Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan
daerah dalam pengelolaan sumberdaya ekonominya secara
efisien untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.1
Dalam

era

reformasi

sebagai

respon

dari

tuntutan

penerapan desentralisasi pemerintahan, dikeluarkanlah UU No.22


Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Tahun 1999.
Kedua

Undang-Undang

tersebut

merupakan

implementasi

reformasi sistem pemerintahan di Indonesia terutama dalam


mengelola hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah dan
juga merupakan landasan hukum penerapan sistem otonomi
daerah di Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan yang
menggeser dominasi penyelenggaraan kepemerintahan dari
pusat ke daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999, otonomi
1 Irma Kusumawardani, dkk, kinerja dan kemandirian keuangan daerah kabupaten ciamis dan
kabupaten tasikmalaya tahun 2005 dan 2006 dalam EKO-REGIONAL, Vol.3, No.1, Maret 2008,
h.1

daerah dititik beratkan pada daerah kabupaten dan kota sebagai


daerah otonom dan tidak dirangkap dengan wilayah administrasi.
UU Nomor 22 tahun 1999 meningkatkan efektifitas kontrol
legislatif terhadap eksekutif begitu ketat sehingga peluang
penyelewengan kekuasaan eksekutif makin sempit, sedangkan
UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
pemerintah

daerah

makin

diperluas,

kewenangan

khususnya

dalam

penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure).


Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, sistem kebijakan
fiskal menyangkut transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah, yaitu berbentuk Sumbangan Daerah Otonom (SDO) dan
INPRES. Sedangkan saat ini menurut UU Nomor 25 tahun 1999,
penerimaan daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang umumnya bersumber
dari pajak daerah, retribusi dan laba BUMD
b. Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana BPHTB, Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
c. Pinjaman Daerah
Ketetapan

MPR

RI

Nomor

IV/MPR/2000

tentang

rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah,


memungkinkan sebuah perbaikan dari undang-undang tersebut
dengan menerbitkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU. No 33Tahun
2004, yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004.

Tujuan

umum

daerah/desentralisasi

dari
ini

kebijakan

otonomi

adalah memberi peluang dan

kesempatan bagi terwujudnya pemerintah yang baik dan bersih


(clean

and

good

governance)

di

daerah,

yang

berarti

pelaksanaan tugas pemerintah daerah harus didasarkan atas


prinsip : efektif, efisien, terbuka, dan akuntabel.
Dengan

adanya

undang-undang

tersebut,

maka

pelimpahan atau pemberian sebagian wewenang pemerintah


pusat

kepada

daerah

kabupaten/kota,

bertujuan

untuk

pemberdayaan pemerintah daerah agar fungsi dari organisasi


pemerintahan (organisasi publik) menjadi lebih efisien dan
efektif,

yaitu

dengan

mendekatkan

diri

dan

mendekati

kebutuhan/pelayanan masyarakat lokal.


Kebijakan otonomi daerah meliputi berbagai aspek, salah
satunya adalah aspek ekonomi yang berkaitan dengan dukungan
sumberdaya (resources) yang memadai dan cukup agar otonomi
tersebut

dapat

desentralisasi

berhasil.

fiskal,

yang

Untuk

itu

tujuannya

dilakukan
adalah

kebijakan

meningkatkan

efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan publik


dan sebagai langkah untuk mendukung dan meningkatkan
kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan
otonomi yang dapat berimplikasi langsung dan berpengaruh
terhadap keuangan daerah (APBD).

Pemerintahan Desa yang merupakan sistem pemerintahan


yang terbawah di dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, juga mengalami reformasi dalam era otonomi
daerah ini. Dalam UU No.22 Tahun 1999 ditegaskan bahwa desa
tidak

lagi

merupakan

pemerintahan

desa

penyelenggaraan

wilayah
adalah

pemerintahan di

administratif.
subsistem

Kedudukan
dari

Indonesia, sehingga

sistem
desa

memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur


dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Berbeda
dengan UU No.5 Tahun 1979 yang sama sekali tidak memberikan
hak

kepada

pemerintahan

desa

atau

kepala

desa

untuk

menyelenggarakan pemerintahan desa.


