Anda di halaman 1dari 24

0

BIROKRASI PADA ERA REFORMASI DI INDONESIA


MUH. ZAINAL

PENDAHULUAN

Birokrasi dalam era reformasi di Indonesia, sudah menjadi salah satu


isu utama yang bukan saja tentang perlunya birokrasi dalam bentuk efisiensi
pelayanan, tetapi juga transparansi. Hal ini beriringan dengan isu munculnya
proses demokratisasi pemerintah sehingga menjadi keharusan bagi
pemerintah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik. Good
governance kemudian menjadi sebuah imperatif dalam proses demokratisasi,
dan birokrasi harus mengarah pada pemunculan proses yang transparans,
akuntable, dan membuka partisipasi publik .
Usaha pemerintah sebagai sebuah organisasi dan sekaligus institusi
terbesar dalam suatu negara memiliki kewajiban untuk membangun
masyarakat menjadi masyarakat yang sejahtera. Dalam prosesnya tentu
pemerintah membutuhkan suatu sistem yang mumpuni agar mampu
memberikan pelayanan yang maksimal dalam memenuhi keseluruhan barang
dan jasa bagi warga masyarakat. Untuk itu negara mernbangun suatu sistem
administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang
disebut dengan istilah birokrasi.
Meskipun secara normatif, pemerintah memiliki regulasi yang
mengatur tatakerja birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun
dari hasil penyerapan opini dalam masyarakat, ternyata sebagian masyarakat
menilai reformasi birokrasi belum memperlihatkan hasil konkret, alias
reformasi birokrasi masih jalan di tempat. Persoalan yang mengemuka di
anatranya pemerintah, termasuk pemerintah daerah dinilai kurang transparan
dan tidak banyak melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.
Berbagai paradigma teori yang berkembang seputar administrasi
publik yang mengarah kepada pemberian pelayanan yang baik kepada
mayarakat telah berkembang sedemikian rupa mulai dari konsep Birokrasi
sampai pada konsep Reinventing Governance, Good Governance, New
Publik Manajemen dan New publik Service. Kesemuanya merupakan usaha
dari birokrasi pemerintah sebagai suatu instrumen penting dalam masyarakat
sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Birokrasi khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan dierhadapkan
pada mencuatnya kesan sebagai sebuah prosedur yang berbelit-belit,
menyulitkan dan menjengkelkan yang selama ini menjadi persepsi buruk
magi masyarakat yang sudah barang tentu jauh dari prinsip-prinsip philosofis
dari birokrasi itu sendiri. Birokrasi yang secara ideal telah dipahami sebagai
1

keseluruhan upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatur dan


mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib.
Sejak munculnya istilah birokrasi pada awal abad 18 Bureau, di Eropa
Barat secara khusus berarti kekuasaan perkantoran ataupun kepemimpinan
dari strata kepegawaian. Sehingga dari sudut pandang positif birokrasi
menjadi suatu keniscayaan di mana negara sebagai sebuah organisasi besar
harus mampu bekerja secara sistematis dan terstruktur dengan baik untuk
memberikan layanan yang masksimal kepada warga negara. Dalam
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai belahan dunia,
birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Disamping melakukan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan
berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan
berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
secara operasional.
Berdasarkan hal tersebut, dan mengingat urgensi dari birokrasi dalam
suatu tata pemerintahan maka birokrasi disebut sebagai faktor penentu
keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government)
dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governce). Untuk mencapai hal tersebut tentulah tidak mudah, karena
disamping mengusahakan kualitas pelayanan yang maksimal kepada
masyarakat, juga dituntut untuk menciptakan birokrasi yang jauh dari aspek
patologi birokrasi. Disinilah perlunya dilakukan reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi di Era reformasi dilakukan dengan maksud untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki
kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki
kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang
didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta
integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa
mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Reformasi birokrasi pada
hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan
(business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Berdasarkan realitas
tersebut, maka perlu ditelusuri secara lebih mendalam persoalan yang terkait
dengan pelaksanaan birokrasi di Indonesia dan juga terkait dengan usaha
melakukan program reformasi birokrasi di Indonesia dalam rangka
penciptaan rasionalisasi birokrasi untuk efesiensi, efektifitas, dan
produktifitas.
2

BIROKRASI

Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata


Perancis, ‘bureau’, yang berarti “kantor”, dan kata Yunani ‘kratein’ yang
berarti aturan. Sebagai suatu bentuk institusi, birokrasi telah ada sejak
lama. Raison d’etre keberadaannya adalah munculnya masalah-masalah
publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan
kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi.
Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus
diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi
semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di
era modern. Dalam bentuknya yang modern, birokrasi pertama kali muncul
di Perancis pada abad ke-18. Kemudian di abad ke-19, Jerman menjadi
negara yang paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang
rasional dan disiplin, sampai-sampai negara-negara Eropa yang lain menjadi
iri kepadanya.
Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-
olah menjadi paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan
masyarakat modern. Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak
terelakkan bagi setiap tatanan masyarakat modern yang dinamis dan rasional.
Tanpa kehadiran birokrasi, tak dapat dibayangkan bagaimana suatu
pemerintahan akan mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi,
juga tak terbayangkan pula bagaimana populasi manusia yang padat yang
mendiami suatu wilayah tertentu akan dapat diatur. Birokrasi adalah
faktisitas institusional masyarakat modern.
Birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu
diproblematisasikan lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang
memiliki tugas dan fungsi yang kompleks memberikan justifikasi yang lebih
dari cukup bahwa keberadaannya dilandasi oleh suatu perencanaan yang
rasional dan sistematis. Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang
birokrasi memberikan pengaruh yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada
di luar birokrasi. Dalam aktivitas keilmuan, birokrasi juga dapat berperan
sebagai laboratorium ilmiah bagi penelitian sosial. Pencermatan atas
strukturnya dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan hipotesis
teoretis tentang sistem sosial pada umumnya.
Karena latar dampak dan signifikansi yang tinggi dari birokrasi itulah,
tak heran jika banyak bermunculan pemikiran yang beragam tentang
birokrasi. Sebagai institusi masyarakat modern, refleksi tentang birokrasi
menjadi imperatif untuk memahami dinamika dan problematika sosial di era
modern secara lebih luas. Di universitas, kajian tentang birokrasi banyak
dijumpai di berbagai jurusan dan program studi seperti ilmu politik,
administrasi publik, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lain-lain.
3

