Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah birokrasi tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat terutama dalam
penyediaan pelayanan publik atau bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama,
bertele-tele, dan hal negative lainnya mengenai pelayanan publik. Hal tersebut karena birokrasi
terikat oleh peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meskipun begitu, birokrasi
merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana,
dan pengawas kebijakan.
Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan
yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda
dengan birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di
Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh
pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang
transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis.
Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa
dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi
geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di
Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hampir semua faktor
tersebut bisa teratasi dengan baik.
Oleh karena itu dalam makalah ini selain membahas tentang konsep dan tujuan birokrasi
kami juga mencoba untuk menjelaskan model birokrasi yang berlaku di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1. Konsep apa yang ada dalam birokrasi?
2. Apa tujuan dari Birokrasi?
3. Bagaimana model Birokrasi di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui landasan teori yang dipakai di Indonesia
2. Mengetahui gambaran umum birokrasi di Indonesia
3. Mengetahui konsep Birokrasi
4. Mengetahui tujuan dari birokrasi
BAB II
LANDASAN TEORI

Taliziduhu Ndraha (2003), tiga macam perkembangan birokrasi saat ini:

1. Birokrasi diartikan sebagai aparat yang diangkat penguasa untuk menjalankan


pemerintahan (government by bureaus).
2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintah yang buruk (patologi).
3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi.

Pengertian birokrasi menurut Harbani Pasolong yaitu badan atau kantor = organisasi yang
dipimpin oleh pejabat emerintah dibawah menteri yang tugas utamanya memberikan pelayanan.

Pengertian birokrasi (pemerintahan) disini adalah suatu organisasi pemerintahan yang


terdiri dari sub-sub struktur yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, yang memiliki
fungsi, peran, dan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahan, dalam rangka mencapai
suatu visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan.

Fungsi dan peran birokrasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) melaksanakan pelayanan
publik; (2) pelaksana pembangunan yang profesional (merrit system): (3) perencana, pelaksana
dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintahan): (4) alat pemerintah untuk melayani
kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari
kekuatan atau mesin politik (netralitas birokrasi).

Kewenangan birokrasi adalah kewenangan formal yang dimiliki dengan legitimasi


produk hukum bukan dengan legitimasi politik.

Secara umum birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya
kekuasaan. Dari pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah
kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal
bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku.

Beberapa ciri utama Birokrasi :

1. Adanya pembagian kerja yang jelas


2. Aturan formal dan regulasi
3. Hubungan yang impersonal

Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk
memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya
melayani masyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah:

1. Suatu prosedur yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar
tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien;
2. Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
BAB III

ISI

KONSEPS-KONSEP BIROKRASI

Bagi banyak orang, konsep birokrasi lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”,
“kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah
kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang
sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya.

Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup
berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua
adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow.

Birokrasi Max Weber

Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang
kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Pada
pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara
kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga
kepresidenan.

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-
ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber
sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup
Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan
pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara
yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu,
Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah
birokrasi.

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :

1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;


2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-
fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan
pengaduan (complaint);
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara
legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu
pribadi;
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung
menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk
aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut
dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional.
Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :

1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2. Terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu
diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya,
dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit)
serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin


(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan
pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-
rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun
juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut :

1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan
suatu keputusan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu
membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut
warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung
jawab kepada suatu majelis.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya.

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan
Weber,

Konsep Birokrasi Martin Albrow


Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini
dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak
dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam


administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan
utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks.
Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian
tujuan-tujuan organisasi.

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi
rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia
menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi


Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang
inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu
banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan
organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya.
Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri
sendiri.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.


Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional.
Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Juga, seringkali dikatakan birokrasi
adalah kekuasaan para elit pejabat.

4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)


Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil
ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem
administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan.
Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.


Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi
yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-
orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang
itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai suatu organisasi


Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu
organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern


Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat
tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan
antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk
kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat
tersebut dikatakan modern.
TUJUAN BIROKRASI

1. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan
Negara
2. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan professional
3. Menjalankan manajemen pemrintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi,
koordinasi, sinkronisasi, represif, prepentif, antisipatif, resolusi, dll
4. Memsistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan
mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan
5. Memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan
perlindungan
6. Menjamin keberlangsungan sistem pemerintahan dan politik suatu Negara

MODEL BIROKRASI DI INDONESIA

Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang
umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model
tersebut meliputi model birokrasi
1. Birokrasi Weberian
Model ini digagas oleh Max Weber, seorang tokoh penting yang menjelaskan konsep
birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan birokrasi
sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber.

