Anda di halaman 1dari 6

REFORMASI BIROKRASI DAN PENINGKATAN EFESIENSI KEPUTUSAN

PUBLIK TERHADAP PEMERINTAH DI ERA DESENTRALISASI

Oleh:
Fauzan Khoirul Rojab
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia – Administrasi Pendidikan
fauzankhoirul2708@upi.edu : khoirulrojab27@gmail.com
087720001158

Abstrck

Reformasi birokrasi refers to fundamental changes in the government's


organizational system, management, and human resources to achieve good
governance and improve the effectiveness and efficiency of public administration
The main goal of this reform is to establish good governance with a highly-integrous,
productive, and primely-serving apparatus to enhance public trust It involves
restructuring the government system to be more effective and efficient in delivering
public services The reform also aims to eradicate corrupt practices, enhance the
quality of public services, and strengthen the supervisory functions of government
institutions.
Desentralisasi involves the transfer of responsibilities, authorities, and resources
from the central government to lower levels of government This initiative aims to
bring decision-making processes closer to the community, allowing them to directly
experience the impact of government programs and services Furthermore, the
decentralized governance system encourages local governments to design and
implement services tailored to their geographical and demographic conditions,
fostering innovation and creativity.

Keyword : Bureaucratic Reform, Decentralization, Policy, Improvement

Abstrak

Reformasi birokrasi mengacu pada perubahan mendasar pada sistem organisasi,


manajemen, dan sumber daya manusia pemerintahan untuk mencapai tata kelola
pemerintahan yang baik dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi
publik. Tujuan utama reformasi ini adalah mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dengan sistem yang sangat terintegrasi, produktif, dan Aparat yang
bertugas utama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Hal ini mencakup
restrukturisasi sistem pemerintahan agar lebih efektif dan efisien dalam memberikan

FAUZAN KHOIRUL ROJAB


pelayanan publik. Reformasi juga bertujuan untuk memberantas praktik korupsi,
meningkatkan kualitas layanan publik, dan memperkuat fungsi pengawasan
lembaga-lembaga pemerintah.
Desentralisasi melibatkan pengalihan tanggung jawab, wewenang, dan sumber
daya dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Inisiatif ini
bertujuan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada masyarakat,
sehingga mereka dapat merasakan langsung dampak dari program dan layanan
pemerintah. Selain itu, desentralisasi Sistem tata kelola mendorong pemerintah
daerah untuk merancang dan melaksanakan layanan yang disesuaikan dengan
kondisi geografis dan demografis mereka, sehingga mendorong inovasi dan
kreativitas.

Kata Kunci : Reformasi Birokrasi, Desentralisasi, Kebijakan, Peningkatan

Pendahuluan
Salah satu harapan masyarakat yang sangat penting dengan adanya gerakan
reformasi adalah perubahan mendasar dari segi paradigma, struktur, dan kultur
penyelengaraan pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah.Gerakan reformasi
diharapkan dapat menemukan ide dan cara baru dalam menata dan mendesain
pelaksanaan pemerintahan kearah yang lebih baik untuk mewujudkan pemerintahan
untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada masyarakat, sehingga
mereka dapat merasakan langsung dampak dari program dan layanan pemerintah.
Selain itu, kebijakan era desentralisasi Sistem tata kelola mendorong pemerintah
daerah untuk merancang dan melaksanakan layanan yang disesuaikan dengan
kondisi geografis dan demografis mereka, sehingga mendorong inovasi dan
kreativitas.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk merespon harapan dan dinamika


kehidupan masyarakat dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan era
desentralisasi adalah menetapkan kebijakan otonomi dalam pelaksanaan
pemerintah daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undangundang No.
3 tahun 2005 dan Undang-undang No. 12 Tahun 2008. Keberadaan undang -
undang ini memberikan kewenangan yang besar pada daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri dan menawarkan berbagai kemungkinan untuk
menerapkan paradigma baru dalam menata sistem pemerintahan daerah dan
menemukan cara-cara baru dalam menjalankan birokrasi publik dengan efisien,
efektif, responsif, transparan dan akuntabel sesuai kebutuhan masyarakat.

Daerah diharapkan dapat mengembangkan kehidupan demokrasi, meningkatkan


peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat serta memelihara nilai-nilai
keanekaragaman daerah sehingga pada akhirnya pemerintah daerah dapat
menentukan disain dan model birokrasi publik yang tepat untuk merespon tuntutan,
aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Prinsip otonomi yang terkandung
dalam semangat Undang-undang No. 32 tahun 2005 tersebut memberikan peluang
yang sangat terbuka bagi perwujudan good local governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

FAUZAN KHOIRUL ROJAB


Tetapi Gelagat pemerintah untuk menarik kembali desentralisasi (resentralisasi) ini
terlihat dari tidak seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan yang muncul
dalam penyelenggaraan desentralisasi, misalnya menyangkut koordinasi antar
pemerintahan daerah, yang mengakibatkan disharmonisasi hubungan antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan Provinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota berjalan
sendiri-sendiri dan tidak lagi “patuh” pada provinsi, karena ia merasa bukan lagi
menjadi bawahan dari Gubernur. Kondisi ini dibiarkan saja oleh pemerintah pusat,
bahkan justru dijadikan sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa penyelenggaraan
desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 telah mengalami
kegagalan.Sehingga kehendak untuk mervisi UU tersebut cukup mendapatkan
alasan pembenarnya. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan bisa
dikatakan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan kemudian UU No. 12 Tahun
2008. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan
untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan
pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih secara
langsung oleh rakyat. Namun jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan
beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah,
sehingga UU tersebut diganti lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014.

Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah,
melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan
memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan
konotasinya hanya pada aspek administratif saja.Kedua, semakin menguatnya pola
pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah
pusat. Meski hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan,
namun hal ini akan semakin mempersempit keleluasaan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa
telah terjadi titik balik desentralisasi.

Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No.
41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya
kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan
sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena
pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali
perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004 melalui UU yang baru, yaitu
UU No. 23 Tahun 2014.

Sebenarnya apa yang salah dengan desentalisasi di Indonesia?, sistemnya?, sudah


baik, karena seperti tadi yang disebutkan diatas, dorongan desentralisasi di
Indonesia salah satunya adalah tuntutan dari negara donor yang memang sedang
menggiatkan kampanye ‘desentralisasi’ ini ke negara-negara berkembang. Oleh
karenanya, sistem desentralisasi, baik itu dari segi penyerahan kewenangan,
penyerahan keuangan, maupun perangkat yang lainnya yang di establish di
Indonesia, sudah sesuai dengan path yang ada di negara-negara berkembang. Lalu
kenapa gaung desentralisasi sepertinya kurang mendapat tempat dihati sebagian
orang? Apakah itu berarti implementasi desentralisasi di Indonesia sudah gagal?

FAUZAN KHOIRUL ROJAB


Sebenarnya kita tetap harus optimis dengan sistem yang sekarang sedang
diusahakan oleh Pemerintah, walau tidak bisa dibilang sebagai sistem yang ideal.
Dari beberapa segi, Pemerintah telah berhasil mentrasfer informasi kepada
publik,dan ini merupakan sebuah terobosan yang baik dalam sebuah proses
pembangunan. Proses komunikasi yang harmonis dan sinergis antara masyarakat
dan pemerintah merupakan sebuah tonggak utama keberhasilan sebuah
pelaksanaan demokrasi, yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk desentralisasi
tadi.

Meskipun demikian dalam kenyataannya birokrasi pemerintahan daerah masih


menunjukkan kesan negatif disebabkan karena birokrasi selama ini kurang
merespon keinginan warga masyarakat. Birokrasi yang selama ini bekerja lambat,
sangat berhati-hati dan cara kerjanya sulit diterima oleh masyarakat yang
memerlukan layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana. Menurut S.H.
Sarundajang (2005) ada sejumlah kelemahan birokrasi dihadapi pada pemerintahan
daerah yaitu; 1). Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-masing
Pemda hanya sekedar menampung personil dalam suatu jabatan struktural; 2)
partisipasi masyarakat masih rendah, 3) transparansi belum berjalan, 4) mekanisme
kerja dan pembagian tugas yang tumpang tindih menyulitkan kalangan internal dan
masyarakat dalam berurusan dengan pemda, 5) politisasi PNS masih menggejala,
6) sistem karir tidak sehat membuat persaingan tidak sehat, 7) belum siapnya
aparatur birokrasi menghadapi tuntutan perubahan. Untuk meningkatkan mengatasi
berbagai permasalahan serta meningkatkan pelayanan masyarakat diperlukan
reformasi birokrasi sehingga dapat menghasilkan birokrasi profesional dan ramping
yang bebas hambatan.

Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah


Reformasi birokrasi pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan. Hal ini
bukan saja merupakan aspirasi tetapi juga tuntutan masyarakat pada era reformasi.
Kesan masyarakat terhadap birokrasi di negara manapun di dunia ini pada
umumnya negatif. Oleh karena itu masyarakat berusaha menghindar dari urusan
birokrasi, walaupun harus berurusan dengannya, maka lakukanlah sedikit mungkin
( Budi Setiyono, 2012). Salah satu alasan perlunya reformasi birokrasi pemerintahan
pusat dan daerah karena nilai capaian kinerja birokrasi masih mengecewakan.
Menurut hasil survey Agus Dwiyanto, dkk (2006) terungkap bahwa birokrasi belum
mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas, dan efisiensi dalam pelayanan publik.
Reformasi birokrasi menurut Taufiq Effendi (2007) meliputi beberapa aspek yaitu; (1)
perubahan mind-set, cara berpikir yang mencakup pola pikir, pola sikap, dan pola
tindak; (2) perubahan penguasa menjadi pelayan (3) mendahulukan peranan dari
pada wewenang; (3) tidak berpikir output, tetapi outcome; (4) perubahan manajemen
kinerja; dan (5) pemantauan percontohan keberhasilan (best practices); dalam
mewujudkan good governance, clean government (pemerintah bersih), transparan,
akuntabel, dan profesional, dan bebas KKN; dan (6) penerapan formula “Bermula
Dari Akhir Dan Berakhir Di Awal”. Untuk mewujudkan reformasi birokrasi pada
pemerintahan daerah maka pemerintah daerah harus mempedomani kebijakan
pemerintah yang dituangkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 81 tahun 2010. Tujuan reformasi
birokrasi menurut Grand Design tersebut adalah menciptakan birokrasi
pemerintahan yang professional dengan karakter adaftif, berintegritas, berkinerja

