Anda di halaman 1dari 21

BIROKRASI DI INDONESIA

Disusun oleh :

Lio Permana

Universitas Jendral Soedirman

Birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana,
pelaksana, dan pengawas kebijakan.Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung
dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju
tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus
atau belum di Negara Indonesia dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah
kepada masyarakatnya.

Di Negara berkembang terutama Indonesia, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum
bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi
geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi.

Dan pastinya sangat diperlukan solusi yang baik untuk mengatasi bagaimana caranya memperbaiki
birokrasi yang ada di Indonesia, karena setiap negara yang baik juga memiliki kondisi birokrasi yang
baik dan stabil.

Oleh karena itu makalah ini akan membahas bagaimana pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Dan
sudah bisa dianggap efisien atau belum jika dibandingkan dengan karakteristik birokrasi Weber.

Pengertian Birokrasi

Birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Dari pengertian dua
kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid
atau kaku.Diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida,
dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas
dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung
kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan
pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

Ada beberapa teori yang dapat kita jadikan acuan. Michael G. Roskin, et al., menyebut pengertian
birokrasi. Birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang
diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan
yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi merupakan
suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna
memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien.

Taliziduhu Ndraha (2003) menyebutkan bahwa ada tiga macam pengertian birokrasi yang
berkembang saat ini:
1. Birokrasi diartikan sebagai aparat yang diangkat penguasa untuk menjalankan pemerintahan
(government by bureaus).

2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan yang buruk (patologi).

3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi.

• Adalah suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari sub-sub struktur yang memiliki hubungan
satu dengan yang lain, yang memiliki fungsi, peran, dan kewenangan dalam melaksanakan
pemerintahan, dalam rangka mencapai suatu visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan.

Sementara itu Max Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana
pemimpin(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi
menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem
legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun
juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan pelayanan publik. Birokrasi
terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif, dan posisi mereka ini bergantung terhadap
prestasi dan produktivitas kerja mereka sendiri.

Karakteristik Birokrasi Weber

Teori karakteristik birokrasi yang umum menjadi acuan adalah teori karakteristik birokrasi Weber.
Max Webermenjelaskan bahwa sebenarnya ada 8 karakteristik birokrasi, tetapi yang akan kita bahas
adalah 5 dari 8 karakteristik birokrasi yang disebut Weber. Yaitu sebagai berikut :

1. Drajat spesialisasi tinggi artinya adalah setiap anggota birokrasi harus memiliki
profesionalisme dan kecakapan teknis yang tinggi dalam menjalankan tugasnya.

2. Struktur kewenangan bersifat hierarkis dengan batas tanggung jawab yang jelas artinya
adalah setiap tingkatan dalam birokrasi memiliki dan wewenang dan tanggung jawab yang berbeda.
dengan batas wewenang yang tidak kabur.

3. Hubungan anggota bersifat impersonalartinya adalah hubungan setiap anggota harus


berdasarkan fungsi agar terciptanya mekanisme kerja yang rapi.

4. Cara pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis artinya adalah setiap anggota
ditempatkan dan diberi pekerjaan sesuai bidang keahliannya sehingga dapat menciptakan
produktivitas kerja yang baik.

5. Pemisahan antara urusan dinas dengan urusan pribadi artinya adalah setiap pekerjaan
dalam birokrasi tidak boleh tersentuh oleh masalah masalah yang sifatnya personal.

Dengan teori tersebut kita akan membandingkan apakah birokrasi di Indonesia sudah relevan untuk
disebut baik.Menurut Weber cara ini dapat menjamin efisien kerja apabila benar benar dapat
diterapkan dengan baik dalam birokrasi pemerintahan.
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal yang
ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan
atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini diakibatkan masih
berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan pemerintah.

Teori Fungsi Birokrasi

Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dealam
suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah :

1. Administrasi

Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan,


dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi
adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas
UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum
suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai
tujuan negara secara keseluruhan.

2. Pelayanan

Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus.


Sehingga dapat di artikan bahwa birokrasi harus bisa melakukan fungsi pulic sevice, agar dapat
memenuhi kebutuhan anggota dan masyarakatnya.

3. Pengaturan (regulation)

Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan
masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan:
Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya
diperhadapkan pada dua pilihan ini.

4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)

Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami
sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh
pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak
pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal
tersebut.Gambaran Umum Birokrasi yang Ideal.

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam
bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan
mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun
terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi
yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa
kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang
cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.

Pada umumnya birokrasi di negara maju lebih baik dari pada birokrasi di negara berkembang. Maka
perlu kita meninjau birokrasi seperti di luar negri agar kita dapat mencontohnya.

Sebagai contoh kecil kita bisa melihat dari negara tetangga yang merdeka sesudah indonesia, yaitu
Singapura. Di Singapura, pekerjaan sebagai pegawai negeri memiliki prestise yang tinggi di
Singapura, terdapat kompetisi yang cukup ketat untuk posisi untuk pegawai negeri dan dewan
perundang-undangan . PNS diangkat tanpa memperhatikan ras atau agama, lebih mengutamakan
kinerja mereka pada ujian tertulis kompetitif. Pegawai Negeri memiliki empat divisi hierarkis dan
beberapa yang berperingkat pejabat "supergrade". 1 Januari 1988, terdapat 493 perwira supergrade,
termasuk sekretaris tetap kementerian dan departemen sekretaris dan persentasenya < 1 persen
dari 69.700 pegawai negeri yang ada.

Divisi satu terdiri dari administrasi senior dan profesional posting , yaitu 14 persen dari pegawai
negeri. Tingkat tengah divisi dua dan tiga berisi pegawai-pegawai berpendidikan dan pekerja khusus
yang melakukan pekerjaan pemerintah yang paling rutin. Divisi empat terdiri dari manual dan
pekerja semi-skilled yang terdiri atas 20 persen dari pegawai negeri.

Pelayanan publik di Singapura dianggap sebagai pelayanan yang hampir seluruhnya bebas dari
korupsi, karena dalam faktanya, hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kuat terhadap
kepemimpinan nasional yang menekankan pada kejujuran dan dedikasi kepada nilai- nilai nasional.
Biro Investigasi Praktik Korupsi sangat menikmati kegiatan pemeriksaan kekuasaan dan kegiatan
penyelidikan mendapat dukungan kuat dari perdana menteri.

Pada intinya tidak setiap hal baik yang telah dicapai oleh negara maju dapat dikembangkan oleh
negara berkembang seperti Indonesia, ada hal-hal yang perlu diperhatikan yang berkenaan dengan
bagaimana kondisi dari negara yang bersangkutan.

