Anda di halaman 1dari 35

A.

DESKRIPSI MATA KULIAH


1. Tujuan Instruksional Umum
a. Memahami pengertian kebijakan publik
b. Memahami beberapa model untuk menganalisa kebijakan publik
c. Memahami proses perumusan kebijakan publik
d. Memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan publik
e. Mengetahui instansi-instansi terkait dalam perumusan suatu kebijakan publik
f. Mengetahui peran masyarakat dalam kebijakan publik
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Memberikan penjelasan tentang beberapa pengertian kebijakan publik
b. Menguraikan beberapa isu-isu yang terkait dengan kebijakan publik
c. Menguraikan dan melukiskan tentang suatu kebijakan publik yang mengabdi demi
kepentingan publik
3. Materi (lingkup/bahan kuliah)
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang
pembagunan, seperti kebijakan publik di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan,
transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan
publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
Keputusan Bupati/Walikota.
Menutut buku Edi Suharto yang berjudul Analisi Kebijakan Publik , Untuk memahami
berbagai definisi kebijakan publik, ada baiknya jika kita membahas beberapa konsep kunci
yang termuat dalam kebijakan publik ( lihat Young dan Quinn 2002:5-6 ) :

Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat
dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum,

politis, dan finansial untuk melakukannya.


Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik

berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkret yang berkembang di masyarakat.


Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publikbiasanya
bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan
atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang

banyak.
Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
1

Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorng atau beberapa orang aktor. Kebijakan
publik berisikan sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau
rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum
dirumuskan.
Kebijakan publik dibuat bukannya tanpa maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan

kebijakan publik dibuat adalah untuk memecahkan masalah publik yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Masalah tersebut begitu banyak macam, variasi, dan
intensitasnya. Oleh karena itu, tidak semua masalah publik tadi bisa melahirkan suatu
kebijakan publik. Hanya masalah publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk ikut
memikirkan dan mencari solusi yang bisa menghasilkan sebuah kebijakan publik. Oleh
karena itu, merumuskan masalah kebijakan publik merupakan tahapan yang esensial dalam
proses kebijakan publik. Sesungguhpun demikian, dalam proses kebijakan publik perlu pula
memperhatikan siapa yang berwewenang untuk merumuskan, menetapkan, melaksanakan,
dan memantau serta mengevaluasi kinerja kebijakan publik
James Anderson (1979: 23-24) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan
publik sebagai berikut:
a. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang membuat hal
tersebut menjadi maslah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam
agenda pemerintah?.
b. Formulasi kebijakan (formulation): Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau
alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang
berpartisipasi dalam formulasi kebijakan publik?.
c. Penentuan kebijakan (adoption): Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau
kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan?

Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan
yang telah ditetapkan?
d. Implementasi (implementation): Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan?
Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?
e. Evaluasi (evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan
diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi
kebijakan?Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?
Sedangkan Michael Howlet dan M. Ramesh (1995: 11) menyatakan bahwa proses kebijakan
publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:
a. Penyusunan agenda (agenda setting), yakni sesuatu proses agar suatu masalah bisa
mendapatkan perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihan-pilihan
kebijakan oleh pemerintah.
c. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih
untuk melakukan sesuatu tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan.
d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan
kebijakan supaya mencapai hasil.
e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai
hasil atau kinerja kebijakan.
4. Literatur
Berdasarkan beberapa bahan yang telah saya dapatkan dari mata kuliah Kebijakan
Publik maka berikut ini adalah literatur yang bisa dijadikan sebagai referensi.
Subarsono, 2008, Analisis kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suharto Edi, 2010, Analisis Kebijakan Publik, Bandung : Penerbit Alfabeta
Widodo Joko, 2012, Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik, Malang: Bayumedia Publishing.

5. Contoh Soal
a. Sebutkan pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye
b. Sebutkan 2 makna yang terkandung dalam definisi kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye
c. Sebutkan proses kebijakan publik yang diungkapkan oleh James Anderson

B. KAJIAN TEORI
1. Grand Theory
1.1 Sejarah ilmu kebijakan publik
Munculnya fokus pada kebijakan di dalam ilmu politik merupakan hasil
kontribusidari empat tokoh utama: Harold Lasswell, Herbert Simon, Charles Lindblom, dan
David Easton. Tak ada awal yang lebih baik untuk mempelajari kebijakan publik dan peran
analisis kebijakan selain dengan membaca dan mengikuti perkembangan pemikiran keempat
tokoh tersebut.
Lasswell barangkali adalah tokoh yang paling menonjol di balik perkembangan studi
kebijakan. Tulisan-tulisannya tentang kebijakan publik muncul sejak 1930-an, ketika ia
diilhami oleh pemikiran Aliran Chicago dalam mendekati persoalan-persoalan dengan

menggunakan pendekatan multidispliner. Misalnya, pada 1940-an, dia menjadi tokoh penting
dalam mendirikan think-thank awal di Amerika, American Policy Commission, yang
bertujuan menutup kesenjangan antara pengetahuan dan kebijakan dengan membangun
dialog konstruktif antara ilmuwan sosial, pengusaha, dan penentu kebijakan (J.A. Smith,
1991: 105). Dia juga ikut terlibat dengan salah satu think-thank terpenting, RAND
Corporation (dia menjabat sebagai anggota dewan pengawas perguruan tinggi RAND).
Lasswell (1956) adalah salah satu tokoh pertama yang berusaha merumuskan tahap-tahap
dalam proses kebijakan.
Kontribusi Herbert Simon untuk perkembangan studi kebijakan jelas lebih besar
ketimbang ahli teori manapun. Karena sifat kebijakan publik yang multidispliner, maka karya
Simon berdampak luas terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya, antara ilmu ekonomi, psikologi,
manajemen, komputer, sosiologi, dan politik. Ini berarti bahwa kepada bidang kajian apa pun
mahasiswa berpaling, di situ ada Simon. Perhatiannya terhadap proses pengambilan
keputusan manusia di pusatkan pada ide rasionalitas sebagai suatu yang terkekang namun
mampu membuat perbaikan. Tema ini dikaji Simon secara teoritis dan eksperimental. Ide
simon tentang pengkajian pembuatan keputusan dari sudut pandang tahapan rasional, yakni
intelegensi, desain, dan pilihan, telah menjadi unsur utama dalam analisis kebijakan.
Tokoh kunci ketiga dalam perkembangan analisis kebijakan yang mengkaji proses
pembuatan kebijakan adalah Charles Lindblom, yang terkenal karena mendukung pendekatan
rasional yang sedikit berbeda dengan pendekatan Simon; dia mendukung pendekatan
incrementalism (bertingkat menaik). Artikelnya tentang ilmu untuk mengatasi yang terbit
pada 1959 menjadi teks klasik dalam literatur studi kebijakan. Teks ini mungkin masih
merupakan satu-satunya kontribusi terpenting dalam pembentukan teori proses pembuatan
kebijakan. Selama bertahun-tahun pemikiran Linblom berkembang menjauh dari argumen
awalnya, bahkan beberapa pihak sampai mengatakan ada dua jenis Linblom yang berbeda.
5

