal dari Visi dan Misi pemerintah yang diteapkan
sebagai program perioritas dalam pemenuhannya.
Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang berusaha mempengaruhi
kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik, kelompok ini tidak
berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung. Masyarakat bergabung
untuk kepentingan dan keuntungan warganya. Kelompok ini tempat menampung saran,
kritik, dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikannya
kepada sistem politik yang ada.
Kelompok ini penting bagi anggota masyarakat, dengan asumsi bawha suara satu
orang (misalnya dalam pemilihan umum) sangat kecil pengaruhnya, terutama dinegara
negara yang penduduknya berjumlah besar. Melalui kegiatan menggabung diri dengan
orang lain menjadi suatu kelompok, diharapkan tuntutan mereka akan lebih didengar oleh
pemerintah. Dalam aktivitasnya menyangkut tujuan yang lebih terbatas, dengan sasaran

109
yang monolitis dan intensitas usaha yang tidak berlebihan serta mengeluarkan dana dan
tenaga untuk melaksanakan tindakan politik di luar tugas partai politik.
Pada aspek politik, sistem politik memiliki fungsi dan struktur politik
tertentu. Suatu Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah dapat menguntungkan
maupun merugikan masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan rakyat dapat dipenuhi
namun dapat pula terabaikan dan tidak terpenuhi. Oleh karena itu rakyat berkepentingan
dan perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintahnya. Oleh
sebab di atas mereka dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan mereka
kepada pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama atas dasar
kepentingan yang sama. Kelompok-kelompok yang dibentuk atas dasar persamaan
kepentingan inilah yang kemudian disebut kelompok kepentingan.

B. Konsep tentang Stabilitas Nasional dan Stabilitas Sosial


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia stabilitas nasional berarti kemantapan;
kestabilan; keseimbangan: menciptakan suatu. Nasional mengandung yg dinamis bahwa
stabilitas bukanlah semata-mata tugas pemerintah dan aparatnya, melainkan tugas
segenap anggota masyarakat. Menurut Menteri Pertahanan RI H. Matori Abdul Djalil,
stabilitas nasional merupakan suatu hal yang sangat penting dalam rangka membangun
demokrasi, tanpa stabilitas nasional yang mantap mustahil proses demokrasi dapat
berjalan dengan baik.(menurut Menteri Pertahanan RI H. Matori Abdul Djalil).
Stabilitas nasional adalah merupakan kondisi yang harus diwujudkan oleh Negara
dalam menjamin hak-hak public untuk mendapatkan dan menjalankan hak-hak asasinya
dan kedaulatan rakyat. Stabilitas nasional akan memberikan jaminan terhadap kondisi
yang tenang kepada masyarakat agar masyarakat dapat beraktifitas secara lancer dan
berkesinambungan. Jaminan terhadap keamanan baik secara territorial ataupun secara
social ekonomi akan dapat memberikan ruang dan ketenangan kepada public untuk
menjalankan aktifitas ekonomi. Dengan demikian maka stabiliatas Negara adalah
merupakan modal dasar untuk menjalankan proses pembangunan dan pelayanan public.
Oleh karena berkaitan dengan keamanan negara baik secara teritorial maupun
kondisi masyarakat maka stabilitas nasional digolongkan kebutuhan yang bersifat
mendesak dalam kondisi negara dalam keadaan darurat. Kepentingan nasiopnal adalah
merupakan kepentingan umum yang bersifat universal. Secara filosofi Negara lahir untuk
melindungi seluruh kepentingan warga Negara dan menjamin kemerdekaan setiap warga
Negara. Kemerdekaan merupakan hak asasi bagi sertiap warga Negara. Oleh karena itu
stabilitas merupakan kebutuhan mutlak dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara,
berbangsa dan bermasayrakat.
Stabilitas nasional sangat terkait dengan ketahanan nasional. Ketahanan Nasional
merupakan kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan
mengatasi segala ancaman, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri dalam bentuk
apapun, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan identitas, keutuhan,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta mencapai tujuan perjuangan nasionalnya.
Keberhasilan pembangunan nasional yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
nasional sangat tergantung pada hasil upaya pertahanan negara yang berwujud stabilitas
nasional yang dinamis (UU Nomor 20 tahun 1982).
Ketahanan nasional memiliki cakupan pada berbagai aspek kehidupan, antara lain
adalah : ketahanan bidang idiologi, ketahanan bidang politik, ketahanan bidang ekonomi,
ketahanan bidang social budaya dan ketahanan pertahanan keamanan (Pancagatra).
Dengan demikian maka stabilitas nasional mencakup pula tentang : stabilitas territorial,
stabilitas ekonomi, stabilitas politik, stabilitas social dan stabilitas keamanan nasional.