Sementara itu Max Weber sendiri juga menyatakan bahwa teori karakteristik birokrasi yang
diungkapkannya hanya bersifat ideal artinya bahwa tidak semua karakterstik telah dapat dijalankan
oleh birokrasi karena kadang masih diselewengkan oleh birokrasi.

Sebagai mana yang diungkapkan oleh Michael G. Roskin, et al, dia mengungkapkan bahwa
sesungguhnya ada 4 fungsi dari birokrasi yaitu administrasi, pelayanan, pengaturan dan
pengumpulan informasi. Tentu bagi setiap birokrasi yang baik dapat menjalankan rangkaian fungsi
birokrasi.

Jika kita menarik gambaran secara umum maka kita bisa mengetahui bahwa birokrasi yang baik
adalah birokrasi yang menjalankan fungsi dan tujuannya dengan baik tanpa penyelewengan. Secara
jelas dapat disimpulkan bahwa ada 5 hal yang dapat menggambarkan birokrasi yang ideal, yaitu
sebagai berikut :

a. Mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan
masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.

b. Organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu
membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk
membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).

c. Sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan
ketepatan waktu.

d. Sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan.

e. Strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.


Kondisi Birokrasi di Indonesia

Umur Indonesia yang baru 63 tahun memang belum ada apa apanya dengan negara negara yang
maju dan telah memiliki birokrasi yang baik. Negara maju telah belajar lama tentang sistem birokrasi
yang baik bagi negaranya dengan, sehingga mereka sudah sangat berpengalaman. Namun Indonesia
juga perlu memperbaiki kondisi birokrasi yang sangat buruk karena jika seperti ini dapat
menyebabkan ketertinggalan terus menerus.

Pada pembahasan kali ini saya akan membahas tentang kondisi birokrasi di Indonesia. Karena saat
ini kita dapat melihat secara kasat mata bagaimana kebobrokan birokrasi di Indonesia. Namun kita
harus mengkajinya lebih dalam agar kita dapat menemukan bagaimana caranya untuk memperbaiki
keadaan birokrasi pemerintahan Indonesia.Untuk kali ini saya menjadikan teori karakteristik
birokrasi Weber sebagai acuan.

Apabila kita bandingkan dengan teori birokrasi ideal Weber maka kita akan menemukan keadan
birokrasi di Indonesia yang masih jauh belum ideal. Indonesia hanya baru bisa menerapkan kulit dari
birokrasi modern namun belum sampai ke tata nilainya. Max Weber pernah mengungkapkan
tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol
kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Hal ini sangat mirip
dengan apa yang terjadi pada birokrasi di Indonesia. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial ala
Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:

a. Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi

b. Jabatan di pandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan

c. Pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik ataupun administratif

d. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik

Dengan cara yang seperti ini tentu sangat berlawanan sengan teori birokrasi ideal Weber, secara
jelas maka Indonesia belum bisa menjalankan birokrasi dengan baik seperti yang diungkapkan oleh
Max Weber. Karena dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini adalah praktek buruk
yang menyimpang dari teori idealismenya Weber. Dalam prakteknya, muncul kesan yang
menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk
kepentingan diri dan kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang
tidak efisien dan bertele-tele. Secara jelas ada beberapa hal yang berlawanan dengan kerakteristik
ideal birokrasi Weber di Indonesia :

a. Drajat spesialisasi yang masih rendah, di Indonesia pada umumnya spesialisasi yang
diberikan masih terlalu luas sehingga wewenang akan pekerjaan yang diberikan kepada pegawai
tampak kabur dan tidak jelas.

b. Wewenang dan batas tanggung jawab yang tidak jelas, para pimpinan birokrasi biasanya
akan melebihi wewenang mereka,tetapi jika terjadi kesalahan pada birokrasi maka para pejabat
akan mengklaim bahwa itu bukan tanggung jawab mereka. Meskipun struktur birokrasi pada
pemerintah Indonesia sudah hirarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat
sulit dilaksanankan. Dalam kenyataanya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan
tertinggi dalam birokrasi.

c. Hubungan anggota tidak berdasarkan fungsi, hubungan antar jenjang dalam birokrasi
diwarnai oleh pola hubungan pribadi. Dan akibatnya fungsi anggota dalam birokrasi tampak
diabaikan.
d. Cara pengangkatan pegawai didasarkah pada hubungan pribadi, para pimpinan birokrasi
sangat sering menggunakan wewenangnya untuk bertindak sesuai kepentingan pribadi. Mereka
tidak akan canggung untuk mengangkat anggota dari keluarganya sendiri untuk bekerja di kantor
dinasnya. Padahal seharusnya anggota diangkat berdasarkan profesionalisme dan kecakapan teknis
melewati prosedur yang kompetitif.

e. Mengutamakan urusan pribadi daripada urusan dinas, sebagai contoh kecil adalah anggota
sebenarnya bekerja hanya karena motif pribadi yaitu untuk mendapatkan gaji agar bisa memenuhi
kebutuhan pokok, sebenarnya ini adalah hal yang wajar akan tetapi tidak boleh terlalu diutamakan
dan ditonjolkan karena dapat menyebabkan anggota melupakan fungsi utama dalam birokrasi.
Bahkan anggota tidak akan segan melakukan korupsi hanya karena urusan pribadi.

Sebagai contoh kecil adalah para anggota DPR yang masih kurang tegas dalam membuat undang
undang korupsi, mereka membuat undang undang yang lebih ringan hukumannya dari pada kasus
kasus yang lain. Bagaimana mau tegas dalam membuat undang undang karena yang korupsi adalah
mereka sendiri, sehingga mereka takut jika hukuman bagi mereka sendiri terlalau berat. Hal ini
sangat menjukan bahwa fungsi yang harusnya mereka jalankan masih diselewengkan dengan urusan
pribadi.

Dilain sisi juga ada birokrasi Indonesia yang anggotanya masih menyalahkan wewenang yang
dimilikinya. Sebagai contoh, masih banyak anggota Kepolisian Lalu-Lintas yang melakukan razia di
luar jam kerja atau diluar jadwal razia lalu-lintas. Hal ini dilakukan hanya untuk mendapatkan
keuntungan ekonomis dan secara jelas sudah menyalahi wewenang yang dimilikinya. Dan juga
banyak anggota Kepolisian RI dan TNI yang melakukan kekerasan pada masyarakat sipil hanya
karena masalah yang yang biasa, seharusnya hal ini tidak boleh terjadi karena mereka bertugas
mengayomi masyarakat sipil. Jika hal ini terjadi maka sudah jelas bahwa mereka menyalahi fungsi
mereka sebagai anggota birokrasi.