Dalam mengkritik model rasional seperti yang dikemukakan oleh Simon dan
pendukungnya, Linblom juga menolak ide bahwa pemikiran dari segi tahapan atau relasi
funsional mempunyai manfaat bagi studi proses kebijakan. Menurut Lindblom, model yang
diilhami oleh gagasan Lasswell, Simon, dan Easton adalah model yang menyesatkan.
Karenanya Lindblom (1968) mengajukan model lain yang menjelaskan kekuasaan dan
interaksi antara fase dan tahan. Seperti yang dijelaskannyaa dalam edisi terbaru bukunya
tentang proses kebijakan Langkah-langkah yang tertata dan penuh pertimbangan....bukanlah
gambaran yang akurat tentang bagaimana proses kebijakan bekerja dalam kenyataan
pembuatan kebijakan sesungguhnya adalah sebuah proses yang interaktif dan kompleks,
tanpa awal dan akhir (Lindblom dan Woodhouse, 1993: 11). Linbdblom mengatakan bahwa
untuk mempelajari proses kebijakan kita harus mempertimbangkan pemilihan umum,
birokrasi, partai dan politisi, dan kelompok kepentingan. Tetapi, selain itu kita juga harus
mempertimbangkan deeper forces-bisnis, kesenjangan, dan keterbatasan kemampuan
anlisis yang ikut membentuk dan mendistorsi proses kebijakan.
Terakhir, karya David Easton (1953, 1965), walau tidak dianggap sebagai karya utama
kebijakan publik, telah memberikan kontribusi penting bagi pembentukan pendekatan
kebijakan seperti halnya karya ketiga tokoh di atas. Karya menyediakan model sistem
politik yang sangat mempengaruhi cara studi kebijakan (output) pada 1960-an dalam
mengonseptualisasikan hubungan antara pembuatan kebijakan, output kebijakan, dan
lingkungan yang lebih luas.
Karakteristik utama model Eastonian adalah model ini melihat proses kebijakandari
segi input yang diterima, dalam bentuk alirandari lingkungan, dimediasi melalui saluran input
(partai, media, kelompok kepentingan); permintaan di dalam sistem politi (withinputs) dan
konversinya menjadi output dan hasil kebijakan.

1.2 Pendekar kebijakan publik dan karya-karya mereka


a.

Harold Lasswell

Pada 1940-an, dia menjadi tokoh penting dalam mendirikan think-thank awal di
Amerika, American Policy Commission, yang bertujuan menutup kesenjangan antara
pengetahuan dan kebijakan dengan membangun dialog konstruktif antara ilmuwan sosial,
pengusaha, dan penentu kebijakan (J.A. Smith, 1991: 105). Dia juga ikut terlibat dengan
salah satu think-thank terpenting, RAND Corporation (dia menjabat sebagai anggota
dewan pengawas perguruan tinggi RAND). Lasswell (1956) adalah salah satu tokoh pertama
yang berusaha merumuskan tahap-tahap dalam proses kebijakan.

b. Herbert Simon
Simon melahirkan sebuah ide tentang pengkajian pembuatan keputusan dari sudut
pandang tahapan rasional, yakni intelegensi, desain, dan pilihan, telah menjadi unsur utama
dalam analisis kebijakan.
c. David Easton
Karya David Easton (1953, 1965), walau tidak dianggap sebagai karya utama
kebijakan publik, telah memberikan kontribusi penting bagi pembentukan pendekatan
kebijakan seperti halnya karya ketiga tokoh di atas. Karya menyediakan model sistem
politik yang sangat mempengaruhi cara studi kebijakan (output) pada 1960-an dalam
mengonseptualisasikan hubungan antara pembuatan kebijakan, output kebijakan, dan
lingkungan yang lebih luas.

1.3 Materi (isi dari para pemikir)


Berikut ini adalah beberapa pendapat dari tokoh-tokoh di atas tentang kebijakan:
a. Harold Lasswell
Sebuah ilmu disebut ilmu kebijakan apabila ilmu itu menjelaskan proses pembuatan
kebijakan dalam masyarakat (publik), atau menyediakan data yang dibutuhkan untuk
membuat keputusan yang rasional mengenai persoalan kebijakan tertentu. Ilmu kebijakan
mencakup, a) metode penelitian proses kebijakan, b) hasil dari studi kebijakan, c) hasil
temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan
inteligensi di era kita sekarang. Definisi kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh
Harold Lasswell adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai,
dan praktik-praktik tertentu.

b. David Easton
David Easton mengatakan bahwa kebijakan publik dapat diartikan sebagai
pengalokasian nialai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat. Selain itu,
David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009: 19) memberikan definisi kebijakan
publik sebagai the autorative allocation of values for the whole society. Definisi ini
menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara
syah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai.
Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam authorities in a political system
yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari
dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha tertentu dimana pada suatu titik mereka

diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian
besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.
c. Herbert Simon
Dilihat dari proses kebijakan, Nugroho menyebutkan bahwa teori proses kebijakan
paling klasik dikemukakan oleh David Easton. David Easton dalam Nugroho (2008: 383)
menjelaskan bahwa proses kebijakan dapat dianalogikan dengan sistem biologi. Pada
dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya,
yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam
terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan
publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output
dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input,
throughput, dan output.