110
Stabilitas sosial berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat social
budaya misalnya yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan masyarakat serta
moralitas. Stablias nasional sebagaimana dijelaskan diatas adalah kondisi ketahanan
nasional yang tenang dan tanpa gangcuan dan ancaman apapun. Gangguan terhadap
stabilitas nasional bisa berasal dari luar ataupun berasal dari dalam negara. Stabilitas
sosial sebagai bagian dari stabilitas nasional karena dapat memicu ganguan-gangguan
secara internal. Oleh kaerna itu dalam mewujudkan stabiltias memerlukan dukungan dan
kerja sama seluruh komponen bangsa.

C. Pembangunan, Stabilitas dan pemerataan


Dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 Pasal (1) Ayat 2 disebutkan bahwa
Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa
dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Pembangunan nasional adalah suatu rangkaian
upaya pembangunan yang dilakukan secara berkesinambungan dalam semua bidang
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional.
Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta mewujudkan cita-
cita bangsa sebagaimana termaktub dalam alinea II Pembukaan UUD 1945.
Pernyataan di atas merupakan cerminan bahwa pada dasarnya tujuan
Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia
mandiri, maju dan makamur, Sistem pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia merupakan pembangunan yang berkesinambungan, yang meliputi seluruh
aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, sesungguhnya
pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara benar, adil, dan
merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang
maju dan demokratis berdasarkan Pancasila.
Hal tersebut terlihat dalam penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dijelaskan bahwa Visi Pembangunan
Nasional (2005-2025) adalah “Terwujudnya Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil
Dan Makmur”. Adapun Misi Pembangunan Nasional adalah :
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional
8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan pembangunan dilakukan untuk
memenuhi kepentingan negara dalam mewujudkan stabilitas nasional dan satabilitas
sosial yang berkeadilan melalui pelaksanaan pembangunan secara merata. Pelaksanaan
pembangunan harus didasarkan aspek keadilan yang dapat diterima dalam keseimbangan
antara kepentingan nasional bersifat mutlak dan kepentingan public dinamis.

111
Untuk memenuhi aspek keadilan maka pelaksanaan pembangunan tidak hanya
dijalankan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata-mata tetapi pembangunan juga
harus dijalankan dengan konspe pemerataan. Hal tersebut dilakukan agar proses
pembangunan tidak menimbulkan adanya kesenjagan ekonomi dan sosial baik secara gini
ratio maupun secara kedaerahan, antara daerah maju dan daerah dan wilayah yang
berada di pedalaman.
Untuk memenuhi konsep keadilan dan pemerataan dalam pelaksanaan
pembangunan maka pembangunan harus dijalankan dalam konsep pelayanan publik.
Dengan memperhatikan aspek kesinambungan dan kelestarian lingkungan hidup.
Pelaksanaan pembangunan yang lebih bertumpu pada konsep “pertumbuhan ekonomi”
akan cenderung mengarah pada pelaksanaan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak
terkendali. Pemerintah harus lebih proaktif untuk dapat mengelolah pembangunan secara
berkualitas karena negara sesungguhnya menguasai sumberdaya alam alam yang ada
sebagimana dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 bahwa pasal bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Pelaksanaan pembangunan mancakup seluruh aspek kehidupan bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat. Cakupan aspek tersebut meliputi : aspek politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pembangunan pada berbagai aspek tersebut
dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan
untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan
yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Secara terencana maka
pembangunan diarahkan pada sasaran dan tujuan naisonal sebagaimana dalam
pembukaan UUD 1945 dan dilandaskan pada ketentuan perundang-undangan antara lain
adalah : (1) UU nomor 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional (1) Peraturan persiden
Nomor 2 Tahun 2015 Tentang RPJM nasional, (1) UU nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbagnan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah (4) UU Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah, (5) Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014
Tentang Sistem akuntabilitas Instansi Pemerintah dan lain sebagainaya.