Pada dasarnya masih banyak yang perlu diperbaiki pada birokrasi Indonesia, apalagi Indonesia
adalah negara yang luas maka sangat diperlukan birokrasi pemerintah yang dapat memperhatikan
masyarakatnya sendiri.Selain itu perlu adanya kepercayaan rakyat akan kinerja birokrasi bahwa para
birokrat dapat memberikan yang terbaik bagi negara dimana rakyat menaruh kepercayaan kepada
birokrasi untuk dapat memberikan kehidupan terbaik bagi rakyat-rakyatnya. Adanya suatu keyakinan
bahwa negara mereka dipimpin oleh orang-orang terbaik dan bisa memberikan hal terbaik untuk
masyarakat. Jadi disini Indonesia perlu menghilangkan stereotype negative tentang birokrasi
Indonesia. Misalnya pandangan bahwa pejabat negara hanya memikirkan kesejahteraannya.
Padahal di sisi lain kita melihat kehidupan rakyat banyak masih terimpit berbagai kesulitan.

Kesimpulan

Pada intinnya birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang memiliki pertanggung jawaban kepada
publik. Birokrasi harus mampu melayani publik dengan baik karena birokrasi merupakan alat negara
dimana negara sendiri adalah milik rakyat dan dibentuk oleh rakyatnya.

Untuk membentuk birokrasi yang ideal Indonesia tidak harus mencontoh sistem birokrasi seperti
yang ada di luar negeri, karena birokrasi yang di luar negeri belum tentu cocok diterapkan di
Indonesia. Oleh karena itu birokrasi di Indonesia perlu belajar dengan baik untuk menentukan sistem
yang baik bagi negaranya.
Birokrasi yang ada di Indonesia pada dasarnya belum bisa dikatakan ideal karena pelayanan yang
diberikan oleh birokrasi masih carut-marut yang kadang para pejabatnya masih sewenang-wenang
dan anggotanya belum memiliki akuntabilitas kepada publik. Sehinga secara keseluruhan birokrasi di
Indonesia masih perlu dilakukan perbaikan dari sisi sumber daya manusianya.

Apalagi, jika dibandingkan dengan teori karakteristik birokrasi ideal Weber dan juga birokrasi
birokrasi yang ada di luar negeri maka indonesia masih jauh dan perlu melakukan perbaikan demi
tercapainya birokrasi yang ideal. Birokrasi yang ada belum bisa menjalan fungsi fungsi yang
sebagaimana telah di ungkapkan dalam makalah ini, wewenang yang diberikan tampak kabur dan
tanggung jawab yang diberikan juga tampak diabaikan.
Sistem Birokrasi di Indonesia
Subhan Putra

Birokrasi adalah istilah yang mengacu pada organisasi yang kompleks dengan sistem dan proses
berlapis-lapis. Sistem dan prosedur ini dirancang untuk menjaga keseragaman dan kontrol dalam
suatu organisasi. Birokrasi menggambarkan metode yang ditetapkan dalam organisasi atau
pemerintahan besar.

Tujuan Birokrasi menjalankan program atau kegiatan guna tercapainya visi dan misi pemerintahan
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan melakukan pembangunan secara netral dan
profesional. Mengaplikasikan seluruh aspek manajemen pemerintahan, mulai dari aspek
perencanaan, koordinasi, pengawasan, preventif, represif, evaluasi, dan lain lain. Memberi
kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses setiap layanan dan perlindungan.

Memberi jaminan atas keberlangsungan sistem pemerintahan pada suatu negara. Mendukung,
mempermudah, mempercepat, meningkatkan efektivitas, serta efisiensi pencapaian dari beragam
tujuan pemerintah birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di
mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa cultuurstelsel, masa desentralisasi dan
emansipasi, masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur dan
ambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa
dimana setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa presiden Indonesia
memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan
tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia.

Masih banyak masyarakat yang mengeluh tentang kinerja birokrasi di Indonesia

Padahal katanya Indonesia sudah memasuki era revolusi industri 4.0 atau bisa disebut dengan era
disrupsi. Fasilitas yang digunakan sudah canggih akan tetapi mengapa masih banyak masyarakat
yang mengeluh Mengapa birokrasi pemerintahan masih sering menjadi permasalahan yang tidak
kunjung selesai dan seolah-olah tidak ada habisnya? Sebab apabila dilihat dari sudut pandang
administratif, birokrasi adalah suatu organisasi pelayanan, yang mana untuk menilai organisasi
birokasi tersebut adalah dengan cara menilai performa yang mereka tampilkan ketika memberikan
pelayanan kepada masyarakat.

Karena birokasi sendiri tidak memiliki keluaran berupa fisik yang dapat dinilai masyarakat secara
langsung. Idealnya birokrasi adalah sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksanaan rasionalitas
terhadap tugas-tugas administrasi untuk mencapai efisiensi, selain itu birokrasi juga memiliki fungsi
sebagai alat penghubung antara Negara dengan masyarakat. Oleh karena itu, sampai sekarang pun
birokrasi menjadi alat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
Negara. Apalagi di era pandemi seperti ini pemerintah harus bisa menerapkan beberapa strategi
agar birokrasi di Indonesia itu efektif.

Nah strategi nya itu kaya strategi jangka pendek yaitu: 1) penerapan birokrasi digital, 2) standarisasi
pelayanan, 3) profesionalisme SDM aparatur. Penerapan birokrasi digital sangat dibutuhkan dalam
masa pandemi Covid-19. Selain untuk memberikan informasi update tentang penanganan Covid-19,
birokrasi digital juga dapat menjadi way of services terbaik kepada masyarakat. birokrasi digital
sangat memiliki peran penting di setiap instansi pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dalam rangka efektivitas birokrasi di masa pandemi Covid-19.
Karena dampak dari birokrasi digital adalah kecepatan pelayanan yang dirasakan masyarakat yang
mana kecepatan pelayanan tersebut menjadi hal yang amat dinanti-nantikan. Standarisasi pelayanan
menjadi hal terpenting selanjutnya untuk membuat birokrasi tetap berjalan efektif, cepat, dan
responsif dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat standarisasi pelayanan perlu
dijalankan secara baik dan sesuai prosedur di seluruh instansi pemerintah.