Dalam hal ini, pemikiran GWF Hegel, Karl Marx, dan Max Weber
sebagai pemikiran klasik mengenai birokrasi akan dibahas di sini. Di tengah
kajian birokrasi yang semakin berkembang menyesuaikan dengan tren
perubahan yang ada, pemikiran klasik tentang birokrasi bukanlah hal yang
sama sekali tidak relevan karena pengamatan yang jeli akan menemukan
betapa banyak mutiara kognitif yang terpendam di dalamnya. Pemikiran
yang dicetuskan oleh ketiga tokoh tersebut banyak merefleksikan problem,
isu, dan keprihatinan tentang birokrasi yang tetap saja bertahan sampai
sekarang. Oleh karenanya, setiap peneliti yang berupaya untuk mengkaji
birokrasi di era kontemporer seyogianya mempunyai bekal pemahaman atas
warisan pemikiran klasik tersebut.
Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian,
yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu.
Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada
metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi
besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan
birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan
antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih
menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha,
2003). Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji
yang berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo,
1983).
Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya
dimaknai sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):
1. Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi
dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap
aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan rasional.
2. Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat
guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya
aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang
bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai
aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
3. Bureaucracy as Organizational Ineficiency
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi.
Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi
waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik
birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi
layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat. Karena itu
4

masyarakat menjadi apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang


disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak
bermakna karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat
yang tidak konsisten dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru
dianggap sebagai tempat bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern
seperti pembengkakan pegawai, biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan
lingkungannya.
4. Bureaucracy as Public Administration
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama
artikan dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses
pengelolaan sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
masyarakat. Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar
tujuan pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan
rasional.
5. Bureaucracy as Administration by Officials
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai.
Dalam hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama
dengan bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public
administration.
6. Bureaucracy as the Organization
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah
organisasi memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal.
Organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak
orang, dimana setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang
saling mendukung demi tercapainya tujuan organisasi. Organisasi sebagai
sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang
dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung wewenang,
tugas dan tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat
bekerjasama secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-
orang berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang
terencana dari suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk
dilaksanakan kepada anggotanya.
7. Bureaucracy as Modern Society
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat
modern keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat
dicapai jika dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat
mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah
birokrasi.
Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu
sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun
swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun keluar. Mengatur ke dalam
berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan atau
interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan
5

sumber daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur keluar berarti


berhubungan dengan interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik
dengan lembaga lain maupun dengan individu-individu.
Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-
prinsip organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi
administrasi, meskipun birokrasi yang keterlaluan seringkali justru
menimbulkan efek yang tidak baik. Mouzelis menambahkan bahwa dalam
birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses
berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya.
Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga
sering dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi
dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama,
biaya yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada
anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.
Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat
pada organisasi besar, seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi,
sebenarnya birokrasi tidak dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja.
Serikat Dagang, Universitas, dan LSM merupakan contoh birokrasi di luar
pemerintah.

Karakteristik Ideal Birokrasi


Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori
birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.
Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi
sosial dan ekonomi) yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai
birokrasi. Karya itu sampai sekarang dikenal konsep tipe ideal birokrasi.
Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh
peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik
terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana
seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.
Menurutnya, birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan
kerja yang rutin” (routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja
rutin tersebut, ia memperkenalkan gagasan mengenai “charisma” yang
direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang kharismatik. Weber
mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin sama
persis dengan mesin pada proses produksi.
Menurut Max Weber, Birokrasi adalah organisasi rasional yang
dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan. Oleh karena itu
Karakteristik birokrasi diatas dapat diimplementasikan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-
tugas impersonal jabatan mereka
2. Ada hierarki jabatan yang jelas
6

3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas


4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional
6. Mereka memiliki gaji dan hak-hak pensiun, secara berjenjang
menurut kedudukan masing-masing.
7. Para pejabat dapat menempati posnya dan dalam keadaan tertentu ia
dapat diberhentikan
8. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya.
9. Ada struktur Karir dan promosi dimungkinkan melalui senioritas dan
keahlian (merit system) maupun keunggulan (superioritas).
Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi dalam persfektif
organisasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-
kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah
dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan
terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis
untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung
jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.
Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan
dengan cara yang tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties).
Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan untuk memperkerjakan ahli
yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap orang
bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena
itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai
yang benar-benar memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan
bertanggung jawab demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan
efisien.
2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara
hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki
konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar
wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.
Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung
jawab. Dalam hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada
atasannya mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri
maupun yang dilakukan oleh anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, para
pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada
bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya.
Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas
dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan
kegiatan resmi pemerintahan.
7

Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit


yang lebih rendah berada dalam pengendalian dan pengawasan organisasi
yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam hirarki administrasi
bertanggungjawab kepada atasannya. Keputusan dan tindakan harus
dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat membebankan
tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas
bawahannya sehingga ia mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah untuk
ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai
yang berada pada jenjang mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan
otoritas tersebut tetap harus relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.
3. Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang
abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para
pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-
aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan
menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem
aturan yang ditaati secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
adanya unuformitas kinerja setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-
masing anggota organisasi bagi pelaksanaan tugasnya. Sistem yang
distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam
melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang
melaksanakan dan koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-
aturan yang eksplisit tersebut menentukan tanggung jawab setiap anggota
organisasi dan hubungan diantara mereka, namun tidak berarti bahwa
kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas – tugas birokrasi
memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal yang
sifatnya rutin hingga tugas – tugas yang sulit.
4. Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka
harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan
bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil bagi semua orang dan
persamaan pelayanan administrasi.
Idealnya pegawai- pegawai bekerja dengan semangat kerja yang
tinggi “sine era et studio” tanpa rasa benci atas pekerjaannya atau terlalu
berambisi. Standar operasi prosedur dijalankan tanpa adanya interferensi
(dicampur) kepentingan personal. Tidak dimasukannya pertimbangan
personal adalah untuk keadilan dan efisiensi. Impersonal
detachment menyebabkan perlakuan yang sama terhadap semua orang
sehingga mendorong demokrasi dalam sistem administrasi.
5. Sistem Karier (career system)
8

Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para


pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan,
bukan melalui pemilihan; seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih
tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan daripada kepada rakyat
pemilih. Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada
senioritas atau prestasi, atau keduanya. Dalam kondisi tertentu, birokrat itu
juga memperoleh jaminan pekerjaan seumur hidup.
Terdapat sistem promosi yang didasarkan pada senioritas atau
prestasi, atau kedua-duanya. Karyawan dalam organisasi birokratik
berdasarkan pada kualifikasi tehnik dan dilindungi dari penolakan sepihak.
Kebijakan personal seperti itu mendorong tumbuhnya loyaritas terhadap
organisasi dan semangat kelompok (esprit de corps) di antara anggota
organisasi.

BIROKRASI PADA ERA REFORMASI DI INDONESIA

A. Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia


Pelaksanaan birokrasi di Indonesia mengalami beragam hambatan dan
persoalan yang hampir sama dengan masalah dan persoalan yang dihadapi
birokrasi di negara-negara berkembang. Meskipun dalam konteks tersebut
telah diupayakan secara maksimal usaha-usaha untuk melakukan reformasi
birokrasi. Di Indonesia sendiri proses reformasi birokrasi dilaksanakan
ditandai dari sejak bergulirnya era reformasi pasca Orde Baru. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa sesungguhnya krisis yang melanda negara-
negara berkembang seperti Indonesia disebabkan oleh karena faktor patologi
birokrasi. Hasil penelitian oleh lembaga think-tank Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia
termasuk negara yang terpuruk dalam birokrasinya, dan sampai saat ini
belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World
Economic Forum (WEF) tahun 2004 ini tentang Global Competitiveness
Ranking (GCR) menempatkan Indonesia berada di urutan ke 69 dari 104
negara yang diamati. Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah
(kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauhmana lembaga
pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada
pelanggan, minimnya korupsi, berorientasi pada kerangka hukum yang jelas.
Berdasarkan kajian Bappenas (2004) dikemukakan alasan yang yang
menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di Indonesia yang kemudian
dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, bahwa birokrasi sebagai
sebuah organisasi memiliki faktor-faktor internal yang dapat menjadi
determinan dinamika kehidupan Birokrasi. Kedua adalah faktor-faktor
eksternal yang merupakan lingkungan strategis dimana birokrasi terlaksana.
Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model
bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan
9

menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan.


Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses
birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala
Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi
secara tidak terkendali.
Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses
perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui
paksaan. Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi
lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak
aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan
tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan
menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin
mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja,
tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori
birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para
pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai
sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi
politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh
hubungan pribadi dan politik.
1. Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan
Di indonesia pada masa reformasi terdapat perubahan mendasar dalam
administrasi publik seperti dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999
(telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah), pemerintah hanya mengelola enam bidang saja, yaitu
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan
agama, dan beberapa bidang lainnya. Konsep Desentralisasi dianggap
sebagai salah satu bentuk perwujudan dari usaha pemeritah untuk melakukan
reformasi birokrasi yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik
dimana domain pemerintah berada di relasikan dengan kondisi geografis dan
demografis. Desentralisasi dalam sistem pemerintahan menjadi hal baru di
mana daerah memiliki kewenangan dan tanggungjawab untuk dapat
merancang dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan
kondisi geografis dan demografisnya. Hal ini juga mendorong bangkitnya
prakarsa dan kreaktivitas pemerintah daerah bersama-sama dengan
masyarakat dan swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam
rangka membangun pelayanan yang baik. (Bappenas, 2004)
Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan desentralisasi pemerintahan di
era reformasi ini timbul penafsiran yang beragam dan bahkan kebablasan,
10

sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di


daerah. Artinya dalam pelaksanaannya ada kecenderungan sebagian
pemerintah daerah menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang
sangat tinggi dalam mengurus rumah tangganya tanpa memperhatikan
hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Realitas menunjukkan bahwa di era reformasi, kelembagaan birokrasi
cenderung masih tambun di samping prilaku arogansi yang dimiliki aparat
saat berhadapan dengan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Hal
tersebut terkait dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kekuasaan/
kedaulatan berasal dari rakyat dengan birokrasi hanya sebagai pelaksana
dari amanat saja (Bappenas, 2004)
Demikian juga di tingkat pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi
Undang-Undang Nomor. 22 tahun 1999, kemudian di ubah dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan adanya
pemekaran, pelebaran dan pembentukan PEMDA baru yang pada gilirannya
memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah anggaran pemerintah untuk
membiayai operasional lembaga-lembaga tersebut dan penambahan jumlah
penjabat. Implikasinya adalah semakin
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan menjadi hal baru di mana
daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk dapat merancang
dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi
geografis dan demografisnya. Hal ini juga mendorong bangkitnya prakarsa
dan kreaktivitas pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan
swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam rangka
membangun pelayanan yang baik (Bappenas, 2004).
Namun, masih terlihat sangat jelas pengaruh budaya birokrasi yang
cenderung paternalistik dengan penampilan neo-tradisionalisme dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Melekatnya budaya ini tidak dapat
dilepaskan dari pemahaman yang sempit dan dangkal terhadap pemahaman
otonomi daerah, sehingga memunculkan arogansi kedaerahan yang pada
ujung-ujungnya memunculkan raja-raja kecil di daerah. Praktik-praktik,
sombol-simbol dan nilai-nilai yang selama Orde Baru berkembang dalam
birokrasi, masih terlihat jelas dalam wajah birokrasi di daerah pada masa ini,
dan masih sangat jauh dari kepentingan publik. Masih banyak dijumpai
praktik pejabat-pejabat yang memperlihatkan cara-cara pendekatan gaya
Orde Baru seperti mengirim upeti atau potongan berupa persen dari kontrak
untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk anggota dewan yang telah
mengamankan posisinya.
Selain itu, berkaitan dengan demokrasi masih banyak praktik
birokrasi pada masa otonomi daerah ini yang berorientasi kekuasaan
daripada orientasi pelayanan. Praktik-praktik tersebut sampai saat ini masih
nyata dapat dilihat dalam sehari-hari. Pelayanan akan berbeda apabila yang
membutuhkan pelayanan adalah orang-orang yang mempunyai akses yang
11

besar dengan penguasa. Elit politik maupun yang dekat dengan mereka
seringkali mendapat perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan sering berbeda
tergantung pada kedekatan seseorang dengan elit birokrasi maupun elit
politik. Perspektif pelayanan masih ditempatkan pada perspektif kekuasaan.
Hal ini membuat birokrasi khusususnya birokrasi di daerah masih jauh
dengan masyarakat. Birokrasi pada saat ini masih memperlihatkan sikap dan
perilaku birokrasi yang cenderuing mengabaikan aspirasi dan kepentingan
masyarakat.
Hal lain yang dapat ditangkap pada sosok birokrasi pada masa era
otonomi ini adalah mulai terjadinya gejala pengkotak-kotakan birokrasi. Hal
ini dikemukakan bukan tanpa dasar karena dapat kita lihat secara jelas, yaitu
terdapatnya fenomena dukung-mendukung calon baik dalam pemilihan
Kepala Daerah yang sangat kental dengan intrik-intrik politiknya, maupun
pada pengisian jabatan karier dalam birokrasi seperti pengisian Sekretaris
Daerah baik Kabupaten/ Kota maupun Provinsi.
2. Sumber Daya Manusia Aparatur
SDM aparatur saat ini seringkali dikonotasikan dengan SDM yang
memiliki tingkat profesionalitas yang relatif rendah. Kondisi semacam ini
dapat dilihat pada beberapa indikator berikut; kemampuan pelayanan yang
tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan
belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan
tugas sebagaimana diamanatkan. Perlu dicermati adalah dimensi
profesionalitas yang terkait dengan seberapa besar sosok aparatur mampu
melaksanakan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kesejahteraan pegawai
di republik ini diakui banyak pihak relatif masih belum layak. Sistem gaji
pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan
prestasi kerja.
Sistem penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai
dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi.
Saat ini PNS pada tingkat struktural yang sama, pegawai yang memiliki
produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif,
dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki
golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Sistem penggajian
yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan
semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang produktif dan yang
rajin. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan
tindakan yang tidak 'jujur', asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar
dan mencolok, serta asal dapat dipertanggungjawabkan secara semu kepada
badan pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat
ini. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk
dapat memenuhi standar kehidupan yang layak sesuai dengan ”amanat
Undang-Undang 43 Tahun 1999” tentang Perubahan Atas Undang-Undang
12

