PENDAHULUAN
Pengertian birokrasi menurut Harbani Pasolong yaitu badan atau kantor = organisasi yang
dipimpin oleh pejabat emerintah dibawah menteri yang tugas utamanya memberikan pelayanan.
Fungsi dan peran birokrasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) melaksanakan pelayanan
publik; (2) pelaksana pembangunan yang profesional (merrit system): (3) perencana, pelaksana
dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintahan): (4) alat pemerintah untuk melayani
kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari
kekuatan atau mesin politik (netralitas birokrasi).
Secara umum birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya
kekuasaan. Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah
kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal
bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku.
Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk
memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya
melayani masyarakat.
1. Suatu prosedur yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar
tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien;
2. Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
BAB III
ISI
KONSEPS-KONSEP BIROKRASI
Bagi banyak orang, konsep birokrasi lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”,
“kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah
kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang
sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya.
Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup
berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua
adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow.
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang
kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Pada
pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara
kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga
kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-
ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber
sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup
Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan
pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara
yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu,
Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah
birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut
dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional.
Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :
1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2. Terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu
diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya,
dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit)
serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut :
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan
suatu keputusan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu
membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut
warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung
jawab kepada suatu majelis.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan
Weber,
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi
rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia
menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
1. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan
Negara
2. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan professional
3. Menjalankan manajemen pemrintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi,
koordinasi, sinkronisasi, represif, prepentif, antisipatif, resolusi, dll
4. Memsistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan
mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan
5. Memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan
perlindungan
6. Menjamin keberlangsungan sistem pemerintahan dan politik suatu Negara
Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang
umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model
tersebut meliputi model birokrasi
1. Birokrasi Weberian
Model ini digagas oleh Max Weber, seorang tokoh penting yang menjelaskan konsep
birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan birokrasi
sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber.
2. Birokrasi Parkinsonian
Merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan
kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk
mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk (Eep
Saefulloh Fatah, 1998: 192).
3. Birokrasi Jacksonian
Merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan
negara dan menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan.
4. Birokrasi Orwellian
Merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara
dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas,
sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi.
Konsep Max Weber Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max
Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi
modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara Indonesia
walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam
struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja,
pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi.
Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin
menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber
sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks
Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.Secara filosofis dalam
paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan
mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara
netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini,
birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan
pemerintahan.Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai.
Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat
Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “ birokrasi kerajaan ” yang feudal-
aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk
luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati
pengertian Weber mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam
hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model Weber, tentang dominasi
birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan
otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka.
Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala Weber yang hampir secara keseluruhan
terjadi di Indonesia antara lain pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi, jabatan di pandang
sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan, pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik
ataupun administrative, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah
Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi.
Hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia,
karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang sulit
menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di negara kita belum baik dan
masih banyak yang perlu diperbaiki.
Kebutuhan yang nyata saat ini dalam praktek birokrasi adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan konkret dari masyarakat. Kebutuhan akan peningkatan kualitas kehidupan politik
menjadi suatu tuntutan yang tak terhindarkan. Kondisi birokrasi Indonesia yang masih bercorak
patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Dalam
perkembangan kearah modernisasi menuntut adanya peningkatan kualitas administrasi dan
manajemen.
Selain itu, dalam menghadapi kondisi saat ini dan menjawab tantangan masa sekarang,
birokrasi Indonesia diharapkan mempunyai kharakteristik yang mampu bersifat netral,
berorientasi pada masyarakat, dan mengurangi budaya patrimonial di dalam birokrasi tersebut. .
BAB IV
KESIMPULAN
Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
www.google.com
www.docstoc.com