Setiap instansi pemerintah harus memperhatikan standarisasi pelayanan publik dari 5 (lima) aspek
yakni kebijakan pelayanan, profesionalisme pelayanan, sarana prasarana, sistem informasi
pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, dan terciptanya inovasi pelayanan publik. Birokrasi
digital dan standariasi pelayanan sebagaimana disampaikan di atas, selanjutnya tidak dapat berjalan
sesuai harapan tanpa didukung dengan profesionalisme SDM aparatur. Nah jadi pemerintah itu
harus semaksimal mungkin menerapkan berbagai macam strategi agar sistem birokrasi di Indonesia
itu selalu efektif.
DINAMIKA BIROKRASI INDONESIA DAN SISTEM PENGAWASAN

UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh: Ridho Afrianedy

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya pernah bersinggungan langsung dengan alur birokrasi
pemerintah dalam mengurus administrasi surat atau apapun. Mulai dari hal yang sifatnya individu
misalkan pengurusan KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, SIM, NPWP, SIUP, sertifikat tanah dan
lain-lain.

Berbagai komentar dan tanggapan warga dalam pengurusan administrasi bermunculan. Ada yang
merasa puas karena pelayanannya baik, ada yang merasa kecewa dan kesal karena pelayanannya
lambat dan berbelit-belit, ada yang marah dan makan hati karena harus melalui beberapa meja
petugas apalagi petugas yang ditunjuk tidak ada atau sedang keluar bahkan ada petugas yang minta
uang pelicin agar urusan bisa lancar dan cepat.

Permasalahan diatas mengenai dinamika birokrasi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bahwa
setiap pengurusan apapun di instansi pemerintah terkesan lamban, lama, berbelit-belit, birokrasi
panjang, pungutan liar bahkan suap, sehingga muncul adagium negatif “kalau bisa di persulit kenapa
harus dipermudah”.

Sebagai warga negara yang baik, tentunya mengikuti segala aturan dan sistem yang telah
diberlakukan dalam pengurusan apapun mulai dari berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat
akan tetapi karena kebutuhan akan surat resmi tersebut serta keinginan pengurusan agar lebih
cepat tak jarang ada warga negara yang menyuap petugas.

Padahal tiap instansi pemerintah ada SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam melayani
masyarakat. Akan tetapi SOP ini ditabrak karena ada kepentingan buruk untuk menyeleweng dan
bisa mendapat penghasilan tambahan di luar gaji dan tunjangan yang diberikan oleh negara.

Sehingga pada bulan Mei tahun 2013 kemaren, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Eko Prasojo mengungkapkan ada 7 realita kebobrokan birokrasi di Indonesia,
yaitu:

1. Pola pikir para birokrasi di Indonesia terlalu sesuai aturan.

2. Orientasi budaya kerjanya lemah.

3. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk.

4. Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis.

5. Banyak seorang birokrasi ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya.

6. Soal kewenangan yang tumpang tindih atau overlapping sehingga ada kecenderungan
penyalahgunaan kewenangan oleh birokrat.

7. Pelayanan publik yang buruk.


Pernyataan diatas membuktikan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah bahkan ada
departemen khusus untuk menangani sistem birokrasi di Indonesia belum berhasil. Masih banyak
celah-celah kelemahan yang masih kelihatan dan menjadi rahasia umum bahwa aparatur sipil negara
tidak maksimal dalam mencurahkan kinerjanya dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk
peningkatan pelayanan publik

Maka tak heran dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International Finance
Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129. Posisi Indonesia berada jauh di
bawah thailand yang menduduki peringkat 13, Malaysia di urutan 20 dan Vietnam posisi ke-92,
Indonesia hanya sedikit diatas Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan 140,
ASEAN perlu berbangga karena negeri jiran Singapura mempertahankan posisinya di peringkat
pertama disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS, Hongkong dan Denmark[2].

Kalau kita membandingkan dengan negara-negara yang mana birokrasi pemerintahannya telah
berjalan dengan baik disertai adanya indikasi rasa kepuasan dari masyarakatnya dalam menerima
pelayanan dari pemerintahnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi tolak ukur kita dalam mencapai
good governance tersebut. Diantaranya dengan the right man on the right place, adanya analisis
jabatan dalam penempatan seseorang dalam suatu jabatan. Kesesuaian jabatan dengan kemampuan
aparatur tersebut akan memudahkannya dalam menerjemahkan isi kebijakan yang telah dibuat dan
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan atasannya demi
mewujudkan pelayanan publik yang prima dan jangan sampai terjadi pemerintah hanya bisa
membuat peraturan saja namun tidak bisa melaksanakannya dengan baik.

Akan tetapi, dalam menjalankan roda pemerintahan, ada suatu hal yang sangat dijaga oleh para
birokrat Indonesia dan sudah menjadi rahasia umum juga yaitu menutup aib sesama antar birokrat.
Budaya kerja seperti ini akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa dalam mewujudkan good
governance bahkan menjadi hambatan utama dalam reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah.

Sedangkan dalam perusahaan swasta ada konsep yang dikenal yaitu good corporate governance
(GCG), di Indonesia, konsep GCG resmi diterapkan di lingkungan perusahaan BUMN melalui
keputusan Kepmeneg BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada
BUMN. Konsep GCG itu ada lima yaitu transparency, independency, accountability, responsibility
dan fariness.

Besar kemungkinan konsep GCG bisa diterapkan diadopsi ke instansi-instansi pemerintah agar bisa
memiliki daya saing dalam hal non profit akan tetapi dalam hal peningkatan pelayanan prima untuk
masyarakat agar stigma negatif terhadap birokrasi pemerintahan bisa berubah kearah yang positif.
Sehingga ada perubahan besar di dunia dalam bidang birokrasi pemerintahan ini. Semua kebijakan
yang diambil oleh para birokrasi pemerintahan berbagai negara telah mengacu pada pasar,
sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dalam melayani pangsa pasarnya.
Dalam hal ini tentu pasar birokrasi adalah masyarakat sehingga dalam hal pelayanan bisa maksimal
diberikan kepada masyarakat dengan orientasi kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan
dari birokrasi pemerintah.

Namun bagi kebanyakan orang, menjadi seorang aparatur negara berarti telah memiliki suatu
kekuasaan sesuai dengan tugas pokoknya. Sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk
menyelewengkan kekuasaannya tersebut bisa jadi terjadi baik dari sisi internal pribadinya seperti
kurang inisiaatif dalam bekerja, terlalu banyak formalitas, lamban dan tidak totalitas dalam bekerja
maupun dari sisi eksternal berupa godaan suap, uang dan lain-lain.