2. Middle Range Theory


Pada periode inji pendekatan kebijakan muncul dalam bentuk buku-buku ajar
(teksbook). Beberapa buku menjadi teks kunci untuk memahami berbagai studi kebijakan
baru. Di antaranya, Jones (1970); Dye (1972); Anderson (1975); dan Jenkins.
a. Thomas R. Dye
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981: 1) adalah apapun pilihan pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do
or not to do). Menurut Dye, bila pemerintah mengambil keputusan (bearti memilih satu)
untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya jadi bukan semata-mata merupakan
pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Dan seperti tadi telah
dikatakan sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan negara. Hal ini

disebabkan kerena bila pemerintah tidak melakukan sesuatu akan mempunyai dampak yang
sama besarnya dengan apabila pemerintah melakukan sesuatu. Konsep tersebut sangat luas
karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping
yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik.
Sebagai contoh, ketika pemerintah mengetahui bahwa ada jalan raya yang rusak dan dia tidak
membuat kebijakan untuk memperbaikinya, berarti pemerintah sudah mengambil kebijakan.
Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna:
1. kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta;
2. kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh
badan pemerintah.
b. Anderson
Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat program baru atau tetap pada status quo,
misalnya tidak menunaikan pajak adalah sebuah kebijakan publik. James Anderson (1979: 3)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan
aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengarui oleh para
aktor dan faktor dari luar pemerintah. Dalam buku ini kebijakan publik dipahami sebagai
pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu,
misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan, dan
sebagainya.
Dalam pengertian di atas, tentu saja pengertian kebijakan dapat dijabarkan
sebagaimana diartikan Anderson pada urain sebelumnya. Jadi menurut Anderson setiap
kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah dapat disebut sebagai
kebijakan negara. Kebijakan degara dengan demikian tidak hanya yang dibuat oleh

10

lembaga/badan negaa tertinggi/tinggi saja, seperti di negara kita MPR, DPR, dan Presiden,
tetapi juga oleh badan/pejabat di semua jenjang pemerintahan. Contohnya: UUD adalah
merupakan kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga tertinggi negara, Peraturan Daerah
(Perda) adalah jenis kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah di daerah seperti provinsi,
kabupaten dan kotamadya. Bukan hanya itu, tindakan pidato dan pernyataan kebijakan
(policy statement) pejabat negara dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik.

3. Substantial Theory
Kebijakan publik di era modern (sekarang)
Kebijakan publik dibuat bukannya tanpa maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan
kebijakan publik dibuat adalah untuk memecahkan masalah publik yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Masalah tersebut begitu banyak macam, variasi, dan
intensitasnya. Oleh karena itu, tidak semua masalah publik tadi bisa melahirkan suatu
kebijakan publik. Hanya masalah publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk ikut
memikirkan dan mencari solusi yang bisa menghasilkan sebuah kebijakan publik. Oleh
karena itu, merumuskan masalah kebijakan publik merupakan tahapan yang esensial dalam
proses kebijakan publik. Sesungguhpun demikian, dalam proses kebijakan publik per;u pula
11

memperhatikan siapa yang berwewenang untuk merumuskan, menetapkan, melaksanakan,


dan memantau serta mengevaluasi kinerja kebijakan publik.
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh
lingkungan, dan kemudian ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu
yang bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan mempengaruhi
policy makers. Faktor lingkungan tersebut antara lain: karakteristik geografi, seperti sumber
daya alam, iklim, dan topografi; variabel demografi, seperti: banyaknya penduduk, distribusi
umur penduduk, lokasi spasial; kebudayaan politik; struktur sosial; dan sistem ekonomi.
Secara tidak langsung, masyarakat menjadi salah satu aspek yang perlu mendapatkan
pertimbangan dalam ranah kebijakan publik. Hal itu didasarkan pada peran masyarakat yang
begitu besar bagi terciptanya sebuah kebijakan publik. Di, samping itu, partisipasi masyarakat
sangat diperlukan dalam penyampaian beberapa masalah dan aspirasi yang mungkin sedang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri.
Masyarakat (publik) tidak saja sebagai sebagai pelaku kebijakan atau subjek
kebijakan akan tetapi sekaligus sebagai objek kebijakan atau menjadi kelompok sasaran dari
suatu kebijakan berada dalam status yang berbeda-bedasehingga menempatkan isi komitmen
kebijakan akan berbeda sesuai peran dan status publik. Ketika publik dalam status sebagai
anggota masyarakat maka isi komitmen diarahkan pada fungsi dan tugas pelayanan
pemerintah atas berbagai kebutuhan primer, sekunder dan tersier; ketika publik dalam status
rakyat maka isi komitmen diarahkan pada pemenuhan hak kedaulatan yang dimiliki seperti
hak demokratisasi, kebebasan, keadilan, dan persamaan; ketika publik dalam status sebagai
warga negara maka isi komitmen diarahkan pada pemenuhan hak dan kewajiban yang
dimiliki dalam hubungan warga negara dengan negara; ketika publik sebagai penduduk maka