Kedudukan pemerintahan Desa diperkuat lagi dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI No.72 Tahun 2005
tentang Desa, yang menyatakan bahwa Desa (atau dengan
sebutan lain) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa
tersebut adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Landasan pemikiran

tersebut merupakan wujud pemberian dukungan dan dorongan


kepada desa dalam rangka meningkatkan peran sertanya dalam
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah di Indonesia dan juga
mencerminkan
pemerintahan

Pemerintah
terkecil

Desa

dan

sebagai

terdekat

kesatuan

dengan

masyarakat

yang dipandang memiliki kedudukan yang sangat strategis serta


sekaligus

diharapkan

dapat

meningkatkan

pelayanan

dan

pemberdayaan masyarakat secara langsung dan cepat. Ini


sejalan dengan teori new public goverment NPM sebagaimana
yang dikatakan Thoha : Untuk lebih mewujudkan konsep New
Public

Management

diupayakan

agar

(NPM)

para

dalam

birokrasi

publik,

maka

pemimpin

birokrasi

meningkatkan

produktivitas dan menentukan alternatif cara-cara pelayan publik


berdasarkan

perspektif

memperbaiki

dan

pelanggan,

ekonomi.

mewujudkan

meningkatkan

Mereka

akuntabilitas

kinerja,

didorong
publik

restrukturisasi

untuk
kepada

lembaga

birokrasi publik, merumuskan kembali misi organisasi, melakukan


streamlining proses dan prosedur birokrasi, dan melakukan
desentralisasi proses pengambilan kebijakan.2
Dengan
Desa

kedudukannya

berupaya

tersebut,

melakukan

saatnya

pembenahan

pemerintah

menuju

arah

kemandirian desa. Pasal 215 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 pun
2 Parulian Hutapea dan Nurianna Thoha, Kompetensi Plus (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2008) hal.75

secara

tegas

menyebutkan

bahwa

pembangunan

kawasan

pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak


ketiga, harus mengikutsertakan pemerintah

desa

dan

badan

permusyawaratan desa. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi


desa

telah

didudukkan

sebagai

komponen

pelaksana

pembangunan yang sangat penting.


Keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Berdasarkan ketentuan ini Desa diberi pengertian sebagai
kesatuan
wilayah

masyarakat
yang

hukum

berwenang

yang

untuk

memiliki batas-batas

mengatur

dan

mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan


adat istiadat setempat

yang

diakui

dan

dihormati

dalam

sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pemahaman Desa di atas menempatkan Desa sebagai
suatu organisasi pemerintahan

yang secara politis memiliki

kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau


komunitasnya. Dengan posisi tersebut desa memiliki peran yang
sangat penting dalam menunjang kesuksesan Pemerintahan
Nasional secara luas. Desa menjadi garda terdepan dalam
menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari
Pemerintah. Hal ini juga sejalan apabila dikaitkan

dengan

komposisi

penduduk

Indonesia menurut sensus terakhir pada

tahun 2015 bahwa sekitar 46,7 % atau sebagian besar penduduk


Indonesia

saat

ini

masih

bertempat

tinggal

di

kawasan

permukiman pedesaan.3 Maka menjadi sangat logis apabila


pembangunan desa menjadi prioritas utama bagi kesuksesan
pembangunan nasional. Sebagaimana yang dikatakan Hatty Suat
: Dalam upaya membangun kembali kepercayaan ini, dilakukan
pengurangan besar- besaran akan kewenangan pusat dan
birokrasi yang sentralistik, yang terbukti tidak memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap realitas ekonomi dan
harapan dan kebutuhan masyarakat. Jalan yang paling banyak
ditempuh adalah memperkenalkan desentralisasi dan privatisasi,
yang merubah peran negara dan melimpahkan kekuasaannya
pada

pemerintah

daerah,

sektor

swasta

dan

masyarakat

madani.4
Agar dapat melaksanakan perannya dalam mengatur dan
mengurus

komunitasnya,

Peraturan

Pemerintah

desa

berdasarkan

ketentuan

Nomor 72 tahun 2005, diberikan

kewenangan yang mencakup:


1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
asal usul desa;

3 https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1276
4 Hatty Suat, Paradigma Baru Administrasi Publik dalam Menghadapi Pengaruh Globalisasi
terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan (Suatu Tinjauan dalam Pelayanan Publik), (Populis,
Volume 8 No. 2 O ktober 2014) hal.103.