Sikap mental seperti ini akan menimbulkan dampak buruk dalam jalannya birokrasi pemerintahan,
akan banyak pencapaian-pencapaian yang tidak sesuai dengan target, kemudian menurunnya
dukungan publik akan program-program yang dibuat oleh pemerintah dan hal ini akan menjadi
problem tersendiri kedepannya.

Apalagi pada era reformasi ini, dengan ditandai dengan pemilihan kepala daerah secara langsung
baik ditingkat gubernur, walikota/bupati, anggota DPRD I dan anggota DPRD II tiap 5 tahun sekali
adalah sesuatu yang positif, akan tetapi pasca pemilihan dan telah terpilihnya gubernur yang baru,
walikota/bupati yang baru serta anggota dewan yang baru menimbulkan gejolak di tingkat
birokrasinya, karena sudah menjadi rahasia umum apabila gubernur telah berganti, walikota/bupati
berganti maka kepala dinas, kabid, kasie, kepala sekolah, camat, lurah juga akan berganti.

Perbedaan pandangan politik telah memasuki dunia birokrasi di pemerintahan. Siapa birokrat yang
mendukung pemenang pemilihan maka yang bersangkutan pasti akan mendapat posisi yang
strategis nantinya, siapa yang tidak mendukung maka otomatis siap-siap di mutasi ke posisi yang
kurang strategis walaupun kinerjanya bagus dan ini terjadi merata di setiap daerah.

Hal ini tentu berdampak negatif terhadap kinerja para birokrat yang harusnya mengedepankan
profesionalitas, integritas dan akuntabilitas serta berorientasi pada pelayanan prima pada publik
akan berubah menjadi orientasi pada keuntungan dan kesenangan para politisi, seluruh kebijakan
yang sifatnya politis akan diterapkan ke jajaran birokrasi dibawahnya, siapa yang membantah dan
membangkang maka siap-siap di mutasi.

Ancaman mutasi dari para birokrat yang berafiliasi pada partai tertentu akan merugikan jalannya
pemerintahan dan mengganggu proses administrasi pemerintahan. Para birokrat tidak akan nyaman
bekerja apabila ada kebijakannya yang merugikan partai pemimpin daerahnya.

Dengan adanya kebijakan reformasi birokrasi serta telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menegaskan dalam Pasal 5 UU ini bahwa aparatur negara
bebas dari intervensi partai politik. Dengan dicanangkan program reformasi birokrasi diharapkan ada
perubahan mind set dalam pola pikir serta budaya kerja untuk melayani publik, dan reformasi
birokrasi telah masuk dalam nomenklatur kementerian yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, sehingga birokrasi yang terkesan bermasalah di sistem
pemerintahan Indonesia bisa berubah kearah yang lebih baik.

Kredibilitas dan transparansi adalah norma utama yang menjadi tuntutan publik atas lembaga-
lembaga pelayanan umum yang ada. Transparansi memberikan pemaparan yang jelas bagi publik
terhadap segala hal yang ingin diketahui dari lembaga umum yang merupakan wujud haknya sebagai
warga negara. Transparansi menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap institusi. Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan menjadikan salah satu tolak ukur dalam upaya
peningkatan pelayanan publik yang prima bagi seluruh masyarakat, walaupun begitu harus ada
sistem pengawasan yang berjalan didalam sistem birokrasi pemerintahan agar kinerja birokrasi
pemerintahan tetap berada pada jalur yang sesuai dan tidak melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pengawasan atas suatu kinerja merupakan suatu hal mesti ada pada zaman sekarang ini dalam
setiap instansi baik pemerintah maupun swasta. Hal ini menjadi penentu apakah kinerja berjalan
dengan sesuai aturan atau tidak?, apakah petugasnya melampaui tugas dan wewenangnya atau
tidak?. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19 Tahun 1996 menyebutkan
pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan dan atau
kegiatan tertentu dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi dari objek
pengawasan tersebut telah sesuai dengan yang ditetapkan.

Sudibyo Triatmodjo mendefinisikan pengawasan sebagai berikut: pengawasan adalah suatu bentuk
pengamatan yang pada umumnya dilakukan secara menyeluruh dengan jalan mengadakan
perbandingan antara kenyataan yang dilaksanakan dengan yang seharusnya dilaksanakan atau
terjadi.

Jadi pengawasan tidak hanya bermaksud mencari-cari kesalahan dari lembaga yang diawasi tetapi
mengandung pengertian yang lebih luas yaitu melakukan pengamatan serta pengukuran dan
penilaian dalam rangka menjamin terlaksananya kegiatan organisasi sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang telah digariskan dalam rencana kegiatan sebelumnya.

Dalam tataran pelaksanaannya, pengawasan yang dilakukan terhadap birokrat pemerintahan bisa
dilakukan oleh pihak internal sendiri maupun dari pihak eksternal. Pihak eksternal bisa lewat
kerjasama dengan pihak lain atau pihak lain yang memang punya kepentingan untuk melakukan
pengawasan terhadap kinerja birokrasi pemerintahan.

Menurut P. De Haan, ada lima motif pengawasan, yaitu motif untuk menjaga kebijaksanaan, motof
koordinasi, menjaga kualitas, motif keuangan dan untuk memberikan perlindungan hukum serta
perlindungan warga negara.

Pengawasan menjadi elemen penting dalam jalannya roda birokrasi pemerintahan agar bisa terawasi
dengan baik apalagi dengan kondisi zaman yang transparan pada era reformasi ini, segala tindakan,
sikap, perilaku birokrasi pemerintahan akan cepat disorot oleh media, baik media massa cetak
maupun elektronik bahkan media sosial seperti tweeter, facebook dan lain-lain. Semuanya ini
dengan harapan SDM birokrasi di pemerintahan semakin tinggi etos kerjanya serta masyarakat puas
dengan pelayanan publik yang diberikan oleh birokrat pemerintahan ini dalam berbagai bidang.
Birokrasi selama Masa Pandemi

Selain itu juga penerbitan perizinan administrasi terkait keperluan kesehatan, keuangan,
dan lainnya sangat dirasakan mudah oleh masyarakat Korsel. Sama halnya dengan Korsel,
Taiwan menjadi negara dengan digitalisasi birokrasi yang cukup baik di masa pandemi
Covid-19 ini. Negara tersebut berhasil memberikan informasi dan pelayanan secara
responsif kepada masyarakatnya tentang perkembangan penanganan kasus Covid-19 dan
juga pelayanan administrasi lainnya secara online kepada masyarakat. Masyarakat tetap
dapat menjalankan rutinitas dan memenuhi kebutuhannya dengan baik walau di masa
pandemi. Belajar dari Korsel dan Taiwan tersebut, Indonesia juga memiliki modalitas dan visi
birokrasi yang baik dalam penanganan pandemi Covid-19.
 