D. Pelayanan Public dan stabilitas sosial


Pelaksanaan pembangunan diarahkan untuk memenuhi kepentingan nasional dari
aspek stabilitas dan untuk kepentigan publik dari aspek kesejahteraan masyarakat.
Berbeda dengan konsep pelayanan publik seluruh rangkaian kegiatannya hanya diarahkan
untuk memenuhi kepentingan publik semata-mata dalam rangka untuk menunjang
terwujudnya stabilitas sosial. Sesuai dengan pengertian tentang pelayanan publik seperti
yang dirumuskan dalam dalam Undang-undang Republik Indonesia pasal 1 nomor 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas jasa, barang,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Demikian pula dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63
/KEP/M.PAN /7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan
selanjutnya menurut Ridwan dan Sudrajat (2009:19) pelayanan publik
merupakanpelayanan yang diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara
terhadap masyarakat nya guna memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dan
memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

112
Dengan demikian pelayanan publik dirahkan pada pemenuhan kebutuhan publik
semata dari aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Sifat pemenuhan kebutuhan
didasarkan pada skala perioritas karena adanya keterbatasan fiskal dan sumberdaya yang
negara. Dengan terpenuhinya kebutuhan sosial bagi publik diharapkan dapat menekan
adanya ketegangan sosial, kecemburuah karena adanya ketimpangan pendapatan dan lain
sebagainya. Sasaran utama dari pelaksanaan pelayanan publik sesungguhnya adalah
memenuhi kepentingan masayarakat dalam hal peningkatan kepusan masyaraakt dalam
pelayanan pemerintah. Dengan demikian maka interaksi antara pemerintah dan
masyarakat terbangus secara kondusif dan secara harmonis dalam rangka untuk
mewujudkan stabilitas sosial sebagai bagian dari stabilitas nasional.
Stabilitas sosial berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat ekonomi,
social dan budaya maka pemenuhan kebutuhan ini berkaitan dengan pemenuhan dasar
tentang kebutuhan sandang, pangan dan perumahan, administrasi kependudukan,
perizinan dan kemudahan berusaha, serta pendidikan, kesehatan dan akses mobilitas dan
kebutuhan dasar wilayah serta kebutuhan air bersih dan lain sebagainya berdasarkan
sektor-sektor pembangunan. Dan pelayanan publik dirahkan pada pemenuhan kebutuhan
publik semata dari aspek sosial ekonomi dan sosial budaya
Pada aspek pemenuhan kepuasa publik, pelayanan publik dapat diartikan sebagai
upaya penyelenggara (organisasi publik) dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan
masyarakat secara berkualitas. Sehubungan dengan hal, Sutopo dan Sugiyanti
mengemukakan bahwa pelayanan mempunyai pengertian sebagai “membantu
menyiapkan (atau mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. (Sutopo dan Sugiyanti,
1998:25). Sebagai suatu produk, pelayanan (service) mempunyai sifat yang khas, yang
menyebabkan berbeda dengan produk yang lain. Menurut Martiani pelayanan
mempunyai lima sifat dasar sebagai berikut:
1. Tidak berwujud (intangible)
2. Tidak dapat dipisah-pisahkan (inseperability)
3. Berubah-ubah / beragam (variability)
4. Tidak tahan lama (perishability)
5. Tidak ada kepemilikan (unowwership). (Martiani, 1995:1).
Dalam kaitannya dengan pelayanan umum Sedarmayanti mengungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan pelayanan umum adalah “melayani suatu jasa yang dibutuhkan
oleh masyarakat dalam segala bidang”.(Sedarmayanti, 1999:195). Hal senada juga
diungkapkan oleh Saefullah, yang menyatakan bahwa “pelayanan umum (public service)
adalah pelayanan yang diberikan pada masyarakat umum yang menjadi warga negara
atau yang secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan.”(Saefullah, 1999:5).
Kemudian pelayanan publik menurut Pamudji adalah “berbagai kegiatan
pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang barang dan
jasa.”(Pamudji, 1994:21). Adapun yang dimaksud pelayanan publik menurut Ndraha,
yaitu “Proses produksi barang dan jasa yang ditujukan kepada publik.”(Ndraha, 2000:58).
Lebih jelas lagi yang dimaksud dengan pelayanan umum, telah disebutkan dalam
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang
Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, adalah sebagai berikut : “Segala bentuk
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan
di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa,
baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan .”(Kepmenpan No.81 tahun 1993:
Pendahuluan).
Beberapa pengertian pelayanan umum diatas mengemukakan bahwa pelayanan
umum atau pelayanan publik merupakan berbagai kegiatan yang harus dilakukan oleh