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian” dalam pasal 7


Ayat 1, 2, dan 3.
Belum lagi jika dicermati mengenai sistem rekrutmen dan sistem
pembinaan karir selama ini telah memberikan kontribusi terhadap rendahnya
kompetensi dan motivasi pegawai negeri dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Beberapa fakta di dalam pemerintahan menunjukkan bahwa
rekrutmen pegawai dilakukan tidak secara terbuka misalnya melalui media
massa atau media lainnya yang memiliki akses luas kepada masyarakat.
Tindakan KKN telah mendominasi mekanisme penerimaan pegawai di
hampir seluruh lembaga pemerintahan termasuk TNI dan Polri. Terdapat
bukti pula bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak
menunjukkan kinerja yang diharapkan. Ketidaksesuaian kualifikasi yang
dibutuhkan, rendahnya kapabilitas, motivasi, serta tidak adanya kreativitas
merupakan keluhan yang sering disampaikan masyarakat terhadap pegawai
negeri.
Demikian pula, maraknya laporan dari berbagai daerah tentang suap
untuk lolos seleksi CPNS telah mendorong lemahnya kepecayaan
masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Di sisi lain bahwa birokrasi masih
tambun yang berimplikasi pada kurang efisien dan efektifnya dalam
melaksanakan tugasnya. Di samping itu, sumberdaya manusia aparatur
dalam menjalankan birokrasi masih banyak diisi oleh sumberdaya manusia
aparatur yang kurang kompeten pada bidangnya serta mental dan niat baik
untuk mewujudkan birokrasi yang bermartabat masih rendah. Kondisi yang
demikian, masih membutuhkan penataan ulang kelembagaan agar menjadi
instrumen pemerintahan yang bersih, kredibel, efektif dan efisien dalam
menjalankan fungsi dan perannya sebagai pelayan masyarakat.
Namun demikian harus disadari faktanya kondisi SDM aparatur
birokrasi masih belum optimal sebagaimana diharapkan. Rendahnya inisiatif,
kurangnya wawasan, minimnya penguasaan teknologi informasi merupakan
karakter umum SDM aparatur birokrasi. Lebih jauh sebenarnya bila
dicermati (Bappenas, 2004) maka permasalahan masih rendahnya
kompetensi SDM aparatur birokrasi dapat dilihat dari beberapa aspek:
1. Masih terdapat stigma di masyarakat bahwa persyaratan kompetensi
tertentu untuk menduduki suatu jabatan (Jobs) di birokrasi tidaklah
diperlukan secara ketat, karena diakui uang atau suap
2. yang besar lebih banyak merupakan faktor penentu bagi seseorang
untuk berkarir atau bekerja dalam lingkungan birokrasi.
3. Belum jelasnya penetapan kinerja secara detail dengan standar
kompetensi kerja yang jelas sehingga memberikan peluang bagi
seseorang yang sebenarnya belum memiliki kompetensi yang relevan
dapat masuk pada posisi atau jabatan tertentu
4. Disinyalir oleh banyak pihak bahwa kebutuhan atas penerimaan
pegawai belum didasarkan pada kebutuhan nyata yang dihubungkan
13

dengan tugas pokok suatu organisasi, sehingga cenderunga


rekruitmen pegawai semata-mata hanya menambah besar kuantitas
aparat tetapi belum berkorelasi dengan kualitas
5. Lemahnya pengawasan dalam rekruitmen pegawai semakin
memperburuk kondisi kompetensi calon pegawai yang diterima dan
menyuburkan praktek-praktek KKN.
Rendahnya kompetensi seperti di paparkan diatas harus dipahami
dalam kerangkakompleksitas dan keterkaitan antara individu, lingkungan
kerja, dan fasilitasi kebijakan dan pengawasan yang mempengaruhi kinerja.
Dengan memahami ini maka orientasi peningkatan kompetensi untuk
menunjang pencapaian kinerja harus didasarkan pada empat dinamika sistem
yang akan diberi perlakuan sehingga terjadi perubahan kompetensi
Demikian pula tidak dapat dipungkiri, banyaknya posisi/jabatan di
birokrasi di isi oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan
ketrampilan yang sesuai dengan pekerjaannya. Hal tersebut, terjadi karena
lebih mengutamakan pada pengangkatan pada posisi di dalam jabatan
struktural, yang lebih diutamakan karena ruang pangkat golongan, atau
karena senioritas, bukan karena kompetensinya Kondisi ini masih tetap
berlangsung pada era reformasi, baik di tingkat aparatur pemerintah pusat
maupun daerah. Akibatnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sering menyimpang atau terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang pada
akhirnya mendorong tumbuh suburnya praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam mengisi suatu jabatan
terntentu. Birokrasi yang demikian, tentunya bukan menjadi harapan
masyarakat, yang dibuktikan dengan upaya-upaya serius dari pemerintah
untuk melakukan memberantasan tergadap segala bentuk KKN yang terus
menerus dengan diupayakan melalui kegiatan penjegahan dan penindakan.
Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian pemerintah telah membuat regulasi
sebagai payung hukum dalam upaya memberantas korupsi. Berbagai
kebijakan pemerintah antara lain meliputi Tap MPR RI No. XI/MPR/1999
dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah No.
1 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, demikian pula
dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut, menunjukkan keseriusan dan
tekat pemerintah secara bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaran
pemerintah yang bersih.
Praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemeritahan Orde
Baru sampai dengan ”orde reformasi” telah menimbulkan berbagai masalah
dalam pengelolaan kepemerintahan yang baik. Permasalahan tersebut , antara
lain SDM aparatur yang kurang berkualitas dan birokrasi yang semakin
gemuk dan kurang efisien. Hal ini dapat kita jumpai diberbagai departemen
14

yang memiliki pegawai yang tidak berimbang antara jumlah pegawai dengan
pekerjaan yang harus dikerjakan dan tidak sesuainya antara jenis pekerjaan
dengan kemampuan dan ketrampilan pegawai.
3. Pelayanan Publik
Salah satu aspek selain belum teraktualisasinya tata kepemrintahan
yang baik serta rendahnya kualitas sumber daya manusia aparatur juga aspek
pelayanan publik merupakan asp, yang sangat mempengaruhi kinerja
birokrasi, sehingga juga dinilai sebagai salah satu indikator buruknya
birokrasi di Indonesia (Bappenas 2004). Pelayanan publik seringkali menjadi
ukuran paling mudah dipahami sejauhmana kinerja pemerintah dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi
penting pemerintah selain regulasi, proteksi, dan distribusi. Pelayanan publik
merupakan proses sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi
pemerintah dijalankan. Bappenas (2004) mensinyalir bahwa ketidakpuasan
terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat
berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya
kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan
birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Fenomena “high cost”
ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan
yang terpaksa diterima.
Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan
level organisasi publik yang memberikan pelayanan. Kondisi ini
menandakan keidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam
menyelenggarakan pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari
optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat dari
sejauhmana kemampuan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang
berujung pada sejauhmana pelayanan publik dapat dijalankan. Artinya
sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel,
demokratis akan berdampak pada sejauhmana pelayanan publik yang akan
dan sudah dilakukan.
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah
melalui UU No. 22 Tahun 1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya
pemerintah untuk lebih meningkatkan pelayanan. Serangkaian pokok aturan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah dinyatakan
dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999. Yaitu:
1. Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa peranan Pemerintah
Daerah dalam pelayanan publik mencakup seluruh bidang
pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain.
2. Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh daerah kebupaten dan daerah kota
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
15

pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman


modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
3. Pasal 9 UU 22 Tahun 1999 mengemukakan bahwa kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta
kewenangan bidang tertentu lainnya
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, hingga saat ini pelayanan publik
masih memiliki berbagai kelemahan antara lain (Mohamad, 2003):
1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan
unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front
line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon
terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat
seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya
disampaikan kepada masyarakat,lambat atau bahkan tidak sampai
kepada masyarakat.
3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh
dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka
yang memerlukan pelayanan tersebut.
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu
dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering
terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu
instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada
umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level,
sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam
kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf
pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil,
dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang
terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai
masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian
pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat
pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan
dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah,
yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad,
2003).
Berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut
masih menimbulkanpersoalan. Kelemahan mendasar menurut Bappenas
(2004) antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya
16

menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang


diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal
“bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya,pelayanan pemerintah tidak
mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang
memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi
pelayanan

B. Politisasi Birokrasi pada Era Reformasi di Indonesia


Apabila kita teliti lebih jauh, sosok birokrasi pada era reformasi ini
terlihat tidak jauh berbeda dengan sosoknya ketika masa Orde baru. Hal yang
paling menonjol adalah adanya kecenderungan birokrasi daerah mengalami
politisasi secara halus. Menguatnya proses demokratisasi di daerah
menyebabkan terjadinya penguatan peranan para politisi-politisi daerah,
khususnya lembaga legislatif. Kepentingan-kepentingan yang bersifat politis
terasa lebih menonjol dalam penentuan suatu kebijakan daerah, terlebih-lebih
apabila menyangkut pengadaan suatu proyek. Sudah menjadi rahasia umum
apabila terdapat anggota dewan yang bermain dalam usaha memenangkan
tender suatu proyek. Kepentingan individu ataupun kelompok itu, telah
dimulai dalam proses awal penyusunan anggaran, program yang dirasakan
tidak membawa keuntungan bagi para politisi di lembaga legislatif akan
sangat sulit untuk direalisasikan oleh Pemerintah Daerah.
Birokrasi daerah yang keadaannya sangat lemah berada di dua sisi
yang berseberangan, di satu sisi sebagai pelayan masyarakat yang lebih
menonjolkan aspek pelayanan, tetapi di satu sisi berhadapan dengan
intervensi kepentingan politis yang bersifat sesaat. Kecenderungan ini
menimbulkan terjadinya budaya paternalistik berwajah baru, hal ini kembali
muncul pada birokrasi saat ini, tujuannya tidak lain guna menyelamatkan diri
masing-masing para birokrat. Kenyataan menunjukan bahwa birokrat yang
tidak sesuai atau berseberangan dengan salah satu partai politik niscaya tidak
akan mendapatkan tempat yang empuk di struktur birokrasi. Menyadari
lemahnya birokrasi menyebabkan kepentingan politis tersebut dengan sangat
mudah merasuki jajaran birokrasi. Apalagi para birokrat itu sendiri tidak
mempunyai kepercayan diri serta adanya pola rekruimen jabatan yang
amburadul, membuat banyaknya birokrat mengambil jalan pintas guna
memenuhi ambisinya. Mereka menjalin hubungan dengan para politisi agar
mendapatkan kedudukan pada posisi yang strategis. Sebagai imbalannya
adalah segala kepentingan-kepentingan para politisi akan mendapatkan
tempat dalam menentukan suatu kebijakan. Fenomena ini pada akhirnya
memunculkan orang-orang yang berada di luar struktur partai tetapi
mempunyai kepentingan tertentu terhadap partai sebagai balas budi.
Lemahnya daya tawar birokrasi terhadap intervensi politik tidak dapat
dilepaskan dari lemahnya visi dan misi birokrasi itu sendiri. Ketidakjelasan
misi membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan atasan
17

