Oleh:
Fauzan Khoirul Rojab
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia – Administrasi Pendidikan
fauzankhoirul2708@upi.edu : khoirulrojab27@gmail.com
087720001158
Abstrck
Abstrak
Pendahuluan
Salah satu harapan masyarakat yang sangat penting dengan adanya gerakan
reformasi adalah perubahan mendasar dari segi paradigma, struktur, dan kultur
penyelengaraan pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah.Gerakan reformasi
diharapkan dapat menemukan ide dan cara baru dalam menata dan mendesain
pelaksanaan pemerintahan kearah yang lebih baik untuk mewujudkan pemerintahan
untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada masyarakat, sehingga
mereka dapat merasakan langsung dampak dari program dan layanan pemerintah.
Selain itu, kebijakan era desentralisasi Sistem tata kelola mendorong pemerintah
daerah untuk merancang dan melaksanakan layanan yang disesuaikan dengan
kondisi geografis dan demografis mereka, sehingga mendorong inovasi dan
kreativitas.
Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah,
melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan
memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan
konotasinya hanya pada aspek administratif saja.Kedua, semakin menguatnya pola
pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah
pusat. Meski hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan,
namun hal ini akan semakin mempersempit keleluasaan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa
telah terjadi titik balik desentralisasi.
Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No.
41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya
kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan
sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena
pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali
perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004 melalui UU yang baru, yaitu
UU No. 23 Tahun 2014.
Dalam teori ini kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik dilandaskan pada teori
demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara warga
negara, Dasar teoritis kebijakan pelayanan publik yang ideal menurut paradigma
New Public Service menyarankan adanya sifat responsif terhadap berbagai
kepentingan, nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam kontek ini birokrasi
pemerintah bertugas melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan
warga negara dan kelompok komunitas. Ini mengandung makna bahwa karakter dan
nilai yang terkandung dalam kebijakan pelayanan publik harus berisi preferensi nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka
karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan
masyarakat. Selain dari itu, pelayanan pubik dalam konsep new public service harus
bersifat nondeskriminatif sebagaimana dasar teoritis yang digunakan, yakni teori
demokrasi yang menjamin adanya persamaan di antara warga negara, tanpa
membeda-bedakan asal usul warga negara, kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar
belakang kepartaian. Ini berarti setiap warga negara diperlakukan sama ketika
berhadapan dengan birokrasi publik untuk menerima pelayanan sepanjang syarat-
syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik
dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat
nepotisme dan primordialisme.
Kesimpulan
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan birokrasi di Indonesia belum sesuai
dengan harapan, paling tidak ditunjukkan 6 (enam) hal, yaitu desentralisasi yang
hanya menguntungkan elit serta penguasa lokal, desentralisasi merupakan sebuah
gurita neoliberal, desentralisasi pelayanan publik yang kurang berkarakter,
desentralisasi tanpa efisiensi kelembagaan, desentralisasi menyuburkan korupsi di
daerah, dan desentralisasi fiskal yang semu. Sehubungan dengan itu perlu
dilakukan beberapa melalui perumusan sistem perimbangan keuangan yang
berkeadilan melalui perubahan UndangUndang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah. Selain itu, Menteri Keuangan harus menetapkan desentralisasi fiskal
sebagai prioritas reformasi sector keuangan. Desentralisasi fiskal yang menyeluruh
Daftar Pusaka