Anda di halaman 1dari 10

Tantangan Administrasi Publik Ke Depan1)

Oleh: Paulus Israwan Setyoko2)

Yang saya hormati,


Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Para Guru Besar dan dan Pimpinan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya;
Pengurus Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 Surabaya
Para Dekan, khususnya Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Ketua
Lembaga Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya;
Para dosen dan mahasiswa, khususnya mahasiswa baru pada Program Magister
dan Doktor Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya; serta
Para tamu undangan dan hadirin yang saya muliakan, baik yang hadir di Kampus
maupun dalam ruang zoom meeting secara daring.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, Selamat Sore, Salam Sejahtera bagi


kita semua.

Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan, Allah yang Maha Pengasih
dan Penyayang, karena atas kasih dan karuniaNya hari ini kita dipertemukan di
tempat ini, untuk mengikuti upacara penerimaan mahasiswa baru pada Program
Magister dan Program Doktor Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan Universitas dan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, karena diberi
kepercayaan yang sangat luar biasa dan terhormat, untuk menyampaikan orasi
ilmiah pada acara ini. Orasi ilmiah saya berjudul “Tantangan Administrasi Publik ke
Depan.”
____________________
Orasi Ilmiah, disampaikan pada Pembukaan Perkuliahan Magister dan Doktor Semester
Gasal 2021 Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, hari Rabu, tanggal 8
September 2021
2
Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2

Hadirin yang saya hormati,

Pada saat ini kita menyaksikan situasi di mana Administrasi Publik bekerja dalam
kondisi penuh ketidakpastian, tidak terduga, tidak bisa diramalkan, tidak konsisten,
dan tidak stabil. Sektor publik sedang dihadapkan pada berbagai peristiwa yang
membuat administrasi publik mengalami turbulensi. Akibat dari Revolusi Industri 4.0
yang melahirkan begitu banyak kemajuan dalam masyarakat, seperti
berkembangnya media baru (media sosial), internet of things (IoT), Big Data,
kecerdasan buatan (AI), Cloud Computing (metode penyampaian berbagai layanan
melalui internet)., Blockchain. (teknologi baru yang dikembangkan untuk sistem
penyimpanan data digital), menyebabkan kehidupan dan perilaku masyarakat
berubah sangat drastis. Revolusi Industri 4.0, telah mendisrupsi masyarakat, di
mana teknologi menjadi menjadi andalan kehidupan manusia. Disrupsi adalah
sebuah kondisi, di mana terjadi inovasi dan perubahan secara fundamental dan
menyeluruh terhadap semua sistem dan tatanan ke cara-cara baru.

Istilah disruptive pertama kali dicetuskan oleh Clayton M. Christensen & Joseph
Bower (1995) pada artikel "Disruptive Technologies: Catching the Wave" yang
dimuat dalam jurnal Harvard Business Review. Pada era disrupsi, perubahan yang
terjadi dalam masyarakat tidak linier, sehingga sulit untuk diramalkan. Ini disebabkan
oleh hadirnya produk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan inovasi, yang
melingkupi seluruh sendi kehidupan manusia, yang seringkali tidak terlihat, tidak
terbayangkan, dan tidak disadari oleh kita pada saat ini.

Perubahan besar dalam masyarakat juga terjadi karena pandemi Covid-19. Seluruh
dunia mengalami perubahan besar dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, serta perilaku manusia. Istilah cuci tangan, memakai masker, jaga jarak,
bekerja dari rumah, dan berbagai istilah lain yang ditujukan untuk mencegah
penyebaran virus diperkenalkan. Semuanya ini kemudian menghadirkan era
kenormalan baru (New Normal).
3

Istilah New Normal pertama kali digunakan oleh Roger McNamee, seorang investor
teknologi, yang mengulas sebuah artikel yang ditulis oleh Polly LaBarre berjudul
"The New Normal" di majalah Fast Company pada tanggal 30 April 2003.
Menurutnya, Normal Baru adalah suatu kondisi di mana kemungkinan besar kita
bersedia bermain dengan aturan baru untuk jangka panjang. Dalam Normal Baru,
yang lebih penting adalah melakukan hal-hal yang benar daripada melawan kondisi
yang terus berubah.

Dalam perkembangannya, istilah 'New Normal' telah digunakan dalam berbagai


konteks untuk menyatakan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak normal telah
menjadi biasa. Di Indonesia istilah ini disebut dengan “adaptasi kebiasaan baru”.
Khususnya tatanan baru untuk beradaptasi dengan COVID-19, yaitu perilaku
manusia yang berbeda dan terus berubah, dibanding perilaku sebelumnya.