Belum lama ini, pemerintah baik pusat maupun daerah melakukan refocusing anggaran
dalam penanganan Covid-19. Seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
merasakan pemangkasan anggaran tersebut, sehingga banyak kegiatan yang perlu dilakukan
penyesuaian. Namun, hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak memberikan pelayanan
publik secara optimal. Para ASN mulai dari Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) sampai dengan
staf, dituntut untuk melakukan kreativitas dan inovasi dalam menjalankan birokrasi di masa
pandemi. Anggaran memang dikurangi, namun kreativitas dan inovasi tidak dapat dihalangi.
 
Dengan kreativitas dan inovasi tersebut, ASN dapat tetap eksis dan produktif menjalankan
roda birokrasi serta memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Oleh sebab itu,
kiranya pemerintah harus memiliki strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk tetap
membuat roda birokrasi berjalan efekftif dan menjadikan birokrasi tersebut sebagai garda
terdepan dalam sejarah penyelesaian pandemi Covid-19 di Indonesia.
 
Adapun strategi jangka pendek untuk membuat birokrasi efektif, yaitu: 1) penerapan
birokrasi digital, 2) standarisasi pelayanan, 3) profesionalisme SDM aparatur. Penerapan
birokrasi digital sangat dibutuhkan dalam masa pandemi Covid-19. Selain untuk
memberikan informasi update tentang penanganan Covid-19, birokrasi digital juga dapat
menjadi way of services terbaik kepada masyarakat. Contoh, di tempat kami bekerja yakni
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), birokrasi digital sangat dioptimalisasi. Aplikasi yang
telah dibangun dan dikembangkan sangat dimanfaatkan menjadi way of services.
 
Misalkan saja penerapan aplikasi Sistem Informasi Jabatan Pimpinan Tinggi (SIJAPTI) yang
menjadi tool dalam proses pengawasan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di tingkat pusat
maupun daerah dalam melahirkan leaders yang nantinya leaders tersebut menjadi ujung
tombak dalam memimpin dan menjalankan birokrasi di pemerintahan baik pusat dan
daerah, terutama di masa pandemi Covid-19 ini.
 
Oleh sebab, itu birokrasi digital sangat memiliki peran penting di setiap instansi pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka efektivitas birokrasi di masa pandemi
Covid-19. Karena dampak dari birokrasi digital adalah kecepatan pelayanan yang dirasakan
masyarakat yang mana kecepatan pelayanan tersebut menjadi hal yang amat dinanti-
nantikan. Standarisasi pelayanan menjadi hal terpenting selanjutnya untuk membuat
birokrasi tetap berjalan efektif, cepat, dan responsif dalam memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat.
 
Masih berkaitan dengan tempat kerja kami, contoh lainnya adalah dikeluarkan Surat Edaran
(SE) Menteri MenPANRB dalam percepatan pengisian JPT di instansi pemerintah baik pusat
maupun daerah. Ada beberapa penyesuaian siginifikan dalam aturan pengisian JPT di SE
tersebut dalam memangkas proses waktu pengisian JPT. Percepatan ini bukan berarti
mengurangi kualitas. Kualitas tetap dijaga dan diawasi secara ketat, namun percepatan
pengisian JPT yang kosong jauh lebih penting karena untuk tetap menjamin roda birokrasi di
pemerintahan tetap berjalan dan memberikan kontribusi besar dalam penanganan masa
pandemi Covid-19.
 
Oleh sebab itu, standarisasi pelayanan perlu dijalankan secara baik dan sesuai prosedur di
seluruh insansi pemerintah. Setiap instansi pemerintah harus memperhatikan standarisasi
pelayanan publik dari 5 (lima) aspek yakni kebijakan pelayanan, profesionalisme pelayanan,
sarana prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, dan
terciptanya inovasi pelayanan publik. Birokrasi digital dan standariasi pelayanan
sebagaimana disampaikan di atas, selanjutnya tidak dapat berjalan sesuai harapan tanpa
didukung dengan profesionalisme SDM aparatur. Profesionalisme seharusnya sudah
menjadi budaya dalam birokrasi sebagaimana yang disampaikan oleh Wilhelm Friedrich
Hegel yakni: “Professionalism is an important value in a bureaucratic culture”.
 
Oleh sebab itu, apapun kondisinya ASN adalah garda terdepan seperti halnya tenaga medis
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka bersama-sama menangani
pandemi Covid-19 di Indonesia. Birokrasi digital, standarisasi pelayanan, dan
profesionalisme SDM aparatur menjadi strategi jangka pendek dalam menjalankan birokrasi
di masa pandemi ini. Tantangan selanjutnya setelah ketiga strategi jangka pendek ini
dijalankan adalah pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang kebijakan birokrasi
yang dikeluarkan. Jangan sampai terjadi kembali contoh kasus di salah satu Pemda yang
mana salah satu warganya mengalami gagap pelayanan publik secara online. Pada saat itu,
salah satu warga tidak mengetahui sejak kasus Covid-19, Pemda menutup pelayanan tatap
muka dalam pengurusan pembaharuan kartu keluarga.
 
Warga tersebut tetap menunggu sampai kemudian ada petugas yang datang
menghampirinya dan memberikan informasi bahwa pelayanan tidak dilakukan secara
manual lagi, melainkan secara online. Dengan kasus di atas, maka tantangan tentang
pemberian pemahaman kepada masyarakat menjadi hal yang penting dalam membumikan
kebijakan publik. Sebagai aktor birokrasi dan juga sebagai pelayan publik, para ASN harus
memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman, sekaligus mengedukasi masyarakat
dengan penuh kesabaran dan rasa tanggung jawab. Strategi selanjutnya adalah strategi
jangka panjang dalam menjalankan roda birokrasi yang efekftif dan menjadikan birokrasi
tersebut sebagai garda terdepan dalam sejarah penyelesaian pandemi Covid-19 di
Indonesia. Salah satu kunci suksesnya penanganan Covid-19 di Korsel adalah
penyederhanaan birokrasi yang telah dilakukan dengan baik sebelum adanya pandemi
tersebut.
 
