Anda di halaman 1dari 7

“BIROKRASI”

SEBUAH FENOMENA SOSIOLOGIS


Surya Agung

LATAR BELAKANG

Masyarakat kini tak lagi diam seperti dulu. Dulu masyarakat tidak memiliki kebebasan
dalam berpendapat dan demokrasi seakan hanya menjadi slogan saja. Namun setelah
pemerintahan Presiden Soeharto digulingkan, tabuh reformasi digaungkan dan kehidupan
demokrasi yang menjamin hak dari tiap warga Negara untuk berpendapat kini benar-benar
menjadi komitmen.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan


perbaikan di segala lini birokrasi kepemerintahannya. Berbagai usaha ditempuh oleh
pemerintah demi mewujudkan suatu organisasi yang bersih dan mengintegrasikan prinsip-
prinsip good and clean governance di dalamnya. Usahausaha juga terus dilakukan oleh
pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang melayani dan memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sebuah reformasi birokrasi dicanangkan oleh pemerintah. Dan sebagai sebuah
langkah awal pemerintah menetapkan tiga pilot project reformasi birokrasi yakni Departemen
Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Masalah birokrasi ini masih tetap menjadi isu sentral yang ramai dibicarakan.
Memang birokrasi bukan lagi suatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kehidupan sosial, setiap anggota masyarakat pasti akan bersentuhan dengan yang namanya
birokrasi. Birokrasi pemerintah seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent,
penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Namun, birokrasi sebagai “alat pemerintah” tidak mungkin “netral” dari pengaruh
pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian.
Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat,
maka diperlukan kemandirian birokrasi. Dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap
memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Ia menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi masyarakat” daripada “abdi negara” atau setidak-
tidaknya ada keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks
hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest tertentu dari
pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power
dalam peta politik yang sudah ada.

IDENTIFIKASI MASALAH

Tentunya kita sudah memahami mengenai istilah birokrasi, seperti apa yang di
ungkapkan Blau dan Page (1956) mengemukakan “Birokrasi sebagai tipe dari suatu
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar, dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Dan apabila
kita mendengar kata “Birokrasi” maka langsung yang ada dalam pikiran kita adalah
bahwasannya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-belit, dari meja satu ke
meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba mahal.

Dilain pihak, seperti yang kita pahami birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-
prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif. Tetapi pada
realitasnya kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan
adanya ketidakefisienan. Dan sebenarnya apa yang melatar belakangi hal ini, membingungkan
bukan ?

Seringkali penetapan suatu langkah baru tidak disertai dengan komitmen untuk
melakukannya dengan konsisten. Seringkali undang-undang yang dibuat dengan susah payah
dan diawali dengan begitu banyak pertentangan mengenai untung dan ruginya, namun pada
saat proses implementasi hanya mendapat nilai nol besar. Indonesia merupakan negara
dengan begitu banyak peraturan namun hanya sebatas peraturan. Hanya sebatas hitam di atas
putih saja, mungkin “lebih baik punya dari pada tidak sama sekali.”
Begitupun dengan reformasi birokrasi ini. Peningkatan kinerja aparatur Negara
menjadi salah satu titik tujuan dilakukannya reformasi birokrasi. Dengan reformasi birokrasi
ini diharapkan terjadi proses peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
karena kinerja pemerintah yang meningkat. Tolok ukur yang digunakan oleh Departemen
Keuangan adalah berakhirnya perilaku koruptif, termasuk suapmenyuap, menunda-nunda
pelayanan, serta tidak disiplin. Diharapkan reformasi birokrasi dapat mengubah semua hal
negatif menjadi sesuatu yang positif dan bernilai tambah sehingga dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

PEMBAHASAN

Manusia modern, menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi menjadi


pemimpin yang tanpa disadari menjadi lingkungan yang selama ini kita huni. Sangat tidak
mengherankan jika manusia kemudian disebut dalam sebagai Organizational Society. Dalam
konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian masyarakat dalam wilayah negara,
pengorganisasiannya disebut birokrasi pemerintahan.

Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai


demokrasi dan realitas manajemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yang pelik,
rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak teratur dan
transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok-kelompok majemuk, tampil dengan topeng
liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud
demokratis.

Mentalitas state apparatus Indonesia, yang belum menampakkan kongkretisasi


perwujudan nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai
kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan
aksinya. Kesulitan menerjemahkan kerangka baru (aturan) dalam aktivitasnya, karena rule
driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan keraguraguan
dalam pengimplementasiannya. Fenomena ini yang dialami aparat pemerintah dalam
menjalankan tugasnya saat ini, disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan kerja serta
inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya.
Konsep baru saat ini, merupakan bentuk modernizing birokrasi yang mestinya telah
dikembangkan di Indonesia mengingat telah besarnya anggaran pelatihan, seminar, kursus,
diklat untuk upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang berorientasi kepada kepuasan
masyarakat diseluruh Indonesia, dari pusat hingga pelosok desa. Tetapi mengapa belum
berubah, yang mengalami perubahan adalah wajah teknis administratif yang kian rumit,
sementara perilaku birokrasi sebagai driven utama tidak ada perubahan.

• Paternalisme Birokrasi

kondisi dimana bawahan selalu takut melampaui wewenang pimpinan atau atasannya.
Sehingga tidak berbeda dengan perilaku birokrasi orde baru, dimana bawahan tergantung
kepada pimpinan. Kondisi itu, tidak melahirkan diskresi, dalam birokrasi yaitu kebebasan
menerjemahkan situasi yang dihadapi tiap aparat sesuatu profesi dan tugasnya dalam
mengambil keputusan sendiri dan tidak bersandar pada juklak dan juknis yang kaku. Adanya
ketergantungan, menyebabkan tidak jalannya mekanisme sistem pelayanan publik sebagai
salah satu tugas aparat pemerintah sehingga menciptakan inefisiensi birokrasi dalam
merespons kebutuhan pengguna jasa.