Hadirin yang berbahagia,

Era disrupsi dan adaptasi kebiasaan baru juga sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan administrasi publik dan sektor publik pada umumnya.
Penyelenggaraan pelayanan publik berubah pesat dan diatur sedemikian rupa guna
mencegah penularan dan penyebaran virus. Proses kebijakan publik menjadi lebih
rumit dan membutuhkan waktu yang lama karena semua perhatian dan sumber
daya tertuju kepada pencegahan Covid-19. Administrasi publik dihadapkan pada
situasi yang baru dan penuh ketidakpastian.

Sebagai contoh pada awal kehadiran sarana transpotasi berbasis aplikasi (angkutan
online), terjadi perdebatan dan pro-kontra terhadap kehadiran angkutan online.
Pemerintah, diwakili kementerian perhubungan dan kepolisian, menyatakan bahwa
jenis angkutan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan dan tidak sah.
Pengusaha taksi resmi menuntut agar pemerintah membersihkan angkutan online.
Ketika pemerintah melakukan pelarangan, masyarakat justru mendukung adanya
transpotasi berbasis aplikasi, seperti yang ada diberbagai negara. Di sinilah kita
melihat emerintah kebingungan dalam membuat aturan kebijakannya. Disrupsi
4

menjadi sulit untuk dicegah dan diatasi karena banyak orang termasuk pengusaha,
pemerintah, perguruan tinggi tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Semua
orang berfikir bahwa mereka telah melakukan yang terbaik, langkah-langkah
manajerial yang sistematis, inovasi, total quality control, just in time, budaya
organisasi (tahun 80an), re-enginering (tahun 90an), dan change (tahun 2000an)
telah dilaksanakan, namun hasilnya tidak sesuai. Era disrupsi membutuhkan
transformasi dan agile management (ketangkasan), guna memberikan kepuasan
pada masyarakat dan ketepatan dalam menyelesaikan masalah.

Disruspi adalah sebuah proses, bukan datang dan terjadi tiba-tiba. Disrupsi dimulai
dari ide, riset/eksperimen, proses pembuatan, dan pengembangan model. Ketika
berhasil, pemain baru akan mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah
yang diabaikan oleh pihak lain, lalu perlahan-lahan merebut segmen mapan yang
sudah dikuasai pihak lain. Sebagai contoh Shopee, Tokopedia, atau yang lain
mampu menghancurkan gerai-gerai ternama untuk menguasai pasar bisnis ritel.
Gojek dan Grab mampu mengalihkan konsumen dari penyedia transportasi mapan,
dan bahkan membuat Blue Bird bergabung ke dalamnya. Disrupsi pada akhirnya
menciptakan suatu dunia baru, yaitu digital marketplace yang lebih bebas dan
terbuka, tanpa peraturan yang rumit dan berbelit. Berbagi kegiatan yang sebelumnya
memerlukan perizinan yang rumit, berbayar mahal, dan terproteksi, sekarang
menjadi lebih bebas.

Harus disadari, pada era disrupsi perubahan menjadi amat cair dan bergerak
mengikuti 3S, yaitu Speed, Surprises, dan Sudden Shift. Perubahan bergerak sangat
cepat karena didukung oleh teknologi. Validitas suatu informasi juga dengan cepat
diketahui kebenarannya. Semuanya serba cepat, tak lagi bergerak linear, melainkan
eksponensial. Perubahan juga menghasilkan kejutan-kejuatan, karena hadirnya hal-
hal baru yang tak terduga dan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa. Tidak
ada yang menduga, seorang Jokowi terpilih menjadi presiden. Surprise. Disamping
itu, sering terjadi pergeseran pasar secara tiba-tiba dan tidak disadari. Orang
menyatakan terjadi kelesuan ekonomi, faktanya konsumen telah berpindah ke lain
5

hati. Terjadi Sudden Shift. Kembali di sini administrasi publik tidak siap dalam
merespon kecepatan perubahan, sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi
digital.