12

isi komitmen diarahkan pada pembebanan oleh pemerintah atas sejumlahkeharusan yang
harus dipenuhi seperti keharusan untuk memilik kartu tanda penduduk; ketika publik dalam
status kelompok kepentingan maka isi kebijakan harus diarahkan pada kebutuhan para
kelompok kepentingan seperti pelayanan terhadap partai politik, golongan yang ada dalam
kehidupan masyarakat.
Teori sistem menjelaskan bahwa input yang yang dijadikan sumber dan sekaligus
sebagai penyebab dilakukannya perumusan kebijakan adalah berbagai harapan, tuntutan,
keinginan dan kebutuhan dari publik yang disampaikan lewat isu yang terangkat pada
berbagai media massa yang mengarah pada terbentuknya opini publik sebagai forum ilmiah
seperti seminar dan semacamnya.
Secara garis besar, proses kebijakan publik terdiri dari tiga tahapan sebagai berikut:
1. Formulasi kebijakan publik ( perumusan kebijakan)
Perumusan kebijakan adalah mereka para pemegang otoritas atau lembaga yang
karena otoritas dimilikinya dapat menjadi perumus kebijakan yaitu tidak saja mereka yang
dikategorikan sebagai pembuat kebijakan akan tetapi mereka yang mengamankan kebijakan
serta sekaligus mereka para kelompok sasaran dalam berbagai karakteristiknya. Namun di
antara pelaku kebijakan, ada pelaku yang berperan sebagai pembuat kebijakan yaitu mereka
yang harus dibedakan antara pembuat kebijakan dengan perumus kebijakan. Pembuat
kebijakan adalah orang atau lembaga yang membuat kebijakan karena otoritas yang dimiliki
sedangkan perumus kebijakan lebih diarahkan pada sistem yang berkaitan dengan tindakan
perumusan dan oleh karena itu otoritas yang digunakan adalah otoritas kelembagaan.
Pengertian ini memberikan arahan pemahaman bahwa pembuat kebijakan implisit perumus
kebijakan tetapi perumus kebijakan secara eksplisist terbatas pada otoritas kelembagaan.

13

Lembaga pembuat kebijakan adalah yang memiliki kewenangan menentukan bentuk


kebijakan yang dilakukan (Dunn, 1998). Walaupun demikian kewenangan pembuat kebijakan
tetap dibatasi, sebab kontrol atau pengawasan akan selalu menyertai proses pembuatan
kebijakan. Pengawasan yang berlangsung adalah pengawasan dari pimpinan partai politik dan
atau kelompok-kelompok penekan yang ada. Lembaga pembuat kebijakan meliputi lembaga
legislatif, lembaga eksekutif, para administrator dan kehakiman walaupun masing-masing
mewujudkan tugas pembuatan kebijakan yang saling berbeda.
1. Model perumusan kebijakan publik
Model dapat diartikan sebagai teori, proses berpikir yang dapat digunakan
memecahkan masalah. Model kebijakan adalah teori kebijakan, dengan demikian dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kebijakan.
Menurut model yang dikemukakan oleh Henry (1980) yang mengelompokkan model
kebijakan kedalam 2 klasifikasi, yaitu:
a. Model kebijakan yang dianalisa dari sudut proses
1. Model institusional (kelembagaan)
Merupakan model yang memusatkan perhatian pada struktur organisasi pemerintah.
Apapun yang menjadi isi kebijakan adalah kehendak dari kelembagaan pemerintah, seperti
kelembagaan

legislatif,

kelembagaan

eksekutif,

dan

kelembagaan

yudikatif.

Contoh:kebijakan pemerintah yang dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan atau
kebijakan pemerintah yang dibuat dalam bentuk undang-undang.
2. Model elit-massa
Merupakan model kebijakan yang berasal dari dominasi kelompok elite tertentu
terhadap kepentingan dan kedudukan kelompok masyarakat yang lebih banyak. Dominasi

14

kelompok elit nampak dalam perumusan hingga pelaksanaan kebijakan. Kelompok


masyarakat yang didominasi dipandang sebagai kelompok yang tidak mengetahui apa-apa,
sebaliknya bagi mereka kelompok masyarakat akan selalu bersikap apatis tehadap kebijakan
yang dilakukan oleh kelompok elit. Kelompok elit inilah yang mempengaruhi masssa atas
segala kebijakan yang diberlakukan. Contoh: bahwa kebijakan-kebijakan eksekutif pada masa
orde baru, terkesan hanya diinginkan oleh kelompok elit tertentu seperti oleh elit Golkar, elit
birokrasi.
3. Model kelompok
Merupakan model kebijakan yang mendasarkan isi pada kepentingan-kepentingan
kelompok sehingga dalam pembuatannya atau pelaksanaan kebijakan akan terjadi pengaruh
kepentingan yang berbeda-beda yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan. Namun,
dalam rangkaperumusan, akan terjadi pengaruh dari konflik-konflik yang terjadi yang
memungkinkan terjadinya bargaining (tawar-menawar), negosiasi (kesepakatan) dan bisa
mungkin kompromistik (kesetujuan). Contoh: kebijakan-kebijakn Presiden Gus Dur yang
dipandang oleh banyak orang dipengaruhi oleh kelompok tertentu, atau paling tidak oleh
sejumlah kelompok.
4. Model sistem
Merupakan model kebijakan yang didasarkan pada pendekatan sistem dalam artian
dinamis, dimana suatu kebijakan dibentuk harus diawali oleh adanya masukan (input) untuk
kemudian berproses/bertransformasi menjadi keluaran (output).
b. Model kebijakan yang dianalisa dari sudut hasil
1. Model rasional komprehensif
Model rasional berpandangan bahwa proses perumusan kebijakan publik akan
membuahkan hasil/dampak yang baik jika didasarkan atas proses pemikiran yang rasional
15