Korsel berhasil melakukan penyederhanaan birokrasi dari tingkat pusat sampai dengan
tingkat daerah, sehingga dampaknya adalah pemerintahan menjadi solid. Kebijakan yang
dibuat pusat mampu turun dan dijalankan dengan cepat oleh pemerintah daerah. Begitupun
dengan pelayanan, pelayanan cepat, responsif, dan memuaskan selama masa pandemi
menjadikan masyarakat Korsel puas terhadap pemerintahannya. Penyederhanaan birokrasi
harus menjadi agenda penting selanjutnya dalam rangka percepatan pelayanan publik.
Adanya agenda penyederhanaan birokrasi melalui penghilangan beberapa eselon di
kepegawaian negeri akan menuai dampak yang siginifikan dalam percepatan pelayanan di
birokrasi.
 
Penyederhanaan birokrasi ini dapat memisahkan sebuah hal yang salah dan lambat dengan
sistem yang telah dibangun. Penyederhanaan birokrasi diharapkan dapat membuat sistem
biokrasi berdasarkan masukan, keluhan, dan aduan masyarakat. Semakin cepat, masukan
dan laporan dari masyarakat, itu akan lebih baik dan cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Selain itu, penyederhanaan birokrasi dapat mempercepat pelayanan kepada masyarakat.
Sebuah kebijakan tidak dibahas secara lama dan berjenjang panjang dengan cara disposisi-
disposisi, namun kebijakan dapat diputuskan dengan cepat dan tepat dalam rangka
memberikan pelayanan yang responsif sekaligus memuaskan kepada masyarakat.
 
Dengan agenda penyederhanaan birokrasi tersebut, Indonesia akan menjadi negara
demokrasi modern yang mengedepankan kecepatan, kualitas, dan kepuasan masyarakat.
Sehingga, apabila dihadapkan dalam sebuah ujian seperti pandemi Covid-19 ini, Indonesia
telah siap dalam mengatasinya karena memiliki birokrasi yang kuat namun tidak kaku dalam
mengimplementasikan sebuah kebijakan. (Pandu Wibowo, S.Sos, M.E. | Pegawai Komisi
Aparatur Sipil Negara | Peneliti Kebijakan Publik Center for Information and Development
Studies (CIDES) Indonesia)
Reformasi Birokrasi Indonesia di Mata Mahasiswa

Birokrasi atau tata kelola pemerintah Indonesia masih dan akan terus
memerlukan terobosan baru dan perubahan yang signifikan. Maraknya praktik yang belum
sesuai peraturan, pelaksanaan fungsi dan tugas lembaga pemerintah yang tumpang tindih,
dan sistem pelayanan publik dengan proses panjang dan berliku masih menjadi pekerjaan
rumah bagi beberapa instansi. Jalan keluar pun dicari dengan menempuh langkah Reformasi
Birokrasi.

Reformasi birokrasi adalah upaya melakukan pembaharuan dan perubahan pada sistem tata


kelola atau penyelenggaraan pemerintah agar efisien dan efektif, serta kualitas Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang lebih baik dalam pelayanan publik. Reformasi Birokrasi tertuang
dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025, dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia sebagai tokoh utama dalam penegakan Reformasi Birokrasi di Indonesia.

Namun, apakah langkah pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang ditempuh pemerintah


sudahkah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, khususnya mahasiswa? Untuk
mengetahuinya, penulis mewawancarai tiga mahasiswa dari kampus dan fakultas yang
berbeda.

Kevino Dwi Velrahga, mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Fakultas Ilmu


Komunikasi, memandang bahwa reformasi adalah pembaharuan atau langkah untuk
merevolusi dari sistem yang lama, sistem tersebut adalah birokrasi.

“Berarti kalau digabungin simpelnya adalah langkah yang dilakukan pihak yang berkuasa
atau berwenang yang bisa disebut pemerintah, untuk melakukan pembaharuan di
bidang tata kelola pemerintahan agar lebih baik ataupun juga bisa lebih efisien dalam
bekerja ataupun lebih optimal.” Ujarnya.

Sedangkan menurut Muhammad Nurdin Alamsyah, mahasiswa Universitas Indonesia


Fakultas Ilmu Administrasi, bahwa Teformasi Birokrasi adalah salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah untuk memperbaharui sistem birokrasi atau sistem tata kelola di
Indonesia, yang sebelumnya sistemnya berbelit-belit diubah menjadi ke arah yang
lebih efektif dan efisien.

Reformasi birokrasi dilakukan mengingat birokrasi adalah tonggak utama dalam


penyelenggaraan negara. Menurut Galur Mayan Pratama, mahasiswa Universitas
Hasanuddin Fakultas Hukum, Reformasi Birokrasi harus dilakukan agar memperbaiki sistem
yang sudah ada, yang dinilai dan dianggap masih kurang.

“Jadi, diperbaiki dan lebih ditingkatkan lagi menjadi sebuah keefisienan,” tambahnya.

Pemerintah menggaungkan Reformasi Birokrasi dan melakukan perubahan dalam tubuh


birokrasi di Indonesia. Namun, apakah perubahan sudah dirasakan oleh masyarakat,
khususnya mahasiswa?

Perubahan birokrasi yang dirasakan oleh Galur Mayan Pratama, menurutnya adalah tentang
digitalisasi pelayanan publik, contohnya di bidang kesehatan dan lain-lain. Sistem pelayanan
publik dulunya mengharuskan masyarakat datang ke kantor atau instansi dan cenderung
‘dioper-oper’, menjadikan tidak efektifnya pelayanan.

“Nah, sekarang sudah ada web atau aplikasi yang ibaratnya jadi mempermudah atas segala
sesuatunya. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa orang atau kalangan yang masih
belum bisa menerima perubahannya, karena ada yang masih belum tahu teknologi,”
tambahnya.

Sedangkan perubahan Reformasi Birokrasi yang dirasakan Kevino Dwi Velrahga, salah
satunya dalam pembaharuan SDM (Sumber Daya Manusia), yaitu ASN (Aparatur Sipil
Negara). Jenjang SDM-nya benar-benar diakurasi, sehingga calon ASN harus berkualitas
karena ada standar dan kompetensi yang harus dipenuhi. Hal ini merupakan
bentuk filter dari Reformasi Birokrasi, agar ke depannya menghasilkan ASN yang berkualitas.