Hadirin yang berbahagia,


Pandemi Covid-19 telah membuat pemerintah bekerja keras untuk menanganinya.
Pada awal pandemi, pemerintah tidak percaya bahwa virus yang berasal dari China
ini akan mampu sampai ke Indonesia. Keyakinan ini menyebabkan tatakelola
bandara sebagai pintu pertama masuk orang dari luar negeri tidak berubah.
Pemerintah tidak sadar bahwa saat ini kita hidup dalam masyarakat dunia, di mana
mobilitas manusia antar negara sangat tinggi. Keterlambatan pencegahan ini,
menyebabkan Covid-19 menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Indonesia
dan semakin sulit dikendalikan.

Segenap sumberdaya dan kebijakan telah dikerahkan oleh pemerintah untuk


mengatasi penyebaran virus ini. Hasilnya dapat dikatakan positif, mampu
mengurangi penyebaran virus. Namun usaha keras pemerintah masih belum dapat
diterima oleh sebagian masyarakat. Banyak kritik diarahkan kepada pemerintah
terkait penangan virus ini. Mulai ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai
kebijakan pemerintah, seperti kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan
Masyaraktat (PPKM), bantuan ekonomi dampak Covid-19, hingga persoalan
sertifikat vaksin sebagai syarat memperoleh layanan publik.

Pada sisi lain, pandemi Covid-19 ini juga menghadirkan berita-berita hoax yang
seringkali dipercaya oleh masyarakat. Media baru (media sosial) telah digunakan
oleh masyarakat untuk bertukar informasi, meskipun terdapat informasi yang tidak
benar. Sebagai contoh, beredar informasi yang menyatakan bahwa masyarakat
yang ingin memperoleh layanan publik, Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib memiliki
sertifikat vaksin Covid-19. Sedangkan untuk memperoleh vaksin diperlukan KTP.
Bila informasi ini diperdebatkan, pada akhirnya akan seperti perdebatan mana yang
lebih dulu ada, telur atau ayam. Ternyata berita tersebut Hoax dan telah dibantah
6

oleh pemerintah. Kekacauan informasi juga ditunjukkan oleh adanya kebijakan


penerima vaksin bagi penyintas Covid-19. Awalnya pemerintah mengumumkan
penyintas Covid-19 dapat menerima vaksin setelah tiga bulan sembuh. Beberapa
saat kemudian, ada pengumuman dari Kementerian Kesehatan bahwa penyintas
Covid-19 tidak harus menunggu tiga bulan untuk memperoleh vaksin. Faktanya
ketika sesorang belum genap tiga bulan sembuh dari Covid-19 dan meminta vaksin,
ditolak oleh petugas di tempat vaksin dan dianjurkan untuk menunggu tiga bulan
setelah sembuh. Kembali kita melihat ketidakmampuan administrasi publik dalam
mengelola dampak Covid-19. Kemampuan pemerintah dalam komunikasi dan
advokasi kebijakan relatif lemah, sehingga informasi yang diterima publik menjadi
tidak jelas.

Hadirin yang berbahagia,


Berbagai peristiwa di atas menunjukkan lambatnya administrasi publik dalam
merespon perubahan lingkungan yang sangat cepat. Manajemen publik dan
kebijakan publik selalu tertinggal dan tidak siap dalam merespon dan menghadapi
lingkungan yang dinamis dan terus berubah (Andrews, Boyne, O'Toole, Meier,
&Walker,2013; Ansell, Boin, & Keller, 2010). Inilah tantangan sebenarnya bagi
administrasi publik ke depan. Yaitu mampu secara cepat dan tepat merespon setiap
perubahan dan turbulensi yang terjadi di lingkungannya.

Berangkat dari kebutuhan terhadap kecepatan dan ketepatan dalam mengatasi


turbulensi, Administrasi publik memerlukan kepemimpinan yang mampu mengelola
lingkungan yang semakin dinamis dan penuh ketidakpastian, khususnya mampu
beradaptasi secara cepat pada setiap kondisi krisis (Kapucu & Ustun, 2018;
Andrews, et al., 2013; Farazmand, 2007). Kepemimpinan menjadi amat penting,
mengingat pada masa depan diperlukan pemimpin yang inovatif, berani mengambil
risiko, dan tahan banting (tidak baperan). Kurikulum Program Doktor Administrasi
Publik UNTAG telah mencantumkan di dalamnya mata kuliah Kepemimpinan. Ini
tentunya menjadi peluang bagi untuk mengatasi tantangan administrasi publik ke
depan. Di samping itu, Administrasi Publik harus mengembangkan konsep Adaptive
7

Governance (AG), agar mampu mengelola ketidakpastian dan kompleksitas


permasalahan sosio-ekologis (Dietz,Ostrom & Stern, 2003; Walker dkk., 2004; Folk,
2006), serta konsep Agile Governance (AG), yaitu cara kerja pemerintahan yang
cerdas, tangkas, tepat, dan cepat dalam merespon masalah dan kepentingan publik
(Luna, Kruchten, & Moura, 2013). Keunggulan konsep Agile ini adalah melakukan
penyederhanaan birokrasi, fokus pada kecepatan dan kemudahan, sebagai
perwujudan dari konsep dynamic governance.

