Anda di halaman 1dari 7

KULTUR DAN ETIKA BIROKRASI

Menurut Samuel P. Huntington bahwa birokrasi merupak mesin pemerintah yang


mengimplementasikan kebijakan Negara. Birokrasi merupakan mata rantai tak
terpisahkan dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan
fungsi pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal kalau
tidak disebut ideal. Berbanding terbalik dengan konsep birokrasi ideal yang dicetuskan
Max Weber beratus tahun yang lampau, birokrasi terutama dinegara-negara
berkembang (miskin, dunia ketiga) menunjukkan kecenderungan yang kurang baik
yang berdampak tidak terpenuhinya kepuasan rakyat dalam pelayanan publik itu
sendiri. Bahkan para penganut “mazhab New Public Management” menggambarkan
kondisi yang dihadapi sekarang ini adalah suatau kegagalan birokrasi. Oleh karena itu
birokrasi memiliki kedudukan yang sangat fundamental baik secara internal maupun
secara eksternal.
Saat ini birokrasi di indonesia sering menjadi keluhan dan sorotan oleh kalangan
masyarakat. Pasalnya Birokrasi merupakan alat negara dalam penyeleggaraan dan
melayani masyarakat. Dalam menanggapi maslah ini secara umum ada dua
permasalahan yang menjadi inti dari permasalahan ini. Pertama, kultur birokrasi.
Kedua, etika birokrasi.

a. Kultur Birokrasi
Kultur atau budaya secara etimologi berasal dari colore yang artinya
mengerjakan atau mengelola. Dalam kamus bahasa indonesia kultur di artikan sebagai
peradaban, adat dan etik. Jadi kultur adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata
“kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk
menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu
kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara
umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan
public sector, public service atau public administration. Dalam arti luas birokrasi
adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan
yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan
aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi
berskala besar.
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa
penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa
ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang
mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur
oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah
jajahannya. Aparat birokrasi yang ditugaskan di daerah jajahan sebelumya di doktrin
dengan mengibaratkan dirinya (analogi birokrasi) sebagai monster raksasa “Leviathan”
yang merupakan perwujudan kekuasaan negara. Birokrasi yang terbentuk pun menjadi
sebuah mesin kekuasaan pemerintah dimana memiliki kekuasaan terhadap administrasi
publik sehingga administrasi diartikan perluasan urusan rumah tangga pemerintah. Serta
aparat birokrasi (pejabat) dalam konteks ini merupakan perpanjangan tangan
pemerintah, dia bisa berbuat seenaknya seperti halnya yang dilakukan pemerintah.
Memang patut diakui bahwa secara historis, birokrasi di Indonesia menjadi alat politik
penguasa.
Budaya birokrasi pada masa orde baru pun tak kalah buruknya. Kultur birokrasi
pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata
tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Secara struktural,
kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde baru yang telah
menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan daripada agen
pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, birokrasi feodalistik yang paternalistik
masih dipertahankan, sebagai contoh masih dianutnya budaya priyayi sehingga
berhadapan dengan birokrasi dan pejabat birokrat seakan berhadapan dengan seseorang
atau lembaga yang memiliki status sosial yang tinggi. Dapat kita jadikan sebagai acuan
adalah pada penelitian di Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan oleh Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, birokrasi yang
sentralistik dan paternalistik pada masa orde baru ini memberi sumbangsih besar pada
praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Birokrasi pada masa orde baru
menciptakan strategi politik korporatisme negara yang bertujuan untuk mendukung
penetrasi birokrasi pemerintah kedalam masyarakat, untuk mengukuhkan dan
melanggengkan kekuasaan yang dicengkeram Orde Baru. Lisensi Monopoli,
penyeragaman, kerjasama Negara-Militer-Pengusaha merupakan sedikit dari sekian
banyak rangkaian tindakan corak korporatisme ini.