yang didukung oleh data/informasi yg komprehensif. Model rasional ini menekankan pada
proses pembuatan kebijakn publik yang rasional dengan bermodalkan komprehensivitas
informasi dan keahlian analisis pembuat kebiajakan (policy maker). Konsep rasionalitas
disini dipahami sebagai efktif dan efisien.
2. Model inkramental
Merupakan model kebijakan yang berdasarkan pada kelanjutan kegiatan-kegiatan
yang telah oleh pemerintah di masa lalu dengan melakukan perubahan seperlunya. Para
pembuat kebijakn (policy maker) pada umumnya tidak mempunyai waktu, uang/dana, dan
kecakapan yang cukup untuk meneliti secara cermat alternatif kebijakan yang tersedia.
Kesepakatan dalam proses pembuatan kebijakn publik akan semakin mudah dicapai jika
pokok-pokok yang diperdebatkan hanya menyangkut perubahan yang kecil / tidak mendasar.
3. Model mixed-scanning
Merupakan gabungan antara dua model yang sebelumnya.
2. Agenda Setting
Agenda setting merupakan kegiatan membuat masalah (public problems) menjadi
masalah kebijakan (policy problems). Darwin (1995) mengartikan agenda sebagai suatu
kesepakatan umum, belum tentu tertulis tentang adanya suatu masalah publik yang perlu
menjadi perhatian bersama dan menuntut campur tangan pemerintah untuk memecahkannya.
a. Private Problems: Merupakan masalah-masalah yang mempunyai akibat yang
terbatas.
b. Public Problems: Setelah adanya timbulnya private problems, maka untuk selanjutnya
adalah public problems atau masalah publik. Pada tataran ini, masalah yang timbul
mempunyai akibat yang lebih luas dan orang-orang yang yang tidak terlibat secara
langsung juga menerima dampak dan akibatnya.

16

c. Policy Problems: Merupakan perbedaan pendapat masyarakat dalam menangani


masalah yang ada. Pada tataran policy problem ini, akan terbentuk beberapa solusi
kebijakan dalam menangani masalah.
d. Systemic Agenda: Merupakan isu yang dirasakan oleh semua warga masyarakat
politik yang patut mendapat perhatian politik dan isu tersebut berada dalam yuridiksi
kewenangan pemerintah.
e. Institusional Agenda: Merupakan serangkaian isu yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang
sah/otoritatif

2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakn publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan
publik (public policy process) sekaligus studi yang sangat crucial. Bersifat crucial karena
bagaimanpun baiknya suatu kebijakan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secar baik
dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan. Demikian pula
sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau
tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan.
Dengan demikian, kalau menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka
bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik,
tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk
dapat diimplementasikan.

17

Kamus Webster dalam Wahab (1991: 50) implementasi diartikan sebagai to provide
the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give
practical effects to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Implementasi berarti
menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu.
Jones dalam Gaffar (1997), aktivitas implementasi kebijakan terdapat tiga macam,
antara lain sebagai berikut:
1. Tahap Interpretasi
Tahap interpretasi merupakan tahahapan penjabaran sebuah kebijakan yang masih
bersifat abstarak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis operasional. Kebijakan umum
atau kebijakan strategis akan dijabarkan ke dalam kebijakan manajerial dan kebijakan
manajerial akan dijabarkan dalam kebijakan teknis operasional. Kebijakan umum atau
kebijakan strategis diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang dibuat bersamasama antara lembaga legislatif (DPRD) dan lembaga eksekutif (pemerintah daerah).
Kebijakan manajerial diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan kepala daerah (bupati
atau walikota) dan kebijakan teknis operasional diwujudkan dalam bentuk kebijakan kepala
dinas, kepala badan atau kepala kantor sebagai unsur pelaksana teknis pemerintah daerah.
2. Tahap Pengorganisasian
Tahap pengorganisasian ini lebih mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan
penetapan siapa yang menjadi pelaksanaan kebijakan (penentuan lembaga organisasi) mana
yang akan melaksanakan, dan siapa pelakunya, penetapan anggaran (berapa besarnya
anggaran ayang diperlukan, dari mana sumbernya, bagaimana menggunakan, dan
mempertanggungjawabkannya), penetapan prasarana dan sarana apa yang diperlukan untuk

18

melaksanakan kebijakan, penetapan tata kerja dan penetapan manajemen pelaksanaan


kebijakan termasuk penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan.
3. Tahap Aplikasi
Tahap aplikasi merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan ke
dalam realitas nyata. Tahap aplikasi merupakan perwujudan dari pelaksanaan masing-masing
kegiatan dalam tahapan yang telah disebutkan sebelumnya.
3. Evaluasi kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan menempatkan kebijakan dalam penilaian atas pelaksanaan dan
akibatnya, yang memberikan pemahaman bahwa ada model yang dapat dijadikan penilaian
baik dalam pelaksanaannya maupun akibat-akibat yang akan terjadi. Akibat yang segera
dapat dipahami disebut sebagai effect, sedangkan yang akan dapat dipahami dalam waktu
yang lama sebagai hasil akhir dari suatu kebijakan disebagai impact. Baik effect maupun
impact itulah yang menjadi dampak yang harsus diketahui melalui evaluasi kebijakan.
Tahapan yang berlangsung akan berada dalam sistem dan proses kegiatan yang berlangsung
(Dunn dan Lane, 1986) sebagaimana yang telah digambarkan dan dijelaskan.
Dari program implementasi dilakukan kegiatan dalam bentuk aksi kebijakan (policy
action), yang untuk kemudian diarahkan pada pengaruh yang dikehendaki oleh ebijakan
(policy impact). Dari policy impact inilah dilakukan kembali evaluasi guna perumusan
kembali kebijakan yang diberlakukan, maka ada 2 indikator yang harus dinilai, yaitu:
Assesment of policy impact dan Decisions on future of policy or program.
Metode peramalan adalah suatu metode dalam menghasilakan informasi fakta tentang
keadaan masyarakat mendatang yang didasarkan atas informasi dasar tentang masalah
kebijakan.
19

Metode peramalan dapat dilakukan melalui tiga cara (teknik), yaitu:


1. Proyeksi adalah teknik peramalan yang didasarkan atas eksplorasi terhadap hal yang
umum dan historikal ke masa depan dan proyeksi bisa dikatakan membicarakan masa
depan.
2. Prediksi, teknik peramalanyang didasarkan atas asumsi teoritis yang secara eksplisit
disebutkan.
3. Perkiraan, adalah teknik peramalan yang didasarkan atas penilaian subyektif tentang
keadaan masyarakat di masa depan penilaiannya dapat berbentuk argumen intuitif, di
mana asumsi tergantung padatingkat kemampuan kreatif intelektual.

