0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
290 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang patologi birokrasi di Indonesia. Ada beberapa penyakit birokrasi yang dijelaskan, yaitu budaya paternalistik, pembengkakan struktur birokrasi, prosedur yang berlebihan dan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang tinggi. Patologi birokrasi ini telah lama menggerogoti sistem pemerintahan dan menghambat upaya pembangunan di berbagai bidang.
Dokumen tersebut membahas tentang patologi birokrasi di Indonesia. Ada beberapa penyakit birokrasi yang dijelaskan, yaitu budaya paternalistik, pembengkakan struktur birokrasi, prosedur yang berlebihan dan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang tinggi. Patologi birokrasi ini telah lama menggerogoti sistem pemerintahan dan menghambat upaya pembangunan di berbagai bidang.
Dokumen tersebut membahas tentang patologi birokrasi di Indonesia. Ada beberapa penyakit birokrasi yang dijelaskan, yaitu budaya paternalistik, pembengkakan struktur birokrasi, prosedur yang berlebihan dan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang tinggi. Patologi birokrasi ini telah lama menggerogoti sistem pemerintahan dan menghambat upaya pembangunan di berbagai bidang.
NIM : 170903147 KELAS : Birokrasi Publik Kelas A KELOMPOK/NO.URUT : 7/66
Patologi Birokrasi di Indonesia
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak
mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Birokrasi diharapkan bekerja secara rasional, namun saat ini birokrasi mulai membelok dari yang seharusnya. Hal ini dapat dilihat dari permasalahan- permasalahan yang terjadi pada birokrasi di Indonesia. Birokrasi pemerintahan tidak akan lepas dari yang namanya permasalahan-permasalahan. Permasalahan itu muncul dari pertama kali adanya pemerintahan sampai saat ini. Salah satu masalah dalam birokrasi adalah birokrasi menunjukkan kondisi yang buruk atau sebagai penyakit yang disebut sebagai patologi birokrasi. Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan. Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi merupakan hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah. Penyakit ini bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah lama menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berbagai jenis penyakit birokrasi di Indonesia pun beragam, yaitu adanya budaya paternalistik, pembengkakan struktur birokrasi, prosedur yang berlebihan dan berbelit-belit, serta tingkat KKN yang tinggi. Penyakit pertama, adanya budaya paternalistik. Budaya paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Corak hubungan dalam paternalisme ini adalah seperti hubungan ayah dengan anaknya, dimana pemimpin berperan sebagai ‘ayah’ dan masyarakat sebagai ‘anak’. Paternalisme tumbuh sumbur karena dipengaruhi oleh kultur feodal yang sebagian besar wilayah di Indonesia semula merupakan daerah bekas kerajaan. Wilayah-wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan yang selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus dihormati karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat. Sama halnya dengan kultur orang jawa. Orang jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengejar symbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Penyakit kedua, pembengkakan struktur birokrasi. Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia dengan mudah dapat dilihat dari birokrasi yang semula dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu yang singkat, birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar. Ibaratnya, bayi yang lahir dengan berat badan normal kemudian secara cepat berubah menjadi anak yang gemuk bahkan menderita obesitas. Banyaknya para ASN yang ditempatkan di suatu bidang dengan alasan untuk meringankan beban kerja ASN lainnya, padahal sebenarnya keberadaannya tidak terlalu dibutuhkan. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran tersebut menjadi kurang tepat sasaran. Penyakit ketiga, penyakit yang paling menonjol di Indonesia adalah prosedur yang berlebihan. Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan, tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh pejabat birokrasi. Hal ini dapat dilihat dari salah satu kasus, pengurusan paspor. Kantor imigrasi yang berkewenangan mengurus paspor, pasti membutuhkan identitas seorang warga negara, seperti nama, tempat dan tanggal lahir. Namun, kantor imigrasi tidak mau menggunakan KTP sebagai sumber informasi. Kantor imigrasi mengharuskan warga yang mengurus paspor untuk menunjukkan akte kelahiran, sementara untuk mengurus akte kelahiran, warga tersebut harus menunjukkan surat kelahiran dari rumah sakit. Bisa dibayangkan betapa panjangnya prosedur pelayanan yang harus diikuti, hanya untuk membuktikan tempat dan tanggal lahirnya. Penyakit yang terakhir adalah tingkat KKN yang tinggi. Indonesia Corruption Watch (ICW) umumkan peringkat pertama pelaku korupsi di Indonesia berasal dari kalangan birokrasi, yang umumnya berupa pemerasan, memanipulasi tender, menganggarkan kegiatan fiktif, hingga korupsi kecil-kecilan seperti memanipulasi uang transportasi, hotel dan uang saku. Korupsi adalah masalah klasik. Berdasarkan data, sejak 2004 sampai semester II 2016, birokrasi ada di urutan pertama pelaku korupsi di Indonesia. Urutan kedua adalah DPRD dan kepala daerah. Faktor utama praktik korupsi birokrasi berasal dari faktor eksternal yakni adanya tekanan dari atasannya yakni kepala daerah. Oknum kepala daerah kerap memaksa birokrat yang menjadi bawahannya untuk melakukan korupsi. Birokrasi menjadi eksekutor keputusan korupsi atasannya. Misalnya, atasannya yang membagi-bagikan jatah anggaran, dan yang mengeksekusi nantinya adalah birokrasinya. Praktik KKN juga dapat dilihat dari penyelengaraan layanan publik. Ketidakmampuan pengguna layanan untuk mengikuti prosedur yang berlebihan dan berbelit mendorong munculnya praktik KKN. Sehingga prinsip ‘daripada lelah menunggu ketidakpastian, lebih baik membayar lebih’ tertanam dalam diri masyarakat. Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, dan negatif. Citra buruk atau negatif tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni adanya budaya paternalistik, pembengkakan struktur birokrasi, prosedur yang berlebihan dan berbelit-belit, serta tingkat KKN yang tinggi. Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya melakukan penyempurnaan dan pembaharuan, namun dampak buruk dari patologi birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan pembangunan di segala bidang.