• Reformasi Birokrasi

Tata kelola pemerintahan pasti membutuhkan birokrasi. Tapi birokrasi yang diiringi
dengan korupsi, suap, dan pungli justru membusukkan pemerintahan itu sendiri. Ia tak hanya
menguapkan anggaran pemerintah, tetapi juga memakan sebagian dana masyarakat. Pada titik
tertentu dapat mengganggu kemajuan aktivitas ekonomi.

Efek ke bawah dari buruknya birokrasi adalah pelayanan publik. Operasi birokrasi
dapat berubah sebagai sarana memupuk penghasilan tambahan. Berurusan dengan birokrasi
diiringi dengan pembebanan ke publik. Setiap prosedur yang diterapkan tak jarang dilanggar.
Sebagian pelaksana dapat diduga melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.
Memperbaiki pemerintahan berarti juga mereformasi birokrasi. Jika program
reformasi birokrasi diselesaikan pada 2011, berarti tinggal dua tahun lagi. Dua tahun bukanlah
waktu yang panjang. Sekurang-kurangnya mestilah membayangkan, sebersih apa birokrasi
pemerintahan pada 2011?

Masalahnya, reformasi birokrasi tak bisa berjalan tanpa dukungan aparatur yang lain.
Beberapa hal yang perlu dilakukan berikut ini sudah seharusnya menjadi pertimbangan yang
lebih tegas.

Pertama, kerangka hukum, aturan, dan prosedur tata kelola adalah perangkat yang
menjadi pegangan. Perilaku buruk haruslah dikenai sanksi tanpa diskriminasi. Yang terlibat
pelanggaran hukum atau tindak pidana haruslah diproses sesuai dengan ketentuan hukum.
Yang melanggar aturan dan prosedur dikenai sanksi administrasi dan disiplin.

Kedua, pembenahan birokrasi juga menyangkut restrukturisasi agar lebih efisien,


termasuk cara kerja, disiplin, perilaku yang lebih terbuka dan bertanggung jawab. Penataan
kembali ini mengubah watak. Jika sebelumnya sebagai perintang, beralih sebagai pelayanan
untuk publik.

Ketiga, operasional dalam birokrasi perlu dikerangkakan dengan suatu program agar
pelaksananya mempunyai pegangan untuk mengelola berbagai aktivitas kerja dalam mencapai
tujuan pelayanan, konsistensi kerja, dan peningkatan etika profesionalisme. Dengan program,
setidaknya setiap pelaksana diingatkan tentang rencana dan tujuan yang hendak dicapai.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Permasalahan seputar birokrasi bukan merupakan hal baru di negeri ini. Namun,
faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembentukannya baru menjadi isu utama
belakangan ini. Menjaga kedaulatan negara bukan sekadar dengan mempertahankan wilayah
teritorial, tetapi juga dengan menunjukkan harga diri bangsa melalui penolakan terhadap
pengaruh-pengaruh asing dalam pembentukan kebijakan yang dapat merugikan proses
pembaruan hukum di Tanah Air.

Tidak diragukan lagi, saat ini, banyak pemikir di bidang hukum yang berada di jajaran
pemerintahan. Persoalannya bukan lagi mampu atau tidak mampu, tetapi mau atau tidak mau.
Kemauan yang keras dari para birokrat dibantu oleh para pemikir hukum terbaik bangsa
sangat dibutuhkan dalam rangka reformasi berbagai kebijakan, terutama di bidang hukum
atau yang menyangkut kepentingan masyarakat. Hal ini juga untuk menghindari masuknya
pengaruh eksternal yang berpotensi memberikan akibat negatif bagi bangsa dan negara.

B. Saran

• Perlu adanya pembelajaran mengenai etika administrasi yang dibahas dalam


hubungannya dengan masalah tujuan dan cara yang diperlakukan dalam lingkungan
birokrasi. Etika administrasi dimaksudkan untuk mendorong agar birokrat
menampilkan perilaku yang benar dan berguna.

• Studi Perbandingan dan Pengembangan, usaha pengembangan/pelembagaan


organisasi adalah suatu usaha untuk memperbaiki efektivitas dan kesehatan organisasi
dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan perilaku. Pengembangan/ pelembagaan
organisasi dipandang sebagai analisis segi kemanusiaan dalam seluruh kehidupan
organisasi. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks mendorong tumbuhnya
studi administrasi terhadap bidang-bidang khusus. Tujuannya adalah untuk lebih
meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi.

DAFTAR PUSTAKA
• Soedjatmoko, 1986. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: Cetakan III.

LP3ES

• Masyarakat Transparansi Indonesia.

http://www.transparansi.or.id/good_governance/prinsip.html

• Blau, M Peter dan M. W. Meyer. 1987. Birokrasi Masyarakat Modern, Edisi Kedua,

Alih Bahasa Gary Rachman Jusuf, UI-Press, Jakarta.

• Surie.H.G. 1987. Ilmu Administrasi Negara : Suatu Bacaan Pengantar, Gramedia,

Jakarta.

• http://www.docstoc.com/docs/24568568/Reformasi-Birokrasi-di-Lingkungan-

Pemerintah-Daerah

Anda mungkin juga menyukai