menjadi sangat tinggi. Birokrasi baik di pusat maupun di daerah masih


cenderung menjadikan prosedur dan atasan sebagai panglima, maka tidak
heran apabila suatu kebijakan dapat dengan begitu saja dimentahkan oleh
pejabat yang menduduki jabatan politis seperti Kepala Daerah. Ketaatan
terhadap prosedur dan atasan dijadikan indikator dalam pelaksanaan kinerja
birokrasi. Apabila diamati lebih teliti bahwa usaha membangun
pemerintahan modern telah dilakukan tetapi bersamaan dengan itu masih
terdapatnya sikap dan perilaku warisan lama. Masih banyak dijumpai praktik
pejabat yang seharusnya mempunyai otoritas membuat kebijakan sendiri
akan tetapi masih tergantung dengan petunjuk atasannya, hal ini dilakukan
oleh pejabat di daerah untuk meminimalisir kesalahan yang pada akhirnya
mengamankan masa jabatannya.
Berdasarkan beberapa kajian tentang birokrasi dan konsep ideal
birokrasi sebagai usaha untuk memberikan pelayanan yang transparan,
akuntabel dan melibatkan eksponen masyarakat dalam pengelolaan
pemerintahan, maka birokrasi di Indonesia tentu menghadapi beragam
kendala dalam implementasinya. Hambatan utama penyelenggaraan
pelayanan prima di Indonesia adalah patologi birokrasi yang sampai saat ini
masih dirasakan oleh masyarakat atas perlakuan yang diterima dari aparat
pemerintah. Sejak gerakan reformasi menjadi simbol perlawanan untuk
pembaharuan bangsa, gagasan untuk menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik (good governance) berkumandang nyaring di
negeri ini. Hampir sebagian besar masyarakat menggagas, berharap bahkan
menuntut, bahwa upaya perbaikan krisis dan/atau keterpurukan bangsa akan
dapat diselesaikan apabila kepemerintahan dikelola secara baik. Implikasi
dari itu, paradigma good governance kemudian dianggap menjadi resep
mujarab dalam rangka memperbaiki carut marut dimensi kehidupan
bernegara dan berbangsa kita.
Seiring dengan gerak waktu yang terus berjalan, berbagai aksi
dilakukan oleh pemikir-pemikir bangsa dan para praktisi untuk melakukan
pembenahan tersebut, dan tanpa terasa dubelas tahun sudah berjalan, dan
reformasi itu, sedikit banyak, dilakukan. Dalam aspek politik misalnya,
sangat terlihat ada perubahan mendasar dalam pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pencapaian yang harus “ditintaemaskan” adalah
keberhasilan gerakan reformasi dalam meletakkan sendi-sendi dasar
demokrasi di Indonesia, dalam sistem politik dan pemerintahan maupun
dalam ranah kehidupan sosial kemasyarakatan.
Hal itu bukan mimpi semata tetapi telah menjadi kenyataan. Jika kita
memperhatikan dalam beberapa periode pemerintahan pasca Orde Baru,
berbagai kebijakan dilakukan dan membawa perubahan dan kemajuan bagi
bangsa Indonesia. Perubahan dan kemajuan itu dapat kita lihat dari berbagai
indikator demokratisasi yang sering dijumpai di negara-negara yang telah
mapan kehidupan demokrasinya, seperti:
18

1. Jaminan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat,


2. Sistem politik multipartai,
3. Perubahan uud 1945,
4. Desentralisasi,
5. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung serta
6. Pemilihan kepala Daerah secara langsung.
Terlepas dari anggapan tersebut, kiranya secercah harapan indah
berada dalam benak masyarakat, bahwa dengan perubahan tersebut akan
membawa angin pembaharuan dalam pembangunan bangsa, sehingga
kesejahteraan masyarakat bisa terwujudkan. Karena dalam berbagai teori
pembangunan sering dikatakan bahwa demoratisasi merupakan prasyarat
mutlak bagi keberhasilan pembangunan (ekonomi dan bidang-bidang
lainnya). Salah satu teladan yang membuktikan tentang kebenaran tesis
tersebut adalah keberhasilan negara Korsel, Malaysia dan India. Gerakan
reformasi yang mampu menghasilkan sistem pemerintahan yang demokratis,
ternyata membawa perubahan yang signifikan dalam proses
pembangunannya.
Kondisi tersebut berkembalikan pada pemerintahan kita. Banyak
orang berpendapat bahwa perubahan yang terjadi dalam dimensi politik
tidak membawa implikasi yang berarti bagi pembangunan bangsa.
Berdasarkan laporan Lembaga Transparansi Internasional, pada tahun 2008
melaporkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami perbaikan
dari sejak 1998 sampai tahun 2008. Berikut data selengkapnya 1998 (2.0,
peringkat 80), 1999 (1,7, peringkat 98), 2000 (1,7, peringkat 85), 2001 (1,9,
peringkat 88), 2002 (1,9, peringkat 80), 2003 (1,9, peringkat 122), 2004 (2,0,
peringkat 133), 2005 (2,2, peringkat 137), 2006 (2,4, peringkat peringkat
130), 2007 (2,3 peringkat 143) dan 2008 (2,6, peringkat 126). Meskipun ada
perbaikan indeksnya tetapi secara keseluruhan masalah korupsi masih
memprihatinkan bagi bangsa ini.
19

PENUTUP

Wajah birokrasi Indonesia di era reformasi terlihat tidak jauh berbeda


dengan wajahnya ketika di era Orde Baru. Arus reformasi yang diharapkan
dapat membawa perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan ternyata
belum mampu membuat birokrasi menampilkan sosok organisasi publik
yang dapat memberikan pelayanan dengan baik terhadap masyarakat sebagai
stakeholder. Hal ini karena masih terdapatnya budaya patrimonial yang lebih
mengutamakan aspek kedekatan. Masih terdapatnya birokrasi yang
berorientasi terhadap kekuasaan, yang menyebabkan pengaruh unsur politis
terasa sangat kental dalam praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan.
Adanya unsur-unsur politis inilah yang semakin memperburuk birokrasi,
ketika proses perekrutan pegawai ataupun penempatan sesorang dalam
struktur birokrasi dipengaruhi oleh adanya kepentingan yang bersifat politis
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan
beberapa hal yang terkait dengan keadaan atau gambaran umum birokrasi
pada masa reformasi sebagai berikut:
1. Kapasitas SDM Aparatur yang masih rendah sehingga diperlukan
usaha untuk meningkatkan kompetensi SDM dalam rangka
memberikan pelayanan publik yang masksimal kepada masyarakat.
2. Penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi) masih sangat lamban
dapat dilakukan dengan restrukturisasi kelembagaan di pusat,
relokasi SDM pusat yang berlebih ke daerah yang memerlukan,
termasuk pensiun dini, mutasi, dan rotasi.
3. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah,
dan antar daerah dalam konteks desentralisasi masih sangat kabur
sehingga menimbulkan kesan munculnya raja-raja kecil sebagai
imbas dari otonomi daerah
4. Tumpang tindih antara regulasi/kebijakan antar pusat dan daerah
(perda bermasalah); serta kebijakan pusat (sektor) yang tidak
sejalan dengan kebijakan desentralisasi.