C. Aplikasi Teori
1. Identifikasi isu-isu kebijakan publik dan agenda setting terkait partisipasi
masyarakat
a. Pengertian Partisipasi Masyarakat
1. Pengertian Partisipasi
Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari
asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti
pengambilan bagian, pengikutsertaan (John M. Echols & Hasan Shadily, 2000: 419).
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi
masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan
dan menikmati hasil hasil pembangunan (I Nyoman Sumaryadi, 2010: 46). Pengertian
tentang partisipasi dikemukakan oleh Fasli Djalal dan Dedi Supriadi, (2001: 201-202) dimana
partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau
masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang,
20

keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal
masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan
masalahnya..
Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38) mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2
(dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu :
a. Partisipasi Langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses
partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan,
membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau
terhadap ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya.
2. Bentuk Partisipasi
Bentuk partisipasi menurut Effendi yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 58), terbagi
atas:
a.

Partisipasi Vertikal
Partisipasi vertikal terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau

mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan dimana masyarakat
berada sebagai status bawahan, pengikut, atau klien.
b. Partisipasi horizontal
Partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa dimana setiap anggota atau
kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan yang lainnya.
2. Pengertian Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin
socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang

21

berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling
bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat
mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi
antar warga-warganya, 2) Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang
mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118). Semua warga masyarakat
merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup
dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan
hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006: 22), memaparkan bahwa
masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama
antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaankebiasaan manusia.
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, menurut Ralph Linton (dalam
Soerjono Soekanto, 2006: 22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah
hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto,
2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan
mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan
perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11) bahwa masyarakat
merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang

22

merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada


beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

b. Isu-isu kebijakan publik


Setelah mempelajari dan memahami dari beberapa pengertian, teori, dan proses yang
ada pada kebijakan publik, dapat kita simpulkan bahwa suatu kebijakan publik tidak dapat
dirumuskan tanpa mengikutsertakan partisipasi dari masyarakat. Hal ini tercermin dari
beberapa masalah publik yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu tatanan masyarakat
sehingga pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas berkewajiban menyelesaikan
masalah tersebut melalui suatu kebijakan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dari perspektif demokratisasi sangat jelas kita
mengangkat pembicaraan mengenai seberapa jauh pengaruh partisipasi masyarakat terhadap
kebijakan publik. Untuk itulah, secara tegas kita berusaha untuk menganalisa pengaruh
partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik di Indonesia.
Isu-isu yang berkembang seta pendapat dari berbagai forum dalam proses waktu akan
mengkristal dalam berbagai pendapat publikdan mendorong terjadinya identifikasi atas isu
berdasarkan urgensi dan prioritasnya hingga tersetting dalam suatu agenda yang memerlukan
tindak lanjut pemecahannya. Urgensinya, persoalan yang telah ter-setting oleh publik
mendorong pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam kehidupan publik menjadikan

23

persoalan yang telah tersetting menjadi agenda yang harus diselesaikan melalui kebijakan
yang harus diberlakukan.
Dari proses agenda setting hingga terformulasi dengan memperoleh legitimasi
keberlakuan, semuanya itu adalah memerlukan proses perumusan kebijakan dalam suatu
sistem perumusan yang melibatkan para pelaku

perumus kebijakan yang terdiri dari

Pemerintah, Lembaga Politik dan partisipasi publik serta berbagai pengaruh yang berasal
dari lingkungan.
1. Maraknya peredaran VCD porno
Peredaran VCD porno pada masa kini tentunya sangat memprihatinkan kita semua.
Tidak adanya kontrol dari instansi terkait membuat peredarnnya menjadi begitu bebas. Hal
inilah yang menjadi alasan keresahan masyarakat terhadap akibat yang bisa timbul dari VCD
porno. Tentunya ini menjadi sebuah isu yang bisa menjadi bahan pertimbangan pembuat
kebijakan dan instansi yang mempunyai otoritas dalam pembuatan kebijakan publik. Isu-isu
yang disampaikan oleh masyarakat menjadi salah satu bentuk partisipasi masyarakat terhadap
keberadaan sebuah kebijakan publik.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, analisis masalah kebijakan diawali
dengan pengenalan masalah dan menghasilkan situasi masalah. Situasi masalah berkaitan
dengan masalah maraknya peredaran VCD porno adalah terjadinya keresahan anggota
masyarakat, terutama para orang tua, baik orang tua yang telah memiliki anak remaja maupun
yang belum bahkan pasangan suami istri yang belum memiliki anak sekalipun.
Situasi masalah tersebut setelah dilakukan pencarian masalah mengapa masyarakat (orang
tua) resah dengan maraknya peredaran VCD porno, diperoleh beberapa sebab antara lain:
a. VCD porno sangat mudah didapat
b. Banyak anak remaja terperosok pergaulan dan seks bebas
24