113
pemerintah baik di Pusat, di Daerah, dan BUMN/BUMD untuk memenuhi kebutuhan
yang menjadi tuntutan dari masyarakat. Kebutuhan tersebut meliputi produk pemerintah
yang berupa barang dan jasa yang tergolong sebagai jasa publik dan layanan sipil
Boediono ( 2003 : 60 ), bahwa pelayanan merupakan suatu proses bantuan kepada
orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Dalam pendapat Gie ( 1993 :
105 ) mendefenisikan pelayanan merupakan suatu kegiatan dalam suatu organisasi atau
instansi yang dilakukan untuk mengamalkan dan mengabdikan diri kepada masyarakat.
Berdasarkan defenisi pelayanan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pelayanan
adalah kegiatan yang dilakukan oleh organisasi atau instansi yang ditujukan untuik
kepentingan masyarakat yang dapat berbentuk uang, barang, ide, atau gagasan ataupun
surat-surat atas dasar keikhlasan, rasa senang, jujur, mengutamakan rasa puas bagi yang
menerima layanan. Menurut Kurniawan ( dalam Sinambela : 2006 : 5 ) pelayanan publik
diartikan sebagai pemberi pelayanan ( melayani ) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara
yang ditetapkan.
Pengertian pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara ( Men-PAN ) Nomor 81 Tahun 1993 adakah segala bentuk kegiatan
pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah, dan
lingkungan Badan Usaha Milik Negara / Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik
dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang – undangan ( Boediono, 2003 : 61 ).
Dari defenisi di atas dapatlah dipahami bahwa pelayanan publik merupakan jenis
bidang usaha yang dikelola oleh pemerintah dalam bentuk barang dan jasa untuk
melayani kepentingan masyarakat tanpa berorientasi. Adapun bentuk dan sifat
penyelenggaraan pelayanan umum harus mengandung sendi-sendi : kesederhanaan,
kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, dan
ketepatan waktu ( Boediono, 2003 : 68-70 ). Uraiannya sebagai berikut :
1) Kesederhanaan
Yang dimaksud dengan kesederhanaan meliputi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit–
belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2) Kejelasan dan kepastian
Arti adanya kejelasan dan kepastian di sini adalah hal-hal yang berkaitan dengan :
 Prosedur atau tata cara pelayanan umum;
 Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif;
 Unit kerja dan atau pejabat yang berwewenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan umum;
 Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara poembayarannya;
 Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum;
 Hak dan Kewajiban, baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan
umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan / kelengkapannya, sebagai
alat untuk memastikan pemprosesan pelayanan umum;
 Pejabat yang menerima keluhan masyarakat.
3) Keamanan
Artinya bahwa dalam proses dan hasil pelayanan umum dapat memberikan kepastian
hukum.
4) Keterbukaan
Hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara
terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat.
114
5) Efisiensi
 Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan;
 Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan, persyaratan dalam hal
proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja /
instansi pemerintah lain yang terkait.
6) Ekonomis
Dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan
memperhatikan :
 Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi
di luar kewajaran;
 Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;
 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Keadilan
Dimaksud dengan sendi keadilan disini adalah keadilan yang merata, dalam arti
cakupan / jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan
distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
8) Ketetapan Waktu
Yang dimaksud dengan ketetapan waktu di sini adalah dalam pelaksanaan pelayanan
umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

a. Standar Pelayanan Publik


Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63 Tahun
2003 tentang pedoman umum penyelenggaran pelayanan publik, standar pelayanan
sekurang-kurangnya meliputi:
1) Prosedur Pelayanan
2) Waktu Penyelesaian
3) Biaya Pelayanan
4) Produk Pelayanan
5) Sarana dan Prasarana
6) Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik
b. Bentuk – Bentuk Pelayanan Publik
Pemerintah melalui lembaga dan segenap aparaturnya bertugas menyediakan
dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Adapun kegiatan yang
dilakukan oleh aparat pemerintah terdiri dari berbagai macam bentuk. Dalam
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003, pelayanan
publik dibagi berdasarkan 3 kelompok, yaitu:
1) Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu bentuk pelayanan yang menghasilkan
berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau publik.
Misalnya status kewarnegaraan, kepemilikan, dan lain-lain. Dokumen-dokumen
ini antara lain KTP.
2) Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/ jenis barang yang digunakan publik. Misalnya penyediaan tenaga listrik,
air bersih, dan lain-lain.
3) Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk
jasa yang dibutuhkan publik. Misalnya pendidikan, pelayanan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, dan lain-lain.
Dalam konteks ini, pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan masyarakat yang
merupakan bantuan atau pertolongan yang diberikan pemerintah atau organisasi publik
115
kepada masyarakat secara materi maupun non materi. Pelayanan umum dilaksanakan
dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat,
lengkap, wajar, dan terjangkau. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (
Men PAN ) Nomor 81 Tahun 1993 mengutarakan pula bahwa pelayanan umum
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1) Hak dan Kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas
dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2) Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi
kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada
efisiensi dan efektivitas.
3) Mutu, proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat memberi
keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4) Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terpaksa
harus mahal maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban
memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sedermayanti), 2004
: 193 ).
Menurut Moenir (2002: 190-196), bentuk pelayanan ada tiga macam yaitu:
a) Pelayanan dengan lisan
Pelayanan dengan lisan ini dilakukan oleh petugas-petugas bidang hubungan
masyarakat (humas), bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang
tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada masyarakat mengenai
berbagai fasilitas layanan yang tersedia. Agar layanan lisan berhasil sesuai dengan
yang diharapkan, ada syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pelayanan,
yaitu :
 Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya.
 Mampu memberikan penjelasan apa-apa saja yang perlu dengan lancar, singkat
tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh
kejelasan mengenai sesuatu.
 Bertingkah laku sopan dan ramah tamah.
 Meski dalam keadaan sepi tidak berbincang dan bercanda dengan sesama
pegawai, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas.
b) Pelayanan melalui tulisan
Dalam bentuk tulisan, layanan yang diberikan dapat berupa pemberian penjelasan
kepada masyarakat dengan penerangannya berupa tulisan suatu informasi
mengenai hal atau masalah yang sering terjadi. Pelayanan melalui tulisan terdiri
dari dua macam, yaitu:
 Layanan yang berupa petunjuk, informasi dan sejenis yang ditujukan pada
orang-orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan
dengan instansi atau lembaga
 Pelayanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan, keluhan,
pemberitahuan dan lain sebagainya.
c) Pelayanan berbentuk perbuatan
Pelayanan dalam bentuk perbuatan adalah pelayanan yang diberikan dalam bentuk
perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar kesanggupan dan penjelasan secara
lisan.
Berbicara tentang pelayanan yang diberikan pemerintah tentunya tidak terlepas
dari pelayanan pemerintah pada sektor publik karena umumnya pelayanan yang
116
diberikan pemerintah itu dalam bidang/sektor yang menyangkut kepentingan umum
seperti pengurusan KTP, akte kelahiran, kartu keluarga, penyaluran kredit dan lain-
lain yang kesemuanya itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat.