Pada sisi lain, Revolusi Industri 4.0 telah melahirkan masyarakat digital. Kita dapat
melihat semakin banyaknya produk kecerdasan buatan (AI) yang digunakan dalam
berbagai bentuk kegiatan masyarakat. Penetrasi internet Indonesia pada akhir Maret
2021 adalah sebesar 76,8 persen dari total populasi. Menurut data
Internetworldstats (Maret,2021), pengguna internet di Indonesia mencapai 212,35
juta dengan estimasi total populasi sebanyak 276,3 juta jiwa. Posisi Indonesia
tersebut berada di atas rata-rata penetrasi Asia sebesar 63,9% dari populasi 4,3
miliar jiwa dan juga di atas rata-rata dunia sebesar 65,7% dari estimasi total populasi
7,86 miliar jiwa. Kondisi ini mencerminkan bahwa hampir sebagian besar penduduk
usia di atas 12 tahun telah familier dengan internet.

Begitu luasnya penggunaan internet dalam masyarakat, pada satu sisi menimbulkan
produktifitas dalam masyarakat, sedangkan di sisi lain menimbulkan kekacauan
dalam tata kehidupan masyarakat. Banyak sekali problema yang muncul di ruang
publik sebagai akibat dari aktifnya masyarakat dalam menggunakan internet untuk
bermedia sosial. Terdapat sisi baik dan buruk dari media sosial (Gunawan dan
Laksono, 2021). Bapak Jenderal Budi Gunawan adalah Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) dan Bapak Jenderal Barito Mulyo Laksono adalah Wakil Gubernur
Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) – BIN. Dipertegas oleh Gunawan dan
Laksono (2020) semakin banyak kebohongan di dunia maya. Sebaran informasi
dan berita hoax terus meningkat dalam masyarakat, sebagai akibat literasi digital
yang relatif rendah. Mencermati perkembangan ini, administrasi publik harus dapat
8

merespon internet of things (IoT) dalam masyarakat dengan kebijakan tata kelola
teknologi informasi yang tepat dan cepat.
Teori dan praktik administrasi publik pun perlu memanfaatkan perkembangan
teknologi digital dan kecerdasan buatan ini. Kecerdasan buatan memberi peluang
besar bagi administrasi publik untuk mengembangkan otomatisasi proses alur kerja,
pemrosesan informasi yang lebih cepat, peningkatan kualitas layanan, serta
peningkatan efisiensi kerja (Thierer et al., 2017; Zheng et al., 2018). Di samping itu
Administrasi publik berbasis data dapat mendukung akurasi dalam pembuatan
kebijakan, pemberian layanan, manajemen organisasi, dan inovasi (van Ooijen,
Ubaldi, dan Welby 2019). Sektor publik berbasis data, mengakui bahwa data
merupakan aset strategis dalam desain kebijakan publik dan penyaluran layanan
publik. Sektor publik yang digerakkan oleh data juga bermanfaat bagi
pengembangan alternatif kebijakan dan inovasi dalam pemantauan dan evaluasi
kebijakan maupun pelayanan publik dari waktu ke waktu.” (Ubaldi et.al,. 2020)

Hadirin yang saya hormati,

Pengabaikan teknologi informasi telah lama terjadi dalam penelitian dan


pengembangan teori administrasi publik, khususnya pada pembuatan kebijakan
(Dunleavy et al. 2005). Hampir tidak ada proses pembuatan kebijakan publik yang
didahului dengan pemodelan kebijakan. Sehingga seringkali kita menemukan
terdapat kebijakan publik yang sudah ditetapkan, tetapi kemudian ditarik, direvisi,
atau dibatalkan. Pada saat ini, di mana ketersediaan big data dan meningkatnya
dominasi pendekatan digitalisasi dan berbasis data dalam administrasi publik,
manajemen publik, dan dalam kebijakan publik, menandai semakin pentingnya
teknologi informasi dan basis data dalam mengatasi persoalan publik (Agarwal 2018;
Brauneis dan Goodman 2018; Redden 2018; Wirtz, Weyerer dan Geyer 2019).