2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


kabupaten/kota
yang
diserahkan
pengaturannya
kepada desa;
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Sebagai

konsekuensi

logis

adanya

kewenangan

dan

tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya


dana yang cukup. Pembiayaan atau keuangan merupakan faktor
essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa,
sebagaimana
Sejalan

dengan

autonomy
mengatur

juga pada penyelenggaraan


yang

indentik dengan

dan

membutuhkan

pendapat

mengurus
dana

atau

otonomi daerah.

mengatakan

bahwa

auto money, maka untuk

rumah
biaya

tangganya
yang

sendiri

memadai

desa

sebagai

dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.5


Sumber pendapatan desa berdasarkan pasal 212 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Desa, meliputi :
1) hasil usaha desa;
2) hasil kekayaan desa;
3) hasil swadaya dan partisipasi;
4) hasil gotong royong;
5) lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
b. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota;
5 Sadu Wasistiono dan Tahir Irwan, Prospek Pengembangan Desa. (Bandung : Fokus Media,
2006), hlm. 26

d. Bantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan


Pemerintah kabupaten/Kota;
e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
Lebih lanjut pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72
tahun

2005 menyebutkan bahwa sumber pendapatan desa

terdiri atas:
1. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil
kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil
gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang
sah;
2. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi
Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa
paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang
pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional
yang merupakan alokasi dana desa;
4. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
dalam
rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan;
5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak
mengikat.
Ketentuan
Pemerintah
perimbangan

pasal

tersebut

Kabupaten
yang

diterima

mengamanatkan

untuk

mengalokasikan

Kabupaten

kepada

kepada
dana

Desa-desa

dengan memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya


pemerataan.
Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa
yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang
anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan

sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa


seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya
dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan
asli desa yang sah.
Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling
sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi
Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%,
yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang
merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Pemerintah Kabupatenlah
yang berkewajiban untuk merumuskan dan membuat peraturan
daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari
kewenangan

fiskal

desa

untuk

mengatur

dan

mengelola

keuangannya. Pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan


keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota

dalam

rangka

pelaksanaan

urusan

pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga


yang tidak mengikat. Selanjutnya regulasi juga membolehkan
desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan
kebutuhan dan potensi desa.
Pengalokasian dana desa di Kecamatan Cikeusal adalah
merupakan salah satu upaya kongkrit Pemerintah Kabupaten

Serang

dalam

penyelenggaraan

rangka

untuk

pemerintahan

mendukung
desa

dan

pelaksanaan
pemberdayaan

masyarakat desa dalam pembangunan daerah. Implementor


kebijakan alokasi dana desa adalah Tim Pendamping tingkat
Kabupaten,

Tim

Pendamping

tingkat

Kecamatan

dan

Tim

Pelaksana Desa.
Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan
dan

diharapkan

menjadi

mandiri

dan

berdikari.

Apalagi

bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui Alokasi


Dana Desa (ADD) harusnya menjadikan desa benar-benar
sejahtera. Kenyataannya, Alokasi Dana Desa yang telah berjalan
selama ini belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
konsep

pemberdayaan

yang

ingin

diterapkan

belumlah

maksimal, kebijakan alokasi dana desa belum menyentuh semua


aspek keidupan masyarakat, sehingga yang terjadi adalah
masyarakat

belum

bisa

merasakan

kebijakan

dari

pengimplementasian Alokasi Dana Desa tersebut.