Untuk mengikis pengarus budaya paternalistik ini maka hal penting


dalam birokrasi di era reformasi ini adalah melakukan suatu upaya
transformasi budaya birokrasi yang mewarisi semangat feodal menuju
budaya birokrasi modern yang organis adaptif. Apabila hal ini dapat dicapai
maka akan terdapat birokrasi yang terbuka terhadap gagasan inovatif, peka
terhadap perubahan lingkungannya, penekanan pada peningkatan
produktifitas, profesionalisme, pelayanan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Sehingga, birokrasi menjadi kuat secara organisasi dan akan
memberikan stimulus terhadap posisi tawar birokrasi terhadap intervensi
politik dari luar, sehingga intervensi yang bersifat politis dapat diminimalisir
atau bahkan dapat dihilangkan. Serta, sebagai pelayan publik, birokrasi harus
20

benar-benar steril dari keberpihakan politik karena tugas dan fungsinya yang
semata memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa dibatasi oleh sekat
apapun
Berkaitan dengan gambaran birokrasi di Indonesia pada masa
reformasi, maka perlu dilakukan beberapa hal diataranya adalah
1. Perlu ada usaha nyata dalam meningkatkan kompotensi SDM
Aparatur yang masih rendah baik melalui outsourcing bagi
supporting office, perbaikan sistem remunerasi, perbaikan sistem
rekrutmen dan sistem karier, serta peningkatan pendidikan dan
pelatihan.
2. Perlu ada penyesuaian dan keseragaman regulasi/kebijakan pusat
dengan daerah dengan menjadikan SANKRI sebagai panduan
pokok.
3. Perlu dilakukan pemisahan akan batas kewenangan antara pusat
dan daerah secara jelas sehingga konsep otonomi dapat dijalankan
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Kieran. 2004. Max Weber: A Critical Introduction. London: Pluto


Press.
Arendt, Hannah. 1965. Eichmann in Jerusalem (second edition). New York:
Viking Press.
BAPPENAS: 2004. Kajian Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 2025 Sub
Bidang Penyelenggaraan Negara.. Jakarta:
Beiser, Frederick. 2005. Hegel. New York & Oxfordshire: Routledge.
Blau, Peter M., dan Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat
Modern; (edisikedua), Terj. Jakarta: UI Press.
BPKP: 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta
Clegg, Stewart. 2007. “Bureaucracy and Public Sector Governmentality”,
dalam Ritzer, George (Ed.). The Blackwell Encyclopedia of
Sociology. Malden, Oxford, & Victoria: Blackwell Publishing.
Dan Nimmo: 2000. Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media.
Remaja Rosdakarya. Bandung:
Dwidjowijoto R.N; 2004. Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda bagi
Pemimpin Pemerintahan Indonesia. Elex Media Komputindo.
Jakarta.
21

Fukuyama F: 2000. The Great Disruption Human Nature and The


Reconstitution of Social Order. Simon & Schuster. New york.
Habermas, Jürgen. 1987. The Theory of Communicative Action Volume 2
Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason (Terj.
Thomas McCarthy). Boston: Beacon Press.
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga.
Inu Kencana Syafiie: 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia; Mandar
Maju, Jakarta.
Ismail Mohamad, Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi ,
Disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era
Desentralisasi” yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18
Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.
Johnston M, Alan Doig: 1999. Different Views on Good Government and
Sustainable Anticorruption Strategies dalam Stapenhurst S, Shahr
J.K. 1999. Curbing Corruption: Toward a Model for Building
National Integrity. The World Bank. Washington DC.
Kansil C.S.T., Arifin F.X.S., Kansil C.S.T. 2003. Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Perca. Jakarta.
Kwik Kian Gie : 2000. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, Jakarta.
Mifthah Thoha: 2004. Birokrasi Politik di Indonesia, Rajawali Press.
Jakarta.
Mouzelis, Nicos P. 1967. Organisation and Bureaucracy: An Analysis of
Modern Theories. New York: Aldine Publishing Company.
Muksin, 2004.: Upaya Meretas Jalan Hidup Berbangsa tanpa Korupsi:
Kajian Pembangunan Masyarakat (Community Development). Tidak
dipublikasikan Bogor.
Mustopadidjaja, 2002. Sistem Perencanaan, Keserasian Kebijakan Dan
Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disampaikan pada
Lokakarya “Dinamika PerencanaanPembangunan danKeuangan
Daerah”Kerjasama Bappeprov. Jawa Timur dengan Pusdiklat
SPIMNAS Bidang TMKP,Lembaga Administrasi Negara, 1 Agustus
Surabaya
Sitorus, Fitzerald K. 2010. “ “Masyarakat Warga dalam Pemikiran GWF
Hegel”, dalam Hardiman, F. Budi (Ed.), Ruang Publik: Melacak
“Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace.
Yogyakarta.
22
23

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan


rahmat dan hidayah-Nya, serta salawat kepada Rasulullah Muhammad SAW,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan dalam proses perkuliahan
“Birokrasi” pada Program Doktoral (S3) Administrasi Publik Universitas
Negeri Makassar (UNM) Semester II, Tahun 2012-2013.
Terima kasih yang tak terhingga, kami sampaikan kepada Bapak DR.
H. Azikin Solthan, M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah, dan kepada
semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Dengan penuh kerendahan hati, kami mengharapkan saran dan kritik
dari semua pihak untuk penyempurnaan selanjutnya.

Kelompok II

Anda mungkin juga menyukai