c. Asas pelayanan publik yaitu : (dalam Dadang Juliantara 2005:11)


1) Transparan
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhan
dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2) Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan
tetap berpegang pada prinsip efektivitas dan efisiensi.
4) Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5) Kesamaan Hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan
gender dan status ekonomi.
6) Keseimbangan hak dan kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
d. Kualitas Pelayanan Publik
Pengertian Kualitas adalah merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan
dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan. Terdapat 5(lima) sumber kualitas yang dijumpai (Tjiptono 1995:34), yaitu:

1) Program, kebijakan, dan sikap yang melibatkan komitmen dari manajemen


puncak.
2) Sistem informasi yang menekankan ketepatan, baik pada waktu maupun detail.
3) Desain produk yang menekankan keandalan dan perjanjian ekstensif produk
sebelum dilepas ke pasar.
4) Kebijakan produksi dan tenaga kerja yang menekankan peralatan yang terpelihara
dengan baik, pekerja yang terlatih dengan baik, dan penemuan penyimpangan
secara cepat.
5) Manajemen yang menekankan kualitas sebagai sasaran utama.
Selain itu menurutnya, pada prinsipnya konsep kualitas memiliki dua dimensi,
yaitu dimensi produk dan dimensi hubungan antara produk dan pemakai. Dimensi
produk memandang kualitas barang dan jasa dari perspektif derajat konformitas
dengan spesifikasinya, yaitu yang memandang kualitas dari sosok yang dapat dilihat,
kasat mata, dan dapat diidentifikasikan melalui pemeriksaan dan pengamatan.
Sedangkan perspektif hubungan antara produk dan pemakai merupakan suatu
karakteristik lingkungan di mana kualitas produk adalah dinamis, sehingga produk
harus disesuaikan dengan tuntutan perubahan dari pemakai produk. Untuk menjamin
kualitas barang dan jasa yang cacat tidak dijual, namun kalau masih memungkinkan
akan dilakukan perbaikan.

117
Dari pengertian tersebut, kualitas mengandung elemen-elemen yang meliputi
usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan yang mencakup produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan, serta merupakan kondisi yang selalu berubah.
Dari defenisi kualitas di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan publik
merupakan suatu kondisi dimana pelayanan mempertemukan atau memenuhi atau
bahkan melebihi dari apa yang menjadi harapan konsumen dengan sistem kinerja
aktual dari penyedia jasa. Keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung
pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan
demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua
aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan);
kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan.
Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis
besar adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan administratif
2. Pelayanan barang
3. Pelayanan jasa
Tujuan pelayanan publik (Juliantara 2005;10) adalah memuaskan atau sesuai
dengan keinginan masyarakat/pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini
diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat. Kualitas/mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan
dengan kenyataan. Dan Hakekat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan
prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur
pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/2003 yang kemudian
dikembangkan menjadi 14 unsur yang relevan, valid dan reliebel, sebagai unsure yang
harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasaan masyarakat adalah sebagai
berikut:
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihar dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan tugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggung jawab).
4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kecepatan pelayanan, yaitu target pelayanan dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dapat
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling
menghargai.