Penulis
Pengelolaan
bernama

melakukan
Keuangan

Jamaludin,

wawancara

wilayang
mengenai

dengan

Kecamatan
Alokasi

ketua

Unit

Cikeusal

yang

Dana

Desa

dan

pemberdayaan masyarakat:
Kondisi desa-desa di Kecamatan Cikeusal yang Pendapatan
Aslinya sangat rendah sangat terbantu dengan adanya
ADD sehingga dibandingkan sebelum adanya ADD terdapat

peningkatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan


kemasyarakatan dan sekarang ini desa-desa di wilayah
Kecamatan Cikeusal dapat sedikit bernafas lega karena
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan dapat tercukupi dengan adanya
ADD, meski dana tersebut belum dapat mencukupi
semua kebutuhan desa yang ada, memang kita akui bahwa
partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan
ADD
rendah, tapi saya tidak tahu kenapa ketika masyarakat
diajak berpartisipasi dalam kegiatan ADD susah padahal
untuk kegiatan lain mereka sangat mendukung..............
(Wawancara tanggal 16 Agustus 2016 ).
Bapak Suwirya (salah satu tokoh masyarakat di wilayanh
Kecamatan Cikeusal dan pernah menjabat menjadi Ketua PGRI
Kecamatan Cikeusal) berkata:
Sebanarnya saya sebagai masyarakat sangat senang
dengan adanya ADD karena kebutuhan rutin desa dapat
terbantu, coba bayangkan jika tidak ada ADD kami susah
mencari dana desa biaya untuk rutin lebih-lebih untuk
pembangunan, banyak perkembangan desa sekarang,
sekarang desa sudah semakin maju secara infrastruktur,
banyak jalan desa yang sudah dibangun, akan tetapi ada
yang saya kurang sreg dengan pengimplementasian ADD
ini, contoh BPD dan lembaga desa lainnya dalam
musyawarah penggunaan ADD lebih banyak sebagai
pendengar karena lebih banyak disusun oleh Kepala Desa.
(Wawancara tanggal 18 Agustus 2016 )

Implementasi

kebijakan

Alokasi

Dana

Desa

terhadap

Pemberdayaan masyarakat sangat tergantung kepada aparatur


desa,

karena

merekalah

yang

terlibat

langsung

untuk

menjalankan program pemerintah ini. Jalan tidaknya, maju


mundurnya

program

ADD

aparatur

desalah

yang

sangat

bertanggung jawab, karena ADD bertujuan membentuk individu


dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang
mereka lakukan tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri apa yang
sesungguhnya dimaknai sebagai suatu masyarakat yang mandiri.
Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang
dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk
memikirkan,

memutuskan

serta

melakukan

sesuatu

yang

dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah


yang dihadapi dengan mempergunakan daya dan kemampuan
yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik,
dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan
internal masyarakat tersebut, dengan demikian untuk menuju
mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya
manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik
dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisikmaterial.
Didalam Penelitian dengan sasaran masyarakat yang lazim
tinggal di permukiman kampung agak sulit didekati dengan caracara

penelitian

penelitian

yang

konvensional,
mampu

Sehingga

memberikan

diperlukan

metode

kesempatan

kepada

masyarakat yang menjadi kelompok sasaran untuk memberikan


mengungkapkan informasi dan aspirasi (dengan menggunakan

media/simbol, tulisan, gambar, diagram, foto benda-benda di


sekitarnya) sehingga diperoleh informasi yang lengkap dan
holistik. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk kegiatan
tersebut adalah Participatory Action Research (PAR)
Prinsipnya, Participatory Action Research (PAR) adalah
istilah yang memuat seperangkat asumsi yang mendasari
paradigma baru ilmu pengetahuan dan bertentangan dengan
paradigm pengetahuan tradisional atau kuno. Asumsi-asumsi
baru tersebut menggaris bawahi arti penting proses social dan
kolektif dalam mencapai kesimpulan-kesimpulan mengenai apa
kasus yang sedang terjadi dan apa implikasi perubahannya
yang dipandang berguna oleh orang-orang yang berbeda pada
situasi problematis, dalam mengantarkan untuk melakukan
penelitian awal.6
Pada

dasarnya,

melibatkan

secara

(stakeholders)
berlangsung

PAR

aktif

dalam
(dimana

merupakan

semua

penelitian

pihak-pihak

yang

yang
relevan

mengkaji

tindakan

yang

sedang

pengalaman

mereka

sendiri

sebagai

persoalan) dalam rangka melakukan perubahan dan perbaikan ke


arah yang lebih baik. Untuk itu, mereka harus melakukan refleksi
kritis

terhadap

geografis,

dan

konteks
konteks

sejarah,
lain-lain

politik,
terkait.