c. Banyak ditemukan anak remaja hamil sebelum nikah


d. Banyak kasus pemerkosaan yang dilakuka oleh anak remaja setelah menonton VCD
porno
e. Perilaku masyarakat mudah meniru
f. Moralitas anak remaja cenderung menurun.
Permasalahan tersebut belum menunjukkan hubungan antara masalah satu dengan
masalah lainnya sehingga belum diketahui sebab dan penyebabnya. Setumpuk masalah yang
belum menunjukkan struktur hubungan antara masalah satu dengan masalah lainnya disebut
dengan meta masalah. Oleh kerena itu, masalah tersebut perlu didefinisikan dan distrukturkan
sehingga menghasilkan masalah substantif. Masalah ini merupakan meta masalah yang telah
didefinisikan dan distrukturkan sehingga telah menunjukkan hubungan kausalitas antara
masalah satu dengan masalah lain. Berdasarkan meta masalah tersebut, selanjutnya perlu
dilakukan pendefenisian dan penstrukturan meta masalah tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Mudahnya memperoleh VCD porno mengakibatkan sering terjadi pemerkosaan yang
dilakukan oleh anak remaja setelah melihat VCD porno.
b. Mudahnya memperoleh VCD porno sehingga banyak anak remaja melakukan seks
bebas.
c. Terjadinya seks bebas mengakibatkan banyak anak remaja hamil sebelum nikah
d. Budaya meniru adegan dalam VCD porno sehingga di masyarakat banyak terjadi seks
bebas, pemerkosaan, dan hamil sebelum nikah.
e. Moralitas yang rendah mengakibatkan mereka mudah tergoda dan terperosok pada
seks bebas, melakukan pemerkosaan, dan terjadinya hamil sebelum menikah.
Berdasarkan pendefinisian dan struktur masalah tersebut diperoleh masalah substantif
yaitu mudahnya memperoleh VCD porno mengakibatkan terjadinya pergaulan dan seks
bebas, terjadinya anak remaja hamil sebelum menikah, dan terjadinya pemerkosaan yang
dilakukan oleh anak remaja setelah melihat VCD porno. Kejadian-kejadian tersebut
mengakibatkan keresahan orang tua yang memiliki anak menginjak/sudah remaja, bahkan
keresahan ini menghinggapi pasangan suami istri yang belum memiliki anak.
25

Bertumpu pada masalah substantif tersebut, kemudian dilakukan spesifikasi dan


menghasilkan masalah formal. Masalah formal merupakan masalah substantif yang
dispesifikasikan untuk memperoleh masalah yang benar-benar masalah (akar masalah). Oleh
karena itu, untuk memperoleh masalah formal, perhatian difokuskan pada masalah yang
berposisi sebagai penyebab, dan bukan pada akibat. Berdasarkan logika tersebut, maka dapat
ditemukan masalah formal (masalah kebijakan), yaitu (a) mudahnya memperoleh VCD porno
di pasaran, porno berkaitan dengan sistem edar VCD termasuk VCD porno, (b) moralitas
remaja cenderung menurun. Moralitas yang rendah akan mudah meniru (yang tidak baik)
untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral. Oleh karena itu, masalah formal atau
masalah kebijakan adalah (a) penataan, pengaturan, dan pengawasan terhadap sistem edar
VCD pada umumnya, dan VCD porno pada khususnya, (b) perlunya peningkatan moralitas
masyarakat.
Agenda Setting
No
1

Tataran
Private Problem

Masalah
VCD porno meresahkan orang tua yang memliki anak

Public Problem

remaja
VCD porno meresahkan:

Policy Issues

Systemic Agenda

Institusional Agenda

a.
b.
c.
a.
b.
c.

Orang tua yang anaknya remaja


Orang tua yang anaknya belum remaja
Pasangan suami istri yang belum memilik anak
Menghentikan produksi VCD porno
Menata sistem peredaran VCD porno
Membentengi diri dan keluarga dengan iman dan

takwa
a. Menghentikan produksi VCD porno
b. Menata sistem peredaran VCD porno
Menata sistem peredaran VCD porno

Berdasarkan apa yang telah disampaikan di atas, maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan tentang perumusan kebijakan berdasarkan isu-isu yang tumbuh dan berkembang
26

di masyarakat dan partisipasi masyarakat terhadap pembuatan kebijakan yaitu sebagai


berikut:

ISU:
Peredaran VCD porno
meresahkan warga masyarakat

Model
Institusional (proses) dan
Rasional Komprehensif (hasil)

Kebijakan:
Pengaturan sistem peredaran
VCD

2. PSK (Pekerja Seks Komersial)


Masalah PSK yang utama adalah kecemasan masyarakat akan terjangkitnya penyakit
menular (PSK). Setelah dilakukan pengkajian masalah PSK tersebut ditemukan masalah
formal PSK adalah sikap dan perilaku PSk dalam melakukan aksinya. Sesuai dengan masalah
formal kebijakan publik tersebut, tujuan dan sasaran kebijakan yang ingin dicapai adalah:
a. Mencegah timbulnya penyakit menular
b. Mengembalikan PSK ke masyarakat
c. Mengurangi praktik liar PSK
Untuk mengatasi masalah PSK dan mencapai tujuan kebijakan tersebut, diajukan beberapa
alternatif kebijakan, yaitu:
a. Kebijakan lokalisasi dan pembinaan PSK
b. Kebijakan razia praktik liar PSK
c. Pemeriksaan keadaan kesehatan PSK
27

Agenda Setting
N

Tataran

Masalah

o
1

Private Problem

Keberadaan PSK meresah orang tua yang

Public Problem

mempunyai anak yang beranjak dewasa


a. Keberadaan PSK memberikan kecemasan

masyarakat akan terjangkitnya penyakit


menular (PSK)
b. Keberadaan PSK memberikan contoh
3

Policy Issues

Systemic Agenda

Institusional Agenda

perilaku buruk terhadap anak-anak


a. Kebijakan lokalisasi dan pembinaan PSK
b. Kebijakan razia praktik liar PSK
c. Pemeriksaan keadaan kesehatah PSK
a. Kebijakan lokalisasi dan pembinaan PSK
b. Kebijakan razia prktik liar PSk
Kebijakan lokalisasi dan pembinaan PSK

Berdasarkan apa yang telah disampaikan di atas, maka dapat dibuat kesimpulan tentang
masalah PSk.