Ide administrasi publik berbasis data dan digitalisasi administarsi publik saat ini terus
berkembang, mengingat pada saat ini sangat dibutuhkan mekanisme pembuatan
9

kebijakan berbasis bukti (evidance-based policy making). Dengan kecerdasan


buatan, analisis data dan informasi dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, lebih
komprehensif (Beer 2017). Penggunaan teknologi berbasis data dan prediktif
adalah bagian dari pergeseran menuju bentuk pemerintahan otomatis, antisipatif,
dan algoritmik (Williamson 2014), yang mengarah pada perubahan besar pada cara
administrasi publik memahami dan dan merespons kepentingan warga negara
(Redden 2018; Hintz, Dencik, Wahl-Jorgensen 2019).

Hadirin yang berbahagia,

Apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, yang memiliki Program studi sarjana, magister dan doktor
dalam bidang Administrasi Publik? Agar lulusannya mampu bersaing dan sesuai
dengan perkembangan ilmu dan praktik administrasi publik, haruslah melakukan
perubahan total kurikulumnya. Perubahan ini haruslah mencakup profil lulusan,
capaian pembelajaran lulusan, kedalaman materi pembelajaran, serta selalu
mengintegrasikan hasil penelitian dosen dengan materi pembelajaran pada mata
kuliahnya. Utamanya mata kuliah dengan capaian pembelajaran lulusan
keterampilan khusus. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengembangkan berbagai
mata kuliah dan materi pembelajaran berbasis data, metodologi kuantitatif dengan
memanfaatkan berbagai teknologi informasi, big data, internet of things, dan sumber
data lainnya. Setiap mata kuliah wajib dikaitkan dengan perkembangan teknologi
digital, guna menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi tantangan administrasi
publik ke depan.

Harus diingat pula, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) telah mencantumkan Capaian Pembelajaran
Lulusan (CPL) dari setiap jenjang lulusan, di mana pada setiap jenjang, para lulusan
diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di
dalam bidang keilmuannya guna menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
Institusi pendidikan tinggi, seharusnya selalu bertanya dan mengukur, apakah CPL
10

yg ingin dibentuk melalui proses Tri Dharma PT telah terwujud? Ketika


perkembangan Administrasi Publik saat ini dan kedepan berbasis data dan teknologi
informasi, apakah kurikulum dan suasana akademik yang dibangun telah mampu
mewujudkan CPL pada setiap tingkatan pendidikan tinggi? Ini menjadi tugas besar
dari setiap perguruan tinggi untuk mampu menghadapi tantangan perkembangan
ilmu dan praktik Administrasi Publik ke depan. Program Studi dan dosen, sebagai
penanggungjawab kurikulum, wajib melaksanakan kegiatan tri dharma PT berbasis
bukti dan data, kecerdasan buatan, dan big data, guna memberikan contoh bagi
mahasiswa. Institusi pendidikan tinggi, apakah itu fakultas atau universitas, wajib
mengembangkan peta jalan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang
berkesuaian dengan kebutuhan masyarakat masa depan. Yaitu mengaitkan
administrasi publik dengan perkembangan teknologi informasi, internet of things,
kecerdasan buatan, dan big data. Salah satu contoh menarik yang saya temukan
adalah adanya Program Studi Administrasi Publik yang saat ini sedang
melaksanakan rekrutmen dosen dalam bidang ilmu Matematika, Statistika, Teknologi
Informasi, dan Komputer, guna mengajar di Prodi Administrasi Publik. Ini
menunjukkan bahwa perguruan tinggi tersebut telah memiliki peta jalan
pengembangan pendidikan tinggi administrasi publik guna menghadapi tantangan
masa depan. Apabila ini dilakukan oleh UNTAG Surabaya, saya yakin Administrasi
Publik akan berkembang dan mampu menghadapi tantangan ke depan yang penuh
turbulensi dan ketidakpastian.

Demikian orasi ilmiah saya, terimakasih kepada hadirin semua yang telah dengan
sabar mengikuti orasi ilmiah ini. Semoga isi orasi ilmiah ini mampu menginspirasi
para mahasiswa program magister dan doktor dalam menyusun tesis dan disertasi,
sehingga bermanfaat bagi pengembangan teori dan praktik administrasi publik masa
depan. Terimakasih

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam.

Anda mungkin juga menyukai