budaya,
Yang

ekonomi,
mendasari

6 Agus afandi, dkk, Modul Participatory Action Reseacrh (PAR) (IAIN Sunan Ampel Surabaya:
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) 2013) hal. 41

dilakukannya PAR adalah kebutuhan kita untuk mendapatkan


perubahan yang diinginkan.7
Berdasarkan
penulis

bergerak

kebijakan

latar

belakang

untuk

Alokasi

meneliti

Dana

Desa

masalah

tersebut,

mengenai
terhadap

maka

implementasi
pemberdayaan

masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Cikeusal Kabupaten


Serang dengan menggunakan pendekatan penelitian PAR. Karena
PAR bisa mengungkapkan apa yang belum terungkap dan bisa
menangkap permasalahan dimasyarakat secara komprehensif.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan
masalah

uraian-uraian

tersebut,

implementasi

Alokasi

dapat
Dana

dalam

diidentifikasi
Desa

terhadap

latar

belakang

masalah

dalam

pemberdayaan

masyarakat kecamatan cikeusal kabupaten serang, yaitu :


1. Masih tingginya prosentase Alokasi Dana Desa sebagai salah
satu sumber pendapatan desa.
2. Belum difungsikannya lembaga-lembaga kemasyaratan desa
baik

dalam

perencanaan,

pelaksanaan

maupun

dalam

evaluasi Alokasi Dana Desa.


3. Rendahnya partisipasi, dan perhatian masyarakat dalam
mengkritisi Alokasi Dana Desa.

7 Ibid. hal. 41-42

4. Belum adanya dampak signifikan dari implementasi ADD


terhadap pemberdayaan masyarakat wilayang Kecamatan
Cikeusal.
5. Kurang tertibnya administrasi kegiatan yang dibiayai dari
Bantuan Langsung ADD (Alokasi Dana Desa) seperti pelaporan
ADD yang cenderung tidak transparan, penyaluran dana desa
yang tidak tepat sasaran
C. PERUMUSAN MASALAH
Selanjutnya berdasar identifikasi masalah dalam implementasi
Alokasi Dana Desa dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
1. Apakah pengimplementasian Alokasi Dana Desa terhadap
pemberdayaan

masyarakat

di

Kecamatan

Cikeusal

Kabupaten Serang sudah berhasil?


2. Bagaimana caranya agar pengimplementasian Alokasi
Dana

Desa

terhadap

pemberdayaan

masyarakat

di

Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang bisa berhasil?


3. Mengapa pengimplementasian Alokasi Dana Desa terhadap
pemberdayaan

masyarakat

di

Kecamatan

Cikeusal

Kabupaten Serang kurang berhasil?


D. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Memberikan gambaran pelaksanaan Alokasi Dana Desa
di Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang.

2. Mengidentifikasikan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

implementasi Alokasi Dana Desa terhadap pemberdayaan


masyarakat di Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang.

E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini antara lain:
1. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan akan
memberikan

masukan

pada

pihak-pihak

yang

berkepentingan untuk mengambil keputusan dalam


permasalahan Alokasi Dana Desa serupa, sebagai bahan
kajian bagi pihak yang terkait dengan kebijakan ini
sehingga

dapat mengoptimalkan keberhasilan dalam

pengalokasian

dana

desa

demi

pemberdayaan

masyarakat.
2. Dari segi keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori
yang

dipelajari,

pengembangan

sehingga

akan

pemahaman,

berguna

dalam

penalaran,

dan

pengalaman penulis, juga berguna bagi pengembangan


ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu sosial, khusunya
ilmu administrasi publik, sehingga dapat dikembangkan
lebih lanjut dalam penelitian-penelitian berikutnya.
3. Memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah
dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa.

Anda mungkin juga menyukai