2. Birokrasi Parkinsonian
Merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan
kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk
mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk (Eep
Saefulloh Fatah, 1998: 192).
3. Birokrasi Jacksonian
Merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan
negara dan menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan.

4. Birokrasi Orwellian
Merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara
dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas,
sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi.

Konsep Max Weber Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max
Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi
modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara Indonesia
walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam
struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja,
pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi.

Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin
menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber
sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks
Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.Secara filosofis dalam
paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan
mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara
netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini,
birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan
pemerintahan.Kalau boleh dibilang, birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai.

Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat
Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “ birokrasi kerajaan ” yang feudal-
aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern,yang terjadi hanyalah bentuk
luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati
pengertian Weber mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam
hirarki lebih di dasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model Weber, tentang dominasi
birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan
otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka.
Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala Weber yang hampir secara keseluruhan
terjadi di Indonesia antara lain pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi, jabatan di pandang
sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan, pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik
ataupun administrative, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia,antara lain:

1. Sentralisasi yang cukup kuat


Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek
yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena birokrasi
pemerintah bekerja dan berkembang dalam lingkungan yang kondusifterhadap hidup dan
berkembangya nilai-nilai sentralistik tersebut.

2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi


Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap
unit birokrasi demikian menonjol dalam stuktur birokrasi pemerintah.

3. Pendelegasian wewenang yang kabur


Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah Indonesia sudah hirarkis, dalam praktek
perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanankan. Dalam kenyataanya, segala
keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan
antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.

4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan


Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat
nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun adasering tidak
dijalankan secara konsisten. Di samping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis
dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya
dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam
merumuskan jabatan fungsional.

Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah
Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi.
Hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia,
karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang sulit
menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di negara kita belum baik dan
masih banyak yang perlu diperbaiki.

Kelemahan Birokrasi Di Indonesia


Keluhan tentang birokrasi Indonesia umumnya bermuara pada penilaian bahwa birokrasi
di Indonesia tidak netral. Dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini adalah praktek
buruk yang menyimpang dari teori idealismenya Weber. Dalam prakteknya, muncul kesan yang
menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi
untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek
birokrasi yang tidak efisien dan bertele-tele.

Harapan Model Birokrasi Masa Depan

Kebutuhan yang nyata saat ini dalam praktek birokrasi adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan konkret dari masyarakat. Kebutuhan akan peningkatan kualitas kehidupan politik
menjadi suatu tuntutan yang tak terhindarkan. Kondisi birokrasi Indonesia yang masih bercorak
patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Dalam
perkembangan kearah modernisasi menuntut adanya peningkatan kualitas administrasi dan
manajemen.
Selain itu, dalam menghadapi kondisi saat ini dan menjawab tantangan masa sekarang,
birokrasi Indonesia diharapkan mempunyai kharakteristik yang mampu bersifat netral,
berorientasi pada masyarakat, dan mengurangi budaya patrimonial di dalam birokrasi tersebut. .
BAB IV
KESIMPULAN

Birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan


prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid dan
kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting di dalam masyarakat salah
satunya adalah melaksanakan pelayanan publik. Pelaksanaan birokrasi dalam hal pelayanan
publik di setiap negara tentunya berbeda, begitu juga diantara negara berkembang dengan negara
maju.
Ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh ahli besar seperti Max Weber dan Martin
Albrow. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya
melekat pada birokrasi sedangkan albrow mengungkapkan 7 konsep birokrasi.
Adapun model birokrasi di indonesia merujuk kepada model yang diikemukanakan oleh
Max Weber walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Di negara berkembang
yaitu Indonesia, pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sepertinya
belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak semua lapisan masyarakat yang belum
menikmati pelayanan yang ada dan birokrasinya sangat berbelit-belit.
DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin. 2005. Birokrasi. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2004. Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Pasolong, Harbani. 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung : Alfabeta.

www.google.com

www.docstoc.com

Anda mungkin juga menyukai