a. Kultur Birokrasi
Kultur atau budaya secara etimologi berasal dari colore yang artinya
mengerjakan atau mengelola. Dalam kamus bahasa indonesia kultur di artikan sebagai
peradaban, adat dan etik. Jadi kultur adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata
“kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk
menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu
kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara
umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan
public sector, public service atau public administration. Dalam arti luas birokrasi
adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan
yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan
aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi
berskala besar.
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa
penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa
ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang
mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur
oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah
jajahannya. Aparat birokrasi yang ditugaskan di daerah jajahan sebelumya di doktrin
dengan mengibaratkan dirinya (analogi birokrasi) sebagai monster raksasa “Leviathan”
yang merupakan perwujudan kekuasaan negara. Birokrasi yang terbentuk pun menjadi
sebuah mesin kekuasaan pemerintah dimana memiliki kekuasaan terhadap administrasi
publik sehingga administrasi diartikan perluasan urusan rumah tangga pemerintah. Serta
aparat birokrasi (pejabat) dalam konteks ini merupakan perpanjangan tangan
pemerintah, dia bisa berbuat seenaknya seperti halnya yang dilakukan pemerintah.
Memang patut diakui bahwa secara historis, birokrasi di Indonesia menjadi alat politik
penguasa.
Budaya birokrasi pada masa orde baru pun tak kalah buruknya. Kultur birokrasi
pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata
tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Secara struktural,
kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde baru yang telah
menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan daripada agen
pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, birokrasi feodalistik yang paternalistik
masih dipertahankan, sebagai contoh masih dianutnya budaya priyayi sehingga
berhadapan dengan birokrasi dan pejabat birokrat seakan berhadapan dengan seseorang
atau lembaga yang memiliki status sosial yang tinggi. Dapat kita jadikan sebagai acuan
adalah pada penelitian di Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan oleh Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, birokrasi yang
sentralistik dan paternalistik pada masa orde baru ini memberi sumbangsih besar pada
praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Birokrasi pada masa orde baru
menciptakan strategi politik korporatisme negara yang bertujuan untuk mendukung
penetrasi birokrasi pemerintah kedalam masyarakat, untuk mengukuhkan dan
melanggengkan kekuasaan yang dicengkeram Orde Baru. Lisensi Monopoli,
penyeragaman, kerjasama Negara-Militer-Pengusaha merupakan sedikit dari sekian
banyak rangkaian tindakan corak korporatisme ini.
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk
keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan,
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan
transaksi untuk kepentingan dinas,
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada
dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah,
4. Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada
pihak-pihak yang tidak berhak,
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang
dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
Selain itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang
kurang menyenangkan, antara lain:
1. Pembenahan suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama
tidaklah gampang. Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup
penting dimiliki adalah perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca
tuntutan dan harapan yang dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang
semakin kompleks dan rumit memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang
luwes dan praktis. Pemotongan jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu
keinginan dari konsumen birokrasi.
2. Selaras dengan pemikiran Weber yang menempatkan birokrasi dan birokrasi
dapat bergandengan tangan. Menuntut birokrasi sebagai institusi yang terbuka
dan mampu untuk dipahami sesuai fungsinya. Kebijaksanaan dan suasana
demokratisasi sangat diperlukan, yakni memberi hak yang lebih luas bagi
masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.
3. Selaras dengan akumulasi keinginan pemotongan jalur-jalur hirarkis.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan menyangkut desentralisasi juga diperlukan.
4. Faktor mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu
sendiri. Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan
bahwa birokrasi adalah bureaucratic polity, serta menempatkan prinsip-prinsip
de-etatisme dan de-kontrolisasi pada proposisinya.
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara-cara yang telah
ditentukan dan dianggap sebagai tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang
mengikuti prinsip hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan
perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di
dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan tugas-
tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan dendam atau
nafsu. Pekerjaan birokratis didasarkan pada klasifikasi teknis dan dilindungi dari
kemungkinan pemecatan sepihak. Berdasarkan pengalaman universal bahwa tipe
organisasi administratif yang murni dilihat semata-mata dari sudut teknis, mampu
mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Birokrasi sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi
keadilan. Hal yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“,
memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara
komprehensif serta membangun moralitas aparat penegak hukum.
Diposting oleh pau luklabibi di 04.24
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Label: Pau Luk Labibi
http://pauluklabibi.blogspot.co.id/2012/11/kultur-dan-etika-birokrasi_8284.html