FAUZAN KHOIRUL ROJAB


tinggi, bersih dan bebas dari KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera,
berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Reformasi Pelayanan Publik


Pelayanan publik merupakan hal penting untuk mengetahui kinerja pemerintah.
Pelayanan publik dapat dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja pemerintah
secara nyata. Masyarakat dapat menilai langsung kinerja pemerintah sesuai dengan
pelayanan yang diterimanya. Karena itu kualitas pelayanan publik di semua
kementerian/lembaga adalah suatu yang mendasar yang harus segera ditingkatkan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 disebutkan bahwa pelayanan prima
adalah pelayanan yang cepat, mudah, pasti, murah, dan akuntabel. Untuk
meningkatkan pelayanan publik, perlu dilakukan berbagai upaya diantaranya
melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan, penyusunan standar
pelayanan, pelaksanaan survei kepuasan pelayanan publik, serta penyampaian
keluhan, pengaduan dan apresiasi. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat ini akan
mendukung penyempurnaan standar pelayanan yang telah ditetapkan Miftah Thoha,
2010).

Dalam teori ini kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik dilandaskan pada teori
demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara warga
negara, Dasar teoritis kebijakan pelayanan publik yang ideal menurut paradigma
New Public Service menyarankan adanya sifat responsif terhadap berbagai
kepentingan, nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam kontek ini birokrasi
pemerintah bertugas melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan
warga negara dan kelompok komunitas. Ini mengandung makna bahwa karakter dan
nilai yang terkandung dalam kebijakan pelayanan publik harus berisi preferensi nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka
karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan
masyarakat. Selain dari itu, pelayanan pubik dalam konsep new public service harus
bersifat nondeskriminatif sebagaimana dasar teoritis yang digunakan, yakni teori
demokrasi yang menjamin adanya persamaan di antara warga negara, tanpa
membeda-bedakan asal usul warga negara, kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar
belakang kepartaian. Ini berarti setiap warga negara diperlakukan sama ketika
berhadapan dengan birokrasi publik untuk menerima pelayanan sepanjang syarat-
syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik
dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat
nepotisme dan primordialisme.

Kesimpulan
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan birokrasi di Indonesia belum sesuai
dengan harapan, paling tidak ditunjukkan 6 (enam) hal, yaitu desentralisasi yang
hanya menguntungkan elit serta penguasa lokal, desentralisasi merupakan sebuah
gurita neoliberal, desentralisasi pelayanan publik yang kurang berkarakter,
desentralisasi tanpa efisiensi kelembagaan, desentralisasi menyuburkan korupsi di
daerah, dan desentralisasi fiskal yang semu. Sehubungan dengan itu perlu
dilakukan beberapa melalui perumusan sistem perimbangan keuangan yang
berkeadilan melalui perubahan UndangUndang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah. Selain itu, Menteri Keuangan harus menetapkan desentralisasi fiskal
sebagai prioritas reformasi sector keuangan. Desentralisasi fiskal yang menyeluruh

FAUZAN KHOIRUL ROJAB


dan berkeadilan harus dijadikan instrumen penggunaan belanja Negara dalam
mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan ini, Menteri Keuangan perlu menertibkan
dana-dana liar yang mengucur ke daerah yang tidak sesuai dengan azas
perimbangan keuangan, karena akan hanya akan dijadikan ajang garapan para calo
anggaran antara elit DPR, Pemerintah dan Pemerintah Daerah; serta merumuskan
sistem perimbangan keuangan yang berkeadilan dengan mengajukan perubahan
UU perimbangan Keuangan Pusat Daerah dengan memberikan kewenangan fiskal
yang lebih luas dan alokasi yang lebih besar.

Daftar Pusaka

Kardin M. Simanjuntak (2015) IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI


PEMERINTAHAN DI INDONESIA
(https://jurnal.kemendagri.go.id/index.php/jbp/article/view/38/35)

M. Fachri Adnan (2013) REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH


DALAM UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK
(https://ejournal.unp.ac.id/index.php/humanus/article/download/4038/3222)

FAUZAN KHOIRUL ROJAB

Anda mungkin juga menyukai