118
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap
pembiayaan yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang ditetapkan dengan
biaya yang dibayarkan.
12. Kepastian jadwal/pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan
waktu yang ditetaplkn.
13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima
pelayanan.
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat
merasa senang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
akibatnya dari pelaksanaan.
Pengukuran kinerja pelayanan dapat dilakukan dengan menggunakan instrument
kinerja pelayanan yang telah dikembangkan oleh Zeithaml, Pasuraman dan Benny
dalam buku mereka yang mereka beri judul Delivering Quality Service. Menurut
mereka ada 11(sebelas) indikator kinerja pelayan, yaitu (dalam Hessel Nogi
2005:219):
1. Kenampakan fisik (Tangible);
2. Reliabilitas (Reliability);
3. Responsivitas (Responsiveness);
4. Kompetensi (Competence);
5. Kesopanan (Courtesy);
6. Kredibilitas (Credibility);
7. Keamanan (Security);
8. Akses (Access);
9. Komunikasi (Communication);
10. Pengertian (Understanding the customer);
11. Akuntabilitas (Accountability).

E. Eksistensi Sistem Administrasi Negara dalam pemenuhan kepentingan umum


Telah dijelaskan diatas bahwa stablistas sosial merupakan bagian dari stabilitas
nasional. Dalam perspektif kepentingan pemenuhan terhadap kepentingan nasional dan
kepentingan sosial dalah merupakan bagaian dalam mewujudkan stabilitas nasional.
Sebagai sebuah sistem, administrasi negara harus dapat meningkatkan efektifitas
penyelengaraan negara dalam pencapaian tujuan. Terciptanya stabilitas negara dan
stabilitas sosial adalah merupakan tujuan dasar sebagai modal utama dalam
penyelenggaraan negara oleh karena administrasi negara harus dapat menjamin sinergitas
peran antara seluruh komponen masyarakat. Dalam perspektif tersebut maka eksistensi
administrasi negara diharapkan untuk mekoordinasi keseluruhan peran-peran seluruh
komponen negara agar dapat berpartisipasi aktif dalam pencapaian tujuan negara. Segala
bentuk interaksi harusnya dibangun dalam kondisi yang harmonis dan efektif dalam
rangka untuk mencapai cita-cita bersama.
Efektifitas terkait dengan pencapaian tujuan dari suatu organisasi (negara)
efektifitas adalah Selanjutnya Georgopoulos dan Tannenbaum (dalam Steers, 1985:60),
mengemukakan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauhmana suatu organisasi
yang merupakan sistem sosial, dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang
tersedia memenuhi tujuan-tujuannya tanpa pemborosan, dan dengan menghindari
ketegangan yang tidak perlu diantara anggota-anggotanya. Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa efektivitas sangat tergantung kepada faktor eksternal dan internal

119
organisasi.
Efektifitas mencakup keseluruhan aspek dalam penyelengaraan negara yang
mencakup kerja sama dalam system politik, kerja sama dalam system pemerintahan, dan
system nilai dalam penyelengggaraan administrsi negara. sehingga dalam proses
pencapaian tujuan negara tercakup pula pendekatan dan instrument yang digunakan oleh
lembaga-lembaga negara dalam mencapai tujuan secara efektifif, termasuk pengelolaan
kekuasaan negara dan kewenangan pemerintah serta proses pelibatan public dalam
penegakan nilai-nilai etika dalam penyelenggaraan negara.
Efektiftas sebuah system sangat tergantung pada keakuratan dan keutuhan sistem
yang diterapkan serta konsistensi para penyelenggara dalam pencapaian tujuan. Hal
tersebut didasarkan pada asumsi bahwa system yang baik akan menjamin pencapaian
tujuan secara optimal pencapaian efektifitas system administrasi negara adalah pada
tingkat pencapaian tujuan negara dalam pemenuhan kepentingan umum.
Untuk mendapatkan sebuah kepahaman secara seragam maka penulis dari
beberapa pengertian diatas menyimpulkan bahwa : (1) kepentingan umum yang bersifat
mutlak adalah berkaitan aspek kedaulatan, stabilitas dan ketahanan nasional adalah
merupakan kepentingan negara, sedangkan (2) kepentingan umum yang bersifat dinamis
adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan public pada aspek social, ekonomi dan
budaya adalah sebagai “kepentingan public”. Hal tersebut sangat penting untuk
dibedakan karena secara substansial akan membedakan peran-peran negara dalam
struktur pembagiak tugas dan keweanagnan antara lembaga negara dan lembaga
pemerintahan yang juga dipahami secara tumpang tindih. Hal tersebut sangat penting
karena ilmu administrasi menghendaki adanya pembagian tugas dan kewenangan sejara
jelas dan rasional.
Untuk mengambarkan hubungan antara sistem administrasi negara negan nilai-
nilai pencapauan tujuan secara dan komprehensif seperti tampak dalam model hubungan
sistem administrasi negara dnegan pencapaian tujuan negara seperti gambar 11 berikut
ini :
Gambar 11 : Model hubungan sistem adminsitrasi ngera dnegan pencapaian tujuan