Masyarakat (Korban) Birokrasi


Masyarakat kita ternyata sudah “terbiasa” hidup dalam tekanan birokrasi. Secara
paradoks dibalik berbagai hujatan dan cemoohan terhadap birokrasi, masyarakat kita
ternyata juga “menjunjung tinggi” profesi di lingkungan birokrasi. Feodalisme
masyarakat sebagai bagian dari sejarah bangsa-bangsa feodal yang terbelakang dan
terjajah sepanjang hayatnya turut menghantui perjalanan bangsa ini. Kedudukan
birokrat sejak jaman penjajahan menjadi terpandang karena berhubungan dengan
penempatan para bangsawan dalam kedudukan ini oleh penjajah belanda. Padahal
maksud sebenarnya agar para bangsawan dalam masyarakat kita “puas” dan tidak
memicu pemberontakan. Sampai kemerdekaan pun, akhirnya posisi di birokrasi
menjadi primadona karena tidak perlu bersusah payah akan naik pangkat dan memiliki
penghasilan yang pasti. Terlebih, diluar konteks itu semua, uang menjadi panglima
dalam rekruitmen aparatur, mengesampingkan fungsi “intelektualitas”. Akhirnya sedikit
sekali anak bangsa yang “tercerahkan” berada sebagai bagian birokrasi. Masyarakat
disebut korban birokrasi karena mau tidak mau harus berurusan dengannya. Persepsi
negatif tentang birokrasi kemudian dipertegas dengan melakukan cara-cara semisal
KKN agar urusan lancar. Secara nyata, praktik demikian membawa birokrasi semakin
terpuruk pada jurang tidak profesionalnya.
Birokrasi sesungguhnya perangkat penting di dalam pemerintahan itu sendiri.
Jika kultur birokrasi bersangkutan bermutu dan bersih, kualitas dan gerak langkahnya
cenderung efektif. Lokomotif pembangunan sedikit banyak juga diayunkan melalui
kelompok ini. Oleh karena itu, sektor ini mempertaruhkan arah dan prospek
pembangunan yang dibikin pihak pimpinan puncak eksekutif dan para legislatif. Jika
mereka terlibat penyimpangan anggaran dan praktik gelap, laju pembangunan yang
ditunggu masyarakat akan tersumbat. Secara teori, sistem pemerintahan yang berlandas
di atas rel birokrasi spirit awalnya adalah memenuhi permintaan pelayanan dari rakyat
sebagai pihak pemberi sah mandat. Birokrasi sebagai organisasi besar (meminjam
istilahnya Trompenars & PrudHome) menganut budaya 'Eifel Tower', di mana
organisasi jenis ini sering kali menggunakan mekanisme kerja yang cenderung pakem,
mengutamakan hierarki struktural, berorientasi stabilitas, dan bercorak prosedural,
bahkan acap kali bersifat sentralistik.
Dalam kondisi seperti ini, pola organisasi yang ada cenderung menggunakan
kepemimpinan karismatik dan elitis, di mana kinerja organisasi seolah-olah terkendali
melalui peran dominan individu pemimpinnya. Padahal, konsepsi birokrasi sendiri lebih
banyak menganut pola kerja yang mengutamakan pembagian wewenang dan bagi tugas.
Budaya (kultur) tampaknya masih mendominasi warna dari dunia birokrasi kita.
Meski, dalam hal lain, kurang optimalnya pengawasan serta lemahnya kepastian hukum
akibat kurang kredibelnya aparat hukum kita bisa dijadikan representasi untuk
menunjukkan bahwa kerja panjang membangunkan tidur lelap birokrasi harus menjadi
perhatian kita bersama.
Suasana kultur yang mengental corak paternalistiknya turut mewarnai perilaku
sebagian para pengambil kebijakan strategis di republik ini. Tanpa pertimbangan
kompetensi, bisa jadi para pimpinan birokrasi di setiap levelnya lemah mengendalikan
bawahannya. Sebaliknya, muatan kompetensi yang kini digandrungkan banyak pihak,
ternyata faktanya kurang berbanding lurus dengan tingkat kebersihan di dalam
institusinya.
Karena itu, aparatur pemerintah dan mereka yang akan menjadi calon-calon
pejabat pemerintah sebaiknya memahami fungsi dan arti penting rumusan etik dan
norma dasar yang bersumber dari tradisi-tradisi keagamaan, sembari perkembangan
teknologi yang ada diintegrasikan sebagai satu sistem yang tak terpisah. Misalnya,
dalam rangka memaksimalkan peran pengawasan, maka sebuah institusi perlu
menggunakan standar kerja yang bisa didukung dari 'penyensoran' teknologi.
Dari kebutuhan ini, hendaknya para pegawai bisa menyadari dan memahami
akan hal tersebut sehingga batasan-batasan profesionalitas seorang pegawai dapat
ditanamkan sejak dini menyatu dengan unsur moralitas dan rumusan etik. Gaya hidup
para pegawai pajak yang dianggap kurang patut dan memunculkan kesenjangan
terhadap pegawai di sektor lain merupakan contoh nyata yang perlu diperhatikan.
Secara bersamaan, akan menjadi indah jika para pegawai di sektor-sektor strategis
seperti Pajak, Bea Cukai, Pertamina, Keuangan, dan Perbankan, perlu mengikat diri di
dalam spirit hidup yang penuh dengan nuansa kesederhanaan. Hal ini sekaligus dapat
difungsikan sebagai arena pengembangan citra pegawai pajak itu sendiri bahwa menjadi
pegawai pajak ternyata juga bisa hidup penuh kepekaan.
Untuk itu, ke depan, pemerintah perlu serius mengkaji sisi permintaan sektor
pegawai di dalam birokrasi karena logikanya permintaan kebutuhan akan pegawai di
dalam struktur birokrasi yang modern, sesungguhnya kian efisien seiring dengan
digantikannya peran-peran baru yang dapat diintegrasikan melalui fungsi teknologi.
Pola semacam ini ikut menambah iklim produktivitas pegawai yang tidak saja dimulai
dari seleksi kualitatif awal (seperti fit and proper test, melainkan dapat menekan angka
gaji yang sering kali dijadikan dalih dan teori.
Melemahnya kultur birokrasi dan menurunnya tingkat kualitas sumber daya
(misalnya tidak bersih), secara teori dipicu tiga hal mendasar: Pertama, sistem nilai
yang ada tak dijalankan sepenuh hati. Kedua, aturan hukum yang mengikat tidak
dilengkapi dengan aparat dan aktor penjaganya yang kredibel. Dan ketiga, struktur yang
terbentang tak dibangun di atas sistem pengawasan yang memadai dan bermutu.
b. Etika Birokrasi
Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran
dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus
hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga etika dapat
dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karenanya, keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam
tatanan lingkungan sosial. Bertens menjelaskan etika sebagai nilai-nilai dan norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika merupakan nilai mengenai benar dan
salah yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Berdasarkan pengertian ini,
maka etika bermuara pada nilai atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi
dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam
fungsi pokok pemerintahan fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi
pemberdayaan masyarakat.
Secara umum ada dua permasalahan penting dalam etika birokrasi. Pertama,
masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua,
keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan
perubahan dalam lingkungan birokrasi.
Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau
kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan
dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam
masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang
perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
1. Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum.
2. Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“ bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak
(mediator).
4. Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa.
5. Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak
rahasia, mana yang penting dan tidak penting.
6. Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan
ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara
hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang
lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak
melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu,
perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka
yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :

1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk
keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan,
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan
transaksi untuk kepentingan dinas,
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada
dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah,
4. Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada
pihak-pihak yang tidak berhak,
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang
dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
Selain itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang
kurang menyenangkan, antara lain:

1. Pembenahan suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama
tidaklah gampang. Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup
penting dimiliki adalah perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca
tuntutan dan harapan yang dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang
semakin kompleks dan rumit memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang
luwes dan praktis. Pemotongan jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu
keinginan dari konsumen birokrasi.
2. Selaras dengan pemikiran Weber yang menempatkan birokrasi dan birokrasi
dapat bergandengan tangan. Menuntut birokrasi sebagai institusi yang terbuka
dan mampu untuk dipahami sesuai fungsinya. Kebijaksanaan dan suasana
demokratisasi sangat diperlukan, yakni memberi hak yang lebih luas bagi
masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.
3. Selaras dengan akumulasi keinginan pemotongan jalur-jalur hirarkis.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan menyangkut desentralisasi juga diperlukan.
4. Faktor mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu
sendiri. Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan
bahwa birokrasi adalah bureaucratic polity, serta menempatkan prinsip-prinsip
de-etatisme dan de-kontrolisasi pada proposisinya.
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara-cara yang telah
ditentukan dan dianggap sebagai tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang
mengikuti prinsip hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan
perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di
dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan tugas-
tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan dendam atau
nafsu. Pekerjaan birokratis didasarkan pada klasifikasi teknis dan dilindungi dari
kemungkinan pemecatan sepihak. Berdasarkan pengalaman universal bahwa tipe
organisasi administratif yang murni dilihat semata-mata dari sudut teknis, mampu
mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Birokrasi sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi
keadilan. Hal yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“,
memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara
komprehensif serta membangun moralitas aparat penegak hukum.
Diposting oleh pau luklabibi di 04.24
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Label: Pau Luk Labibi
http://pauluklabibi.blogspot.co.id/2012/11/kultur-dan-etika-birokrasi_8284.html

Anda mungkin juga menyukai