PENDAHULUAN
BIROKRASI
Dalam hal ini, pemikiran GWF Hegel, Karl Marx, dan Max Weber
sebagai pemikiran klasik mengenai birokrasi akan dibahas di sini. Di tengah
kajian birokrasi yang semakin berkembang menyesuaikan dengan tren
perubahan yang ada, pemikiran klasik tentang birokrasi bukanlah hal yang
sama sekali tidak relevan karena pengamatan yang jeli akan menemukan
betapa banyak mutiara kognitif yang terpendam di dalamnya. Pemikiran
yang dicetuskan oleh ketiga tokoh tersebut banyak merefleksikan problem,
isu, dan keprihatinan tentang birokrasi yang tetap saja bertahan sampai
sekarang. Oleh karenanya, setiap peneliti yang berupaya untuk mengkaji
birokrasi di era kontemporer seyogianya mempunyai bekal pemahaman atas
warisan pemikiran klasik tersebut.
Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian,
yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu.
Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada
metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi
besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan
birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan
antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih
menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha,
2003). Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji
yang berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo,
1983).
Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya
dimaknai sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):
1. Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi
dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap
aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan rasional.
2. Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat
guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya
aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang
bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai
aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
3. Bureaucracy as Organizational Ineficiency
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi.
Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi
waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik
birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi
layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat. Karena itu
4
besar dengan penguasa. Elit politik maupun yang dekat dengan mereka
seringkali mendapat perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan sering berbeda
tergantung pada kedekatan seseorang dengan elit birokrasi maupun elit
politik. Perspektif pelayanan masih ditempatkan pada perspektif kekuasaan.
Hal ini membuat birokrasi khusususnya birokrasi di daerah masih jauh
dengan masyarakat. Birokrasi pada saat ini masih memperlihatkan sikap dan
perilaku birokrasi yang cenderuing mengabaikan aspirasi dan kepentingan
masyarakat.
Hal lain yang dapat ditangkap pada sosok birokrasi pada masa era
otonomi ini adalah mulai terjadinya gejala pengkotak-kotakan birokrasi. Hal
ini dikemukakan bukan tanpa dasar karena dapat kita lihat secara jelas, yaitu
terdapatnya fenomena dukung-mendukung calon baik dalam pemilihan
Kepala Daerah yang sangat kental dengan intrik-intrik politiknya, maupun
pada pengisian jabatan karier dalam birokrasi seperti pengisian Sekretaris
Daerah baik Kabupaten/ Kota maupun Provinsi.
2. Sumber Daya Manusia Aparatur
SDM aparatur saat ini seringkali dikonotasikan dengan SDM yang
memiliki tingkat profesionalitas yang relatif rendah. Kondisi semacam ini
dapat dilihat pada beberapa indikator berikut; kemampuan pelayanan yang
tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan
belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan
tugas sebagaimana diamanatkan. Perlu dicermati adalah dimensi
profesionalitas yang terkait dengan seberapa besar sosok aparatur mampu
melaksanakan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kesejahteraan pegawai
di republik ini diakui banyak pihak relatif masih belum layak. Sistem gaji
pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan
prestasi kerja.
Sistem penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai
dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi.
Saat ini PNS pada tingkat struktural yang sama, pegawai yang memiliki
produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif,
dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki
golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Sistem penggajian
yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan
semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang produktif dan yang
rajin. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan
tindakan yang tidak 'jujur', asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar
dan mencolok, serta asal dapat dipertanggungjawabkan secara semu kepada
badan pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat
ini. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk
dapat memenuhi standar kehidupan yang layak sesuai dengan ”amanat
Undang-Undang 43 Tahun 1999” tentang Perubahan Atas Undang-Undang
12
yang memiliki pegawai yang tidak berimbang antara jumlah pegawai dengan
pekerjaan yang harus dikerjakan dan tidak sesuainya antara jenis pekerjaan
dengan kemampuan dan ketrampilan pegawai.
3. Pelayanan Publik
Salah satu aspek selain belum teraktualisasinya tata kepemrintahan
yang baik serta rendahnya kualitas sumber daya manusia aparatur juga aspek
pelayanan publik merupakan asp, yang sangat mempengaruhi kinerja
birokrasi, sehingga juga dinilai sebagai salah satu indikator buruknya
birokrasi di Indonesia (Bappenas 2004). Pelayanan publik seringkali menjadi
ukuran paling mudah dipahami sejauhmana kinerja pemerintah dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi
penting pemerintah selain regulasi, proteksi, dan distribusi. Pelayanan publik
merupakan proses sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi
pemerintah dijalankan. Bappenas (2004) mensinyalir bahwa ketidakpuasan
terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat
berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya
kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan
birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Fenomena “high cost”
ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan
yang terpaksa diterima.
Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan
level organisasi publik yang memberikan pelayanan. Kondisi ini
menandakan keidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam
menyelenggarakan pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari
optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat dari
sejauhmana kemampuan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang
berujung pada sejauhmana pelayanan publik dapat dijalankan. Artinya
sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel,
demokratis akan berdampak pada sejauhmana pelayanan publik yang akan
dan sudah dilakukan.
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah
melalui UU No. 22 Tahun 1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya
pemerintah untuk lebih meningkatkan pelayanan. Serangkaian pokok aturan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah dinyatakan
dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999. Yaitu:
1. Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa peranan Pemerintah
Daerah dalam pelayanan publik mencakup seluruh bidang
pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain.
2. Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh daerah kebupaten dan daerah kota
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
15
PENUTUP
benar-benar steril dari keberpihakan politik karena tugas dan fungsinya yang
semata memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa dibatasi oleh sekat
apapun
Berkaitan dengan gambaran birokrasi di Indonesia pada masa
reformasi, maka perlu dilakukan beberapa hal diataranya adalah
1. Perlu ada usaha nyata dalam meningkatkan kompotensi SDM
Aparatur yang masih rendah baik melalui outsourcing bagi
supporting office, perbaikan sistem remunerasi, perbaikan sistem
rekrutmen dan sistem karier, serta peningkatan pendidikan dan
pelatihan.
2. Perlu ada penyesuaian dan keseragaman regulasi/kebijakan pusat
dengan daerah dengan menjadikan SANKRI sebagai panduan
pokok.
3. Perlu dilakukan pemisahan akan batas kewenangan antara pusat
dan daerah secara jelas sehingga konsep otonomi dapat dijalankan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Kelompok II