Saran terkait efektifnya Reformasi Birokrasi di Indonesia menurut Muhammad Nurdin


Alamsyah, adalah dilakukannya pemerataan pelaksanaan birokrasi di seluruh Indonesia.
Menurutnya beberapa daerah sudah baik, contohnya Pemprov DKI yang memiliki banyak
inovasi untuk menciptakan pelayanan maksimum.

“Tapi, mungkin saran untuk se-Indonesia, karena kalau ngomongin Indonesia sangat luas,


sepertinya Reformasi Birokrasi di Indonesia belum merata. Contohnya mengakses pelayanan
KTP, itu lama bikinnya bahkan sampai bertahun-tahun belum jadi, padahal seharusnya
maksimal itu kalau tidak salah diatur di Undang-Undang itu maksimal 60 jam atau lima hari.
Mungkin, seharusnya itu bisa diseragamin lagi peraturannya oleh pemerintah biar
semuanya sama standar SOP-nya,” jelasnya. Reformasi Birokrasi sudah cukup dipahami oleh
ketiga mahasiswa di atas dengan mengutarakan pendapat dan pemahaman yang berbeda.
Perubahan mulai terasa, walaupun belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Kekurangan-
kekuranganpun masih ada dan harus menjadi perhatian pemerintah, agar Reformasi
Birokrasi di Indonesia tidak hanya digaungkan saja, namun juga berjalan dengan semestinya.

Ditulis oleh: Evira, Romanti


Komentar saya tentang artikel 1 :

Artikel ini mendeskripsikan atau menjelaskan tentang birokrasi di Indonesia yang masih
belum sebaik birokrasi yang berjalan di negara-negara maju. Artikel inipun menjelaskan
tentang bobroknya birokrasi yang berjalan di Indonesia. Karena di Indonesia sendiri,
birokrasi dianggap sebagai sebuah jabatan dan kekuasaan yang di mana dengan kekuasaan
itu dapat mengatur sekelompok orang yang ada dalam struktur birokrasi. Kemudian dengan
jabatan dan kekuasaan di birokrasi juga seseorang berfungsi dan menjalankan tugasnya
hanya sesuai dengan komunikasi politik dengan berbagai elit politik. Tak jarang juga
birokrasi digunakan sebagai alat untuk menindas sekelompok masyarakat yang tergolong
lemah. Praktek-praktek birokrasi seperti itu yang kemudian menjadi tolak ukur penilaian
terhadap birokrasi yang ada di Indonesia dan menjadi penilaian buruk. Itu karena birokrasi
di Indonesia yang terkesan lambat, tidak sesuai fungsi, dan hanya menjadi alat dan senjata
untuk menunjukkan kekuasaan.

Komentar saya tentang artikel 2 :

Birokrasi perlu melakukan perbaikan pada SDMnya karena masih banyak pejabat dan
anggota yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik. Tetapi disini yang perlu
memperbaiki SDMnya bukan hanya dari pemerintah saja, namun juga diperlukan kesadaran
pribadi dari para anggota akan kewajibannya melayani masyarakat. Pemerintah perlu
melakukan pengawasan yang ketat pada birokrasi karena sampai saat ini angka kebocoran
dana yang ada masih besar. Birokrasi harus lebih bersifat fleksibel terhadap perubahan,
karena birokrasi yang kita terapkan mesih terlalu rigid dan kaku.Sehingga hampir seluruh
urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi. Dan juga formalitas yang
berupa beban untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal
cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak
berperspektif pelanggan harus kita buat lebih fleksibel.

Komentar saya tentang artikel 3 :

Oleh karena sistem birokrasi itu berpengaruh terhadap perkembangan pemerintahan yang
baik (Good Governance) di Indonesia, maka perlu untuk kita sama-sama menganalisis,
mempelajari, dan mengubah tatanan birokrasi kita di Indonesia agar lebih tertata dan rapi.
Karena good governance akan tercipta dengan baik jika birokrasi di Indonesia berjalan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari birokrasi itu sendiri.
Birokrasi di Indonesia saat ini misalkan :

1. Orientasi budaya kerjanya lemah.

2. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk.

3. Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis.

4. Banyak seorang birokrasi ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan


kemampuannya.

5. Soal kewenangan yang tumpang tindih atau overlapping sehingga ada


kecenderungan penyalahgunaan kewenangan oleh birokrat.

6. Pelayanan publik yang buruk.

Pernyataan diatas membuktikan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah


bahkan ada departemen khusus untuk menangani sistem birokrasi di Indonesia belum
berhasil. Masih banyak celah-celah kelemahan yang masih kelihatan dan menjadi rahasia
umum bahwa aparatur sipil negara tidak maksimal dalam mencurahkan kinerjanya dan
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk peningkatan pelayanan publik.

Komentar saya tentang artikel 4 :

Di artikel ke empat ini membahas tentang birokrasi di masa pandemi, yang mana ketika
pandemi melanda seluruh dunia ini maka birokrasi di ubah menjadi sistem digital semua.
Maka seluruh elemen masyarakat mulai dari yang elit hingga ke akar rumput diharuskan
untuk paham digital agar tetap mendpatkan pelayanan birokrasi dengan baik. Namun kita
ketahui hari ini sistem birokrasi manual saja belum bisa berjalan dengan baik, apalagi
dengan sistem digital ini. Jadi, akan lebih baik jika sistem birokrasi yang manual ataupun
yang digital tetap berperan dengan baik agar bisa melayani masyarakat dengan baik, cepat
dan efisien. Karena secara tidak langsung sistem birokrasi yang baik juga akan berpengaruh
terhadap penilaian masyarakat tentang baik dan buruknya sistem pemerintahan saat itu.

Komentar saya tentang artikel 5 :

Di mata mahasiswa sendiri, perubahan birokrasi yang dirasakan adalah tentang digitalisasi
pelayanan publik, contohnya di bidang kesehatan dan lain-lain. Sistem pelayanan publik
dulunya mengharuskan masyarakat datang ke kantor atau instansi dan cenderung ‘dioper-
oper’, menjadikan tidak efektifnya pelayanan. Jadi komentar dari artikel 1 hingga 5 tetap
sama, yaitu harus lebih ditingkatkan dan diefisiensikan dengan sempurna. Karena
mahasiswa sudah pasti memantau dengan jelas bagiamana perilaku birokrasi di daerahnya
sendiri, maka komentar mahasiswa mengenai birokrasi di Indonesia tentu sudah berdasar
analisis dan pengalaman sehingganya perlu adanya evaluasi dan perbaikan jika kemudian
birokrasi di Indonesia masih kurang bagus.

Anda mungkin juga menyukai