Nilai Keperiba-
dian bangsa
Sistem Nilai Efektifitas
(falsah Negara) Pemerintahan
Stabilitas
Sosial

Clean
Sistem Sistem Politik Goverment
Adm (Negara Republik) Pembangunan Cita-citas
Negara Nasional Negara
Stabilitas
Negara

Good
Governance
Sistem Pelayanan
Pemerintahan Publik
Stabilitas
Birokrasi

Legal-rationality : “Otoritas”, “Procedure” dam “Objektif”


(pendekatan structural, fungsional dan perilaku, yakob nani-2017)

120
F. Penutup
A. Latihan atau test formatif penguasaan materi
Pelaksanaan test terhadap penguasaan materi dilakukan dengan cara melakukan
pengujian secara acak kepada mahasiswa tetang inti materi yang disampaikan. Dapat
juga dilakukan dengan memberikan test secara tertulis dan melakukan penilaian
setelah mahasiswa memberikan jawaban pada tahap pelaksanaan latihan. Dosen juga
dapat memberikan tugas secara personal kepada mahasiswa untuk diberikan jawaban
di luar ruang kuliah apabila test soal memerlukan eksplorasi pemikiran mahasiswa.
Beberapa sosal untuk latihan formatif pada materi ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan perbedaan kepentingan nasional dan kepentingan publik ?
2. Pengertian pembangunan nasional ?
3. Hubungan antara pembangunan nasional stabilits dan keadilan sosial
4. Pengertian pelayanan publik dan hubungannya dengan stabilitas sosial
5. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi administrasi negara dalam
pemenuhan kepentingan nasioanal ?

B. Kunci jawaban
1. Jelaskan perbedaan kepentingan nasional dan kepentingan publik ?
Jawab :
Kepentingan nasional atau kepentingan negara adalah kepentingan yang
berdasarkan sifat pemenuhaannya bersifat absolut karena terkait dengan aspek
kedaulatan dan keamanan serta ketertiman masyarakat. Kepentingan ini adalah
merupakan modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan, sedangkan
kepentingan publik adalah kepentingan umum yang pemenuhannya didasarkan
pada skala perioritas karena terkait aspek kesejateraan masyarakat. Jenis
kepentingan ini bisa saja berasal dari kelompok tertentu dan dapat pula berasal
dari Visi dan Misi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Pemenuhannya
dapat dilakukan melalui kegiatan pembangunan dan lebih sepesifik lagi melalui
proses-proses pelayanan publik.

2. Pengertian pembangunan nasional ?


Jawab :
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 Pasal (1) Ayat 2 disebutkan bahwa
Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Pembangunan nasional adalah
suatu rangkaian upaya pembangunan yang dilakukan secara berkesinambungan
dalam semua bidang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk
mewujudkan tujuan nasional.

3. Hubungan antara pembangunan nasional stabilits dan keadilan sosial


Jawab :
Tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat Indonesia mandiri, maju dan makamur. Dalam Visi pelaksanaan
pembangunan disebutkan bahwa pembangunan nasional dilakukansakan untuk
mewujudkan : (1) ,Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila, (2) Mewujudkan bangsa
yang berdaya-saing, (3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan
hokum, (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu, (5) Mewujudkan
pemerataan pembangunan dan berkeadilan, (6) Mewujudkan Indonesia asri dan
lestari, (7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju,

121
kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, (8) Mewujudkan Indonesia berperan
penting dalam pergaulan dunia internasional
Dari penjelasan tersebut maka jelaslah bahwa pelaksanaan pembangunan
dilakukan untuk memenuhi kepentingan negara dalam mewujudkan stabilitas
nasional dan satabilitas sosial yang berkeadilan melalui pelaksanaan
pembangunan secara merata. Pelaksanaan pembangunan harus didasarkan aspek
keadilan yang dapat diterima dalam keseimbangan antara kepentingan nasional
bersifat mutlak dan kepentingan public dinamis.