28

ISU:
Kecemasan masyarakat akan terjangkitnya
penyakit menular (PSK)

Model
Institusional (proses) dan Rasional
Komprehensif (hasil)

Kebijakan:
Lokalisasi dan pembinaan PSK

3. Peredaran minuman keras


Keberadaan minuman keras di tengah-tengah masyarakat tentunya memberikan
keresahan tersendiri karena beberapa dampak yang dihasilkan dari masalah itu. Disamping
itu, peredaran minuman keras yang tidak mendapatkan kontrol dari instansi yang mempunyai
otoritas menjadi salah satu keresahan yang juga dirasakan oleh masyarakat. Dampak dan
akibat pun tidak jarang-jarang akan meresahkan masyarakat terutama akan merusak masa
depan bagi anak bangsa ini.
Berdasarkan dari masalah keberadaan minuman keras yang begitu mersahkan maka
dihasilkan beberapa alasan mengapa masyarakat begitu resah dengan keberadaan minuman
keras di masyarakat antara lain:
a. Mudahnya memperoleh minuman keras
b. Remaja terporosok ke dalam pergaulan bebas akibat minuman keras
c. Kurangnya kesadaran akan dampak minuman keras karena memberikan efek negatif
terhadap pertumbuhan psikologis
d. Kurangnya kontrol terhadap peredaran minuman keras dari instansi terkait
e. Moralitas remaja yang menuru dan suka meniru perilaku negatif

29

Agenda Setting
No

Tataran

Masalah

Private Problem

Peredaran minuman keras yang bebas meresahkan

Public Problem

orang tua yang mempunyai anak remaja


a. Keberadaan minuman keras memberikan
keresahan masyarakat
b. Masyarakat merasa resah terhadap perilaku
anak karena begitu bebasnya minuman keras
beredar
c. Terjadinya kematian akibat mengkonsumsi
minuman keras oplosan
Perilaku konsumsi minuman keras sudah

d.

menjadi kebiasaan yang tak terbantahkan


3

Policy Issues

lagi bagi anak remaja


a. Menghentikan produksi minuman keras
b. Penataan terhadap sistem peredaran
minuman keras
c. Razia peredaran minuman keras yang tidak
mendapatkan izin
d. Memberikan pencerahan kepada anak akan

Systemic Agenda

bahaya minuman keras


a. Menghentikan produksi minuman keras
b. Penataan terhadap sistem peredaran
minuman keras
c. Razia peredaran minuman keras yang tidak
mendapatkan izin

Institusional Agenda

Penataan terhadap sistem peredaran minuman keras

Berdasarkan apa yang telah dikemukan dan agenda setting, maka berikut ini adalah bagan
kesimpulan dari perumusan kebijakan publik:

30

ISU:
Kecemasan akan bebasnya peredaran minuman
keras

Model
Institusional (proses) dan Rasional
Komprehensif (hasil)

Kebijakan:
Penataan sistem peredaran minuman keras

4. Pengamen
Keberadaan pengamen di dalam kota tentunya sudah tidak menjadi barang yang asing
bagi kita semua. Hal itulah yang menjadi landasan dari isu yang dirasakan oleh warga
masyarakat khususnya di Kota Pontianak. Keberadan pengamen terkadang memberikan efek
yang kurang nyaman bagi warga masyarakat apalagi keberadaannya di tempat umum atau
tempat wisata sebagai contoh di kawasan Taman Alun-alun Kapuas. Keberadaan pengamen
dirasakan mengganggu kenyamanan para pengunjung yang ingin menghabiskan waktu luang
untuk bersantai-santai bersama keluarga di kawasan Taman Alun-alun Kapuas. Tentunya
masalah ini perlu mendapat suatu perhatian dalam kebijakan publik yang harus dibuat dan
untuk terlebih dahulu dimasukkan dalam agenda setting.
Agenda Setting
No
1.

Tataran
Private Problem

Masalah
Pengamen meresahkan dan mengganggu pengunjung yang
melakukan aktivitas di Taman Alun-alun Kapuas (Korem)
31

2.

Public Problem

Pengamen meresahkan dan mengganggu:


a. Masyarakat yang ingin bersantai-santai di Taman
Alun-alun Kapuas (Korem)
b. Para pedagang minuman

dan

makanan

yang

berjualan di sekitaran Taman Alun-alun Kapuas


(Korem)
c. Para orang tua yang membawa anaknya ke kawasan
3.

4.

Policy Issues

Taman Alun-alun Kapuas


a) Melakukan perberdayaan

Systemic

pengamen
b) Memberikan larangan mengamen di tempat umum
c) Perilaku pengamen
a. Melakukan perberdayaan dan pembinaan para

Agenda
5.

Institusional

dan

pembinaan

para

pengamen
b. Perilaku pengamen
Melakukan perberdayaan dan pembinaan para pengamen

Agenda

Berdasarkan agenda setting yang telah disampaikan di atas, maka berikut ini adalah
kesimpulan yang dapat kita buat.

ISU:
keberadaan pengamen mengganggu pengunjung
di kawasan Taman Alun-alun Kapuas

Model
Institusional (proses) dan Rasional
Komprehensif (hasil)

Kebijakan:
Pembinaan dan pemberdayaan pengamen

32

2. Pola Pikir/Alur Pikir


PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK

33

Identifikasi Masalah:
a. Isu-isu kebijakan modern yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat
b. Agenda setting dan identifikasi masalah
c. Alternatif atau solusi pemecahan masalah (kebijakan)

Teori Model Kebijakan Hennry(1980):


Model Analisa Sudut Pandang Proses dan hasil

PROSES :
1. Model Institusional
2. Model Elit-Massa
3. Model Kelompok
4. Model Sistem

HASIL(OUTPUT):
1. Model Rasional Komprehensif
2. Model Inkramental
3. Model Mixed-Scanning

34

DAFTAR PUSTAKA
Ali Faried, 2012, Studi Analisa Kebijakan: Konsep, Teori dan Aplikasi Sampel Teknik
Analisa Kebijakan Pemerintah, Bandung: Refika Aditama
http://eprints.uny.ac.id/9785/2/Bab%202%20-05101241004.pdf
http://eprints.uny.ac.id/8538/3/BAB%202%20-%2008401244022.pdf
Parsons Wayne, 2011, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Subarsono, 2008, Analisis kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suharto Edi, 2010, Analisis Kebijakan Publik, Bandung : Penerbit Alfabeta
Widodo Joko, 2012, Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik, Malang: Bayumedia Publishing.

35

Anda mungkin juga menyukai