4. Pengertian pelayanan publik dan hubungannya dengan stabilitas sosial


Jawab :
Pelaksanaan pembangunan nasional diarahkan untuk memenuhi
kepentingan nasional dan kepentinan publik dalam meujudkan stabilitas negara
dan stabilitas sosial, Berbeda dengan konsep pelayanan publik seluruh rangkaian
kegiatan dalam proses pelayanan publik diarahkan untuk memenuhi kepentingan
publik dalam rangkan untuk menunjang terwujudnya stabilitas sosial. Pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas jasa, barang, dan/atau pelayanan.
Stabilitas sosial berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat ekonomi,
social dan budaya

5. Jelaskan menurut pandangan saudara tentang eksistensi administrasi negara dalam


pemenuhan kepentingan nasioanal ?
Jawab :
Telah dijelaskan diatas bahwa stablistas sosial merupakan bagian dari
stabilitas nasional. Dalam perspektif kepentingan pemenuhan terhadap
kepentingan nasional dan kepentingan sosial dalah merupakan bagaian dalam
mewujudkan stabilitas nasional.
Sebagai sebuah sistem, administrasi negara harus dapat meningkatkan
efektifitas penyelengaraan negara dalam pencapaian tujuan. Terciptanya stabilitas
negara dan stabilitas sosial adalah merupakan tujuan dasar sebagai modal utama
dalam penyelenggaraan negara oleh karena administrasi negara harus dapat
menjamin sinergitas peran antara seluruh komponen masyarakat. Dalam
perspektif tersebut maka eksistensi administrasi negara diharapkan untuk
mekoordinasi keseluruhan peran-peran seluruh komponen negara agar dapat
berpartisipasi aktif dalam pencapaian tujuan negara. Segala bentuk interaksi
harusnya dibangun dalam kondisi yang harmonis dan efektif dalam rangka untuk
mencapai cita-cita bersama.

C. Umpan balik dan tindak lanjut


Umpan balik dapat dilihat dari bentuk penguasaan materi yang dihasilan dari
hasil jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
dicocokan dengan jawaban yang ada maka dosen dapat melakukan analisis
penguasaan materi dari substansi atau makna yang disampaikan dari hasil test kepada
mahasiswa. Selanjutnya proses penilaian terhadap penguasaan materi tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa secara interval dengan tingkat pemerian skor nilai
sebagai berikut :
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik

122
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Proses tindak lanjut dilakukan apabila mahasiswa mencapai tingkat penguasaan
dengan kategori “baik” atau “baik sekali”, anda dapat meneruskan materi pada
bahasan pokok selanjutnya. Bila mahasiswa memperoleh penguasaan materi dengan
kategori “cukup” dan atau “kurang”, maka sebaiknya dosen mengulangi kembali pada
bagian mana materi yang belum dapat dikuasi oleh mahasiswa. Materi yang rata-rata
mengalami pengulangan kembali sebaiknya dilakukan pengujian melalui test pada
ujian pertengan atau ujian semester.

D. Rangkuman

Penyelenggaraan sistem administrasi negara dilakukan untuk peningkatan


efektifitas dalam pencapaian tujuan. Penerapan administrasi negara benar-benar
dilakukan untuk memenuhi kepentingan negara dan kepentingan public dalam
mewujudkan tujuan negara. pemenuhan kepentingan negara karena berkaitan dengan
kebutuhan yang bersifat mutlak karena terkait dengan stabilitas dan kedaulatan negara
sedangkan pemenuhan kebutuhan public dilakukan dengan dalam rangka untuk
mewujudkan stabilitas social.

Daftar Pustaka

Aleksius Jemadu : . 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Boediono, B , 2003 . Pelayanan prima Perpajakan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Charles. P. Kindlerberger. Op.Cit,
Moenir, H.A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara.
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sinambela, Lijan Poltak,dkk.2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta :Bumi Aksara.
Saefullah, H.A. Djadja. (2003). Paradigma Reformasi Administrasi. makalah yang
disajikan dalam Kuliah Umum mahasiswa baru PPs Universitas Pasundan, 4
September 2002.
Sedermayanti. 2004. Good Governance. Bagian Kedua: Membangun Sstem Manajemen
Kinerja guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance.
Bandung:Mandar Maju.
Pasolong Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta
KJ Holsti,1981, International politics: framework for Analysis,New delhi: Prentice-Hall
of India
T May Rudy, 2002,Studi Strategis dalam transformasi system internasional pasca Perang
dingin,Bandung: PT Rafika Aditama
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63 Tahun 2003

123

Anda mungkin juga menyukai